Pada waktu Cia Kong Liang menyerukan agar pertandingan dihentikan karena hio sudah terbakar habis, Kui Hong lantas menyiramkan seluruh sisa tinta bak itu kepada lawannya. Cun Sek mencoba untuk mengelak, namun tetap saja sebagian muka, leher dan dadanya berlepotan tinta hitam!
Kemarahan Cun Sek membuat dia lupa diri, lupa akan topeng sopan santun yang selama empat tahun ini dikenakan pada mukanya. Dengan mata melotot dia memandang kepada Kui Hong, lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka gadis itu sambil membentak marah, suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Engkau... engkau... gadis curang! Engkau telah bertindak licik dan curang! Engkau gadis kurang ajar!"
Kui Hong tersenyum mengejek dan begitu kedua tangannya bergerak, tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu di tangan kanan dan kirinya sudah nampak sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam!
"Benarkah itu?" jawabnya mengejek. "Aku curang dan licik sedangkan engkau bersih dan jujur, ya? Apa yang kau lakukan ketika engkau melawan susiok Gouw Kian Sun tadi? Apa pula yang kau lakukan kepadaku tadi ketika engkau mulai kalah? Engkau yang curang dan licik semenjak melawan susiok, aku hanya mengimbangimu saja! Sekarang kau mau apa? Kalau tidak terima, boleh kita mencoba dengan senjata, siapa yang lebih unggul di antara kita!" Setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan sepasang pedangnya, membuat kuda-kuda dan gerakan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam yang amat dahsyat.
Melihat ini Cun Sek menjadi semakin marah. "Kau berani menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Calon ketua macam apa kau ini?"
Kembali Kui Hong tersenyum mengejek, dalam hatinya amat girang sebab pancingannya mengena. "Ahai...! Manusia tidak tahu diri! Engkau bilang aku mempergunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Kau kira ilmu silat yang kau mainkan itu ilmu Cin-ling-pai murni? Hemmm, bocah sombong! Aku adalah keturunan ketua Cin-ling-pai, aku mempelajari ilmu silat Cin-ling-pai sejak kecil! Aku jauh lebih mahir dalam ilmu silat Cin-ling-pai dari pada engkau yang baru empat tahun belajar di sini. Aku memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam untuk menunjukkan kepadamu bahwa bukan hanya engkau seorang yang mahir ilmu-ilmu silat lain. Sekarang engkau mengajak bertanding dengan apa pun, akan kulayani! Dengan ilmu silat Cin-ling-pai yang asli tanpa kau campur-campur seperti cap-jai? Atau dengan ilmu silat lain? Aku siap! Hayo lekas keluarkan senjatamu!"
Metihat keributan itu, para tamu dan semua murid Cin-ling-pai memandang dengan hati tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara atau mencampuri. Cia Hui Song dan isterinya saling pandang dan bersikap tenang, pura-pura tidak tahu saja.
Meski pun tidak membenci Tang Cun Sek yang pandai membawa diri dan menyenangkan hati, tapi suami isteri ini juga tidak tertarik atau suka sekali kepada pemuda yang mereka anggap penuh rahasia itu. Mereka pun telah melihat kecurangan yang dilakukan pemuda itu tadi terhadap Gouw Kian Sun, maka pembalasan yang dilakukan puteri mereka tidak membuat mereka menjadi marah. Akan tetapi, ketika melihat betapa ayahnya marah, Cia Hui Song menjadi tak enak hati dan dia pun ikut berdiri ketika ayahnya bangkit berdiri.
"Kalian hentikan keributan itu!" bentak Cia Kong Liang kepada mereka.
"Kui Hong, mundurlah engkau!" Cia Hui Song juga melanjutkan seruan ayahnya.
Mendengar seruan kedua orang tua itu, Kui Hong menggerakkan pundaknya kemudian memandang kepada Tang Cun Sek dengan sikap mengejek dan berkata, "Ahh, sungguh sayang kongkong dan ayah melarangku. Untung bagimu tidak sampai berkenalan dengan sepasang pedangku Penakluk Iblis ini!" Dia pun lantas menyarungkan kembali sepasang pedangnya.
Wajah Cun Sek akan terlihat merah padam kalau saja sebagian tidak tertutup tinta hitam. Dia maklum bahwa dirinya telah menjadi bulan-bulan penghinaan dan dipermainkan oleh Kui Hong di hadapan banyak orang. Kalau dia nekat berusaha membalas dan menyerang gadis itu, selain belum tentu dia menang, juga tentu semua orang akan membela dara itu. Maka dia pun membalikkan tubuhnya, menghadapi Cia Kong Liang dan memberi hormat lalu berkata pendek,
"Teecu hendak membersihkan noda hitam dan bertukar pakaian!" Dan tanpa menunggu jawaban, dia pun melompat turun dari atas panggung lalu berkelebat cepat menghilang, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Kini banyak di antara para murid Cin-ling-pai yang berbalik pilihan. Tadinya mereka yang memilih Tang Cun Sek sebagai calon ketua adalah para murid yang merasa tertarik dan suka kepada murid baru ltu yang menjanjikan akan mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai kalau dia menjadi ketua.
Para murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang berjiwa gagah. Mereka memang senang sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, namun mereka paling membenci perbuatan yang licik dan curang. Kini mereka semua mendengar betapa Cia Kui Hong membongkar rahasia kecurangan pemuda itu ketika tadi melawan Gouw Kian Sun, maka mereka pun mulai tak suka kepada pemuda itu dan pilihan mereka sekarang ditujukan kepada Cia Kui Hong.
"Hidup nona Cia Kui Hong!"
"Dia ketua baru yang paling tepat!"
Mereka bersorak-sorak sehingga kakek Cia Kong Liang tak dapat membantah lagi karena dalam pertandingan tadi Kui Hong memang telah mendapatkan kemenangan mutlak. Dia tidak menyangka bahwa gadis itu mau mencalonkan diri menjadi ketua, dan tidak mengira gadis itu tidak tertarik kepada Cun Sek, bahkan menentangnya.
Diam-diam dia merasa heran. Cun Sek demikian baiknya, mengapa tidak mendapatkan dukungan? Dia lalu menarik napas panjang dan hanya mengangguk-angguk ketika para anggota juri menghadap padanya, termasuk puteranya sendiri, untuk menyatakan bahwa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan ketua baru itu adalah Cia Kui Hong.
"Sudahlah, memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Cin-ling-pai harus mempunyai seorang ketua wanita, cucuku sendiri, Cia Kui Hong!"
Para murid Cin-ling-pai menyambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira ketika ketua mereka, Cia Hui Song, berdiri di atas panggung sambil mengumumkan bahwa ketua baru yang akan menggantikan dia adalah puterinya sendiri, Cia Kui Hong yang keluar sebagai pemenang. Cia Hui Song juga minta kepada para undangan untuk menjadi saksi bahwa sekarang Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang ketua baru, yaitu nona Cia Kui Hong!
Untuk diperkenalkan kepada para tamu, Kui Hong dipanggil ayahnya untuk tampil di atas panggung. Dengan pakaian masih berlepotan tanda-tanda hitam Kui Hong menghampiri ayahnya di atas panggung, disambut tepuk tangan meriah oleh para anggota Cin-ling-pai.
Pada saat itu pula, seorang murid yang tadi diutus oleh Cia Kong Liang untuk memanggil Tang Cun Sek supaya hadir dalam pengangkatan ketua baru itu, karena kakek ini masih mengharapkan agar pemuda itu dapat menjadi wakil ketua atau pembantu ketua supaya dapat mendekatkan antara pemuda itu dengan cucunya, datang melapor dengan suara keras bahwa Tang Cun Sek tidak berada di dalam kamarnya, bahkan semua pakaiannya juga tidak ada!
"Dia... dia berani minggat...?!” Kakek itu berseru marah, lantas menjatuhkan diri terduduk di atas kursi, wajahnya agak pucat dan dia pun mengeluh, "... ahhh, apakah semua yang kulakukan selalu salah belaka?"
Kui Hong cepat-cepat berlutut di dekat kakeknya. "Kongkong, sebenarnya kongkong tidak bersalah. Kongkong berniat baik sekali, demi untuk kemajuan Cin-ling-pai atau pun untuk mencarikan jodoh bagiku. Namun Kongkong tertipu oleh topeng domba yang digunakan seekor serigala. Naluri kewanitaanku lebih peka, Kongkong, sehingga di dalam pertemuan pertama itu pun aku sudah merasa tidak suka kepadanya. Dia pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga bukan Kongkong saja yang terpikat, bahkan ayah ibu dan para saudara Cin-ling-pai tidak ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang yang berhati palsu. Sudahlah, tak perlu disesalkan lagi, Kongkong, yang penting kita masih untung bisa menyelamatkan Cin-ling-pai dari tangan orang luar yang tidak mempunyai itikad baik!”
Wajah kakek itu nampak berduka sekali. "Ahh, akan tetapi pedang pusaka Hong-cu-kiam telah kuberikan kepadanya dan kini dibawa pergi... "
"Biarlah, kelak akulah yang akan mencarinya untuk merampas kembali Hong-cu-kiam dari tangannya, kemudian membunuh dia karena sudah berani menipumu, Kongkong. Harap Kongkong tidak berduka, karena bukan kita saja yang tertipu oleh muka manis dan sikap yang baik. Bahkan kakek dan nenek di Pulau Teratai Merah yang demikian lihainya masih dapat kebobolan dan juga kemasukan orang jahat yang berhasil mewarisi ilmu-ilmu Pulau Teratai Merah bahkan juga telah minggat dan melarikan pusaka Gin-hwa-kiam dari sana."
Dengan singkat gadis itu lalu bercerita tentang Sim Ki Liong, keturunan musuh besar yang berhasil menyelundup ke Pulau Teratai Merah dan diterima menjadi murid oleh Pendekar Sadis dan isterinya! Memang ada hasilnya cerita itu bagi kakek Cia Kong Liang. Agaknya terhibur juga hatinya mendengar betapa suami isteri yang demikian sakti seperti Pendekar Sadis dan isterinya dapat pula dikelabui oleh muka manis.
Setelah pesta pemilihan ketua itu selesai dan para tamu pulang dengan membawa cerita menarik dan kesan mendalam tentang pemilihan yang ricuh itu, Cia Kui Hong menerima kedudukan sebagai ketua Cin-ling-pai secara resmi. Kakeknya sendiri yang memimpinnya untuk bersumpah setia kepada Cin-ling-pai dan dalam kesempatan ini, Kui Hong dengan resmi pula mengangkat susiok-nya, Gouw Kian Sun menjadi wakil ketua dan mewakilinya dalam semua urusan kalau dia sedang tidak berada di Cin-ling-pai.
"Sebenarnya jiwaku tidak banyak bedanya dengan ayah dan ibu," katanya kepada kedua orang tuanya itu, juga di depan kakeknya. "Aku senang merantau dan tidak betah untuk tinggal di sini, dipusingkan dengan urusan perkumpulan. Aku melihat bahwa susiok lebih tepat untuk menjadi ketua, malah susiok pula yang selama ini mengurus Cin-ling-pai pada saat ayah tidak aktip. Tetapi karena dalam pemilihan itu terpaksa aku harus turun tangan demi menyelamatkan Cin-ling-pai kemudian terpilih menjadi ketua, maka biarlah aku akan bertanggung jawab. Namun, untuk dapat mengurusnya dengan baik dan untuk kemajuan Cin-ling-pai, maka aku wakilkan kepada susiok Gouw Kian Sun!"
Tidak ada yang menentang pendapat dan keputusan ini. Nama Gouw Kian Sun memang merupakan nama yang cukup berwibawa dan juga disukai oleh para anggota Cin-ling-pai. Mereka yang tadinya mendukung Tang Cun Sek adalah karena terpikat oleh janji muluk-muluk dari pemuda itu dan kini mereka yang tadinya mendukung, berbalik menjadi benci kepada pemuda itu yang ternyata di samping curang dan licik, juga pengecut tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya malah melarikan diri tanpa pamit!
Tentu saja Gouw Kian Sun girang sekali karena dia memang seorang murid Cin-ling-pai yang sangat mencintai perkumpulan itu. Seolah-olah seluruh hidupnya tergantung kepada perkumpulan Cin-ling-pai di mana dia dibesarkan, di mana dia tinggal dan mengalami suka duka dalam hidupnya.
Sampai berusia empat puluh tahun, Gouw Kian Sun masih saja hidup membujang belum menikah. Dan sekarang, sebagai seorang wakil ketua tentu saja dia dapat mencurahkan segenap kemampuannya untuk memajukan Cin-ling-pai dan di bawah pimpinannya, dapat diharapkan Cin-ling-pai akan mengalami perubahan dan kemajuan pesat.
Sesudah Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai, dia merundingkan dengan susiok-nya yang menjadi wakil ketua, minta nasehat dari ayah ibunya dan juga dari kakeknya, lalu mulai mengadakan perubahan-perubahan kepada perkumpulan mereka itu. Pengalaman pahit dengan menyelundupnya Tang Cun Sek menjadi peringatan bagi mereka semua supaya lebih berhati-hati.
Sebulan setelah itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, meninggalkan Cin-ling-san untuk melakukan perjalanan ke Pulau Teratai Merah di wilayah selatan. Pertama untuk mengunjungi ayah ibu Ceng Sui Cin, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong, dan ke dua untuk merayakan kembali kedamaian yang mereka dapatkan setelah Kui Hong pulang ke Cin-ling-san.
Tidak lama kemudian, sesudah melihat bahwa keadaan perkumpulan Cin-ling-pai mulai teratur dengan baik di bawah pimpinan Gouw Kian Sun sebagai wakil ketua, Kui Hong sendiri lalu berpamit dari kakeknya untuk pergi merantau. Kakek Cia Kong Liang tak dapat menahan cucunya, apa lagi karena cucunya ingin memenuhi janjinya untuk mencari Tang Cun Sek, merampas kembali Hong-cu-kiam dan menghukum murid murtad itu.
Sejak peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai itu, yaitu beberapa peristiwa susul-menyusul yang mendatangkan banyak guncangan batin baginya, kakek Cia Kong Liang tidak lagi menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Kini dia keluar dan menyumbangkan tenaganya untuk menjadi penasehat bagi muridnya, Gouw Kian Sun yang sekarang menjadi ketua.
Dan banyak perubahan terjadi pada dirinya yang sudah banyak mengalami kekecewaan itu. Dia menjadi seorang yang penyabar sekali, pandangannya menjadi luas dan dalam karena dia mulai menghilangkan rasa keakuannya yang dahulu sangat besar dan kuat itu. Kekerasan watak kakek itu kini hampir lenyap, terganti kesabaran dan kewaspadaan yang mengagumkan.
Kekerasan watak manusia memang dibentuk oleh besarnya rasa keakuan. Pikiran akan menciptakan gambaran tentang diri sendiri, sedemikian besar dan agungnya sehingga diri sendiri selalu benar, selalu tepat, selalu baik dan semua ini akan membentuk kekerasan karena merasa benar sendiri…..
********************
Dua bayangan yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu sendiri memang berdiri di tempat yang sunyi, kurang lebih sepuluh kilometer di luar kota Yu-shu, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar, dengan pekarangan depan yang amat luas dan bagian belakang kuil juga merupakan kebun yang luas, di mana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran.
Kepala kuil Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya telah lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar dan mukanya agak kehitaman. Dia terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi, berwatak jujur dan berdisiplin, karena itu Ceng Hok Hwesio nampak keras.
Karena kedisiplinan ketuanya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itu pun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin pula. Hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan pada setiap sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu.
Siapakah dua bayangan yang berkelebat laksana dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis.
Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan disertai sikap yang lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan.
Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek ini secara turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan ketua pertama dari perkumpulan ini yang bernama Pek Khun merupakan pendiri Pek-sim-pang. Mendiang Pek Khun adalah seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai, oleh karena itu mudahlah diduga bahwa Pek-sim-pang merupakan sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Mendiang Pek Khun lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis di luar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu.
Ketika Pek Han Siong masih berada di dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak di dalam kandungan ini telah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak di dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar.
Para pendeta Lama mula-mula meminta dengan hormat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada mereka untuk dididik menjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama.
Hal ini kemudian menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di kota Kong-goan, di Propinsi Secuan.
Akan tetapi para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong lalu mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi. Akhirnya anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan pada punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah.
Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya, untuk menjadi pengganti Han Siong!
Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan sesudah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu, lantas menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang sebenarnya masih terhitung murid keponakannya sendiri.
Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia berjumpa dengan sepasang suami isteri sakti yang sedang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat bila mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka.
Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Pasangan suami isteri ini kemudian mengangkat Pek Han Siong sebagai murid mereka.
Di bawah bimbingan suhu dan subo-nya yang sangat sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikuasainya, dan dia pun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil!
Hubungan dua orang sakti ini sudah menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Karena itu, murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka.
Puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian itu semenjak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tidak jauh dari kuil itu. Kadang-kadang dua orang suami isteri itu datang mengunjungi puteri mereka, akan tetapi mereka tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat.
Pada suatu hari, ketika Bi Lian masih berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger dan banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu.
Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari sampai dapat puteri mereka yang hilang itu dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si.
Pada waktu itu Han Siong berusia dua puluh tahun, sementara sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikit pun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi.
Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong sejak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.
Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihiasi dengan tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya.
Siapakah gadis manis ini? Dia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu dia masih kecil, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!
Apa yang sudah terjadi dengan diri gadis ini ketika dia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata dia sudah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua orang di antara Empat Setan yang namanya telah menggetarkan kolong langit akibat kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal peri kemanusiaan sama sekali.
Dua orang datuk sesat inilah yang dulu mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian kedua orang datuk sesat itu sehingga dia pun akhirnya diambil sebagai murid.
Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan dia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya.
Dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya.
Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu, lantas dalam usaha menentang para pemberontak inilah dia bertemu dengan Pek Han Siong, saling bekerja sama untuk menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, kemudian mereka berkenalan.
Pek Han Siong kemudian dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian juga dianggap sebagai dua orang gurunya ketika dia masih kecil sehingga mereka pun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan sesudah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subo-nya itu.
Demikianlah, pada malam hari itu dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka sudah berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Suheng, hari sudah demikian malam, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Kita lihat saja nanti. Kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, maka kita langsung menghadap, kalau andai kata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."
"Akan tetapi, kenapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"
"Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang... hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini."
"Ahhh...!" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Mengapa...? Apa kesalahan mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?"
"Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku... aku tak berhak untuk menceritakannya. Marilah, sudah dua tahun aku pergi meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi.
Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang. Padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subo-nya yang merupakan seorang ahli ginkang hebat, jauh lebih pandai dari pada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walau pun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorang pun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.
Han Siong yang pernah tinggal di kuil itu selama bertahun-tahun tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia yang menjadi penunjuk jalan berada di depan dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorang pun hwesio dan kini mereka tiba di luar sebuah kamar yang jendela dan daun pintunya tertutup. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subo-nya berada, tempat hukuman bagi subo-nya!
Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Pada saat dia mengintai ke dalam, kamar itu nampak gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong!
"Bagaimana, Suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.
“Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang ke luar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.”
Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebuah kamar lainnya yang daun jendela serta pintunya juga tertutup. Akan tetapi nampak sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhu-nya berada di dalam kamar itu.
Daun pintu itu diketuknya perlahan-lahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan dia pun berseru lirih, "Suhu...! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap suhu!"
Kini terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang sangat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud…! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?"
Tentu saja Han Siong amat terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang dulu memberi hukuman kepada suhu dan subo-nya! Biar pun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini.
Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara sehingga hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu tengah mengadakan kunjungan kepada suhu-nya? Di malam buta begini? Sungguh aneh. Namun dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menunggu dengan hati tidak sabar.
“Losuhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong...," jawabnya.
Hening sejenak di dalam kamar itu. Kemudian baru terdengar suara yang berat itu, "Pek Han Siong...? Ahh, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari suhu-mu, Siangkoan Ci Kang?”
Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tak mengandung kemarahan. "Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?"
Kembali hening sejenak, lalu kembali terdengar suara. "Baiklah, tapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu itu?"
Han Siong saling pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada dalam kamar itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam. "Saya datang bersama seorang murid suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama... Cu Bi Lian, juga ingin menghadap suhu dan subo."
“Seorang wanita?” Suara itu seperti terkejut, lalu disambungnya cepat-cepat, “Siancay... biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci.”
Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu kemudian masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian, sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam.
Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja.....