Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang sudah sangat terkenal. Keluarga Cia yang sejak turun temurun memimpin Cin-ling-pai juga dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, dan para murid perkumpulan ini juga belum pernah ada yang melakukan penyelewengan sehingga nama Cin-ling-pai amat dihormati dan disegani dunia kang-ouw, ditakuti golongan hitam dan dikagumi para pendekar.
Oleh karena itu para tokoh persilatan yang telah menerima undangan dari pihak Cin-ling-pai memerlukan datang untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, juga untuk menyaksikan pemilihan ketua baru yang tentunya akan menarik sekali. Seperti telah lajim dilakukan di kalangan persilatan, penggantian ketua selalu diramaikan dengan ujian ilmu silat, bahkan di dalam kesempatan itu tidak jarang terjadi adu ilmu.
Juga berita bahwa Cin-ling-pai hendak mengangkat seorang ketua di antara para murid, bukan keturunan langsung dari ketua yang sekarang, merupakan hal yang amat menarik bagi para tokoh kang-ouw. Sedikit sekali di antara mereka yang menerima undangan tidak menyempatkan diri untuk datang hadir.
Pada hari yang sudah ditentukan, para tamu berdatangan mendaki Gunung Cin-ling-san. Para murid kepala Cin-ling-pai menyambut mereka dengan sikap hormat, lantas mereka dipersilakan masuk ke dalam taman yang luas di belakang rumah induk. Memang taman itu sudah dipersiapkan untuk pesta ini.
Sebuah taman yang amat luas dan kini telah dihias dan kursi-kursi berpencaran di antara tanaman bunga. Di tengah taman yang lapang itu dibangun sebuah panggung dan pihak tuan rurnah duduk di deretan kursi yang diletakkan di sudut, menghadap ke arah semua tamu yang duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke panggung.
Ternyata Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai tak ingin membuat pesta besar-besaran. Tamu yang diundang tidak banyak, dan mereka yang sudah datang semua itu hanya berjumlah kurang lebih seratus lima puluh orang, terdiri dari berbagai macam golongan, tokoh-tokoh persilatan, pimpinan perkumpulan silat, dan orang-orang penting dalam dunia persilatan.
Walau pun tamu yang diundang tidak begitu banyak, namun mereka mewakili tokoh-tokoh yang terpenting. Suasana pesta itu pun cukup meriah karena Cin-ling-pai mendatangkan rombongan musik, nyanyian dan tari yang kenamaan, juga mendatangkan koki yang telah berpengalaman.
Tentu saja tamu yang diundang itu hanyalah tokoh-tokoh kalangan persilatan yang tinggal di daerah Propinsi Shensi saja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Sian, Han-cung, Pao-ci, Yen-an dan sebagainya. Namun semua perkumpulan persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai telah diwakili oleh wakil masing-masing yang terdapat di Propinsi Shensi karena kebetulan sekali di propinsi ini terdapat murid-murid pandai dari perkumpulan besar itu yang dapat mewakili perkumpulan masing-masing.
Para tamu secara bergiliran memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang yang duduk di sudut panggung. Karena telah bertahun-tahun selalu mengeram diri di dalam kamarnya dan bersemedhi, maka kakek ini pun merasa lemah kalau terlalu lama berdiri, maka dia menyambut penghormatan para tamu sambil duduk.
Puteranya, Cia Hui Song atau ketua Cin-ling-pai, berdiri di sebelah kanannya. Dialah yang membalas setiap ucapan selamat para tamu itu dengan penghormatan, mewakili ayahnya yang hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk-angguk terhadap setiap para tamu yang menghaturkan selamat kepadanya.
Sesudah memberi kesempatan kepada para tamu untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song lantas memberi ucapan selamat datang kepada para tamu dan pesta pun dimulailah dengan meriah. Rombongan pemain musik, penari dan penyanyi mulai memperlihatkan kemahiran mereka, maka taman itu pun penuh dengan senyum dan tawa di antara mengalirnya arak dan anggur harum sebagai teman hidangan yang serba lezat karena dibuat oleh koki yang pandai.
Para tamu mulai makan minum sambil mengobrol dengan gembira. Ada pula yang makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik, yaitu tari-tarian dan nyanyian yang dilakukan para gadis cantik. Mereka semua bergembira, terutama sekali karena mereka tahu bahwa sesudah makan minum mereka akan disuguhi tontonan yang sedang mereka nanti-nantikan, bahkan yang sudah mendorong mereka untuk hadir dalam pesta itu, yaitu pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai.
Para tamu muda tak ada hentinya mengerling ke arah panggung di mana duduk seorang gadis yang amat menarik perhatian mereka, apa lagi sesudah mereka mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan gagah itu bukan lain adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Nama Cia Kui Hong sudah banyak dikenal orang kalangan persilatan karena gadis ini termasuk seorang di antara para pendekar yang telah ikut membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Apa lagi mereka pun mendengar bahwa gadis cantik dan gagah perkasa itu, yang usianya sudah sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mawar sedang mekar mengharum dengan indahnya, belum menikah, bahkan belum bertunangan!
Sesudah pesta makan minum selesai, Cia Hui Song lalu bangkit dan melangkah maju ke tengah panggung, menghaturkan terima kasih kemudian memberi tahu kepada para tamu bahwa kini Cin-ling-pai hendak mengadakan pemilihan ketua baru dan dia berharap agar para tamu suka menjadi saksi.
"Harap Cia-pangcu (Ketua Cia) suka memberi tahu kepada kami kenapa pangcu hendak mengadakan pemilihan ketua baru? Bukankah pangcu adalah ketuanya dan Cin-ling-pai sudah mendapat banyak kemajuan selama dalam bimbingan pangcu?” terdengar seorang tamu berseru.
Para tamu lainnya mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan pertanyaan itu karena memang rata-rata mereka merasa heran akan pemilihan ketua Cin-ling-pai secara tiba-tiba ini, pada hal ketuanya masih muda dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Mendengar pertanyaan ini, Hui Song tersenyum ramah dan mengangguk. Dia memang sudah mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan seperti itu.
"Harap cu-wi (anda sekalian) tidak salah sangka. Sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang aneh dalam perkumpulan kami dan pemilihan ketua baru ini wajar saja. Tidak lain karena saya bersama isteri ingin merantau dan karena merasa tidak baik jika meninggalkan Cin-ling-pai tanpa seorang ketua, maka sebelum pergi kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru. Kami sengaja memilih hari ini agar ada cu-wi yang dapat menjadi saksi."
Keterangan Cia Hui Song ini agaknya dapat diterima karena tidak ada lagi di antara para tamu yang mengajukan pertanyaan. Cia Hui Song kemudian menyerahkan pimpinan untuk pemilihan ketua baru itu kepada ayahnya. Baru sekarang Cia Kong Liang yang sudah tua itu nampak bersemangat setelah puteranya menyerahkan pimpinan kepadanya. Dia masih tetap duduk di atas kursinya, akan tetapi suaranya terdengar lantang ketika dia berkata,
"Semua murid dan anggota Cin-ling-pai tanpa terkecuali, harap semuanya berkumpul di dekat panggung!"
Maka berkumpullah semua murid Cin-ling-pai, bahkan mereka yang tadinya bertugas jaga atau ikut melayani tamu, kini ikut pula berkumpul. Setelah semua murid berkumpul dekat panggung, menempati bagian belakang panggung supaya tidak menghalangi pandangan para tamu yang duduk di kursi menghadap panggung, ketua lama Cia Kong Liang berkata kembali, nada suaranya tegas dan berpengaruh.
"Sekarang dimulai tahap pertama, yaitu para murid diberi kesempatan untuk mengajukan calon-calon yang mereka pilih!"
Semenjak ada pernyataan ketua Cin-ling-pai bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru, maka sudah terjadi semacam persaingan di antara para murid Cin-ling-pai. Di satu pihak ada yang memilih Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua.
Gouw Kian Sun ini berusia hampir empat puluh tahun, dan dialah yang dapat dikata murid Cin-ling-pai terpandai di waktu itu. Dia adalah sute dari Cia Hui Song, atau murid dari Cia Kong Liang dan murid ini sudah menguasai seluruh ilmu silat Cin-ling-pai. Bahkan dialah yang selama ini mengurus sebagian besar tugas di Cin-ling-pai ketika Hui Song bertapa di makam isterinya yang ke dua dan Cia Kong Liang mengeram diri di dalam kamarnya. Oleh Cia Hui Song dia diangkat pula menjadi pembantu utama.
Gouw Kian Sun ini seorang yang tidak memiliki keluarga, tidak punya orang tua dan dia belum menikah sungguh pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Orangnya sangat rajin, setia terhadap Cin-ling-pai, bertanggung jawab serta pendiam. Semua murid tingkat atas maklum belaka bahwa Gouw Kian Sun memiliki ilmu kepandaian silat yang menonjol dan hanya berada di bawah tingkat kepandaian ketua sendiri! Karena itu, maka sebagian murid memilih dan mengajukan dia sebagai calon ketua.
Tetapi ada sebagian murid yang memilih Tang Cun Sek! Hal ini adalah karena mereka itu percaya akan kelihaian Tang Cun Sek yang menguasai banyak ilmu silat selain ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mereka menganggap bahwa kalau Cun Sek menjadi ketua, tentu mereka akan bisa mempelajari ilmu-ilmu silat yang baru. Di samping itu, juga Tang Cun Sek yang pendiam itu menarik perhatian, terutama sesudah para murid tahu bahwa Tang Cun Sek agaknya disayang oleh ketua lama, yaitu kakek Cia Kong Liang!
Sebelum Kui Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang memilih dua orang ini, akan tetapi sesudah gadis itu pulang, banyak di antara para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua) yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama.
"Gouw Kian Sun!"
"Tang Cun Sek!"
"Nona Cia Kui Hong...!”
Demikianlah terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song saling pandang dengan isterinya, Ceng Sui Cin. Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka sebagai calon ketua baru!
Akan tetapi karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada waktu seperti itu mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang juga nampak terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua!
Akan tetapi Kui Hong pun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak jika menolak begitu saja. Diapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk kepada suara banyak dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Jika dia menyatakan penolakannya, maka sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhianati Cin-ling-pai.
Akan tetapi gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau dia menjadi ketua, terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim dia merasa ngeri dan dalam benaknya sudah diaturnya bagaimana supaya dia dapat mengatasi hal itu. Dia pun sudah mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya susiok, seorang yang setia kepada Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana.
Dan dara ini pun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai. Biar pun dia sendiri belum membuktikan, dia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu mempunyai kepandaian silat yang tingkatnya tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercayanya.
Ayahnya adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa, ada pun ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kongkong-nya yang amat sakti dan neneknya yang juga tak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini mempunyai tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunya, tentu dia lihai bukan main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susiok-nya, Gouw Kian Sun yang menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya.
Tentu saja diam-dlam Kui Hong condong memilih susiok-nya yang sudah dikenal benar wataknya. Setelah dia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata bahwa ayah ibunya agaknya juga tidak begitu setuju apa bila orang ini menjadi ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya.
"Kami sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya," demikian antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya mengenai Tang Cun Sek. "Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat baik sehingga tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasainya dengan baik, bahkan yang bagaimana sukar pun. Dan dia pun amat tekun belajar, bahkan paling menonjol dalam hal ketekunannya."
"Dan bagaimana pun juga harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak banyak cakap dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tak ada alasan bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya."
"Dan agaknya ayah memang amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu," kata Hui Song.
"Ayah dan Ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu pantas menjadi jodohku. Hemmm, agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu."
Ayah dan ibunya saling pandang dan tersenyum. "Mengenai hal itu, terserah kepadamu, anakku," kata Ceng Sui Cin. "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali mempunyai mantu dan cucu, tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya pada pilihanmu. Biar pun kakekmu serta ayah dan ibumu telah menyukai seorang calon suamimu, namun kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapa pun tak akan dapat memaksamu."
Mendengar ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja telah menunjukkan betapa besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya.
"Terima kasih, Ayah dan Ibu. Semoga saja aku dapat menemukan seorang jodoh yang akan menyenangkan hati kita semua, juga termasuk hati kakek."
Kini hati Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara kedua orang itu, agaknya Tang Cun Sek yang lebih unggul. Apakah dia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan Tang Cun Sek? Padahal dia sama sekali tak ingin menjadi ketua! Tetapi membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru? Hal inilah yang diragukannya sebab dia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan ayah dan ibunya juga belum mengenal wataknya dengan baik. Dia lalu mendekati ibunya dan berbisik.
"Ibu, bagaimana ini? Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun Sek menjadi ketua baru? Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam ujian ilmu silat?"
Ibunya kemudian balas berbisik kepadanya. "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja, aku pun masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan susiok-mu Gouw Kian Sun yang menjadi ketua baru. Karena itu lihat saja baik-baik, dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?"
Kui Hong mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang berwibawa, "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para murid?"
Terdengar para murid Cln-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, tetapi semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi di antara para tamu tiba-tiba saja nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang di antara para wakil Bu-tong-pai.
"Maaf, Cia Locianpwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami ikut mengajukan pertanyaan karena walau pun bukan anggota Cin-ling-pai namun kami hadir di sini sebagai saksi."
Kakek Cia Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja boleh. Silakan!"
“Locianpwe, apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggota Cin-ling-pai saja? Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk pula menjadi calon dan menghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?"
Kakek Cia Kong Liang kemudian memperlebar senyumnya. "Sungguh aneh pertanyaan itu, orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kami pun tidak terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid Cin-ling-pai."
“Maaf, Locianpwe," kata lagi orang itu. "Telah bertahun-tahun kami mengenal Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-ling-pai yang kami kenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai seorang anggota Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia terpilih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula menjadi calon sebab dia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama sekali tidak kami kenal. Apakah dia seorang anggota Cin-ling-pai?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek, namun hanya Kui Hong yang agaknya memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara.
"Tang Cun Sek memang seorang anggota baru," kata kakek Cia Kong Liang. "Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-ling-pai, maka dia pun berhak untuk menjadi calon ketua."
"Empat tahun?" Orang Bu-tong-pai itu berseru heran. "Locianpwe, bagaimana mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tahu-tahu dapat diangkat menjadi ketua? Tentu ilmu silatnya belum ada artinya sama sekali!"
"Tidak, biar pun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia sudah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana mungkln dia dipilih?" Agaknya kakek itu ingin rnenyudahi percakapan ini, maka dia pun segera berseru dengan suara lantang, "Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas panggung!"
Yang muncul lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai lainnya dia pun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang ingin memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung.
Agaknya, untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini, begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya itu.
Cia Kong Liang memandang dengan wajah berseri, "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu."
Akan tetapi Cun Sek tak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya suhu dan subo. Barulah dia bangkit dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada).
Para murid yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar ini. Melihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka putih, tampan dan gagah, sepasang matanya mencorong, para tamu diam-diam memandang kagum.
Sementara itu Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan suheng-nya. Dan berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat susiok-nya.
"Suhu dan Suheng, sesungguhnya teecu tidak berani maju secara lancang untuk menjadi calon ketua, tetapi teecu didorong oleh para anggota Cin-ling-pai yang memilih teecu."
Kui Hong yang berlutut di sampingnya cepat berkata, cukup keras untuk didengar semua orang, "Susiok, mengapa begitu? Engkaulah satu-satunya orang yang paling tepat untuk menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!"
"Kian Sun! Kui Hong, bangkitlah dan berdiri di tengah panggung untuk memperkenalkan diri kepada para tamu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru dengan suara nyaring.
Kian Sun dan Kui Hong bangkit lantas berdiri di tengah panggung seperti yang dilakukan Cun Sek, dan para murid Cin-ling-pai yang mendukung mereka menyambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai.
Kembali terdengar suara kakek Cia Kong Liang yang menyuruh ketiga orang calon yang terpilih itu untuk duduk, lalu dengan lantang dia memberi tahu kepada para tamu dan para murid Cin-ling-pai bahwa kini pemilihan ketua baru itu akan dimulai. Pertama-tama, ketiga orang calon itu diharuskan memperlihatkan keahlian mereka dalam Ilmu Silat Cin-ling-pai untuk dinilai. Para penilainya, di samping kakek Cia Kong Liang sendiri, juga Cia Hui Song sebagai pangcu dan tujuh orang murid tertua yang menjadi suheng dan sute ketua.
"Calon ketua Tang Cun Sek, perlihatkanlah kemampuanmu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru.
Pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri, berjalan ke tengah panggung, memberi hormat ke arah kakek itu bersama para wasit, kemudian menjura ke arah para tamu dan mulailah dia bersilat. Dia menggerakkan tubuhnya dan memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, sebuah di antara ilmu-ilmu silat yang ampuh dari Cin-ling-pai.
Ilmu ini memang sangat indah, dan sekarang dimainkan dengan gerakan sempurna, juga dengan pengerahan tenaga sakti yang membuat setiap gerakan tangan atau kaki pemuda itu mengeluarkan suara angin mencuit sehingga para tamu dapat merasakan betapa ada angin menyambar-nyambar dari arah panggung.
Secara diam-diam Kui Hong sendiri terkejut bukan main karena dia dapat pula merasakan sambaran angin itu, maka tahulah gadis ini bahwa Tang Cun Sek memang seorang yang amat tangguh! Dia mengikuti semua gerakan pemuda itu dan walau pun permainan Silat Thai-kek Sin-kun itu amat hebat, akan tetapi dia masih dapat melihat suatu kekakuan atau ketidak wajaran yang menunjukkan bahwa ilmu silat itu sudah ‘berbau’ ilmu silat lain yang menjadi dasar gerakan pemuda itu. Hanya di dalam pandangan mata seorang ahli sajalah hal ini akan dapat nampak.
Kui Hong tahu bahwa para wasit yang terdiri dari kakeknya, ayahnya dan para supek dan susiok-nya, yang semuanya adalah ahli-ahli Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tentu akan dapat melihatnya pula. Hanya saja, kenyataan ini dapat menimbulkan dua macam tanggapan. Pertama adalah tanggapan bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu menjadi bertambah indah dan ampuh, namun yang ke dua adalah kenyataan bahwa ilmu itu tidak dimainkan secara murni lagi sehingga gerakan Cun Sek dapat dianggap kurang tepat.
Dan secara diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa ilmu silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu memang hebat sekali, biar pun dia sendiri tidak melihat kemajuan dalam segi keindahannya karena ‘berbau’ dasar ilmu silat lain, namun gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang hebat. Pemuda ini akan menjadi lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Sekarang dia percaya akan keterangan kongkong-nya bahwa Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian yang setara dengan ayah serta ibunya. Harus diakuinya sendiri bahwa andai kata dia belum digembleng secara keras oleh kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia sendiri bukanlah tandingan anggota baru Cin-ling-pai ini.
Tiba-tiba saja Cun Sek merubah ilmu silatnya dan dia kini memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat yang amat tangguh dari perguruan Cin-ling-pai. Seperti juga Thai-kek Sin-kun tadi, ilmu ini pun dalam pandangan Kui Hong berbau gerakan ilmu asing sungguh pun harus diakuinya bahwa gerakan-gerakan pemuda itu cepat sekali dan semua pukulannya mengandung tenaga yang kadang bertentangan sebagai ciri khas ilmu silat Thian-te Sin-kun, tenaganya kadang keras dan kadang lunak.
Berturut-turut Cun Sek memainkan sebagian dari ilmu-ilmu silat yang lain seperti San-in Kun-hwat, dan bahkan Im-yang Sin-kun yang merupakan ilmu simpanan dari ketua lama Cia Kong Liang. Kini mengertilah Cia Hui Song dan isterinya bahwa diam-diam ayahnya telah mendidik pemuda itu dengan ilmu silat simpanan ini.
Bukan itu saja, bahkan yang terakhir, pemuda itu menghunus sebatang pedang. Semua orang merasa silau ketika ada sinar emas berkilat dan pemuda itu sudah memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang paling rahasia dari Cin-ling-pai dan yang hanya diajarkan kepada murid-murid tingkat tertinggi saja! Dan pedang yang digunakan itu bukan lain adalah Hong-cu-kiam, pedang yang dapat digulung, pedang pusaka milik kakek Cia Kong Liang.
Kembali Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dan mereka mengerti bahwa pemuda ini benar-benar telah dipilih oleh ayah mereka. Tentu kakek itu yang telah mengajarkan ilmu pedang itu dan memberikan pedang Hong-cu-kiam pula!
Kui Hong sendiri merasa betapa perutnya panas. Dia adalah cucu tunggal dari kongkong-nya sebelum terlahir adik tirinya, Cia Kui Bu. Akan tetapi kongkong-nya itu belum pernah meminjamkan pedang pusaka itu kepadanya! Kini tahu-tahu kakeknya sudah memberikan atau meminjamkan pedang itu kepada pemuda ini. Dan kembali dia mengerutkan alisnya, maklum benar betapa tangguhnya pemuda ini dengan pedang pusaka Hong-cu-kiam itu.
Semua tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia persilatan nampak mengangguk-angguk dan kagum pada saat melihat betapa sinar emas itu bergulung-gulung mengelilingi tubuh pemuda itu yang sudah lenyap ditelan gulungan sinar emas! Tiba-tiba sinar itu lenyap dan nampaklah pemuda yang gagah itu berdiri tegak dengan pedang sudah melingkar pada pinggangnya, memberi hormat ke empat penjuru yang langsung disambut sorak sorai dan tepuk tangan dari para pendukungnya, juga dari sebagian para tamu yang merasa kagum.
Dengan anggunnya pemuda itu segera berlutut memberi hormat kepada Cia Kong Liang, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya, baru dia mundur ke pinggir panggung dan duduk bersila dengan sikap sopan. Tang Cun Sek memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Orangnya gagah, dengan wajah tampan ganteng berkulit putih, tubuhnya tinggi besar sehingga pantaslah dia menjadi seorang pendekar.
Kakek Cia Kong Liang terlihat gembira melihat sambutan semua orang terhadap pemuda yang disukanya itu. Memang dia menyukai Cun Sek, dan hal ini tidak dapat disalahkan. Memang pemuda itu pandai sekali mengambil hati, bukan dengan menjilat-jilat, melainkan dengan sikapnya yang sangat sopan dan baik.
Selama menjadi murid Cin-ling-pai belum pernah dia memperlihatkan sikap yang tercela. Selain tampan dan gagah, juga dia pantas menjadi murid kebanggaan Cin-ling-pai, dan menurut penglihatan Cia Kong Liang pemuda itu sangat pantas menjadi cucu mantunya, menjadi suami Cia Kui Hong!
Karena itulah maka selama ini dia sendiri secara tekun sudah menggembleng pemuda itu dengan ilmu-ilmu silat simpanannya, bahkan menyerahkan pedang pusaka Hong-cu-kiam kepadanya. Bukankah pemuda itu adalah calon ketua Cin-ling-pai sekaligus calon cucu mantunya? Sudah sepatutnya mewarisi pedang pusakanya itu.
"Sekarang calon ketua Gouw Kian Sun, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek ini berkata. Gouw Kian Sun adalah muridnya sendiri, murid Cin-ling-pai yang paling pandai, tentu saja kalau tanpa memperhitungkan Cun Sek.
Gouw Kian Sun maju, lantas memberi hormat kepada Cia Kong Liang sebagai gurunya, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya sebagai suheng dan juga ketua Cin-ling-pai, dan dengan sikap tenang dia pun lalu melangkah ke tengah panggung. Setelah memberi hormat kepada para penonton, dia pun mulai bersilat.
Seperti yang dipertontonkan oleh Tang Cun Sek tadi, ia juga memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai walau pun tidak semua jurus dikeluarkan, hanya dipilih jurus-jurus yang paling baik saja. Permainannya mantap dan menunjukkan kemahiran serta kematangan. Walau pun kecepatannya tidak seperti yang dipertontonkan Cun Sek tadi, juga sambaran angin pukulannya tidak sedahsyat pemuda tadi, tetapi semua yang ahli dalam ilmu silat Cin-ling-pai maklum bahwa inilah ilmu silat Cin-ling-pai yang asli.....