Mereka berdiri dan saling pandang, sedangkan A Sui sambil menahan senyumnya cepat mundur ke belakang nonanya. Kedua wanita ini sudah sering kali membicarakan tentang ketampanan dan kegagahan Tang Gun.
"Kiranya Tang-ciangkun...!" kata Hwee Lan, suaranya merdu dan lirih, tetapi agak gemetar karena jantungnya berdebar penuh ketegangan.
“Selamat malam, Tuan Puteri, dan maafkan jika hamba mengganggu. Hamba tadi sedang meronda lalu mendengar...”
"Sudahlah, ciangkun. Engkaukah yang menjawab sajakku tadi?"
Betapa beraninya wanita ini, pikir Tang Gun, betapa hausnya!
"Benar, Tuan Puteri, dan ampunkan hamba....”
"Benarkah apa yang kau katakan dalam sajak tadi? Engkau bersedia menampung mawar layu, bersedia menyirami dan menyegarkannya kembali?"
"Hamba bersedia dengan sungguh hati dan dengan segala kebahagiaan dan kehormatan, Tuan Puteri...”
Kini seluruh tubuh Hwee Lan gemetar dan dia pun menoleh ke sekelilihg. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain di situ, dia melangkah maju, memegang tangan perwira itu lalu berkata lirih, "Mari kita bicara di dalam pondok, ciangkun. Tidak baik bila diketahui orang. A Sui, engkau menjaga di luar."
A Sui tersenyum gembira dan mengangguk, membayangkan bahwa kelak dia pun sudah pasti akan mendapat bagian karena bukankah rahasia mereka berdua berada di telapak tangannya? Tang Gun menjadi berani dan dia pun menggenggam tangan yang kecil lunak dan hangat itu, kemudian mereka bergandeng tangan memasuki pondok Sarang Madu.
Mudah dibayangkan apa yang terjadi malam itu di pondok Sarang Madu. Dua orang muda yang tengah dilanda dan dicengkeram nafsu birahi itu sepenuhnya menyerah dan menjadi permainan nafsu mereka sendiri yang tak pernah mengenal puas. Dan keduanya terkulai dan menyerah.
Bagi Hwee Lan yang sejak perawan dibawa ke dalam istana, selama ini hanya mengenal kaisar yang setengah tua sebagai satu-satunya pria yang menggaulinya. Dan kini, begitu bertemu dengan Tang Gun yang masih muda, gagah, tampan dan jantan, maka tidaklah mengherankan kalau dia menjadi tergila-gila.
Sebaliknya, biar pun Tang Gun sudah banyak bergaul aengan wanita, namun selama ini dia pun belum pernah bertemu dengan wanita secantik dan sepanas Hwee Lan, maka dia pun tergila-gila. Keduanya lantas saling melekat dan merasa bahwa mereka tak mungkin dapat saling kehilangan atau saling berpisah!
Tang Gun yang cerdik maklum bahwa keselamatan dia dan kekasihnya berada di tangan A Sui. Apa bila hal itu dibiarkan lewat begitu saja, tentu dia dan kekasihnya akan menjadi permainan dayang itu dan dapat diperas habis-habisan. Oleh karena itu, atas persetujuan Hwee Lan yang juga melihat ancaman bahaya ini, Tang Gun kemudian mempergunakan ketampanannya untuk merayu A Sui.
Dayang ini pun hanya seorang gadis yang tidak jauh bedanya dengan Hwee Lan, haus akan belaian dan kasih sayang pria, apa lagi kalau prianya setampan dan segagah Tang Gun. Dia pun kemudian menyerah dalam dekapan Tang Gun. Maka amanlah hubungan mereka karena semuanya terlibat.
Nafsu tidak pernah merasa puas. Bahkan semakin dituruti, nafsu menjadi semakin ganas, semakin kelaparan dan selalu menghendaki lebih! Karena itu pertemuan antara Tang Gun dan Hwee Lan yang ditemani A Sui dan kemudian berakhir dengan permainan cinta gelap sepanjang malam itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pertemuan demi pertemuan diatur dan diadakan antara mereka, makin lama semakin sering seperti orang kecanduan!
Dua bulan telah lewat dan pada malam yang amat dingin itu, Tang Gun tidak undur oleh dinginnya hawa udara dan dia sudah menanti kekasihnya di dekat pondok Sarang Madu. Malam itu adalah malam yang penting sekali bagi mereka bertiga, karena pada malam itu mereka sudah mengambil keputusan hendak melarikan diri dari dalam istana! Atau lebih tepat, Hwee Lan akan dibantu kekasihnya melarikan diri keluar istana.
Tang Gun yang menjadi komandan pengawal sejak sore tadi sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ada jalan terbuka yang tidak dijaga. Dan agaknya hawa udara yang dingin ikut pula membantu mereka sebab para pengawal lebih suka bersembunyi di dalam gardu penjagaan menghangatkan diri. Karena dia sendiri juga terlibat, maka tentu saja A Sui ikut pula melarikan diri.
Tang Gun bukan seorang bodoh. Dia tidak berani melarikan dua orang wanita yang sudah menjadi kekasihnya itu ke rumahnya yang masih berada dalam lingkungan istana. Tidak, dia tidak setolol itu. Atas bantuan keuangan dari Hwee Lan yang menjual barang-barang perhiasan mahal, Tang Gun telah membeli sebuah rumah di kota Yu-sian, jauh di sebelah barat kota raja.
Menurut rencana mereka, jika dua orang wanita itu sudah dilarikan ke Yu-sian, kemudian keributan karena pelarian mereka itu sudah mereda, maka Tang Gun akan melepaskan jabatannya lalu menyusul ke Yu-sian di mana mereka akan hidup baru dengan berdagang menggunakan modal yang sudah mereka kumpulkan.
Tidak lama kemudian muncullah dua orang wanita muda itu sambil membawa buntalan. Tang Gun segera menyambut mereka dengan rangkulan dan mereka berciuman mesra, lalu ketiganya menyelinap di antara pohon-pohon dan rumpun bunga di taman, melarikan diri melalui jalan yang sudah di atur oleh Tang Gun. Sesuai rencana, mereka dapat keluar dari lingkungan istana tanpa diketahui orang.
Seorang paman, sanak dari ibunya, sudah menanti di luar tembok istana dengan sebuah kereta. Dua orang wanita itu segera naik ke dalam kereta. Sesudah mereka berangkulan sejenak dengan Tang Gun di dalam kereta untuk mengambil selamat berpisah, kereta lalu dilarikan dan Tang Gun menyelinap kembali ke dalam tembok istana, kembali ke gardu penjagaan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Pada keesokan harinya barulah para selir dan dayang menjadi ribut karena mereka tidak melihat adanya Hwee Lan dan A Sui di sana. Setelah melapor kepada Tang-ciangkun dan komandan ini mengerahkan semua anak buahnya mencari-cari di dalam kompleks istana tanpa hasil, barulah laporan disampaikan kepada kaisar tentang menghilangnya selir dan dayang itu.
Bagi kaisar, kehilangan seorang selir dan seorang dayang tidak ada artinya karena dalam sehari saja dia mampu mendapatkan sepuluh orang penggantinya yang lebih muda dan cantik. Namun yang membuat kaisar marah sekali adalah karena peristiwa itu merupakan tamparan dan merupakan hal yang memalukan. Larinya mereka itu seolah-olah memberi kesan bahwa para selir dan dayang merasa tidak beruntung hidup di dalam istana. Sebab itu kaisar memanggil Tang Gun dan mernarahinya.
"Tang Gun! Engkaulah yang menjadi komandan jaga, komandan pengawal bagian dalam istana. Bagaimana sampai engkau dan pasukanmu kebobolan dan tidak tahu adanya dua orang wanita yang meloloskan diri dari istana?"
Tang Gun berlutut dan memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. "Mohon beribu ampun, Sribaginda. Semalam hamba telah mengerahkan seluruh pasukan untuk berjaga-jaga, bahkan hamba sendiri ikut melakukan ronda. Akan tetapi tadi malam hawa demikian dinginnya sehingga para pengawal banyak yang berlindung di dalam gardu, Bahkan para pengawal di bagian luar istana pun banyak yang berada di dalam gardu sehingga tak ada seorang pun yang melihat dua orang wanita itu keluar dari dalam istana. Hamba menerima salah, dan hamba siap menerima hukuman dari paduka, bahkan hamba akan menerima andai kata hamba dihukum mati, buang atau dihentikan dari jabatan hamba sekali pun."
Ucapan terakhir itu bukan hanya untuk pemanis bibir atau untuk pengakuan salah belaka. Tang Gun akan bersyukur sekali kalau memang dia dihentikan dari jabatannya karena dia akan dapat segera menyusul kekasihnya ke kota Yu-sian.
Akan tetapi kaisar lantas mengampuninya karena kaisar masih teringat akan jasa perwira muda itu. Kaisar kemudian memerintahkan Tang Gun agar menghubungi para komandan pasukan pengawal di dalam dan di luar istana untuk melakukan penyelidikan dan mencari dua orang wanita yang lolos dari istana itu.
Untuk merangsang kerja mereka, kaisar menjanjikan kenaikan pangkat dan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat berhasil membawa kembali dua orang wanita itu ke istana. Semua ini dilakukan kaisar bukan karena dia merasa sayang kepada dua orang wanita itu, melainkan karena dia ingin menghapus kesan buruk dan akan menghukum mereka.
Tentu saja usaha ini sia-sia belaka. Memang tidak mudah mencari dua orang wanita yang sudah pergi jauh itu, apa lagi ada Tang Gun yang selalu mengelabui dan menyesatkan arah penyelidikan dan pengejaran…..
********************
Malam itu kembali Tang Gun berdinas jaga. Dia duduk termenung di dalam gardu jaga. Sudah lewat sebulan semenjak kekasihnya pergi melarikan diri. Selama itu baru satu kali dia sempat menengok ke kota Yu-sian dengan dalih mencari jejak mereka yang melarikan diri, sekalian cuti.
Hatinya lega bahwa Hwee Lan dan A Sui sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dengan pamannya sebagai tuan rumah, kedatangan mereka sebagai penduduk baru tidak menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi hanya sehari semalam saja dia dapat melepaskan rindunya kepada Hwee Lan dan A Sui.
Dia harus cepat mengundurkan diri dari jabatannya, pikirnya. Akan tetapi tidak sekarang, karena akibat pelarian itu sekarang masih menjadi buah bibir, juga kaisar masih belum melupakan peristiwa itu dan sering kali menanyakan berita pencarian dua orang wanita itu.
Tang Gun merasa gelisah. Dua orang kekasihnya di Yu-sian itu terlampau cantik. Mereka masih muda, juga mereka sampai nekat melarikan diri dari istana adalah karena merasa kesepian dan ingin menikmati hidup bersama dia. Sekarang, kembali mereka kesepian di Yu-sian dan hal itu amat berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut. Siapa tahu akan muncul penggoda di sana, seorang pemuda yang ganteng! Hatinya dipenuhi rasa cemburu dan dia semakin gelisah.
Dia bangkit dan memesan kepada anak buah yang berada di pintu supaya waspada. Dia sendiri lalu meninggalkan gardu dan memasuki taman. Dia ingin mencari angin dan hawa sejuk untuk menenangkan hatinya yang gelisah.
Tanpa disengaja langkah-langkah kakinya membawanya menuju taman barat, kemudian tibalah dia di depan pondok Sarang Madu. Ia berhenti sejenak dan membayangkan semua pengalaman yang amat menyenangkan di pondok itu bersama Hwee Lan dan A Sui. Maka terkenanglah dia kepada mereka dan timbul perasaan rindu.
"Tang-ciangkun....”
Suara merdu seorang wanita yang memanggilnya itu membuat Tang Gun tersentak kaget. Hampir saja dia berseru memanggil nama A Sui ketika melihat munculnya seorang gadis berpakaian dayang dari balik semak-semak. Teringat bahwa A Sui sudah pergi bersama Hwee Lan, dia cepat menahan suaranya dan memandang penuh perhatian.
Ternyata wanita itu adalah A Cui, seorang dayang lain, pelayan dari selir ke lima kaisar. Karena banyaknya dayang di istana, tentu saja Tang Gun tidak mengenal mereka semua dan meski pun dia tahu bahwa wanita yang manis ini pun seorang dayang, tetapi dia tidak tahu siapa namanya.
"Ada apakah? Siapakah engkau dan mengapa memanggilku di sini?" tanyanya, pura-pura alim. Kalau saja tidak pernah terjadi peristiwa larinya Hwee Lan dan A Sui, tentu sikapnya berbeda dan dia akan lebih ramah dan manis terhadap dayang ini.
"Ssttt, Ciangkun, aku A Cui dan aku akan membicarakan urusan penting denganmu. Mari kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam," kata wanita itu sambil melepas kerling tajam disertai senyum manis menantang.
Ketika itu Tang Gun sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan setiap kecurigaan tentang menghilangnya selir kaisar dan dayangnya itu dari dirinya. Maka, biar pun dengan hati menyesal, terpaksa dia tidak berani melayani tantangan yang menggairahkan itu.
"Aihh, nona A Cui. Jangan main-main. Mana aku berani?" katanya menolak.
"Tang-ciangkun, tidak usah berpura-pura. Aku mau bicara tentang rahasia pondok Sarang Madu. Hayolah!" Dia lalu melangkah menuju ke pintu depan pondok.
Tang Gun mengerutkan alisnya. "Rahasia pondok Sarang Madu'?" jantungnya berdebar tegang. "Apa maksudmu?"
"Maksudku... hemmm, apa lagi kalau tidak mengenai Hwee Lan dan A Sui? Nah, maukah engkau ikut masuk? Atau engkau lebih suka kalau aku membicarakan urusan itu dengan orang lain?"
Mendengar ucapan itu, seketika pucat wajah Tang Gun. Tak perlu di jelaskan lagi, sudah cukup jelas, bahkan sudah terlampau jelas bahwa dayang ini mengetahui semua rahasia pelarian Hwee Lan dan A Sui! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengiringi wanita itu melangkah masuk ke dalam pondok Sarang Madu.
Setelah mereka tiba di dalam pondok, Tang Gun segera bertanya lirih, ”A Cui, sebetulnya apakah yang kau inginkan?”
A Cui membalik kemudian mendekati Tang Gun, matanya mengerling tajam dan mulutnya tersenyum. “Masih perlukah engkau bertanya lagi, orang muda yang tampan? Aku tidak membutuhkan apa-apa kecuali apa yang dibutuhkan Hwee Lan dan A Sui dan aku tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali apa yang telah kau berikan kepada mereka.”
Wanita itu kemudian melingkarkan kedua lengannya ke leher Tang Gun. Dua buah lengan itu melingkari leher sekuat dua ekor ular dan yang terdengar kemudian hanya dengus dan rintih, disusul napas tersendat-sendat dalam kegelapan di pondok Sarang Madu itu.
Baik A Cui mau pun Tang Gun tidak tahu betapa semenjak tadi ada sepasang mata tajam mencorong yang mengintai perbuatan mereka, sejak mereka saling jumpa di luar pondok. Pemilik mata ini adalah seorang lelaki setengah tua, berusia sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh sedang masih tegap, pakaiannya amat rapi. Tentu saja Tang Gun tak mengenal Tang Bun An, atau yang berjuluk Ang-hong-cu Si Kurnbang Merah!
Seperti yang telah kita ketahui, Tang Bun An pergi ke kota raja untuk memulai hidup baru sebab dia merasa telah tua dan mulai bosan dengan kehidupan petualangan seperti yang selama ini dialaminya. Musuhnya terlampau banyak, malah akhir-akhir ini dia dikejar-kejar orang-orang pandai sekali, termasuk puteranya sendiri yang bernama Tang Hay.
Dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan mencari kedudukan, untuk dapat mengembalikan kedudukan dan kemuliaan yang dahulu pernah dimiliki ayah kandungnya, yaitu mendiang Tang Siok yang menjadi pejabat tinggi di kota raja. Dia harus bisa meraih suatu kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang pernah dimiliki ayahnya.
Satu-satunya jalan untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu hanyalah membuat jasa, kalau mungkin langsung terhadap Kaisar! Biar pun dia pandai ilmu silat dan mengerti juga ilmu sastera, tetapi tanpa memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat tinggi, maka akan sukarlah untuk memperoleh kedudukan. Apa lagi bagi seorang setua dia.
Setelah berada di kota raja, Tang Bun An segera mendengar berita yang sangat menarik hatinya, yaitu tentang adanya seorang perwira pengawal muda yang menyebarkan berita bahwa perwira itu adalah putera dari Ang-hong-cu! Hal ini dirasakannya amat aneh.
Bukankah selama ini namanya dianggap jahat dan buruk, dibenci oleh para pendekar dan ditakuti di dunia kang-ouw? Bahkan andai kata dia memiliki anak kandung, seperti halnya Tang Hay, maka anak itu tentu akan malu mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Namun kenapa orang ini, seorang perwira pengawal pula, menyebarkan berita bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu. Seolah-olah hal itu membanggakan hatinya?
Tadinya dia hanya tersenyum saja mendengar berita itu dan dia menganggap perwira itu adalah seorang pemuda tolol yang suka membanggakan diri meminjam ketenaran orang lain. Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa perwira muda itu bernama Tang Gun, dia terkejut! She Tang? Dunia kang-ouw sudah sangat mengenal nama julukan Ang-hong-cu, namun tidak ada atau amat jarang sekali orang mengetahui bahwa Ang-hong-cu memiliki she (nama keturunan) Tang!
Berita itu amat menarik hati Tang Bun An. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa perwira bernama Tang Gun itu kini bekerja sebagai seorang komandan pengawal dalam istana, sebuah kedudukan yang diterimanya sebagai hadiah dari kaisar karena Tang Gun pernah menolong rombongan kaisar dari gangguan pemberontak dua tiga tahun yang lalu!
Ahh, siapa tahu, dari orang yang mengaku puteranya inilah datang kesempatan baginya untuk meraih kedudukan! Dan memang dia harus dapat mendekati istana, tempat tinggal kaisar kalau dia ingin memperoleh pangkat yang tinggi.
Demikianlah, sesudah melakukan penyelidikan tentang keadaan istana, Tang Bun An lalu menggunakan ilmu kepandaiannya dan dengan tidak betapa sukar dia berhasil melewati pagar tembok lalu masuk ke dalam taman bunga di bagian barat, dan kebetulan sekali dia dapat melihat dan mendengar pertemuan antara perwira Tang Gun dan seorang dayang.
Ia belum sempat menyelidiki perwira yang mengaku puteranya itu, maka tadinya dia tidak tahu siapa perwira yang mengadakan pertemuan dengan seorang dayang istana itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut dan juga merasa gembira sekali setelah mendengar dayang itu menyebut ‘Tang-ciangkun’. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah perwira yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu itu!
Dari penerangan yang tidak begitu cerah, cukup baginya untuk bernapas lega. Setidaknya orang muda itu tidak mengecewakan untuk menjadi puteranya. Jangkung, tegap, tampan dan gagah. Apa lagi setelah dia mendengar percakapan antara mereka, hatinya merasa bangga sekali.
Pemuda yang mengaku sebagai puteranya ini ternyata seorang pria yang disukai wanita! Buktinya, dayang itu juga memikat cintanya, dan menggunakan semacam rahasia pondok Sarang Madu sebagai alat untuk memeras agar perwira muda itu suka memuaskan nafsu birahinya! Diam-diam Tang Bun An tersenyum bangga, dan melihat pemuda itu mengikuti si dayang memasuki pondok, dia pun cepat meloncat ke atas genteng untuk melakukan pengintaian. Di dalam kamar pondok itu hanya diterangi dua buah lilin, namun cukup bagi mata Tang Bun An yang tajam dan terlatih baik.
Mula-mula dia hendak melihat apakah orang yang mengaku sebagai puteranya itu cukup jantan melayani wanita dalam bercinta. Namun dia segera terbelalak ketika mengintai dari atas. Mula-mula hanya terdengar suara dengus napas dan rintihan, lantas disusul napas yang tersendat-sendat! Ia melihat perwira muda yang mengaku puteranya itu sama sekali tidak mencumbu rayu, tidak membelai mesra, tapi mencekik leher gadis itu menggunakan ikat pinggang dayang itu sendiri!
Betapa gilanya! Sayang kalau gadis muda semanis itu dibunuh begitu saja! Kalau perwira muda itu sudah menikmatinya, mau dibunuh atau tidak dia tidak akan peduli. Akan tetapi jelas bahwa mereka itu baru saja saling bertemu, lalu mengapa perwira itu membunuhnya tanpa membelai atau mencumbu sedikit pun?
Namun dia menahan diri, tidak mau mencampuri karena ingin sekali tahu perkembangan selanjutnya. Baginya, keadaan perwira muda yang mengaku puteranya itu tentu saja jauh lebih menarik dan lebih penting dari pada nyawa seorang gadis dayang istana!
Melihat cara perwira itu membunuh dayang, yang memakan waktu cepat sekali, Tang Bun An dapat menduga bahwa perwira muda itu sedikit banyak memiliki tenaga yang lumayan juga.
Sekarang Tang Gun melepaskan ikat pinggang dayang itu, mengikat ujung ikat pinggang ke atas tiang dan menggantung mayat dayang itu pada lehernya, mengatur sedemikian rupa sehingga sekali lihat saja orang akan menduga bahwa dayang itu mati akibat bunuh diri dengan cara menggantung. Dia juga membalikkan sebuah bangku di bawah mayat.
Dengan cermat dia mengukur dan memperhitungkan. Jika gadis itu membunuh diri, tentu menggunakan bangku itu untuk berdiri, kemudian mengikat ujung ikat pinggang ke tiang, mengikatkan ujung yang lain di lehernya dan menendang bangku itu sehingga tubuhnya tergantung dan mati tercekik. Tepat sekali. Sesudah merasa puas, dia pun meniup padam api lilin dan keluar dari dalam pondok, lalu menutupkan daun pintu pondok itu. Kemudian, dengan tenang dia pun kembali ke pos penjagaan seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Pada keesokan harinya, istana kaisar kembali menjadi gempar pada waktu mayat A Cui ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Ia mati tergantung dalam Pondok Sarang Madu, lidahnya terjulur panjang, kedua matanya melotot dan tubuhnya kaku! Akan tetapi karena keadaannya jelas menunjukkan bahwa dia telah menggantung diri sampai mati, maka tak ada persoalan lain kecuali mengurus mayatnya dan selanjutnya tidak ada apa-apa lagi.
Meski pun Tang Gun sudah berhasil membunuh A Cui yang mengetahui rahasianya tanpa meninggalkan jejak, tetap saja hatinya merasa tidak tenteram. Dia dapat menduga bahwa kalau sampai A Cui mengetahui rahasia itu, berarti A Sui, dayang yang menjadi pelayan Hwee Lan itulah yang bermulut panjang dan membocorkan rahasia. Mungkin hanya untuk pamer dan membanggakan diri bahwa dia sudah berhasil menjadi kekasih perwira Tang yang banyak dikagumi para puteri itu!
Yang membuat dia gelisah, siapa saja yang sudah mengetahui akan rahasia itu? Apakah A Sui hanya bercerita kepada A Cui saja? Ataukah celotehnya didengar oleh lebih banyak dayang lagi? Celakalah kalau begitu!
Dia harus cepat-cepat pergi ke kota Yu-sian untuk minta keterangan A Sui, dan dayang yang panjang mulut itu perlu ditegur, atau bahkan dihajar supaya lain kali tidak berani lagi berlancang mulut menyebarkan rahasia yang seharusnya dipegang teguh karena sangat berbahaya kalau sampai terdengar oleh istana.
Pada keesokan harinya, Tang Gun mohon diri dari kaisar untuk keluar dari istana dalam usahanya menyelidiki sendiri kehilangan selir Hwee Lan dan pelayannya, A Sui. Untuk itu, dia minta cuti selama sebulan. Tentu saja permohonannya dikabulkan karena kaisar juga masih merasa amat penasaran dengan menghilangnya selir dan dayangnya itu, dan hal ini memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tang Gun sebagai perwira pengawal dalam istana untuk dapat menangkap selir yang melarikan diri itu…..
********************
Kedatangan Tang Gun di kota Yu-sian dilakukan secara diam-diam. Bagaimana pun juga dia tidak berani secara terang-terangan memperlihatkan diri kepada umum pada saat dia mengunjungi kekasihnya, yaitu Hwee Lan dan A Sui yang kini sudah membuka sebuah toko kain di kota itu. Dia datang pada malam hari, melalui genteng rumah seperti seorang pencuri! Akan tetapi kedatangannya itu langsung disambut dengan mesra dan manis oleh Hwee Lan dan A Sui yang sudah merasa rindu sekali kepada pria ini.
Tetapi kemesraan itu diliputi mendung. Tang Gun yang juga merasa rindu kepada mereka, nampak diam dan murung. Tentu saja hal ini membikin dua orang wanita itu menjadi amat khawatir.
"Koko, apakah yang menyebabkan engkau terlihat murung dan tidak senang?" Hwee Lan merangkul dan duduk di atas pangkuan kekasihnya. Tang Gun menghela napas.
"Aku telah membunuh dayang A Cui..."
"A Cui....?!" A Sui terkejut sekali mendengar bahwa kekasih majikannya, juga kekasihnya sendiri itu, telah membunuh A Cui, seorang dayang istana yang menjadi sahabat baiknya.
"Membunuh A Cui? Mengapa...?" Hwee Lan juga berseru kaget dan dia segera turun dari atas pangkuan kekasihnya, akan tetapi masih merangkulnya dan mengamati wajah yang tampan itu dengan khawatir .
"Dia telah mengetahui rahasia kita, dan dia memerasku untuk melayaninya. Sebab itu aku lalu membunuhnya." Diceritakannya peristiwa dalam taman itu kepada dua orang wanita yang mendengarkan dengan wajah berubah pucat.
"Dan apa bila A Cui sampai mengetahui rahasia kita itu, sudah pasti bahwa salah seorang di antara kalian yang sudah membocorkannya dan menceritakannya kepada A Cui. Hayo, siapa yang telah bicara dengan A Cui? Mengaku saja!"
Hwee Lan memandang kekasihnya yang sudah bangkit berdiri itu dengan mata terbelalak, lantas dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku sama sekali tak pernah bicara tentang hubungan kita kepada siapa pun juga. Aku cukup mengetahui betapa berbahayanya kalau hal itu kulakukan. Akan tetapi A Sui...! Engkau..., tentu engkau yang telah bicara dengan A Cui, bukan? Aku tahu bahwa engkau adalah sahabat karib A Cui!" Bekas selir kaisar yang cantik jelita itu kini memandang kepada pelayannya.
Wajah A Sui menjadi semakin pucat. Ia menundukkan mukanya, kemudian dia berlutut di atas lantai dan menangis. "Ampun... saya kira... hal itu tidak ada bahayanya karena dia... dia adalah seorang sahabat baik yang biasanya setia... dan..."
"Goblok! Engkau lancang mulut!" Tang Gun dengan marah segera menggerakkan kakinya menendang.
"Bukkk!" Tubuh selir yang mungil itu terlempar dan menabrak dinding lalu terbanting jatuh. Dia menangis dan pipinya yang tertabrak dinding membiru, juga mulutnya berdarah.
"Kau... kau akan membikin celaka kita semua!" Tang Gun membentak lagi dan perasaan marahnya masih berkobar.
"Ampun... ampunkan saya..."
Bekas dayang itu merintih ketakutan. Sebelum Tang Gun kembali turun tangan menghajar atau mungkin membunuh bekas dayang yang menjadi kekasihnya itu, mendadak nampak bayangan berkelebat dibarengi suara seorang laki-laki,
"Tang Gun, apakah engkau hendak membunuh pula wanita ini seperti engkau membunuh dayang A Cui?"
Tentu saja tiga orang itu amat terkejut, terutama sekali Tang Gun. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata di ruangan itu sudah berdiri seorang laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali. Seorang pria yang usianya sudah lima puluh lima tahun, pakaiannya sangat rapi, tubuhnya sedang dan setua itu masih nampak tampan menarik. Melihat bahwa pria itu hanya orang biasa saja, tidak membawa senjata, Tang Gun bersikap garang.
Sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka pria itu, dia membentak lantang, "Heh, siapakah engkau yang datang memasuki rumah kami tanpa diundang?" Walau pun suara dan sikapnya garang, akan tetapi hatinya berdebar tegang mendengar betapa pria ini telah tahu akan rahasianya yang ke dua, yaitu membunuh A Cui!
Pria setengah tua itu tersenyum mengejek dan kedua matanya mengeluarkan sinar tajam. "Aku adalah utusan kaisar yang datang untuk menangkap kalian bertiga lantas membawa kalian kembali ke istana!"
Wajah Tang Gun seketika pucat mendengar ucapan ini. Akan tetapi, melihat betapa orang itu hanya seorang diri saja dan tidak bersenjata, maka dia pun menjadi nekat. Dia harus membunuh orang ini apa bila ingin selamat. Secepat kilat dia sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya ke arah dada orang itu.
"Singggg...!"
Pedang berdesing saking cepat gerakannya, tapi hanya meluncur lewat karena orang itu sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya. Akan tetapi, dengan lompatan ke kanan Tang Gun sudah cepat membalikkan tubuh, kemudian pedangnya menyambar ganas, kini membacok ke arah leher dan gerakan pedang ini segera disusul dengan tendangan kaki kirinya ke arah bawah pusar lawan.
Serangan ini sangat hebat karena Tang Gun sudah memainkan jurus Li-kong Sia-ciok (Li Kong Memanah Batu), gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga yang dahsyat. Namun ternyata lawannya adalah seorang yang lihai sekali. Dia tak pernah mimpi bahwa lawannya ini adalah orang yang dicari-carinya semenjak dia kecil, yaitu ayah kandungnya sendiri yang berjuluk Ang-hong-cu!
Ang-hong-cu Tang Bun An menghadapi serangan dahsyat itu dengan sangat tenang. Dia melangkah mundur sehingga bacokan tidak mengenai lehernya, dan ketika tendangan itu menyambar lewat, tangannya cepat bergerak menyentuh bawah kaki kemudian sekali dia menggerakkan tenaga ke arah tumit itu, tubuh Tang Gun lantas terlempar dan terjengkang ke belakang!
"Brukkk!"
Tubuh Tang Gun terbanting, akan tetapi orang muda inl sudah cepat meloncat bangun lagi dan menyerang lebih ganas. Dia kini dapat mengerti bahwa lawannya sangat pandai, maka dia menjadi nekat. Dia harus dapat mengalahkan orang itu, atau dia akan celaka!
Pedangnya lantas menyambar-nyambar, berubah menjadi cahaya yang bergulung-gulung, yang menyambar-nyambar bagaikan maut kelaparan mencari nyawa. Namun tingkat ilmu kepandaian silat yang dikuasai Tang Gun jauh berada di bawah tingkat Ang-hong-cu yang di samping ilmunya tinggi, juga sudah memiliki pengalaman luas, maka semua sambaran pedangnya tidak pernah mengenai sasaran.
Kalau Si Kumbang Merah itu menghendaki, bahkan dalam beberapa jurus saja Tang Gun tentu sudah roboh dan dikalahkan. Akan tetapi, mengingat bahwa perwira muda ini adalah puteranya sendiri seperti yang sudah diakui oleh Tang Gun dan yang dipercayanya pula, agaknya Si Kumbang Merah hendak menguji sampai di mana ketangguhan pemuda yang mengaku sebagai anaknya itu.
Setelah puas mempermainkan Tang Gun dengan elakan-elakan yang membuat tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara cahaya pedang, tiba-tiba saja Si Kumbang Merah mengeluarkan seruan nyaring.
"Heiiiittttt…!"
Kedua tangannya bergerak, yang kiri menotok ke arah siku kanan lawan dan yang kanan mencengkeram pundak, dan di lain saat tubuh Tang Gun sudah menjadi lemas kemudian pedangnya dengan mudah berpindah tangan! Si Kumbang Merah cepat menyusul dengan totokan ke arah jalan darah thian-hu-hiat, maka tubuh perwira itu pun terkulai lemas tidak mampu bergerak lagi!
Dua orang wanita itu menjadi ketakutan sampai hampir terkencing-kencing. Akan tetapi Si Kumbang Merah tersenyum ramah dan berkata kepada mereka,
“Hayo kalian berdua ikut bersamaku. Kereta sudah menunggu di luar. Jangan sampai aku harus mempergunakan kekerasan terhadap kalian dua orang nona manis!"
Hwee Lan dan A Sui tak berani membantah pula biar pun mereka ketakutan dan maklum bahwa mala petaka menanti mereka. Ang-hong-cu menarik tubuh Tang Gun bangun, lalu memapahnya keluar sambil menggiring dua orang wanita itu yang berjalan dengan tubuh menggigil ketakutan. Ternyata di luar sudah tersedia sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda! Ang-hong-cu yang membayangi Tang Gun dan mengetahui tempat persembunyian perwira dengan dua orang kekasihnya itu telah mempersiapkan kereta untuk memboyong para tawanan itu kembali ke kota raja!
Setelah ketiga orang itu berada di dalam kereta, Tang Gun tertotok lemas dan dua orang wanita itu menangis lirih, Ang-hong-cu segera melarikan keretanya menuju ke kota raja. Penangkapan terhadap ketiga orang itu merupakan peristiwa yang aneh karena tidak ada orang lain yang mengetahuinya!
Dua orang wanita itu pun merasa tak berdaya, hanya mampu menangis ketakutan karena mereka dapat membayangkan bahwa mereka pasti akan menerima hukuman. Orang yang mereka percaya kini telah duduk setengah rebah di dalam kereta, tak dapat bergerak lagi dan hanya mampu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata putus asa dan ketakutan…..
********************