Si Kumbang Merah Jilid 20

Akan tetapi, di kamar permaisuri terjadi hal yang amat aneh. Ketika itu permaisuri sedang rebah sambil tersenyum-senyum penuh kemenangan dan membayangkan betapa selir itu tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman, dan dayangnya terkasih sedang memijati kakinya sambil mengantuk. Tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di kamar itu telah berdiri seorang wanita setengah tua.

Dayang itu hendak berteriak, akan tetapi wanita itu telah meraba tengkuknya dan dia pun menjadi lemas tak mampu berteriak atau bergerak lagi. Wanita itu lalu merenggut gelang yang dipakai oleh dayang itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Kemudian dia menghampiri permaisuri yang juga sudah bangkit duduk dan memandang dengan kedua mata terbelalak.

Melihat permaisuri itu hendak menjerit pula, nenek yang bukan lain adalah Si Kumbang Merah cepat berbisik, "Harap jangan berteriak kalau Paduka sayang akan nyawa Paduka! Dengar baik-baik, hamba adalah seorang laki-Iaki... sstt, Paduka tidak perlu takut. Hamba tidak akan mengganggu Paduka, dan malam ini Paduka harus rnelindungi hamba. Hamba akan berada di sini dan Paduka katakan kepada sribaginda bahwa hamba adalah seorang ahli pijat yang sengaja Paduka panggil ke sini. Ingat, apa bila Paduka membuka rahasia sehingga hamba ketahuan kalau hamba laki-Iaki, maka hamba akan membuat pengakuan bahwa hamba adalah kekasih paduka."

Sepasang mata itu terbelalak, apa lagi pada saat itu tangan Si Kumbang Merah bergerak cepat dan tahu-tahu kalung yang berada di lehernya telah dirampas oleh ‘nenek’ itu.

"Kalung ini, seperti juga gelang milik dayang ini, akan menjadi bukti bahwa hamba sudah menjadi kekasih Paduka yang Paduka selundupkan ke dalam kamar ini."

"Kau... kau sungguh tak tahu malu, hendak melempar fitnah kepadaku! Siapakah engkau sebenarnya?"

"Paduka tidak perlu tahu. Hamba hanya minta supaya malam ini dilindungi dan besok diperbolehkan keluar dengan aman atau... nama baik Paduka akan ternoda. Semua orang akan percaya pada hamba, dan semua selir akan suka bersumpah bahwa hamba adalah kekasih paduka!"

"Ihh...! Kau... kau... jahanam yang menodai istana, berjinah dengan para selir dan dayang itu! Engkau Tang-ciangkun!" Wanita bangsawan itu tiba-tiba menjadi pucat. "Jangan kau berani menggangguku! Aku akan menjerit, aku akan bunuh diri, aku...”

"Jangan khawatir. Hamba tidak akan mengganggu Paduka. Selama ini hamba juga tidak pernah mengganggu para selir dan dayang. Bahkan hamba telah menolong mereka yang kehausan...”

"Tutup mulutmu yang kotor!"

"Sekali lagi, kalau Paduka membuka rahasia hamba, maka hamba pasti akan bersumpah menjadi kekasih Paduka. Mungkin hamba akan dihukum mati, akan tetapi nama Paduka akan menjadi cemar sampai tujuh turunan!"

Pada saat itu pula terdengar suara di luar dan Si Kumbang Merah cepat membebaskan totokan pada dayang itu, lantas berbisik, “Engkau sudah mendengar semuanya. Hayo kau tidur di sudut sana, dan kau akui bahwa aku adalah seorang ahli pijat yang dipanggil oleh majikanmu!"

Dayang itu hanya mampu mengangguk-angguk, lantas dia cepat merebahkan diri di sudut kamar itu dan pura-pura tidur. Ia takut bukan main, akan tetapi dia pun tahu bahwa seperti juga majikannya, kini dia sudah berada dalam cengkeraman pria yang menyamar sebagai wanita itu, pria yang dia tahu adalah Tang Ciangkun! Gelangnya telah dirampas dan kalau pria itu tertangkap lalu membuat pengakuan bahwa dia telah menerima gelang itu sebagai hadiah dari kekasih, tentu dia akan celaka, akan digunduli dan dipaksa menjadi nikouw!

Ketika kaisar memasuki kamar permaisurinya dengan wajah muram dan bersungut-sungut karena hatinya tidak senang, dia merasa heran saat melihat seorang wanita setengah tua memijati pinggul permaisurinya.

Dapat dibayangkan betapa marah rasa hati permaisuri itu pada waktu ‘nenek’ itu memijati pinggulnya dengan tekanan-tekanan dua tangannya, hangat dan mesra. Namun terpaksa dia menekan kemarahannya karena harus diakuinya bahwa tekanan-tekanan itu memang pijitan seorang ahli sehingga otot-otot pinggul dan punggungnya kini terasa nyaman!

Wanita setengah tua itu cepat-cepat berlutut saat kaisar memasuki kamar dan mendekati pembaringan.

“Hemm, siapakah wanita ini?” Kaisar bertanya kepada permaisurinya yang sudah bangkit dan memberi hormat pula kepadanya.

Si Kumbang Merah yang masih berlutut itu sudah bersiap-siap untuk meloncat kemudian melarikan diri kalau permaisuri itu membuka rahasianya. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika permaisuri itu menjawab dengan suara sambil lalu.

"Ahh, dia adalah seorang ahli pijat dari luar istana yang kabarnya sangat pandai. Karena hamba sedang merasa lelah dan tak enak badan, maka hamba memanggilnya ke sini dan memang dia pandai sekali." Permaisuri lalu menggandeng tangan kaisar dan dibawanya duduk di atas kursi kesukaan Sribaginda, di dekat meja. Dengan lembut dia lalu bertanya, "Bagaimanakah dengan penyelidikan Paduka?"

"Hemm, tidak kutemukan siapa-siapa di kamarnya. Malah dia rebah dalam keadaan sakit! Agaknya engkau hanya menduga yang bukan-bukan saja!"

Permaisuri itu segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut, "Kalau begitu, ampunkan hamba. Sesungguhnya hamba selalu merasa khawatir kalau peristiwa seperti yang dilakukan oleh Hwee Lan sampai terulang kembali. Hamba khawatir jika nama besar Paduka sampai ternoda."

"Hemm, jangan bicara dulu jika belum ada bukti yang nyata. Engkau hanya mengganggu pikiranku saja dan kini aku menjadi lelah karena kurang tidur. Ahhh, benarkah dia pandai memijit? Biar kau suruh dia memijati tubuhku yang terasa lelah sekali," kata Kaisar sambil menuding ke arah wanita setengah tua yang masih berlutut di atas lantai.

Tentu saja permaisuri merasa khawatir sekali, akan tetapi dia pun tak berani membantah karena khawatir kalau rahasia nenek itu ketahuan. Maka terpaksa dia lalu membereskan pembaringan dan setelah membantu kaisar rebah di atas pembaringan, dia lalu menyuruh nenek itu memijati tubuh kaisar .

Akan tetapi Si Kumbang Merah sama sekali tak merasa khawatir. Dia adalah seorang ahli silat tinggi, pandai ilmu menotok jalan darah dan sudah hafal tentang kedudukan otot-otot dan urat-urat, tahu betul cara pengobatan dengan urut dan pijit. Maka tanpa ragu-ragu dia pun lalu memijati tubuh kaisar, dimulai dari kedua kaki, terus naik ke pinggul, punggung, kedua lengan dan leher.

Lega rasa hati permaisuri setelah mendengar Sribaginda mengeluarkan kata-kata memuji dan merasa keenakan, bahkan tidak lama kemudian Sang Kaisar sudah tertidur nyenyak sekali!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, permaisuri menyuruh Si Kumbang Merah untuk menghentikan pijitannya. "Engkau boleh pergi sekarang, biar diantar keluar oleh pengawal kepercayaanku," katanya.

Si Kumbang Merah tersenyum sambil memberi isyarat berkedip kepada permaisuri dan dayangnya, lalu memberi hormat dan mengikuti dua orang thai-kam pengawal yang sudah diberi perintah oleh permaisuri itu. Dengan aman, karena dikawal oleh dua orang thai-kam pengawal kepercayaan permaisuri, dia telah keluar dari daerah terlarang itu.

Semenjak terjadinya peristiwa itu, Si Kumbang Merah semakin leluasa mengaduk-aduk daerah terlarang itu, bagaikan seekor kumbang yang dengan bebasnya beterbangan di antara bunga-bunga pilihan di taman istana, menghisap madu dari satu ke lain kembang sesuka hatinya! Permaisuri sama sekali tak berdaya, bahkan permaisuri itu sudah merasa berterima kasih bahwa Si Kumbang Merah tidak memaksa dia untuk rnenjadi kekasihnya pula! Akan tetapi dayangnya tidak terlepas dari sengatan kumbang rnerah yang nakal itu.

Bahkan para thai-kam pengawal yang tadinya setia kepada permaisuri, kini semua telah tunduk di bawah kekuasaan Si Kumbang Merah dan tentu saja hal ini pun terjadi melalui sang permaisuri yang merasa tidak berdaya di bawah ancaman Si Kumbang Merah yang telah rnenguasainya dengan menyimpan kalung dan beberapa barang perhiasan lainnya.

Benda-benda ini merupakan senjata ampuh, membuat sang permaisuri bertekuk lutut tak berdaya karena sekali saja Si Kumbang Merah memperlihatkannya kepada orang lain dan mengatakan bahwa dia menerimanya dari sang permaisuri sebagai hadiah, maka istana, bahkan seluruh negeri akan geger! Tentu nama permaisuri itu akan langsung terseret ke dalam lumpur sebagai seorang permaisuri yang menyimpan seorang kekasih gelap…..!

********************

Kita tinggalkan dahulu Si Kumbang Merah Tang Bun An yang sedang mabok kesenangan dan menjadi seperti ayam jantan tunggal di antara ayam ayam betina di harem kaisar! Dia telah kembali pada kehidupannya yang dulu lagi, walau pun terdapat banyak perbedaan.

Dulu dia suka merusak wanita, memperkosa, membunuh, lalu meninggalkannya sesudah wanita itu mengandung, sambil di dalam hati mentertawakan wanita yang pada dasarnya menimbulkan rasa dendam kebencian padanya. Kini, agaknya dia hanya menuruti nafsu, mencari senang tanpa rasa benci kepada wanita-wanita itu.

Kita tinggalkan dulu tokoh itu dan mengikuti perjalanan seorang di antara puteranya, yaitu Tang Cun Sek. Setelah melarikan diri dari Cin-ling-san, pemuda yang usianya sudah tiga puluh tahun itu lalu mengembara. Dia seorang pemuda tinggi besar dan gagah. Wajahnya yang berkulit putih itu nampak tampan. Kedua matanya tajam mencorong, sikapnya halus dan dia adalah seorang yang sangat pendiam.

Seperti sudah kita ketahui, Tang Cun Sek juga mengalami nasib yang sama dengan para keturunan Si Kumbang Merah. Dahulu ibunya menyerahkan diri karena rayuan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) itu, dan setelah ibunya mengandung, maka Si Kumbang Merah meninggalkan ibunya dan tidak pernah muncul lagi.

Ibunya menikah lagi dengan seorang hartawan Thio dan menjadi selirnya. Sebagai anak tiri hartawan Thio, kehidupan Cun Sek cukup baik, menerima pendidikan dan tidak sampai terlantar. Akan tetapi, dasar dia memiliki watak yang kotor, ketika dia berusia enam belas tahun dia bergaul dengan para pemuda yang tidak karuan dan dia berani berjinah dengan dua orang selir ayah tirinya sendiri. Dia tertangkap basah lalu diusir. Tang Cun Sek pergi setelah berhasil mencuri banyak emas dari gudang harta ayah tirinya.

Akan tetapi dia sangat cerdik sehingga akhirnya dia berhasil menyelundup ke Cin-ling-pai lalu menjadi murid dan anggota perkumpulan para pendekar itu. Bahkan bukan itu saja, dia mampu merayu dan menundukkan hati kakek Cia Kong Liang sehingga dia disayang dan dari kakek itu dia menerima banyak ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai.

Demikian pandainya dia mengambil hati orang tertua dari Cin-ling-pai itu sehingga bukan saja dia disayang, akan tetapi oleh kakek itu juga dicalonkan sebagai ketua Cin-ling-pai yang baru. Namun usahanya menguasai kedudukan ini digagalkan oleh Cia Kui Hong, gadis lihai dan cerdik itu sehingga dia bukan saja tidak dapat terpilih menjadi ketua baru Cin-ling-pai, bahkan menderita malu. Sebab itu dia pun minggat meninggalkan Cin-ling-pai sambil membawa pergi pedang pusaka Hong-cu-kiam, yaitu pedang pusaka dari Cin-ling-pai.

Demikianlah, Cun Sek tak berani berhenti berlari cepat. Selama berbulan-bulan dia terus menjauhi Cin-ling-san karena dia maklum bahwa mungkin sekali pihak Cin-ling-pai akan melakukan pengejaran karena dia melarikan pedang pusaka.

Hampir empat bulan telah lewat sejak dia melarikan diri dari Cin-ling-pai dan pada suatu pagi dia tiba di sebuah kota. Kota Tian-cu-an merupakan sebuah kota yang cukup besar. Musim panas telah tiba dan hawa udara lumayan panasnya biar pun matahari belum naik terlalu tinggi.

Tang Cun Sek yang semalam tinggal di sebuah kuil To-kauw (Agama To) yang berada di luar kota, memasuki kota dengan sikap tenang. Dia memiliki banyak uang, sisa dari emas yang dulu dicurinya dari rumah ayah tirinya, maka dia bersikap tenang dan dapat membeli pakaian dalam perjalanan itu.

Kini dia memasuki kota Tian-cu-an sebagai seorang pria muda yang berpakaian rapi dan bersih, membawa buntalan kain kuning dan sikapnya seperti seorang terpelajar. Pedang Hong-cu-kiam yang tadinya merupakan pedang pusaka Cin-ling-pai dan menjadi milik Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, kini tersimpan di dalam buntalan pakaian itu. Pedang pusaka Hong-cu-kiam adalah sebatang pedang yang dapat digulung saking tipis dan lenturnya.

Cun Sek merasa perutnya sangat lapar setelah hidungnya mencium bau masakan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan. Ia kemudian memasuki rumah makan yang masih belum banyak pengunjungnya itu, dan memesan bubur ayam kepada seorang pelayan.

Pada saat dia sedang makan bubur ayam yang sedap dan panas, pendengarannya yang tajam mendengar percakapan yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki yang duduk di meja sebelah belakang. Mereka bercakap-cakap dengan suara lirih sekali, namun cukup jelas bagi pendengaran Cun Sek yang tajam.

"Kita harus berhati-hati sekali. Iblis betina itu lihai bukan main."

"Tentu saja dia lihai, kalau tidak mana mungkin sute (adik seperguruan) sampai tewas di tangannya."

"Hemm, meski pun begitu, kalau kita bertiga maju bersama, mustahil kita tidak akan dapat membinasakan iblis betina itu," kata orang ke tiga dengan suara penasaran.

"Sstttttt…!" Kawannya agaknya memberi isyarat sambil memandang ke arah Cun Sek dan tiga orang itu tak lagi melanjutkan percakapan mereka dan pada saat itu, pelayan datang membawa pesanan mereka.

Cun Sek melanjutkan makan bubur seolah-olah dia tidak pernah mendengar percakapan bisik-bisik tadi, namun secara diam-diam dia memperhatikan. Ketiga orang itu berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan dari gerak gerik mereka mudahlah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu silat. Tubuh mereka kelihatan kokoh dan gerak gerik mereka pun sigap, pandang mata mereka tajam. Bahkan di balik jubah mereka nampak gagang pedang.

Kalau saja mereka tadi tidak menyebut iblis betina, tentu Cun Sek tidak tertarik dan tidak mau peduli sebab dia pun tak ingin mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi disebutnya iblis betina membuat dia tertarik. Siapakah yang mereka maksudkan dengan iblis betina itu dan mengapa seorang wanita disebut iblis?

Karena dia memang tidak mempunyai tujuan tertentu dan memiliki banyak waktu terluang, juga karena hatinya tertarik, maka dia pun mengambil keputusan untuk membayangi tiga orang itu dan melihat sendiri siapa sebenarnya iblis betina itu dan wanita macam apakah sampai dijuluki iblis betina.

Demikianlah, pada saat tiga orang itu meninggalkan rumah makan, tanpa disadari mereka sudah dibayangi oleh Cun Sek. Ketiga orang itu keluar dari kota melalui gerbang selatan. Begitu keluar dari pintu gerbang, mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke sebuah bukit yang tidak jauh dari kota Tian-cu-an, sebuah bukit yang kelihatan subur penuh hutan lebat.

Ketika tiga orang itu sampai di luar sebuah hutan di lereng bukit itu, mereka berhenti dan seorang di antara mereka bersuit nyaring. Segera terdengar jawaban, yaitu suitan-suitan yang sama dari berbagai penjuru dan tidak lama kemudian dari balik semak belukar, balik pepohonan, bahkan ada pula yang melayang turun dari atas pohon, bermunculan banyak sekali orang yang kesemuanya mengenakan seragam hitam.

Diam-diam Tang Cun Sek terkejut. Biar pun mungkin lihai, namun tiga orang laki-laki tadi belum merupakan lawan yang terlalu tangguh. Akan tetapi dengan munculnya dua puluh orang lebih ini yang kesemuanya berpakaian hitam-hitam serta sikap mereka bengis dan kejam, sungguh mereka ini merupakan pasukan kecil yang berbahaya. Hatinya semakin tertarik. Demikian banyaknya orang laki-laki hendak mengeroyok seorang wanita? Kalau begitu, wanita yang di sebut iblis betina itu tentu luar biasa lihainya.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Cun Sek melayang naik ke atas pohon besar yang amat lebat daunnya, tepat di atas sekumpulan orang itu sehingga dia bisa mendengarkan dan melihat dengan jelas. Ada dua puluh empat orang berpakaian seragam hitam.

Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang mukanya penuh dengan cambang, kumis dan jenggot. Matanya melotot bengis dan sesudah mendengar bahwa orang-orang menyebutnya pangcu (ketua), maka mudah diduga bahwa si brewok itu adalah ketua dari gerombolan orang berseragam hitam itu.

Dan melihat sikap ketua gerombolan seragam hitam itu terhadap tiga orang yang datang dari kota Tian-cu-an tadi, dapat diduga bahwa mereka merupakan sekutu. Antara ketua dan tiga orang itu nampak hubungan yang saling menghargai, berbeda dengan sikap para anggota kelompok seragam hitam yang bersikap amat hormat kepada ketua mereka dan juga kepada tiga orang itu.

Karena sejak muda berada di Cin-Iing-pai dan sudah lama tidak berkecimpung di dunia kang-ouw, maka Tang Cun Sek sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw yang kenamaan!

Gerombolan seragam hitam yang sedang berkumpul di situ adalah para anggota pilihan dari perkumpulan Hek-tok-pang (Perkumpulan Racun Hitam)! Dari nama perkumpulan ini saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan racun berbahaya di samping mereka memiliki pula ilmu silat kaum sesat yang amat berbahaya.

Nama Hek-tok-pang selalu mendatangkan perasaan takut pada semua orang yang sering melakukan pelayaran di sepanjang Sungai Kuning, karena mereka yang tinggal di lembah Huang-ho itu merupakan perkumpulan yang mengangkat diri sendiri sebagai penguasa di sepanjang Huang-ho. Mereka suka menuntut pajak atau sumbangan dari para pedagang yang menggunakan perahu, dan mereka tidak segan-segan untuk membunuh siapa saja yang berani menentang mereka. Ketua mereka, yaitu pria yang tinggi besar dan brewok itu bernama Cu Bhok dan terkenal memiliki ilmu silat golok yang amat dahsyat.

Ada pun tiga orang yang dibayangi oleh Cun Sek sejak dari kota Tian-cu-an itu pun bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga tadinya terdiri dari empat orang dan terkenal dengan julukan mereka Kwi-san Su-kiam-mo (Empat Setan Pedang dari Kwi-san). Orang pertama bernama Giam Sun, lalu yang ke dua ialah adik kandungnya bernama Giam Kun. Orang ke tiga bernama Thio Su It, dan yang keempat bernama Yauw Kwan. Akan tetapi, karena yang termuda telah tewas di tangan ‘iblis betina’, maka kini mereka hanya tinggal tiga orang saja.

Cun Sek yang mengintai dari atas pohon melihat mereka itu mengadakan perundingan di bawah pohon. Ketua Hek-tok-pang itu bersama tiga orang pria yang dibayanginya tadi kini bercakap-cakap di bawah pohon, ada pun dua puluh empat orang anggota Hek-tok-pang kemudian menyebarkan diri di sekitar tempat itu, siap untuk melakukan perlindungan dan penjagaan agar jangan sampai ada orang luar mendengarkan percakapan ketua mereka dengan tiga orang tokoh sekutu mereka itu.

Sungguh tak seorang pun di antara mereka yang pernah menduga bahwa semenjak tadi sudah ada seorang yang nongkrong di atas pohon dan melihat semua kegiatan mereka, bahkan mendengar semua percakapan yang berlangsung di bawah pohon itu.

"Pangcu," kata seorang di antara tiga orang Kwi-san Su-kiam-mo, yaitu orang pertama yang bernama Giam Sun itu, "Sebelum kita menyerbu ke Bukit Teratai Emas itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui jelas akan kedudukan kita dan sifat kerja sama kita. Pangcu maklum bahwa meski pun kita sama-sama menentang iblis wanita itu, namun alasan kita berbeda. Kami menentang dia karena hendak membalaskan kematian seorang sute kami, sedangkan Pangcu karena Hek-tok-pang pernah dirugikan oleh iblis betina itu. Akan tetapi kami kira bukan itu yang menjadi alasan terpenting."

"Benar sekali ucapanmu tadi, kawan,” kata ketua Hek-tok-pang itu dengan suaranya yang berat. "Selama ini di antara kita tidak pernah ada persekutuan walau pun kita juga tidak pernah saling bertentangan. Kita mengambil jalan masing-masing dan tidak pernah saling mengganggu. Akan tetapi mendadak iblis betina itu muncul dan jelas bahwa dia hendak menjagoi, tidak memandang mata kepada pihak lain. Tapi, betapa pun lihainya dia hanya seorang perempuan dan kami tentu saja tidak sudi tunduk kepada seorang wanita! Kalau dia tidak dibasmi, tentu hanya akan merendahkan nama besar kita sebagai laki-laki yang gagah perkasa."

Tiga orang itu mengangguk-angguk tanda setuju. "Akan tetapi kita harus berhati-hati. Jika perhitungan kami tidak salah, dia mempunyai banyak pembantu yang pandai. Kalau nanti kita berhasil memancing mereka keluar dari sarang mereka di Kim-lian-san (Bukit Teratai Emas), harap Pangcu serta para saudara Hek-tok-pang menghadapi para pembantunya. Ada pun kami sendiri akan menghadapi iblis betina itu."

Setelah mengadakan perundingan, empat orang ini diikuti oleh dua puluh empat anggota Hek-tok-pang lalu menuruni lereng dan kini mereka menuju ke sebuah bukit lainnya yang bersambung dengan bukit itu. Sebuah bukit yang lebih besar dan lebih liar karena penuh dengan hutan-hutan lebat, di mana nampak bagian-bagian yang berbatu, akan tetapi ada pula bagian yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa serta semak belukar penuh duri yang amat liar dan tempat itu tidak pernah didatangi manusia.

Para pemburu binatang hutan pun agaknya segan untuk berburu binatang di Bukit Teratai Emas, karena hutan itu memang sangat berbahaya. Apa lagi sejak kurang lebih setahun yang lalu ada desas desus bahwa bukit itu dihuni segerombolan iblis yang amat lihai dan jahat!

Bahkan penduduk dusun yang tadinya mencoba memperbaiki nasib dengan membangun dusun di situ dan bertani, kini beramai-ramai meninggalkan dusun mereka dan pindah ke tempat lain yang lebih aman sesudah berkali-kali mereka diganggu oleh iblis-iblis yang amat jahat!

Dengan hati semakin tertarik, Cun Sek membayangi serombongan orang itu dari jauh. Dia merasa semakin penasaran. Jelaslah bahwa serombongan orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang hendak menentang orang yang mereka sebut iblis betina. Tentu seorang wanita yang lihai, yang agaknya juga mempunyai anak buah dan mungkin wanita itu dan anak buahnya bersarang di bukit yang bernama Bukit Teratai Emas itu. Tentu akan ramai, pikirnya, dan tanpa ada keinginan mencampuri urusan itu, dia hanya membayangi untuk menjadi penonton.

Semenjak meninggalkan Cin-ling-pai, dia memang tidak mempunyai tujuan tertentu. Satu-satunya tujuan perjalanannya hanyalah mencari ayah kandungnya, yaitu seorang tokoh yang menurut ibunya amat lihai dan berjuluk Ang-hong-cu. Selama ini dia sudah bertanya-tanya, namun biar pun ada pula orang-orang kang-ouw yang pernah mendengar nama Si Kumbang Merah, namun tak seorang pun mengetahui di mana adanya tokoh yang sudah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw itu.

Akhirnya, menjelang tengah hari, rombongan itu tiba di lereng Bukit Teratai Emas. Mereka tadi mendaki dengan amat hati-hati, dan setelah tiba di lereng yang terjal, tak begitu jauh lagi dengan puncak dan nampak tertutup pohon-pohon raksasa, mereka lantas berhenti. Cun Sek menyelinap dekat dan mengintai dari balik semak belukar.

