Ke mana perginya Ci Goat? Tadi malam dia sudah mengalami hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Ketika dia mendengar dari Hay Hay bahwa Pek Han Siong, pemuda yang dicintanya itu, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas cintanya, dia merasa berduka walau pun duka itu sudah banyak berkurang karena jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamana pun juga malam itu dia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil berbaring.
Dia belum tidur ketika ada ketukan daun jendela, dan dapat dibayangkan betapa gembira dan tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin bicara!
Ketegangan dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian setelah pemuda itu melompat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya! Hampir dia tidak dapat mempercayai apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya, disangkanya dia sedang dalam mimpi.
Akan tetapi, karena pada saat itu dia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul dan menciuminya, Ci Goat kehilangan semua keseimbangan hatinya. Dia hanyut dan terseret. Dia tidak peduli apa pun yang akan menjadi akibatnya. Dia menyerah sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api gairah yang menyala-nyala.
Dia dan kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Sesudah Pek Han Siong meninggalkannya baru dia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu birahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan nafsu birahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk hitungan lagi.
Ci Goat baru tersentak kaget setelah Han Siong meninggalkannya. Dia kaget bukan main melihat kenyataan yang tidak masuk di akal itu. Dia sudah menyerahkan diri begitu saja kepada seorang pria, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya! Meski dia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita! Dia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi!
Dia mengenal Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan dia sendiri juga seorang gadis yang memiliki harga diri tinggi. Maka timbul rasa penasaran di hatinya dan dia pun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Tiba-tiba dia melihat munculnya Hay Hay, lalu dia mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay.
Semakin didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar dan kedua matanya segera bercucuran air mata setelah dia mendengar ucapan Hay Hay, "…engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau sudah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong!"
Dia juga mendengar ucapan Han Siong, "Aku tidak akan mengawini gadis mana pun!"
Kini mengertilah Ci Goat. Dengan hati hancur dia baru mengerti bahwa segala yang telah terjadi semalam hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Ternyata Han Siong sama sekali tidak mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama.
Tiga orang pendeta Lama! Ci Goat tersentak dan cepat dia kembali memasuki kamarnya, mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana dia harus pergi. Dia telah mendapat keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu para penjahat bahwa beberapa hari sebelumnya ada tiga orang pendeta Lama bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam.
Kini, setelah dia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, dengan hati penuh duka dan dendam Ci Goat pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap ketika dengan isak tertahan gadis itu berlari mendaki bukit.
Sesudah tiba di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, dia melompat dan lari memasuki kuil itu. Di tengah kuil itu, di sebuah ruangan yang luas, dia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa yang mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan jimat-jimat.
Biar pun dia tidak tahu apa artinya semua itu, tetapi Ci Goat dapat menduga bahwa tentu mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini mengingatkan dia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda.
Kalau saja Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta dan pemuda itu bersedia mempertanggung jawabkannya, tentu dia tak akan merasa ternoda karena dia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi pemuda itu melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah ketiga orang pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung jawab. Maka semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga orang pendeta Lama.
"Pendeta keparat, kalian layak mampus!" bentaknya dan gadis ini telah meloncat masuk.
Namun tiga orang pendeta Lama itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan tidak bergerak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena sakit hatinya, Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seakan tidak tahu bahwa kepalanya sedang dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam.
"Singgg…! Takkk!"
Ci Goat kaget bukan main. Pedangnya terpental seolah-olah bertemu dengan baja, bukan kepala manusia! Pada saat itu pula pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik sehingga terjatuh ke atas pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama sudah menangkapnya. Mata yang amat sipit itu kini terbuka dan mulutnya yang ompong menyeringai.
"Ha-ha-ha-ha, gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng sedang merasa kesepian. Suheng dan Sute, kalian lanjutkan saja permainan kita, pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!"
Dua orang pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tak peduli, tetap duduk bersila seperti patung. Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat.
Gadis itu merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. Dia meronta, akan tetapi sepasang tangannya tidak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang.
Janghau Lama membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mendekap Ci Goat. Tangan kanannya cepat bergerak dan terdengarlah kain robek berulang kali pda waktu tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu rnerobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat.
Jelas bagi Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Dia merasa tak berdaya. Kini dia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang pendeta Lama ini. Melawan pun akan percuma saja karena tentu dia akan diperkosa tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali.
Rasa ngeri membuat dia rnencari akal. Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini telah kelihatan watak aslinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai dan lemas, tidak melawan lagi seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, dia cepat membuka mulut dan menggigit bibir itu sekuat tenaga.
"Auhhh…!" Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu birahi itu menjadi lengah, bibirnya tergigit hampir putus dan terluka. Dia pun segera melepaskan rangkulannya.
Begitu merasa betapa dirinya telah bebas, Ci Goat cepat-cepat menggerakkan kepalanya, dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan gadis itu terkulai dengan kepala retak! Dia tewas seketika. Agaknya dia memilih mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu, yakin bahwa dia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari perkosaan.
Janghau Lama terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar suara Gunga Lama.
"Sute, engkau sudah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han Siong ke sini!"
Janghau Lama tidak berani banyak membantah lagi. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia terlampau dipengaruhi nafsu birahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu.
Dia tahu bahwa permainan mereka bertiga kini sudah diketahui orang. Buktinya gadis itu datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu sudah mengetahui atau setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia.
Janghau Lama cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama terluka dan berdarah…..
********************
Han Siong merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini dan kadang, kalau tarikan itu terasa terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang tergantung pada lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, lalu menempelkannya di atas tengkuknya.
Dan benar saja. Setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apa lagi mengingat bahwa tidak jauh di belakangnya ada sahabatnya yang sangat boleh dipercaya, yaitu Hay Hay.
Meski pun bayangan itu suram muram, namun kini Han Siong mulai dapat mengingat apa yang terjadi tadi malam. Rasanya bagaikan orang mengenang sebuah mimpi yang sudah hampir terlupa saja.
Akan tetapi, setiap kali dia mengingatnya bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah. Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan semua itu. Walau pun hanya samar-samar, tapi dia dapat menduga apa yang telah terjadi.
Di bawah pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang bisa melumpuhkan semua kekuatan sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat.
Gadis itu jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang gadis itu mengaku bahwa dia mencinta dirinya dengan sepenuh jiwa raganya. Agaknya semalam gadis itu pun telah menyambutnya dengan suka rela.
Setelah Ci Goat mendengar dari Hay Hay bahwa dia tak dapat menerima dan membalas cintanya, tentu gadis itu menjadi patah hati dan berduka. Karena itu, ketika malam itu dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu memperoleh harapan baru. Dan dia bergidik bila membayangkan apa yang tentu telah terjadi di antara mereka.
Meski pun samar-samar namun dia masih ingat, dan bulu tengkuknya segera meremang bila mana dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Walau pun dia melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu telah terjadi. Ci Goat kini telah ternoda, dan sebagai seorang jantan dia harus berani mempertanggung jawabkannya.
Tarikan daya kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah sampai di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang. Kalau menurutkan suara hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka sudah membuat dia tanpa disadarinya telah menodai Ci Goat. Hal ini berarti akan merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah sepantasnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya!
Akan tetapi dia teringat akan nasehat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan membiarkan dirinya dibawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Jika dia membunuh tiga orang pendeta Lama ini, maka semua jejak menuju ke Tibet akan terputus dan terhapus.
Dia memasuki kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu. Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat.
"Terima kasih bahwa Sin-tong sudah berkenan menerima undangan kami dan datang ke sini!" kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut pula oleh dua orang sute-nya.
Han Siong bersikap seperti seorang yang linglung. Dia membalas penghormatan itu, lalu menjawab dengan suara datar. "Sam-wi lo-suhu ada keperluan apakah mengundang aku ke sini?"
"Sin-tong, ketahuilah bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engkaulah calon Dalai Lama yang sejati. Sudah terlampau lama kami menantimu, Sin-tong, dan sekarang tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami ke Jalan Terang. Marilah, ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat."
Di dalam suara itu terkandung kekuatan mukjijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang sangat kuat. Di hadapan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala mustikanya yang tergantung di lehernya, maka dia pun mengangguk dan berkata singkat, "Baiklah, aku menurut."
Tiga orang pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Di dalam kesempatan ini diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu mengendur.
Hal ini perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mukjijat itu. Di dalam keadaan setengah sadar ini dia masih mampu meneliti apa yang sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan mereka.
Sementara itu, Hay Hay yang membayangi di belakang mengambil jalan memutar dan dia memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil, dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas dia sudah tak bernyawa lagi.
Hay Hay cepat menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya. Dengan sangat hati-hati dia membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana bisa sampai ke kuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah!
Pada waktu melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet, hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka? Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Tetapi dia lantas teringat akan Han Siong yang sedang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus bersabar.
Bagaimana pun juga Ci Goat sudah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan Han Siong dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang semenjak bayi terus dikejar-kejar sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya, kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah urusan Han Siong selesai barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang penasaran itu, menuntut ketiga orang pendeta Lama ini.
Setelah tiga orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Goat dengan sederhana di belakang kuil itu. Kemudian dia menggunakan ilmu berlari cepat mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat…..
********************
Hari itu kota Pao-teng amat ramai. Maklum, dua hari lagi rakyat akan merayakan hari raya Tahun Baru Imlek. Beberapa hari sebelum Sincia (Tahu Baru Imlek) biasanya orang-orang sibuk berbelanja. Mereka membeli kain dan pakaian baru, juga membeli beberapa macam bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta.
Para pedagang pakaian, bahan masakan dan sembahyang yang lebih dulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasanya, pada hari-hari sebelum Sincia para pedagang itu akan kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa pula, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan dari pada persediaannya, maka harga-harga akan membumbung tinggi sehingga perut para pedagang menjadi semakin gendut.
Semua orang nampak berseri wajahnya. Mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira. Ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik, apa lagi yang dibicarakan kalau bukan desas-desus tentang wanita lainnya! Memang asyik membicarakan aib atau keburukan orang lain, karena kita merasa bersih dan tinggi ketika membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya,.
Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak yang meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka dan mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja.
Daya tarik lawan jenis yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua belah pihak merasakan kegembiraan besar karena bisa saling pandang dan saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung atau menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu.
Di dalam kesempatan semacam itu, bukan mustahil dua hati akan bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal mala petaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan semacam ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita.
Seperti telah menjadi kebiasaan semenjak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sincia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sincia, orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan hingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri di dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak merasa sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dan membakar petasan seperti sedang bersaing dengan orang lain. Makin besar petasan yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati.
Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan raya kota Pao-teng, tampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan sebab boleh dibilang pada pagi hari itu semua wanita di kota Pao teng keluar rumah. Akan tetapi gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum. Bahkan beberapa pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu.
Dia adalah seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagai setangkai bunga yang sedang mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, dan ujung hidungnya yang mancung dapat bergerak-gerak, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, jika mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.
Pakaiannya dari sutera yang halus dan meski pun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukanlah seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang yang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu dia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung.
Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti yang sudah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan di antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebenarnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau dia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. Dia berhasil mengalahkan Cun Sek, lantas dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai.
Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu sute dari ayahnya, untuk mengurus perkumpulan itu. Dia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga akan mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam milik Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Ada pun ayah dan ibunya, sesudah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah.
Demikianlah perjalanan singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu dia memasuki kota Pao-teng. Dia turut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sincia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi di samping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan sedih dan juga kesepian karena dia teringat pada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai.
Pada hari Sincia, biasanya dia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas ketika berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sincia itu. Sekarang dia menyambut menjelang Sincia seorang diri saja, di tempat asing di mana dia tidak mempunyai seorang pun kenalan. Dan yang lebih mengesalkan hatinya lagi, sampai sekian lamanya dia belum dapat menemukan jejak dua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong.
Pada saat itu pula terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara mereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu adalah milik seorang yang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, juga ada selosin pasukan mengiringi kereta.
Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya tiba-tiba saja meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta menjadi terkejut, dan dua di antaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari ketakutan sambil berloncatan.
Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu semakin ketakutan, terus melonjak-lonjak sehingga kusirnya terlempar keluar dari atas kereta saking kuatnya guncangan itu! Empat ekor kuda itu lalu kabur!
Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul. Akan tetapi mereka pun tidak mampu menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik ketika melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka.
Semua orang terbelalak dan merasa khawatir melihat peristiwa itu terjadi. Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Taijin, yaitu seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar!
Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. Dia bukan lain adalah Kui Hong!
Ketika tadi dia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong segera lari menghadang dan begitu kereta itu lewat, dia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan cepat dia menyambar kendali kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sinkang-nya, dia lalu menarik kendali kuda itu.
Empat ekor kuda itu meronta, melonjak-lonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia belaka dan akhirnya, biar pun mereka itu masih meringkik-ringkik, tetapi mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka sehingga kereta itu pun berhenti.
Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang pria setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta.
Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lebam dan pakaian koyak-koyak. "Terima kasih, Nona, terima kasih...!” katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu.
Kui Hong hanya mengangguk, lalu dia pun melompat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan dia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang dia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja. .
Pembesar itu menatap kepadanya sambil mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepada pria itu juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada.
"Ahhh, kiranya Cang Taijin yang berada di dalam kereta!" serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang sangat dikaguminya dan dahulu pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana.
Sejak tadi menteri itu sudah merasa mengenal Kui Hong. Sekarang dia melangkah maju dan mendekat lalu membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, Nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana.”
Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walau pun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai seorang pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya.
“Memang kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi pemberontak Kulana...”
"Ahh, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, lihiap (pendekar wanita)?”
"Nama saya Cia Kui Hong, Taijin."
"She Cia? Ahh, sekarang aku ingat. Lihiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Lihiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan kini, lihiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang tadi sudah menyelamatkan kita. Lihiap, dia ini adalah puteraku Cang Sun."
Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam dia kecewa. Dia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, tetapi tidak memiliki wibawa dan keagungan seperti ayahnya, malah pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya.
"Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu tadi," Cang Sun berkata sambil tersenyum.
"Cia-lihiap, agaknya engkau baru saja masuk ke kota ini. Buntalan pakaianmu masih kau gendong...,” kata pembesar itu.
"Memang, baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, Taijin."
"Jika begitu, mari engkau ikut bersama kami, lihiap, menjadi tamu kami yang terhormat."
"Saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Taijin."
"Ahh, sama sekali tidak, lihiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu."
"Akan tetapi saya hendak mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja," kata Kui Hong.
Alasan ini bukan dicari-cari karena memang dia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun. Sebenarnya Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia Cia Sun sebaya dengan ayahnya, dia sudah biasa menyebutnya paman saja.
Memang hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi isteri Cia Sun yang bernama Tan Siang Wi juga merupakan seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid kongkong-nya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga telah dikenalnya dengan baik sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan pemberontak yang dipimpin Kulana. Dia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan juga hendak mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya itu.
"Ciang-si-bun? Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik pendekar Cia Sun! Hari ini kita bermalam di Pao-teng dan besok kita ke kota raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus ikut menggembirakan kami dengan merayakan Sincia di rumah kami di kota raja, lihiap."
Melihat sikap yang sangat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu, Kui Hong tidak dapat menolak lagi. Dia merasa kurang enak kalau menolak terus setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan dia pun tahu bahwa Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu telah dilihatnya sendiri ketika mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana beserta kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan!
Sesudah Kui Hong menerima undangannya, Cang Taijin merasa girang bukan main. Dia mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh puteranya, Cang Sun supaya menunggang kuda. Kemudian kereta yang dikawal itu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum.
Mereka bukan saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Taijin, dengan keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat ekor kuda, namun juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang menteri yang demikian terkenal seperti Cang Taijin…..
********************