Perasaannya terhadap wanita-wanita seperti Ji Sun Bi atau Siok Bi merupakan dorongan nafsu birahi saja yang dibangkitkan oleh sikap kedua orang wanita itu. Dan memang ada gadis-gadis yang sangat dikaguminya dan disukanya, seperti misalnya Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, akan tetapi dia pun tidak tahu apakah dia mencinta seorang di antara mereka atau tidak.
Dia ingin bebas, tidak terikat cinta dengan seorang wanita tertentu. Enak bebas, sehingga dia akan bebas pula mengagumi kecantikan setiap orang wanita yang dijumpainya tanpa merasa bahwa dia mengkhianati cintanya terhadap wanita tertentu itu!
"Jangan khawatir, adik manis. Aku tidak bermaksud yang bukan-bukan, melainkan hanya ingin bicara tentang cinta itu sendiri denganmu, mengingat bahwa engkau adalah seorang wanita sehingga pandanganmu mengenai cinta tentu berbeda kalau dibandingkan dengan pendapat seorang pria seperti aku."
"Aku masih belum mengerti, Toako. Akan tetapi bicaralah, dan aku akan mencoba untuk mengerti apa yang kau maksudkan," kata gadis itu tabah.
Dia merasa yakin bahwa pendekar ini tidak akan bicara yang bukan-bukan. Pendekar ini sendiri yang pernah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Pek Han Siong, maka tak mungkin kalau kini dia akan begitu tega untuk menyatakan cinta kepadanya!
"Begini, Ci Goat. Terus terang saja, sampai berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun sekarang ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku tidak tahu apa cinta itu dan bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Tentu saja aku hanya dapat mengira-ngira saja sehingga belum tentu benar. Sekarang aku ingin mendengar dari mulut seorang wanita, bagaimana sesungguhnya rasanya orang jatuh cinta?"
Ci Goat tersenyum lega. Pemuda ini memang aneh luar biasa! Mengajak dia berbincang-bincang tentang cinta, bukan untuk mengaku cinta. Dia sendiri pun baru sekali jatuh cinta, yaitu sekarang ini jatuh cinta kepada Pek Han Siong. Maka dia lalu mengenangkan segala perasaan yang dirasakannya selama jatuh cinta ini. Dia ingin jujur kepada Hay Hay yang ketika mengajukan pertanyaan itu kelihatan demikian sungguh-sungguh, tidak berkelakar lagi.
"Rasanya jatuh cinta? Hemmm, aku sendiri pun tidak yakin apakah pendapatku ini benar, Koko. Akan tetapi... agaknya orang yang sedang jatuh cinta akan selalu terkenang pada orang yang dicintanya. Kalau siang jadi kenangan, kalau malam jadi impian. Ingin selalu berdekatan, ingin selalu bersamanya, ingin melihat dia bahagia, ingin memiliki dan dimiliki selamanya, ingin... ahh, hanya itulah yang kuketahui."
Hay Hay memandang dan ada rasa iba di dalam hatinya. Jelas gadis ini sudah jatuh cinta kepada Han Siong, maka dapat mengatakan itu semua dan ketika mengatakan perasaan cinta itu, matanya melamun kosong dan pada saat bicara jelas bahwa perasaannya juga turut berbicara! Kasihan, gadis ini menjatuhkan benih cinta di atas tanah yang sudah ada tanamannya sehingga benih itu akan sia-sia dan tidak dapat tumbuh!
"Ahh, bagus sekali! Hampir tidak ada bedanya dengan yang kubayangkan, Goat-moi (adik Goat)! Aku setuju sekali dan agaknya memang begitulah perasaan hati orang yang tengah jatuh cinta. Sekarang aku ingin sekali tahu bagaimana pendapat seorang wanita terhadap keadaan seorang pria yang gagal dalam cintanya."
"Gagal dalam cintanya? Apa yang kau maksudkan, Toako?"
"Begini, adikku. Ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis, jatuh cinta setengah mati! Namun kemudian dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dicintanya mati-matian itu ternyata sudah mencintai seorang pemuda lain! Cintanya hanya bertepuk sebelah tangan! Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus dilakukan oleh pemuda yang gagal dalam cintanya itu? Apakah dia harus bunuh diri di hadapan gadis itu? Ataukah dia harus membunuh kekasih gadis yang dicintanya itu?"
Gadis itu mengerutkan sepasang alisnya dan sinar matanya berkilat seperti orang marah, tanda bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat itu.
"Ihhh…! Mengapa dia harus membunuh diri atau membunuh kekasih gadis itu? Itu adalah perbuatan yang bodoh dan jahat!” jawabnya hampir berteriak.
Hay Hay menyembunyikan senyum dari bibir dan matanya. Dia memandang dengan sikap penasaran. "Lho! Kenapa bodoh dan jahat, Goat-moi? Bukankah pemuda itu menjadi sakit hati karena cintanya ditolak dan gadis itu memilih pemuda lain?"
"Hati boleh sakit, akah tetapi pikiran harus tetap waras! Mana ada cinta yang dipaksakan oleh sepihak jika pihak lawan tidak menyambutnya? Cinta harus timbul dalam hati kedua pihak, baru jadi! Kalau gadis itu menolak cintanya karena sudah mencintai pemuda lain, maka gadis itu tidak bersalah dan kekasihnya juga tiak bersalah. Kenapa harus dibunuh? Dan pemuda yang putus cinta lantas membunuh diri adalah seorang yang bodoh dan tolol! Di dunia ini masih banyak sekali terdapat gadis-gadis yang mungkin lebih cantik dari pada yang dicintanya, yang siap untuk menyambut cintanya itu. Eh, Toako... apakah... apakah engkau pemuda itu? Maafkan aku...”
Hay Hay tertawa dan dari suara ketawanya saja tahulah Ci Goat bahwa pemuda itu bukan Hay Hay, maka hatinya terasa lega sekali. "Syukurlah kalau bukan engkau, Tang-toako!" sambungnya.
"Kita hanya mengobrol saja tentang cinta dan liku-likunya, tidak menyinggung seseorang. Pendapatmu tadi memang tepat dan agaknya cocok sekali dengan pendapatku sendiri."
"Tang-toako, betapa pun juga... aku merasa kasihan sekali terhadap pemuda itu. Aku tahu siapa yang kau maksudkan itu dan aku merasa amat kasihan. Sungguh luar biasa sekali, bagaimana ada seorang gadis yang dapat menolak seorang pria seperti dia untuk menjadi suaminya...! Ahhh, betapa dia mencinta gadis itu, namun gadis bodoh itu justru menolak cintanya... apakah dia telah mencintai laki-laki lain?"
Melihat gadis itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, Hay Hay mengerutkan alisnya dan memandang dengan penuh perhatian. "Heii, Goat-moi, apa yang kau bicarakan itu? Siapa yang kau maksudkan dengan pemuda itu?"
"Aih, engkau masih pura-pura tidak tahu, Toako? Sebagai seorang sahabat baiknya, tentu engkau sudah tahu bahwa yang kumaksudkan ialah toako Pek Han Siong. Tunangannya itu menolak untuk menjadi istrinya."
Tentu saja Hay Hay tidak tahu akan hal ini, akan tetapi dengan cerdik dia mengangguk. "Ahh, benar, tentu saja aku tahu mengenai hal itu, hanya tidak kusangka bahwa ternyata dia sudah bercerita tentang hal itu kepadamu, karena itu aku tadi tidak menyangka bahwa engkau maksudkan dia. Sekarang sebaiknya kita tidak membicarakan orang lain dan kita melanjutkan obrolan kita tentang cinta."
Gadis itu tersenyum. "Bicaralah, Toako. Agaknya engkau memang seorang yang sangat memperhatikan tentang cinta."
"Tentu saja, adik manis. Apa artinya hidup tanpa cinta? Bila kita pikir secara mendalam, tanpa adanya cinta, engkau dan aku tidak akan terlahir di dunia ini!" Hay Hay tertawa dan biar pun mukanya berubah merah mendengar ucapan yang penuh arti itu, mau tidak mau Ci Goat juga tertawa.
"Persoalan cinta apa lagi yang hendak kau kemukakan, Toako?" Dia mulai tertarik dengan percakapan tentang cinta ini, hal yang tentu saja sangat menjadi perhatiannya karena dia sendiri pun sedang dilanda cinta.
"Masih persoalan yang tadi, akan tetapi kini peranannya dibalik. Sekarang seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria, tetapi ternyata bahwa pria itu tidak dapat menerima cintanya, atau menolak cintanya karena pria itu telah memiliki pilihan hati, telah mencinta seorang gadis lain. Nah, kalau demikian keadaannya, lalu apa yang harus dilakukan gadis itu?"
Sejenak gadis itu memandang wajah Hay Hay dan pemuda ini pun balas memandang. Dua pasang mata saling menatap dan Hay Hay melihat betapa sinar mata itu meredup, wajah itu memucat dan betapa bola mata yang bening itu menjadi basah. Biar pun mulut gadis itu masih tersenyum, namun senyum itu membuat dia merasa jantungnya bagaikan disayat, membuat dia ingin merangkul dan menghiburnya karena dia tahu bahwa gadis itu sudah mengerti, bahwa gadis itu merasa betapa hatinya ditusuk-tusuk. Suaranya gemetar dan mata itu menunduk, bibir itu menggigil ketika akhirnya dia berkata,
"Tang-toako, tolonglah... tolong engkau saja yang mengatakan, apa yang harus dilakukan gadis itu dalam keadaan seperti itu? Bunuh diri? Atau mencukur gundul rambutnya lantas menjadi nikouw (pendeta wanita)? Katakanlah, Toako, dan aku akan mempertimbangkan kata-katamu...”
"Bunuh diri? Menjadi nikouw? Hanya gadis tolol dan bodoh yang akan melakukan hal itu, Goat-moi! Seperti kau katakan tadi. Cinta tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan! Kalau memang pemuda itu tidak dapat membalas cintanya karena telah mencinta gadis lain, berarti dia tidak berjodoh dengan pemuda itu! Dan dia tidak perlu terlalu berduka atau putus asa. Dunia bukan sebesar buah appel! Di dunia ini masih ada jutaan pemuda yang mungkin lebih segala-galanya dari pada pemuda yang tidak dapat membalas cintanya itu! Maka gadis itu harus dapat melupakan pemuda itu, hidup bebas dan mentertawakan saja kegagalan cintanya, menganggapnya sebagai suatu pengalaman hidup! Habis perkara!"
Akan tetapi Hay Hay melihat betapa gadis itu menahan-nahan air matanya, betapa bibir itu gemetar dan suara itu sukar sekali keluarnya seakan lehernya tercekik ketika Ci Goat bertanya,
"Toako... apakah dia masih mencinta gadis yang telah menolaknya itu?”
Sepasang mata itu kini nampak seperti mata kelinci yang ketakutan, seperti mata yang penuh harap akan pertolongan, dan air yang tadi menggenang di pelupuk mata, kini mulai menetes turun, seperti dua butir mutiara perlahan menuruni kedua pipi yang agak pucat itu.
Hay Hay merasa terharu sekali, merasa lehernya seperti dicekik sehingga dia tak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi, biar pun dia tidak tahu benar akan hubungan Han Siong dengan gadis kekasihnya ini, dia langsung mengambil kesempatan untuk berterus terang bahwa Han Siong tidak dapat menerima cinta Ci Goat. Maka dia pun lantas mengangguk, anggukan tanpa kata yang dengan amat tajamnya membabat putus tali harapan Ci Goat, dan dia pun menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Hay Hay memandang dengan hati bagaikan diremas. Melihat betapa gadis itu mengguguk dan air mata mengalir keluar melalui celah jari-jari kedua tangan yang menutupi muka, di luar kesadarannya dia pun bangkit dan menghampiri Ci Goat, lalu duduk di sampingnya di atas bangku, merangkul pundaknya dan berkata lembut,
"Sudahlah, Ci Goat, kuatkan hatimu... tenangkan pikiranmu...”
Sentuhan lembut dan kata-kata halus itu seperti membuka bendungan di hati Ci Goat. Dia menjerit dan merangkul, lalu menangis tanpa terbendung lagi, sesenggukan di atas dada Hay Hay!
Pemuda ini memeluk, membenamkan wajahnya di kepala yang penuh rambut halus itu, tangannya mengelus pundak dan kepala, penuh rasa sayang dan iba seperti menghibur seorang adiknya sendiri.
Karena hatinya diliputi keharuan yang mendalam, Hay Hay kehilangan kewaspadaannya dan dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada tiga pasang mata yang mengamatinya dari jauh. Tiga pasang mata yang mencorong tajam dan penuh kekuatan sihir! Mata tiga orang pendeta Lama yang agaknya sudah selesai melakukan pembicaraan dengan Han Siong dan kini mereka meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat tinggal Ouw Lok Khi.
"Hemmm, pasangan yang cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan dan gagah!" kata Pat Hoa Lama.
"Omitohud!" kata Janghau Lama. "Apakah engkau tergerak dan merasa iri melihat adegan itu, Sute?"
"Aih, ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)! Bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Pinceng hanya mengatakan bahwa mereka itu pasangan yang cocok dan...”
"Ssttt, kalian jangan ribut dan jangan bertengkar.” Gunga Lama mencela dua orang adik seperguruannya. "Kita tadi melihat betapa lihainya pemuda itu. Hemm... sungguh sebuah kesempatan yang baik sekali. Dua orang pemuda itu harus dipisahkan dahulu, baru kita dapat membawa Sin-tong ke Tibet tanpa halangan!"
"Bagaimana caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik seperguruan itu.
"Ssttt, serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!"
Sementara itu, Ci Goat baru merasa lega setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya melalui tangis yang tidak terbendung lagi sampai baju pada bagian dada Hay Hay basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya. Sekarang tangisnya itu hanya tinggal isak saja.
Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepala gadis itu. "Nah, apakah sekarang air matamu telah habis, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong ini harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tidak berbekas lagi. Lebih baik engkau menangis sepuasmu seperti ini dari pada engkau membunuh diri seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul, rambutmu yang indah akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali, lucu dan jelek!"
Kata-kata itu seperti mengusir sisa-sisa isak di dada Ci Goat. Dia segera melepaskan diri dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit.
"Terima, kasih, Toako, terima kasih. Engkau benar-benar merupakan sahabat dan seperti seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia... Pek-toako, tahu bahwa engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?"
Hay Hay mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku supaya aku menyampaikan kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu."
"Ohhh... , tapi... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku... ?"
"Dia tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa."
Gadis itu mengangguk perlahan, kemudian menarik napas panjang. "Pek-toako memang seorang yang berwatak budiman, dan... engkau juga, Toako. Semoga kalian berdua akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan isteri pilihan hati masing-masing."
Hay Hay merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan dia pun mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja akan tetapi dengan sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan dia pun bangkit berdiri, sepasang matanya agak basah.
"Engkau juga, Goat-moi. Engkau adalah gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis seperti engkau ini kelak pasti akan memperoleh seorang suami yang amat baik!"
Tadinya Ci Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih kemudian ditarik oleh pemuda itu. Akan tetapi, ketika dia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya dengan lembut, seperti ciuman dari seorang kakak atau seorang sahabat baik, ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu birahi, hatinya menjadi terharu dan dia pun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Sekarang mereka bangkit, keduanya melangkah mundur dan saling pandang.
"Haiiii, adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo lekas perlihatkan! Tidak baik kalau hari hujan melulu, telah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua. Sayang sekali kalau kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput, bukan?"
Mendengar ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Bibirnya saja tersenyum, akan tetapi matanya masih mata yang penuh tangis walau pun air matanya sudah habis tertumpah.
"Aku akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, Toako. Setiap kali berduka, aku akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan dia pun membalikkan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong.
Dia langsung teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu sesudah mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka masih belum selesai dengan percakapan mereka?
Memang dia telah menaruh kecurigaan. Maka, setelah Ci Goat meninggalkannya, dia pun cepat-cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang lebar. Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya sambil tersenyum ramah.
"Tang-taihiap, kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan," katanya.
Hay Hay memandang kepadanya dengan hati bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata demikian?
"Paman, agaknya paman belum mengenal betul watak puterimu sendiri. Dia adalah gadis yang berhati tabah, karena itu aku yakin dia mampu menghadapi serta mengatasi segala kedukaannya. Oh ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama tadi? Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han Siong?"
"Mereka sudah pergi. Percakapan dengan Pek-taihiap berlangsung di ruangan belakang dan tidak terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali."
"Hemm, di manakah Han Siong sekarang, Paman?"
"Di dalam kamarnya."
Hay Hay lalu memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han Siong dan Hay Hay masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang yang jendelanya menembus kebun.
"Tok-tok-tok!" Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.
"Siapa?" terdengar suara Han Siong.
"Aku, bolehkah aku masuk?"
Hening sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay Hay!"
Hay Hay mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa, akan tetapi Han Siong nampak rebah terlentang di atas pembaringannya. Begitu dia masuk, Han Siong langsung bangkit duduk, nampaknya malas-malasan.
"Heii, Han Siong apa yang telah terjadi?"
"Tidak terjadi apa-apa...,” jawabnya, nampak tak bersemangat.
"Ehhh? Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!"
Hay Hay mendekatinya, lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang. Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda yang tak wajar atau tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu hitam yang sangat kuat, yang mampu mematahkan pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda bahwa sahabatnya itu sedang berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak menderita luka.
"Sudahlah, Hay Hay. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang membuat aku termenung sejak tadi, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi. Aku menjadi ragu dan bingung...”
Hay Hay menarik sebuah kursi lantas duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan pembaringan. Mereka saling pandang, kemudian Hay Hay berkata dengan suara sungguh-sungguh, tidak berkelakar seperti biasa.
"Dengar, Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci Goat, dan telah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis lain."
"Ahhh... dan dia... dia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh iba dan gelisah.
"Dia seorang gadis tabah, Han Siong. Dia dapat menghadapi kenyataan yang bagaimana pun juga. Jangan khawatir, dia tidak akan membunuh diri, dia tidak akan menjadi nikouw, dan dia pun dapat melihat bahwa di dunia ini masih terdapat banyak sekali pemuda hebat yang akan dapat menyambut cintanya. Dia bisa mengatasi kedukaan dan patah hati, Han Siong."
"Syukurlah kalau begitu! Terima kasih, Hay Hay, aku sungguh merasa kasihan padanya. Terima kasih."
"Aku tidak butuh terima kasih darimu, Han Siong, melainkan butuh keterangan mengenai tiga orang pendeta Lama tadi. Nah, sesudah aku melaksanakan tugas yang berat darimu, sekarang kau ceritakanlah apa saja yang kau bicarakan dengan tiga orang pendeta Lama itu."
Han Siong tersenyum, akan tetapi Hay Hay melihat betapa wajah itu masih diliputi dengan keraguan dan kehampaan. "Tiga orang pendeta Lama itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama sendiri, Hay Hay. Menurut mereka, tanpa disengaja mereka mendengar disebutnya namaku sebagai Sin-tong ketika engkau berjumpa dengan aku dan menyebutnya secara main-main. Menurut mereka, sudah bertahun-tahun mereka ditugaskan untuk mencariku tanpa hasil sehingga mereka tidak berani kembali ke tibet. Setelah bertemu dengan aku, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berani memaksaku kalau aku tidak mau pergi ke Tibet bersama mereka untuk menghadap Dalai Lama. Mereka mohon kepadaku agar aku suka menolong mereka sehingga mereka akan berani berani pulang dan tidak takut dengan hukuman dari Dalai lama…” Sampai di sini Han Siong berhenti.
“Pertolongan apa yang mereka harapkan darimu, Han Siong?” tanya Hay Hay tak sabar lagi.
“Mereka minta beberapa tetes darahku...”
“Ahhh…! Untuk apa? Jangan kau berikan!”
“Mereka itu memohon kepadaku. Tadinya aku juga tidak mau dan aku bertanya untuk apa mereka minta darahku. Mereka lalu mengatakan bahwa mereka akan membohongi Dalai Lama yang sejak dulu tidak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan diriku. Mereka akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajak ke Tibet sehingga terjadi perkelahin dan akhirnya aku tewas di tangan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa tetes darahku kepada Dalai Lama sebagai bukti bahwa aku telah mati,."
"Bohong itu! Ketika mereka tiba di sana, beberapa tetes darah itu tentu sudah kering, lagi pula, bagaimana mungkin Dalai Lama akan dapat mengenal darahmu?"
"Tadi aku juga berkata persis seperti yang kau katakan itu, Hay Hay. Aku tetapi mereka menjawab bahwa walau pun darah itu sudah mengering, akan tetapi masih dapat dikenal karena meski pun sudah kering, darahku berbeda dengan darah orang biasa, darah biasa merah, dan darahku... putih!"
"Bohong! Omong kosong! Aku tidak percaya! Kalau darahmu putih, tentu engkau akan nampak pucat seperti mayat yang menyeramkan!"
"Aku pun tadinya tidak percaya, akan tetapi mereka dapat membuktikannya, Hay Hay!"
"Membuktikan bahwa darahmu putih?"
Han Siong mengangguk. "Mereka lalu mengeluarkan sebotol air yang mereka namakan air suci dari Tibet, kata mereka air itu keluar dari sebuah sumber di sana, dan air itulah yang akan menunjukkan keaslian darahku. Seorang dari mereka lalu menusuk jari telunjuknya dengan jarum, mengeluarkan darahnya sendiri beberapa tetes. Ketika darah itu ditetesi air dari botol, warnanya tetap merah, bahkan semakin merah. Kemudian aku diminta untuk mengeluarkan beberapa tetes darah dari telunjukku. Karena aku juga ingin tahu, kutusuk telunjukku, kukeluarkan beberapa tetes darah seperti yang dilakukan oleh Pat Hoa Lama. Darahku yang beberapa tetes itu lalu ditetesi air dari botol dan... seketika berubah putih seperti kapur!"
"Ihhh! Itu tentu sihir!"
"Bukan, Hay Hay. Aku pun menyangka demikian maka aku tetap waspada. Kalau mereka menyihirku, tentu aku akan merasakan hal itu. Tidak ada pengaruh sihir sama sekali!"
"Lalu bagaimana?"
"Melihat bukti itu, dan merasa kasihan bahwa sudah belasan tahun mereka tidak berani pulang, apa lagi yang diminta hanyalah beberapa tetes darah saja, aku lalu mengeluarkan beberapa tetes lagi dari ujung telunjukku. Mereka menampungnya dan membawa darah itu."
"Tetapi mengapa bukan yang sudah dicampur air dan menjadi putih itu saja yang mereka bawa?"
Han Siong tersenyum. "Aneh sekali, Hay Hay. Semua yang kau tanyakan itu sama benar dengan yang kutanyakan kepada mereka! Aku pun bertanya demikian lalu mereka berkata bahwa Dalai Lama harus diyakinkan dengan darah murni yang belum dicampuri air suci. Dalai Lama sendiri yang akan menguji bahwa darah itu adalah darahku agar dia percaya bahwa aku telah tewas dan dia tidak akan mencariku lagi. Sebetulnya, yang terakhir inilah yang mendorongku memenuhi permintaan mereka, Hay Hay. Aku ingin sekali bebas dan tidak dikejar-kejar lagi. Lagi pula, apa artinya beberapa tetes darah itu?"
"Hemm... hemm..., aku sendiri tidak tahu apakah beberapa tetes darahmu itu ada artinyal Akan tetapi siapa tahu? Orang-orang seperti mereka itu sungguh sulit dimengerti. Mereka orang aneh dan tidak lumrah manusia. Akan tetapi sudahlah. Engkau sudah memberikan sedikit darahmu, tak dapat ditarik kembali. Akan tetapi, kenapa sekarang engkau nampak termenung dan engkau tadi mengatakan bahwa engkau ragu dan bingung! Nah, apa lagi maksudmu?"
"Tentang darahku itu, Hay Hay. Bukan mengenai darahku yang mereka bawa pergi, akan tetapi kenapa darahku putih! Benarkah itu? Hal itulah yang membuat aku termangu-mangu dan bingung. Benarkah darahku aslinya putih dan berbeda dengan manusia lain? Hal ini yang menggelisahkan hatiku...”
Hay Hay tersenyum. Melihat bahwa memang tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan, maka kembali sudah wataknya yang jenaka dan suka bergurau.
"Aih, biar putih atau biru atau hitam sekali pun, apa bedanya, Han Siong? Kulihat engkau juga seperti manusia biasa. Mungkin darah putihmu itulah yang membuat engkau disebut Sin-tong! Aku sendiri belum percaya benar kepada mereka itu. Kalau engkau yakin bahwa mereka tidak main-main dengan sihir, tentu yang mereka sebut air suci itu adalah air yang mengandung obat tertentu. Akan tetapi andai kata mereka berbohong, apa pula maksud mereka? Yang jelas, mereka sudah pergi dan engkau tidak diganggu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi, namun engkau jangan meninggalkan kewaspadaan. Dan kukira tidak ada lagi urusan kita di rumah ini sesudah permintaanmu itu kulaksanakan dengan hasil baik."
Han Siong tetap saja terlihat lesu. "Aku gembira sekali mendengar bahwa urusan itu telah kau selesaikan dengan baik, Hay Hay. Akan tetapi sebaiknya kita jangan pergi sekarang. Pertama, aku masih merasa malas dan ingin beristirahat dulu, yang ke dua, kita sudah menerima undangan paman Ouw, maka tidak baik kalau pergi sekarang. Setidaknya, malam ini kita bermalam di sini dan baru besok aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Baiklah, aku juga belum sempat mengobrol denganmu. Ingin kuketahui pengalaman apa saja yang kau hadapi semenjak kita berpisah, dan mengapa pula engkau berada di sini, dari mana hendak kemana...”
“Ah, lain kali sajalah, Hay Hay. Biarkan aku mengaso sekarang, aku ingin beristirahat. Biar besok pagi kita berjumpa lagi...”
“Heiii! Benar yakinkah engkau bahwa tidak terjadi sesuatu apa pun dengan dirimu?” Hay Hay masih bertanya ketika dia sudah melangkah ke ambang pintu.
“Tidak, sungguh tidak apa-apa, Hay Hay!” jawab Han Siong tegas.
Hay Hay menggerakkan kedua pundaknya, lalu keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar. Kalau saja Hay Hay tahu! Dan kalau saja Han Siong tahu. Dua orang pemuda sakti itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu terjadi sesuatu yang amat membahayakan diri Han Siong…..!
********************
Tiga orang pendeta Lama itu kini berada di sebuah bangunan kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi, yang terletak di lereng sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Hari sudah mulai sore dan mereka duduk bersila di atas lantai dari ruangan dalam kuil tua itu yang sudah mereka bersihkan.
"Mari segera kita mulai," kata Gunga Lama sambil mengeluarkan beberapa buah barang dari dalam saku jubahnya yang lebar. Ada tasbeh dari tulang manusia, sebuah tengkorak kecil sebesar kepalan tangan, ada seikat gumpalan rambut dan tali hitam, ada pula batu kapur dan buntalan-buntalan kain kecil yang bertuliskan huruf-huruf kuno yang aneh, yaitu jimat-jimat. Semua ini dikeluarkannya satu demi satu dan ditaruhnya di atas lantai.
Terakhir dia mengeluarkan sebuah buntalan yang terisi segumpal kapas yang putih. Akan tetapi merah oleh darah. Darah Han Siong! Darah itu sudah dihisap dan ‘disimpan’ dalam kapas itu.
"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), kenapa kita harus menggunakan cara bersusah-payah seperti ini? Ketika kita bertemu dengan dia, jika kita langsung saja menyergapnya, apa sih sukarnya menangkap orang muda itu?" tanya Pat Hoa Lama yang merasa tidak puas melihat cara yang dipergunakan Gunga Lama yang dianggapnya merepotkan dan tidak praktis.
"Hemm, apa bila hal itu kita lakukan, ada kemungkinan kita akan gagal, Sute. Sin-tong itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi dan meski pun kita bertiga tentu saja tidak perlu takut menghadapinya, tetapi kalau kita tidak dapat mengalahkannya kemudian terdengar oleh pemuda yang berpakaian biru itu, maka keadaan bisa berbahaya untuk kita. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali."
"Akan tetapi, Suheng. Kita bisa mempergunakan kekuatan sihir untuk menundukkan Pek Han Siong!" Janghau Lama juga membantah.
"Wah, seperti kalian tidak tahu saja! Pek Han Siong adalah Sin-tong. Hal itu saja sudah menyulitkan kita untuk mempergunakan sihir, karena di dalam dirinya sudah ada kekuatan ajaib, ditambah lagi dia telah mempelajari ilmu sihir. Lihat saja sinar matanya. Terlebih lagi pemuda yang bernama Tang Hay itu! Apakah kalian tidak melihat betapa dia mengusir tiga orang Pek-lian-kauw itu dengan kekuatan sihirnya yang ampuh? Menggunakan sihir secara berterang akan lebih berbahaya lagi. Sekarang kita tempuh jalan yang aman dan hasilnya pasti memuaskan. Kita harus membuat dua orang pemuda itu bermusuhan dan berpisah, barulah kita dapat turun tangan. Nah, cukup sudah kata-kata ini, bahkan terlalu banyak. Sekarang mari kita bekerja. Lihat, sinar matahari mulai suram, saat yang terbaik untuk mempergunakan tenaga kegelapan.”
Tiga orang pendeta itu duduk berjajar dan Gunga Lama mulai membuat coretan-coretan dengan batu kapur di atas lantai. Ada beberapa macam guratan aneh berupa lingkaran lebar yang diisi lingkaran-lingkaran kecil lainnya, dan pada beberapa sudut diberi gambar tengkorak. Tengkorak kecil lantas diletakkan di tengah-tengah lingkaran, kemudian kapas dengan darah Han Siong diletakkan di atas tengkorak itu, pada ubun-ubunnya. Beberapa batang lilin dinyalakan, dan dibakar pula dupa yang mengepul tebal.
Tiga orang pendeta yang duduk bersila itu kemudian mempergunakan tasbeh, membaca mantera dan doa dalam bahasa Tibet kuno yang aneh didengar. Gunga Lama yang duduk di tengah dan memimpin upacara sembahyang itu, beberapa kali menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas dupa berasap, dengan tasbeh digenggam. Kemudian ditariknya sejumput kapas lantas dibakarnya kapas yang mengandung darah Han Siong itu di atas dupa membara.
Terdengar letupan kecil dan muncul nyala api yang hanya sebentar saja menjilat ke atas. Sementara itu matahari sudah tenggelam ke barat dan ketiga orang pendeta itu semakin dalam saja tenggelam di dalam kesibukan mereka…..
********************