Dia melihat betapa kini para anggota Hek-tok-pang itu menyebar bubuk hitam di antara semak-semak di kanan kiri jalan setapak. Selain bubuk hitam yang disebarkan pada daun dan duri semak-semak, juga ketua mereka menebarkan benda-benda kecil runcing seperti paku berwarna hitam di atas tanah. Bukan sembarang paku, melainkan benda bulat kecil yang mempunyai banyak duri seperti ujung paku pada permukaannya sehingga setelah disebar di atas tanah, maka ada saja duri runcing yang mencuat ke atas sehingga siapa saja yang lewat di jalan setapak itu tentu akan menginjak benda itu dan karena benda itu runcing sekali, maka mungkin saja dapat menembus sepatu dan melukai kulit telapak kaki!

Tahulah Cun Sek bahwa benda runcing itu tentu mengadung racun yang berbahaya, juga bubuk hitam yang ditaburkan itu tentu racun yang sangat jahat! Hatinya menjadi tegang, dan secara diam-diam dia harus mengakui bahwa orang-orang ini merupakan lawan yang amat curang dan berbahaya sekali.

Setelah menebarkan bubuk hitam pada semak-semak dan benda-benda runcing di jalan setapak, mereka semua lantas menuruni lereng dan kini di sebelah bawah, tidak jauh dari tempat yang ditebari racun itu, mereka mengumpulkan ranting dan daun kering kemudian membakar setumpuk daun dan ranting kering! Kini mereka semua bersembunyi di kanan kiri, dekat api yang mereka buat itu, setiap orang siap dengan senjata di tangan!

Cun Sek mengangguk-angguk. Orang-orang ini benar-benar licik. Agaknya mereka tidak berani menyerbu naik, maka menggunakan siasat ini. Mereka membakar tempat itu untuk memancing pihak musuh menuruni puncak, namun sebelum tiba di tempat yang mereka bakar, tentu pihak musuh akan melalui jalan setapak yang telah penuh dengan benda dan bubuk beracun. Celakalah kiranya pihak musuh yang berada di puncak itu, pikirnya.

Namun dia tidak ingin mencampuri. Bukan urusannya. Dia hanya ingin menjadi penonton dan ada kenikmatan tersendiri di dalam hatinya menonton peristiwa yang menegangkan hati ini.

Tepat seperti yang diduga oleh Cun Sek, tidak lama kemudian dari tempat sembunyinya dia melihat lima orang laki-laki berlarian dari atas, turun dari puncak menuju ke tempat kebakaran. Mereka adalah lima orang laki-laki yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang lumayan, terbukti dari cara mereka berlari yang cukup cepat biar pun harus melalui jalan setapak yang cukup sukar dengan adanya batu-batu yang berserakan. Kalau tidak hati-hati maka kaki mereka akan terpeleset dan jika sampai terjatuh di atas jalan setapak berbatu-batu itu, maka akan membuat kulit mereka babak belur.

Makin dekat lima orang itu datang ke jalan setapak yang dipasangi racun, makin kencang debar jantung Cun Sek karena tegang. Sedikit pun dia tidak ingin memperingatkan kelima orang itu. Dia tak ingin berpihak, karena dia tidak mengenal kedua pihak itu. Apakah lima orang itu akan mampu menghindarkan diri dari ancaman mala petaka?

Sementara itu, sesudah mereka sampai dekat api yang nampak dari atas, tentu saja lima orang yang datang dari puncak itu mempercepat larinya dan kini mereka memasuki jalan setapak yang telah ditaburi dengan benda berduri tadi. Berturut-turut terdengar mereka itu berteriak kaget.

Akan tetapi benda runcing yang menembus sepatu mereka hingga melukai telapak kaki, agaknya mengandung racun yang sangat hebat sehingga sekali berteriak, tubuh mereka lantas terguling. Tentu saja mereka jatuh menimpa benda-benda runcing beracun itu, dan begitu terjatuh, mereka tidak dapat bergerak lagi, merintih pun tidak mampu dan nampak beberapa bagian tubuh mereka menjadi hitam!

Dari tempat persembunyiannya, Cun Sek bergidik. Racun hitam itu ampuhnya luar biasa! Begitu terjatuh, lima orang itu tewas seketika sehingga mayat mereka malang melintang menutup jalan setapak.

Pada saat itu pula Cun Sek melihat lima bayangan orang berlari cepat menuruni puncak. Sebentar saja lima sosok bayangan itu sudah tiba di sana dan dia melihat bahwa mereka adalah lima orang wanita yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata memiliki wajah cantik dan tubuh yang ramping padat.

Dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian karena dari gerakan mereka itu, dia dapat menduga bahwa mereka lebih lihai dari pada lima orang pertama yang menjadi korban racun. Apakah mereka akan mampu melewati tempat yang merupakan perangkap maut itu?

Lima orang itu menghentikan lari mereka dan mereka terbelalak memandang ke arah lima orang yang telah tewas dan malang melintang di jalan setapak itu. Mereka mengamati ke arah tanah dan saling berbisik, agaknya mereka maklum bahwa lima orang pria itu sudah menjadi korban benda-benda kecil beracun yang bertebaran di atas jalan setapak.

"Ikuti aku!" kata seorang di antara mereka dengan nada memimpin.

Dia lalu mencabut pedang, menggunakan pedangnya untuk membacok putus dua batang ranting pohon. Teman-temannya cepat meniru perbuatannya sehingga kini masing-masing mereka memegang dua buah kayu ranting yang besarnya selengan tangan mereka. Lalu, didahului oleh pemimpin mereka, lima orang wanita itu mempergunakan dua batang kayu untuk menyeberangi jalan setapak yang penuh dengan benda-benda runcing beracun itu tanpa menyentuhkan kaki ke atas tanah.

Akan tetapi begitu mereka melewati jalan setapak itu, melangkahi lima sosok mayat yang malang melintang dan mereka tiba di seberang jalan berbahaya itu, mereka mengaduh-aduh lantas lima orang wanita itu pun terpelanting jatuh dari atas dua batang tongkat yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang sebagai pengganti kaki.

Cun Sek tak merasa heran. Lima orang wanita itu ternyata memang dapat menghindarkan kaki mereka sehingga tidak tertusuk benda runcing dan keracunan, namun mereka tidak tahu bahwa semak-semak di kanan kiri jalan itu telah ditebari bubuk hitam beracun. Ketika mereka lewat, tangan mereka terkena daun-daun yang sudah mengandung racun, maka ketika tiba di seberang, mereka merasa betapa kedua tangan mereka gatal dan panas.

Rasa gatal dan panas itu menjalar ke seluruh tubuh dan lima orang wanita itu kemudian bergulingan, menggunakan kedua tangan untuk mencakari tubuh sendiri hingga pakaian mereka koyak-koyak dan mereka berlima itu sampai telanjang bulat, namun tidak berhenti menggaruk dan tubuh mereka segera penuh dengan guratan merah dan hitam.

Mereka pun tewas dalam keadaan tersiksa sekali, tidak seperti lima orang pria tadi yang tewas seketika. Sebelum tewas, lima orang wanita itu harus menderita siksaan rasa gatal dan panas yang menjalar dari tangan mereka yang terkena bubuk racun hitam sampai ke seluruh tubuh!

Kembali Cun Sek bergidik ngeri. Sungguh hebat sekali! Sungguh bukan main kejamnya orang-orang Hek-tok-pang itu! Akan tetapi dia tetap hanya menjadi penonton dan tinggal tidak berpihak. Akan tetapi kini dia semakin tertarik. Agaknya yang menjadi korban racun itu, lima orang pria dan lima orang wanita, hanyalah anak buah saja.

Rombongan yang masih bersembunyi itu agaknya masih menunggu musuh mereka yang tadi mereka sebut-sebut, yaitu iblis betina! Sementara itu Cun Sek sendiri pun ingin sekali tahu bagaimana macamnya iblis betina itu dan bagaimana lihainya sehingga dua puluh delapan orang itu masih saja bersembunyi dengan senjata di tangan, agaknya siap untuk mengeroyok musuh yang ditunggu-tunggu itu.

Ketika Cun Sek memperhatikan tiga orang yang dibayanginya dari kota tadi, tiba-tiba dia melihat mereka menuding ke arah puncak bukit dan sikap mereka tegang sekali. Dia pun langsung memandang ke arah puncak dan nampaklah sesosok bayangan sedang berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat itu. Dia merasa betapa hatinya tegang sekali.

Agaknya itulah orang yang mereka nanti-nanti, yang disebut iblis betina! Tentu orangnya sangat menakutkan, seperti iblis, mungkin sudah nenek-nenek, yang lihainya bukan main. Akan tetapi, semakin dekat sosok tubuh itu, semakin terbelalak lebar mata Cun Sek! Apa lagi sesudah wanita itu tiba di dekat jalan setapak yang beracun, dan memandangi mayat lima orang pria dan lima orang wanita di seberang jalan, Cun Sek melongo.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar