Si Kumbang Merah Jilid 10

Han Siong mengajak Bi Lian untuk menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun berlalu, akan tetapi ketua kuil itu sekarang nampak sudah sangat tua, tua keriputan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya tampak segar, kini terlihat layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan.

"Losuhu, saya dan sumoi mohon maaf bila mengganggu losuhu. Akan tetapi di manakah adanya suhu? Tadi subo juga tak ada di dalam kamar tahanannya. Di manakah mereka?"

Sepasang mata yang dulu menyinarkan kegalakan dan kekerasan itu nampak sayu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, dan kini sepasang mata itu mengamati Han Siong dan Bi Lian.

"Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi supaya agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi..." katanya lirih.

Hati pemuda itu terharu dan dia pun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali ketika melihat wajah gadis yang datang bersama Han Siong. Alangkah miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya bagaikan diremas dan dia pun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih,

"Omituhud... semoga semua dosa pinceng diampuni oleh Thian..."

“Losuhu, sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo sekarang," kata pula Han Siong yang merasa tak enak melihat kedukaan membayang di wajah kakek itu.

Kakek itu membuka matanya dan menghela napas panjang. "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima curahan penyesalan hati pinceng yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdua adalah orang yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pjnceng, pengakuan orang yang berdosa besar!"

"Losuhu...!" Han Siong membantah dengan perasaan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas.

"Diamlah, Han Siong, dan kau dengarkan saja pengakuan pinceng ini."

Han Siong lalu duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu dia akan mendengarkan cerita yang sangat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu akan tetapi mengandung sinar kejujuran dan juga kekerasan itu membuat dia merasa suka kepada kakek tua renta itu.

"Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu ada sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang amat mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Iblis Buta, seorang datuk sesat. Sedangkan Toan Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw. Mereka sengaja menghadap pinceng dan minta agar diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturunan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas…" Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak.

Han Siong merasa kagum sekali kepada suhu dan subo-nya. Biar pun keduanya adalah keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, akan tetapi keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa orang tua dengan masuk menjadi pendeta!

Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, diam-diam juga merasa kagum dan bersimpati. Dia sendiri pun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, tetapi dia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Dia benci terhadap perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat.

"Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!"

Mendengar ini, hati Han Siong terkejut bukan main. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, kedua matanya memandang tajam penuh selidik.

Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, terlalu mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Dia menolak pinceng! Kemudian... di luar pengetahuannya, ternyata ketika masuk menjadi nikouw, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini lalu pinceng gunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu yang telah mengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Juga membalas dendam terhadap Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan nafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan yang terpisah!"

"Aihhh, betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Lian berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan yang begitu kejam terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, dan karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum mereka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?"

"Sumoi...!" Han Siong berseru kaget sekali ketika mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu!

Akan tetapi kakek itu bahkan tersenyum, lantas merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud..., terima kasih, nona. Makian dan celaan tadi sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan pantas dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali..."

Mendengar ini, Bi Lian segera menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya suhu dan subo-nya, maka dia pun kembali mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu.

"Lalu bagaimana kelanjutannya, losuhu?"

Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga terlihat lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biar pun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu.

"Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsyafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul sesudah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu dan di hadapan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng serta menyatakan bahwa pinceng telah menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati"

"Ahhh...!" Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut.

"Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tak berdosa harus menjalani hukuman selama hampir dua puluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja..."

"Sumoi...!" kembali Hong Siong menegur gadis itu.

Kakek itu tersenyum lagi dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang sebab gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh selama ini pinceng merasa menyesal sekali, apa lagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Sebab itu biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng...! Mereka memang tidak berdosa. Sesudah pinceng mendengar akan pengalaman mereka, ternyata mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apa pun akhirnya ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor..."

"Anak mereka...? Ahh, suhu dan subo mempunyai anak, lantas bagaimana dengan anak mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum.

Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itu pun sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu!

Han Siong merasa serba salah. Tentu saja tak mungkin dia mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menunggu jawaban dari Ceng Hok Hwesio.

"Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi... Omitohud... semoga dosa pinceng dapat diampuni... anak itu kabarnya dilarikan oleh penjahat sesudah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh penjahat..."

Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak ketika dia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu.

"Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan, atau... demi Tuhan, kubunuh kau!"

"Sumoi...!" Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu.

Akan tetapi Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang yang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.

"Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghindarkan diri..., silakan...!"

"Sumoi...!" Han Siong kembali menegur.

Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng engkau... engkau tentu tahu... anak... anak itu... dia... dia…?"

Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suara pun Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Dia pun mengangguk.

"Benar, sumoi. Engkaulah anak itu... engkau adalah puteri suhu dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu..."

Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam ke arah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Tetapi pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu dan mendorong mundur tubuh Bi Lian.

"Sumoi, tenanglah. Apa bila engkau membunuhnya, berarti engkau mengambil alih semua dosanya...! Jangan, Sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu...!"

Bi Lian mencoba untuk meronta, namun Han Siong terus memegangi kedua lengannya. "Lepaskan, Suheng! Ia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"

"Omitohud... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar dia membunuh pinceng. Omitohud... akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan, biar dia membunuh pinceng. Anak baik, kau bunuhlah pinceng... kau bunuhlah pinceng..." Dan hwesio itu pun kini menangis terisak-isak sambil berbisik-bisik minta dibunuh.

Han Siong tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, Sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali jika mereka mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka yang menerima hukuman itu saja tak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dahulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui ayah ibumu...”

"Ayah? Ibu? Di mana... di mana... mereka... ?" Gadis itu tergagap-gagap, kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.

"Losuhu, tolong beri tahu, di mana adanya suhu dan subo kini?"

Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka... mereka... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur... tapi… tapi... biarkan dia membunuhku dulu, Han Siong... aku mohon padamu, biarkan dia membunuh pinceng..."

Akan tetapi Han Siong tidak mempedulikan kakek itu, melainkan menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang di antara tangisnya terus minta dibunuh, akan tetapi Han Siong tetap mengajak sumoi-nya keluar.

Di luar kamar mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio sehingga para hwesio ini tentu saja menjadi terkejut dan terheran akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu.

Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong cepat memperkenalkan diri. "Para Suhu dan Suheng, apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong..."

"Ahh, Han Siong...”

"Sute..."

Para hwesio itu kini mengenalnya, akan tetapi Han Siong tak ingin banyak bicara dengan mereka. Dia menggandeng tangan sumoi-nya dan berbisik, "Mari kita pergi, sumoi...!"

Dia pun mengajak sumoi-nya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang dalam kegelapan malam. Para hwesio hanya bisa memandang dengan mata terbelalak penuh kagum.

Mereka melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba Bi Lian berhenti.

"Marilah, Sumoi..."

Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan.

"Suheng..." Dari suaranya dapat diketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya.

Semenjak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak sampai tersedu-sedu atau terisak-isak walau pun kedua matanya telah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes ke atas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan.

Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yakni suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu dia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang sering datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya.

Seorang pria yang gagah perkasa akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku, serta seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi wajahnya selalu pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subo-nya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhu-nya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!

"Ya? Ada apa, Sumoi?" Han Siong bertanya, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoi-nya membunuh Ceng Hok Hwesio.

"Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?"

Han Siong mengangguk, akan tetapi cepat-cepat menjawab setelah teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, Sumoi. Suhu dan subo telah memberi tahu kepadaku siapa namamu, yaitu Bi Lian dan menggunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, Sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencari engkau. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku... aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Sesudah mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."

"Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberi tahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"

"Aku khawatir engkau tidak percaya, Sumoi. Maksudku hendak membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar dari mereka sendiri. Tidak kusangka kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kau ketahui...”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Karena Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung dan perjalanan dilakukan secara lambat, dan setelah terang tanah mereka baru dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu.

Tidak sukar mencari suami isteri itu sesudah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang nampak subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong mereka.

Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari kemudian memegang lengan kanan Han Siong. Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan gadis itu dingin dan gemetar .

Seperti yang diduganya, setelah tiba di depannya, dua sosok tubuh itu bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru,

"Heiiii..., bukankah itu engkau, Han Siong...?"

Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bahwa yang datang tentu engkau..." Mendadak dia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian.

Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba saja memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini... dia ini..."

Seperti besi terbetot besi sembrani Toan Hui Cu melangkah maju menghampiri, "...kau... kau..." Dia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau dia salah kira.

Akan tetapi suaminya berteriak, "Pasti dia! Wajahnya itu... ahh, serupa benar denganmu, Hui Cu. Dia Bi Lian...!"

"Kau... kau benar Bi Lian...?” Dengan suara bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan.

Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini dia tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu.

"Ibuuuuu..., engkau ibuku...!"

"Bi Lian anakku... ahh, Bi Lian...!"

Kedua ibu dan anak itu saling berangkulan, kemudian Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu.

"Bi Lian... ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku..."

Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.

"Ayaahhh...!”

"Anakku...!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu. Pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan.

Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang semenjak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subo-nya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum sambil menahan keharuan hatinya yang merasa ikut bahagia. Siangkoan Ci Kang yang lengan kirinya buntung itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih.

“Syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."

Toan Hui Cu sekarang bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping. "Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian."

"Pertemuan antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, Suhu dan Subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."

"Ahh…! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?" Suami isteri itu bertanya.

Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang sangat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil.

"Ibu dan ayah... mengapa ibu dan ayah begitu... nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu dulu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui aku sebagai anak?" Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar.

"Hai, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa dia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?" Ibu gadis itu malah balik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum dapat menjawab pertanyaan puterinya.

Siangkoan Ci Kang tertawa, "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Mari kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar supaya tidak ada lagi rasa penasaran yang menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, sebentar lagi engkau pasti akan mendengar semua jawaban atas pertanyaanmu."

Dara itu berjalan di tengah digandeng oleh ayah ibunya, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada satu hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya.

Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada muridnya, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia sudah dijodohkan dengan Bi Lian. Dahulu hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus prosen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati.

Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagaimana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu apa bila mendengar bahwa dia dijodohkan dengan suheng-nya! Selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga bagaimana perasaan gadis itu terhadap dirinya.

Gadis itu berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi juga penuh rahasia baginya. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali, kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan hatinya sendiri? Hal ini membuat dia secara diam-diam merasa gelisah ketika mengikuti gadis dan ayah ibunya itu dari belakang.

Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subo-nya melingkar di pinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya!

Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di pinggir sebuah anak sungai yang airnya jernih, yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang lain berada di dusun yang berada di kaki gunung.

Setelah berada di dalam pondok dan duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat kemudian bercakap-cakap. Untuk melenyapkan rasa penasaran di hati Bi Lian, mula-mula Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang sudah yatim piatu dan saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, lalu masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw.

"Tapi agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkau pun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio," kata Toan Hui Cu.

"Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? tanya Bi Lian sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu,.

Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya. "Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan masing-masing selama dua puluh tahun...”

"Dua puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu menghukum seperti itu?"

"Karena menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dan menyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya.

"Ayah dan Ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah dan Ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?" Bi Lian mendesak.

Suami isteri itu saling lirik, lantas Siangkoan Ci Kiang menjawab, "Ya, kami menerimanya dan kami menganggapnya sudah pantas."

"Tidak! Tidaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada Ibu, kakek yang tidak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum Ayah dan Ibu untuk memuaskan dendamnya!"

"Sumoi...!" Han Siong berseru menegur.

Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong. Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya, "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?"

"Dia sendiri yang mengaku kepada kami!" Bi Lian menjawab. "Ayah dan Ibu, tadinya kami masuk ke dalam kamar tahanan Ayah dan Ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan ini. Hampir saja aku membunuhnya!"

"Bi Lian...!" Toan Hui Cu merangkul puterinya.

Kini Han Siong turut bicara. "Suhu dan Subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio, sumoi belum tahu bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo, karena teecu hanya mengajak sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo yang dia ingat sebagai guru-gurunya pada saat dia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari Suhu dan Subo di kuil, kami berjumpa dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya."

"Aku heran sekali mengapa Ayah dan Ibu membiarkan saja orang berbuat begitu kejam terhadap Ayah dan Ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran.

Ayahnya tersenyum. "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa Ayah beserta Ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang dahulu ditumpuk oleh kakek nenekmu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biar pun sesudah hampir dua puluh tahun kemudian losuhu itu baru membuat pengakuan, kami tak merasa penasaran karena di dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang sangat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, bahkan kemudian kami bertemu dengan suheng-mu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio."

"Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua harus menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati."

Bi Lian mengangguk-angguk. "Mungkin benar juga pendapat Ayah dan Ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, kenapa Ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan juga menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?"

"Begini, Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibumu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun dalam kurungan sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Oleh karena itu, sesudah berpikir masak-masak maka kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Kami selalu mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat."

"Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak sayang kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau teringat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu...”

Bi Lian merangkul ibunya. "Aku percaya, Ibu. Aku pun dapat merasakan kasih sayang Ibu dan Ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu."

"Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu!" kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya.

"Nanti dulu, Ayah dan Ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan ‘jual mahal’. "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu."

Toan Hui Cu tersenyum kemudian mengangguk kepada muridnya. "Kami pun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Kini berceritalah, Han Siong."

"Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika masih bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo kemudian menjadi muridnya."

"Ya, aku sudah tahu tentang hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu," kata Bi Lian.

Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada dua orang gurunya. "Ketika Suhu dan Subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari Sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan Sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambil keputusan tidak akan kembali menghadap Suhu dan Subo sebelum berhasil menemukan Sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu Suhu dan Subo, dan juga kenekatan. Dalam perjalanan itu teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambll murid selama satu tahunl."

"Ban Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia adalah salah seorang di antara Delapan Dewa?"

"Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir..."

"Wah, Ayah dan Ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!"

“Hemm, coba kau perlihatkan sedikit sihirmu supaya kami dapat melihatnya, Han Siong," kata Toan Hui Cu, subo-nya.

“Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap Suhu dan Subo?” kata Han Siong.

"Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kau pelajari itu," kata suhu-nya.

"Suhu, menurut keterangan suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan oleh suhu Ban Hok Lojin hanyalah untuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk menghadapi serangan sihir hitam."

"Kalau begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami supaya kami menjadi yakin."

"Aihh, Suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, aku pun ingin sekali melihatnya," kata Bi Lian.

Han Siong tersenyum, lantas diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk melakukan demonstrasi sihirnya. "Suhu, Subo dan Sumoi, andai kata sekali waktu teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau seorang lawan tangguh, teecu bisa membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri teecu!"

"Memperbanyak diri?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui ClI bertanya hampir berbareng.

"Apa maksudmu, Suheng?" Bi Lian juga ingin sekali tahu.

"Suhu, teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!"

Suara Han Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua orang!

"Atau menjadi tiga seperti ini!" terdengar lagi suara Han Siong dan sekarang muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda yang kembar di depan mereka.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar