“Ihhh, anak bengal! Kau seperti anak kecil saja mau menggoda orang tua!” kata Sui Cin dengan kedua pipi kemerahan. Wanita ini terlihat cantik sekali dan kini tanpa disadarinya, kedua tangannya merapikan rambut kepalanya!
“Wah, Ibu cantik sekali jika sedang begini. Lihat, Ayah. Bukankah Ibu cantik sekali? Dan Ayah harap berganti pakaian yang baik, mencukur kumis itu dan mencuci rambut Ayah!”
Hui Song tersenyum, maklum akan godaan puterinya. “Sudahlah, anakku. Engkau berjasa besar bagi kehidupan ayah ibumu. Sekarang ceritakan semua pengalamanmu.”
Sambil duduk di antara kedua orang tuanya dan merangkul ibunya, Kui Hong kemudian menceritakan dengan singkat apa yang telah dialaminya ketika dia membantu pemerintah membasmi pemberontak. Juga diceritakannya betapa di sana dia bertemu dengan banyak pendekar-pendekar lihai.
“Hampir semua tokoh sesat yang membantu pemberontakan itu berhasil ditewaskan, dan pasukan pemberontak dapat dibasmi,” demikian Kui Hong mengakhiri ceritanya. “Mungkin hanya sedikit saja yang lolos.”
Ayah ibunya mengangguk-angguk sambil saling pandang. Mereka teringat betapa anak mereka bukanlah anak kecil lagi, melainkan seorang gadis yang sudah dewasa, lebih dari dewasa untuk mendirikan kehidupan baru sebagai seorang isteri di samping suaminya tercinta!
“Ahh, pengalamanmu itu amat berharga, Hong-ji, selain dapat menambah pengetahuanmu tentu juga membuat dirimu semakin matang. Tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?” tanya Sui Cin.
“Ehh, ibu ini! Mengapa sih tanya-tanya usia? Bukankah ibu juga ingat bahwa sekarang usiaku sembilan belas tahun?”
“Sembilan belas tahun!” Hui Song yang sudah tahu akan isi hati isterinya berseru, “Betapa cepatnya waktu berlalu! Sekarang engkau sudah seorang gadis yang dewasa, terlampau dewasa untuk hidup sendirian lebh lama lagi.”
Kui Hong mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ayahnya. “Apa maksud ayah dengan ucapan itu?”
Hui Song tertawa, “Ha-ha-ha, apa lagi kalau bukan sudah tiba waktunya bagi kami untuk mempunyai seorang menantu? Usia sembilan belas tahun sudah bukan kanak-kanak lagi, Hong-ji, dan kami akan merasa gembira kalau engkau sudah mempunyai seorang pilihan hati sendiri. Mungkin selama ini engkau bertemu dengan seorang pemuda yang berhasil menjatuhkan hatimu?”
Wajah Kui Hong berubah merah. Ayahnya ini benar sudah pulih kembali wataknya, bicara tentang hal itu demikian terang-terangan! Dan ibunya juga tersenyum-senyum. Maka dia pun teringat kepada Hay Hay! Terbayang pengalaman ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan pemuda itu.
Sikap serta wajah Hay Hay sangat menarik perhatiannya, dan kata-kata Hay Hay yang demikian penuh rayuan juga kehebatan ilmu silat pemuda itu, telah menjatuhkan hatinya. Bahkan di dalam hutan dia pernah berciuman dengan pemuda yang dikaguminya itu.
Akan tetapi Hay Hay menolak hubungan yang lebih akrab. Pada saat dia mengaku cinta, pemuda itu dengan terus terang mengatakan bahwa biar pun pemuda itu suka dan kagum kepadanya, namun dia tidak mencintainya! Betapa nyeri rasa hatinya!
Terlebih lagi ketika dia mendengar tuduhan-tuduhan bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul yang memperkosa wanita, dia merasa benci sekali dan ingin membunuh pemuda itu. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa pemerkosa itu bukan Hay Hay, melainkan Ang-hong-cu! Dan sesudah memperoleh kenyataan bahwa Hay Hay bukanlah pemuda jahat seperti yang dituduh orang, cintanya pun tumbuh kembali.
“Hei, Hong-ji, mengapa engkau malah jadi melamun? Jawablah pertanyaan ayahmu tadi. Agaknya benar bahwa ada seorang pemuda yang telah menjatuhkan hatimu, ya?” tegur ibunya.
Kui Hong mengangguk, akan tetapi mukanya tidak menunjukkan kegembiraan sehingga ayah ibunya saling bertukar pandang, kemudian menatap anaknya dengan khawatir dan pandang mata mereka penuh pertanyaan. Kui Hong menghela napas panjang, kemudian memaksa diri tersenyum, akan tetapi senyumnya nampak pahit.
“Aku telah jatuh cinta kepada seorang pemuda, akan tetapi... dia tidak cinta kepadaku...” Lehernya terasa seperti dicekik, akan tetapi Kui Hong mengeraskan hatinya sehingga dia pun mampu tersenyum, “Sudahlah, aku tidak mau bicara tentang dia lagi!”
Diam-diam suami isteri itu merasa terharu dan kasihan kepada puteri mereka. Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengutuk pemuda yang sudah menjatuhkan hati puterinya itu. Butakah pemuda itu sehingga dia menolak cinta kasih seorang gadis seperti Kui Hong? Apakah kekurangannya? Cantik, jelita, manis, bentuk tubuhnya indah, budi pekertinya baik, gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Sedangkan Hui Song hanya tersenyum biar pun hatinya juga dipenuhi perasaan iba, lalu dia berkata untuk menghibur hati anaknya.
“Cinta tidak datang sepihak saja, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Engkau benar, Kui Hong, tidak perlu lagi mengingat tentang orang yang tidak mencintaimu. Lebih baik kita melakukan persiapan untuk mengadakan pesta dan pertemuan besar.”
“Ehh? Pesta apa dan pertemuan besar apa?” Sui Cin bertanya sambil mengamati wajah suaminya, juga Kui Hong memandang heran kepada ayahnya.
Hui Song tidak menghentikan senyumnya. “Pertama, dan hal ini hanya kita bertiga yang mengetahui, untuk merayakan persatuan hati kita kembali. Kedua, untuk memilih seorang ketua Cin-ling-pai yang baru...”
“Ayah...! Mengapa? Bukankah sekarang Ayah yang menjadi ketua Cin-ling-pai dan hal ini sudah tepat sekali? Kenapa harus dilakukan pemilihan ketua baru?”
Ayahnya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Sebenarnya, sejak dahulu aku tidak suka menjadi seorang ketua. Aku sudah biasa bebas dan watakku tidak mau terikat. Apa lagi sekarang. Aku ingin merantau bersama ibumu, ingin berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan mengunjugi tempat-tempat indah lainnya, berdua saja.”
“Wah, aku pun ingin sekali!” seru Sui Cin dan dia tampak bersemangat sekali, seolah-olah merasa kembali muda ketika membayangkan betapa dia akan pergi berdua saja dengan suaminya. “Akan tetapi..., Kui Bu...,” sambungnya ragu.
“Anak itu masih terlalu kecil untuk dapat kita didik. Biarlah dia di rumah dan kita serahkan kepada inang pengasuh yang dapat dipercaya. Bukankah Kui Hong juga sudah berada di rumah? Dia dapat mengamati adiknya.”
“Jangan khawatir, Ibu. Aku akan menjaga adik Kui Bu,” kata Kui Hong yang turut gembira melihat keadaan ibunya. “Akan tetapi, Ayah. Kalau Ayah mengundurkan diri selaku ketua Cin-ling-pai, lalu siapakah yang akan menjadi penggantinya? Siapakah yang tepat untuk menjadi ketua baru?”
“Karena itulah harus dilakukan pemilihan. Hal ini sebelumnya sudah kubicarakan dengan kongkong-mu dan dia pun telah setuju. Kebetulan kita akan merayakan hari ulang tahun kongkong-mu yang ke tujuh puluh. Kita mengambil peristiwa itu untuk mengadakan pesta, mengundang tokoh-tokoh persilatan yang terkenal untuk menjadi saksi akan pemilihan itu agar nama Cin-ling-pai menjadi semakin cerah dan terpandang.”
“Akan tetapi, Ayah. Bukankah selama ini secara turun temurun Cin-ling-pai selalu diketuai oleh keluarga Cia? Ayah menggantikan kakek, dan kakek menggantikan kakek buyut?”
“Memang demikian, dan sesungguhnya hal inilah yang membuat keadaan menjadi tidak sehat. Perkumpulan bukanlah milik seseorang, apa lagi perkumpulan seperti Cin-ling-pai yang juga menjadi perguruan silat. Bukan anak keturunan saja yang mewarisi ilmu silat dari ketua. Masih banyak murid lain yang mungkin lebih pandai. Apa bila anak keturunan yang diharuskan menggantikan menjadi ketua, seperti kaisar, maka mungkin saja terjadi perkumpulan itu dipimpin oleh seorang yang tidak berbakat menjadi pimpinan, atau yang tidak ada minat terhadap perkumpulan. Seperti aku ini. Dan perkumpulan tidak akan maju. Karena itu aku hendak mengubah kebiasaan ini. Sekarang yang terpandai sajalah yang berhak menjadi ketua, terpandai bukan saja dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam hal memimpin perkumpulan, yang berbakat dan berminat.”
Diam-diam Sui Cin menyetujui pendapat suaminya ini. Bukankah keretakan keluarganya yang pernah terjadi juga menjadi akibat dari kekukuhan ayah mertuanya yang ingin sekali memperoleh cucu laki-laki agar kelak dapat melanjutkan sebagai ketua Cin-ling-pai? Dan tanpa kata-kata pun dia dapat menyelami pikiran suaminya. Bila datang banyak tamu dari kalangan persilatan, berarti membuka kesempatan bagi puteri mereka untuk mencari atau dicarikan jodoh!
“Ahh, nanti tentu banyak datang kenalan lama, tokoh-tokoh persilatan yang lihai, pimpinan perkumpulan-perkumpulan dan perguruan silat yang terkenal,” katanya. “Dan siapa tahu, di antara mereka itu ada yang berjodoh untuk menjadi besan kami!”
“Ihh, ibu! Agaknya ayah dan ibu yang sudah merindukan besan, padahal aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!” berkata demikian Kui Hong merangkul ibunya.
Ayah, ibu dan anak ini bercakap-cakap dengan asyik dan melepaskan kerinduan mereka. Kui Hong yang tahu bahwa ayah dan ibunya baru saja ‘akur’ kembali, kemudian mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua saja.
“Aku ingin menemui kongkong serta para suheng dan sute!” Dan keluarlah dia dari dalam rumah itu.
Sesudah Kui Hong pergi, suami isteri itu bangkit berdiri, saling pandang sampai lama dan perlahan-perlahan kedua mata Sui Cin menjadi basah. Bagaikan didorong oleh kekuatan gaib dia melangkah maju, dan pada lain saat kedua suami isteri yang telah lama berpisah batin itu kini sudah saling rangkul tanpa mengeluarkan kata-kata, rangkulan yang penuh kerinduan, kemesraan dan saling memaafkan…..
********************
Sementara itu Kui Hong lari menuju ke belakang, di mana kakeknya mengurung diri dan kabarnya tak mau lagi mencampuri urusan dunia. Setibanya di luar kamar kakeknya yang daun pintunya tertutup, dia tidak berani lancang membuka daun pintu. Dia tahu betapa galak kakeknya itu, dan biar pun dulu kakeknya itu amat menyayanginya, namun karena telah lama dia pernah meninggalkan Cin-ling-pai bersama ibunya, dia merasa agak asing lagi dengan kakeknya. Dari luar pintu kamar itu dia pun berseru memanggil,
“Kongkong...! Kongkong, ini aku Kui Hong yang ingin bicara dengan Kongkong…!”
Sampai tiga kali dia mengulang panggilannya, barulah ada jawaban dari dalam. “Hemmm, kau anak nakal sudah pulang? Bukalah pintunya dan masuklah!” Itulah suara kakeknya yang terdengar jelas dan dalam.
Girang rasa hati Kui Hong. Ia pun mendorong daun pintu kamar itu, dan baru saja hendak melangkah masuk, dari dalam kamar melangkah keluar seorang laki-laki muda. Usia pria itu kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya putih dan boleh dibilang tampan, sepasang matanya tajam dan pria itu agaknya terpesona saat bertemu pandang dengan Kui Hong. Akan tetapi dia cepat-cepat menunduk dan bahkan agak membungkuk dengan sikap hormat, lalu berdiri di samping dan membiarkan Kui Hong masuk lebih dulu!
Kui Hong tidak mengenal orang itu, akan tetapi karena orang itu keluar dari dalam kamar kakeknya, dia merasa heran bukan main dan menduga bahwa tentu ada hubungan baik antara orang ini dengan kongkong-nya. Seorang laki-laki yang gagah dan sinar matanya sungguh tajam mencorong, akan tetapi nampak asing baginya.
Kakek Cia Kong Liang duduk bersila di atas kasur. Cahaya matahari menerangi kamar itu, masuk dari jendela kaca yang terbuka menembus dari kamar itu ke dalam sebuah taman kecil yang tertutup dinding. Taman itu adalah taman pribadi kakek Cia Kong Liang.
Kui Hong memandang kepada kakeknya penuh perhatian. Seorang kakek yang usianya sudah menjelang tujuh puluh tahun, tubuhnya masih tegak dan tegap,gagah. Rambut dan kumis jenggotnya sudah putih semua, namun terpelihara rapi.
Kamar itu pun nampak bersih biar pun sederhana sekali. Ada rasa haru dan iba di dalam hati Kui Hong melihat keadaan kakeknya yang tengah mengasingkan diri ini. Seperti juga ayah dan ibunya, agaknya kakeknya ini penuh dengan rasa penyesalan dan mengalami banyak kepahitan hidup.
“Kongkong, aku datang...!” kata Ku Hong, lalu dia duduk bersimpuh di hadapan kakeknya. Orang tua itu memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Kui Hong, cucuku yang nakal! Ke mana saja kau selama ini?” tegur sang kakek dan rasa sayangnya terhadap cucu ini tergetar melalui suaranya.
Kui Hong dapat merasakan getaran kasih sayang kakeknya itu. Hatinya sangat terharu. ”Kongkong, aku telah pergi membantu pemerintah dengan para pendekar lain, membasmi gerombolan pemberontak dan berhasil dengan baik. Para pemberontak yang dibantu oleh tokoh-tokoh sesat itu dapat dihancurkan dan sebagian besar tokoh sesatnya juga berhasil ditewaskan.”
Kui Hong lalu bercerita mengenai pembasmian gerombolan pemberontak itu, didengarkan dengan wajah berseri oleh kakeknya. Sesudah dia selesai bercerita, kakek itu kemudian mengangguk-angguk.
“Aku bangga sekali mendengar ceritamu itu, Kui Hong. Tidak memalukan engkau menjadi keturunan Cin-ling-pai, dan sebagai kongkong-mu aku ikut merasa bangga bahwa engkau telah bersikap seperti seorang pendekar sejati, dapat berbakti kepada nusa dan bangsa.”
“Kongkong, ada berita yang lebih baik dari pada itu!”
“Berita apa cucuku?”
“Berita yang datang dari tempat ini, Kongkong, yaitu bahwa mulai hari ini ayah dan ibu telah akur kembali. Ayah sudah meninggalkan tempat pertapaannya di dekat makam dan kini berkumpul dengan ibu.”
Wajah kakek ini nampak cerah dan sepasang matanya yang tadinya redup itu kini terlihat bercahaya. ”Terima kasih kepada Thian...! Setiap saat itulah yang menjadi doa utama.”
Lega rasa hati Kui Hong melihat betapa kakeknya juga bergembira mendengar berita ini. ”Lalu kapan kongkong sendiri meninggalkan kurungan ini dan kembali hidup di luar seperti biasa berjalan sambil memberi petunjuk ilmu silat kepadaku?” ajaknya.
Kakek itu tersenyum. ”Hemmm jangan kau mentertawakan kakekmu, Kui Hong. Apa lagi yang dapat kulakukan untuk memberi petunjuk kalau tingkat ilmu silatmu sekarang sudah lebih tinggi dari kakekmu yang loyo ini? Dan tentang keluar itu…, ahhh, aku sudah terlalu tua untuk ikut memusingkan urusan dunia, akan tetapi aku berjanji akan sering keluar dari kamar ini”
“Tentu saja kongkong harus keluar. Bukankah menurut ayah, di sini akan diadakan pesta ulang tahun kakek yang ke tujuh puluh?”
Kakek itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang sambil mengelus jenggotnya yang putih. ”Baiklah, baiklah... ahh, Hui Song memang anak yang amat baik dan berbakti. Sayang dia tidak berbakat dan tidak suka menjadi ketua…”
Mendengar kakeknya menyinggung mengenai kedudukan ketua, Kui Hong menjadi berani untuk membicarakan soal itu. ”Kongkong, menurut ayah, di dalam pesta yang dihadiri oleh banyak tokoh persilatan itu, ayah hendak mengadakan pemilihan ketua Cin-ling-pai yang baru, bernarkah itu? Kata ayah, dia akan mengundurkan diri dan akan merantau bersama ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah dan tempat-tempat lain.”
Kakek Cia Kong Liang mengangguk-angguk dan masih mengelus-elus jenggotnya. ”Hal itu sudah kami bicarakan secara serius. Ayahmu hendak merombak ketentuan yang sudah turun temurun, hendak memutuskan ikatan antara keluarga Cia dengan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia benar juga. Cin-ling-pai adalah sebuah perguruan silat, bukan milik keluarga Cia. Siapa saja yang baik dan tepat dapat menjadi ketua demi kemajuan Cin-ling-pai. Dan aku sudah mempunyai pandangan, siapa kiranya yang paling tepat untuk menjadi ketua baru Cin-ling-pai menggantikan ayahmu.”
Kui Hong diam-diam terkejut, akan tetapi dia langsung teringat akan pria yang baru saja meninggalkan kamar kakeknya. ”Kongkong, siapakah pria yang baru keluar dari sini tadi? Aku tidak pernah melihatnya.”
“Nah, dia itulah yang menjadi calonku untuk memimpin Cin-ling-pai. Biar pun masih muda akan tetapi dia bijaksana, dan dalam hal ilmu silat kiranya tidak di sebelah bawah tingkat ayahmu dan ibumu sekali pun.”
Tentu saja Kui Hong terkejut mendengar ini. Seorang murid Cin-ling-pai yang mempunyai tingkat kepandaian tidak kalah oleh ayahnya atau ibunya? Sungguh luar biasa!
“Tapi, siapakah dia, Kongkong? Apakah murid Cin-ling-pai?”
“Namanya Tang Cun Sek, tentu saja dia murid Cin-ling-pai!”
“Tapi, Kongkong. Jika dia murid Cin-ling-pai bagaimana sampai aku tidak mengenalinya?”
“Memang dia murid baru. Hanya beberapa bulan setelah engkau dan ibumu meninggalkan Cin-ling-pai, dia menjadi murid dan anggota Cin-ling-pai. Karena itu engkau tidak pernah melihatnya.”
Kui Hong mengerutkan alisnya dan di dalam hatinya menghitung-hitung, lalu dia berkata, “Kongkong, sampai sekarang, kepergianku itu baru empat tahun lamanya. Bagaimana dia yang baru belajar empat tahun di sini, sekarang sudah memiliki tingkat kepandaian yang sejajar dengan ayah dan ibu? Hal itu sungguh tidak mungkin!”
Kakek itu tersenyum, “Mengapa tidak mungkin? Ketika masuk menjadi murid Cin-ling-pai, dia telah memiliki ilmu silat yang tinggi! Dia adalah seorang pemuda yang semenjak kecil suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga ia telah mempelajari banyak macam ilmu silat dari perguruan-perguruan silat yang besar. Dia masih juga belum puas lantas dia belajar di sini untuk menambah pengetahuannya. Ternyata dia berbakat sekali dan semua ilmu silat Cin-ling-pai bisa dikuasai dalam waktu singkat. Dia memang pantas sekali menjadi ketua baru, karena dengan ilmunya yang banyak macamnya itu, tentu saja dia dapat menambah perbendaharaan ilmu di Cin-ling-pai. Bahkan menurut pendapatku, dia pun pantas untuk menjadi jodohmu, Kui Hong.”
“Ihhh! Kongkong ini ada saja!” teriak Kui Hong dan mukanya berubah merah sekali.
Kakek itu tertawa. “Aku tidak main-main, cucuku. Bahkan aku pernah membicarakan soal ini dengan ayahmu. Ketahuilah, telah menjadi kebiasaan di dalam dunia persilatan bahwa seorang gadis akan memilih jodohnya yang gagah perkasa dan yang dapat mengalahkan ilmu silatnya. Dan aku melihat bahwa semua syarat itu ada pada diri Cun Sek! Dia adalah seorang pemuda yang sudah matang dan wajahnya pun tampan. Sepak terjangnya gagah perkasa, dia pun mempunyai pengetahuan cukup tentang ilmu baca tulis dan ilmu silatnya tinggi. Terlebih lagi kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai, berarti dia masih keluarga sendiri sebagai jodohmu, dengan demikian, meski pun berlainan she tetap saja Cin-ling-pai masih dipegang oleh anggota keluarga sendiri.”
Diam-diam Kui Hong mengerti mengapa kakeknya agaknya demikian bersemangat untuk menjodohkan dia dengan lelaki yang bernama Tang Cun Sek itu, dan sangat mendukung pengangkatan Cun Sek sebagai ketua baru Cin-ling-pai. Ternyata kakek itu ingin supaya pimpinan Cin-ling-pai tidak terjatuh kepada orang lain! Kalau Cun Sek menjadi suaminya, berarti bahwa Cun Sek masih anggota keluarga, mantu dari ayahnya!
Sekarang mengertilah gadis ini bahwa persetujuan kakeknya mengenai pergantian ketua di Cin-ling-pai adalah persetujuan yang terpaksa dan sesungguhnya berlawanan dengan suara hati kakeknya. Diam-diam dia merasa kasihan kepada kongkong-nya itu. Pendirian kakeknya masih tetap keras, akan tetapi kini telah terjadi perubahan, yaitu sikap kakeknya menjadi lebih lunak, tidak seperti dahulu bahwa setiap kehendaknya tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
Karena dia tidak ingin berbantahan dengan kakeknya atau mengecewakan hatinya, maka ketika kakeknya mendesaknya dan menanyakan pendapatnya, dia hanya menjawab, “Kita lihat bagaimana nanti sajalah, Kongkong.”
Setelah pergi meninggalkan kamar kakeknya, Kui Hong kemudian keluar dan berkunjung ke perkampungan Cin-ling-pai di mana terdapat sekelompok rumah yang menjadi tempat tinggal para murid Cin-ling-pai. Semenjak ayahnya menjadi ketua, Cin-ling-pai tak pernah menerima murid wanita sehingga dia merupakan satu-satunya murid wanita! Semua murid Cin-ling-pai adalah pria, sebagian ada yang tinggal di luar dan mereka ini adalah murid-murid yang sudah berkeluarga, sedangkan yang masih bujangan tinggal di perkampungan Cin-ling-pai. Jumlah mereka mendekati seratus orang!
Kedatangan Kui Hong disambut oleh para murid Cin-ling-pai, ada yang menyambut gadis itu dengan gembira, ada pula yang bersikap biasa, dan bahkan ada yang bersikap dingin! Mereka itu terdiri dari pria-pria yang berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun. Tentu saja banyak di antara mereka yang diam-diam mengagumi Kui Hong sebagai pria terhadap wanita, akan tetapi dapat dimengerti bahwa tak seorang pun berani menyatakan perasaan kagum dan suka ini secara berterang.
Kui Hong melihat jelas bahwa ada semacam kelesuan di antara para murid Cin-ling-pai. Hal ini disebabkan terjadinya peristiwa menyedihkan di dalam keluarga ketuanya sehingga membuat ketua mereka kemudian mengasingkan diri di dekat makam, sedangkan ketua lama mengasingkan diri di dalam kamar. Tentu saja mereka semua merasa bingung dan seperti kehilangan pegangan, akan tetapi mereka masih memandang muka nyonya ketua yang amat lihai sehingga tidak membuat ulah macam-macam.
Melihat sikap para murid yang dingin dan lesu, Kui Hong segera menegur mereka sambil tersenyum ramah. “Heii, kalian ini mengapakah? Seperti lampu kehabisan minyak! Aku ini masih Cia Kui Hong yang dahulu itu, teman kalian berlatih silat dan bermain-main! Hayo kita berkumpul di lian-bu-thia (ruangan latihan silat), ingin aku melihat sampai di manakah kemajuan para suheng dan sute di sini’’
Melihat kegembiraan gadis itu, ajakan itu langsung disambut oleh para murid yang masih muda dengan gembira. Mereka mengikuti Kui Hong sehingga sebentar saja lian-bu-thia itu penuh dengan murid Cin-lin-pai. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, sebab hanya mereka yang agak tua dan menjadi suheng (kakak perguruan) dari Kui Hong yang tidak ikut.
Mereka ini merasa diri sudah tua dan berkedudukan lebih tinggi, maka mereka tidak mau mencampuri kegembiraan para murid muda itu. Mereka adalah murid-murid tua dari Cin-ling-pai, bahkan ada beberapa orang yang masih terhitung susiok (paman guru) dari Kui Hong karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Cia Hui Song, atau murid langsung dari kakek Cia Kong Liang.
Sesudah tiba di lian-bhu-thia, Kui Hong langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu. Kegembiraannya muncul, akan tetapi diam-diam dia telah memperhitungkan sikapnya. Sebelum terjadi pemilihan ketua baru dia ingin sekali menguji, siapa di antara murid dan anggota Cin-ling-pai yang sudah memiliki ilmu silat tinggi dan pantas untuk menjadi ketua baru. Terutama sekali dia ingin memancing keluarnya murid bernama Tang Cun Sek itu, untuk diujinya sampai di manakah kepandaian orang itu maka oleh kongkong-nya dipilih sebagai calon ketua baru.
Sesudah berada di tengah ruangan berlatih silat, Kui Hong lantas berkata, ”Hayo, silakan siapa yang hendak latihan denganku! Sudah lama kita tidak berlatih bersama-sama. Siapa di antara kalian yang paling maju ilmu silatnya.? Majulah, mari kita main-main sebentar!”
Para murid Cin-ling-pai maklum benar siapa adanya Kui Hong. Memang benar di antara mereka banyak terdapat murid yang lebih tua dan lebih dahulu belajar dibandingkan Kui Hong. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kalau mereka hanya mempelajari ilmu-ilmu asli dari Cin-ling-pai, yaitu San-in Kun-hoat, Thai-kek Sin-kun yang sangat sukar, Tiat-po-san dan Ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut, sebaliknya gadis itu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Pendekar Sadis!
Bahkan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh), gadis itu amat hebat karena sudah menguasai Bu-eng Hui-teng dari ibunya yang menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, yakni salah seorang di antara Delapan Dewa! Karena maklum bahwa mereka tak akan mampu menandingi ilmu kepandaian Kui Hong, maka tidak ada yang berani meyambut tantangan gadis itu.
“Hayolah!” ajak Kui Hong. ”Mengapa sekarang kalian semua berubah menjadi pemalu dan penakut? Aku hanya ingin melihat kemajuan kalian, mari kita bersama latihan San-in Kun-hoat!”
Salah seorang murid yang berusia tiga puluh tahun dan yang terkenal sebagai murid yang paling ahli dalam hal ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), dengan malu-malu melangkah maju menghadapi Kui Hong, diantar oleh tepuk tangan pemberi semangat dari para saudaranya.
Melihat laki-laki yang jangkung dan berwajah pemalu ini, Kui Hong tersenyum dan segera memberi hormat, “Aihh, kiranya suheng Ciok Gun! Saudara-saudara sekalian, aku girang bahwa dia ini yang maju. Ketahuilah bahwa ketika dahulu aku sedang belajar San-in Kun-hoat, justru suheng Ciok Gun inilah yang memberi banyak petunjuk kepadaku!” Ucapan ini kembali disambut tepuk tangan para murid Cin-ling-pai dan kini suasana berubah menjadi semakin meriah.
“Sumoi terlalu memujiku, sekarang mana mungkin aku sanggup melawanmu?” kata lelaki jangkung yang bernama Ciok Gun itu sambil tersenyum.
Dia cepat memasang kuda-kuda Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan pasangan kuda-kudanya memang mantap. Setelah itu dia menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semua khikang ke dalam pusar dari mana tenaga dalam itu akan mengatur semua gerakan dari tubuhnya untuk digunakan dalam ilmu San-in Kun-hoat yang lihai itu.
Kui Hong mengangguk-angguk kagum lalu berseru, “Nah, mari kita mulai, Suheng. Lihat seranganku!” berkata demikian, gadis itu mulai melakukan serangan, dengan jurus Pek-in Toan-san (Awan Putih Memutuskan Gunung).
Sepasang tangan gadis itu dengan cepatnya menyambar ke arah leher dan dada lawan. Gerakannya itu nampaknya tanpa tenaga, namun Ciok Gun merasakan betapa ada angin pukulan menyambar halus yang kuat bukan main, dan terutama sekali gerakan gadis itu sangat cepatnya, terlalu cepat baginya sehingga tergesa-gesa dia mengelak ke belakang dan membalas dengan tendangan kakinya dari samping.
Dengan gerakan yang lincah sekali dan amat luwes, Kui Hong meliukkan tubuhnya hingga tendangan itu menyambar lewat di tempat kosong. Gadis itu pun membalikkan tangannya dan kembali sudah menyerang dengan amat cepatnya. Ciok Gun memutar tangan hendak menangkis disusul tangkapan tangan ke arah lengan lawan, tetapi dia kalah cepat karena Kui Hong telah menarik kembali tangannya dan mengganti serangan itu dengan serangan dari samping.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dengan ilmu silat yang sama. Akan tetapi segera nampak betapa Ciok Gun terdesak hebat, bahkan sesudah lewat sepuluh jurus dia hanya mampu mengelak atau menangkis, sama sekali tidak sempat membalas karena memang dia kalah jauh dalam kecepatan gerakan. Untung bahwa dia memang ahli ilmu silat San-in Kun-hoat, sehingga dia mampu membela diri dan melindungi tubuhnya.
Lebih untung lagi baginya bahwa lawannya juga mempergunakan ilmu silat yang sama sehingga meski pun gerakan Kui Hong amat cepat, dia selalu dapat melihat awal gerakan dan menduga dengan tepat ke mana arah serangan gadis itu. Biar pun demikian, saking cepatnya lawan bergerak, dia dipaksa untuk bergerak cepat mengimbanginya dan hal ini membuat kepalanya terasa pening dan pandang matanya berkunang!
“Apa bila ada suheng atau sute yang hendak turut meramaikan latihan ini dan membantu Ciok-suheng, silakan maju!” kata Kui Hong sambil mengelak dari sambaran tangan Ciok Gun yang baru dapat membalas serangan ketika gadis itu berhenti sebentar untuk bicara kepada murid lainnya. “Jangan malu-malu, hayo maju dan kita latihan bersama!”
Mendengar ucapan ini, dan melihat betapa Ciok Gun yang mereka kenal sebagai ahli ilmu silat San-in Kun-hoat sama sekali tak mampu menandingi puteri ketua mereka itu, empat orang murid menjadi penasaran dan juga bangkit kegembiraan mereka. Mereka berempat adalah murid-murid yang lebih tua dari pada Kui Hong dan juga terhitung suheng (kakak seperguruan) gadis itu. Mereka saling memberi isyarat, kemudian keempatnya meloncat ke depan memasuki kalangan adu silat.
"Sumoi, kami hendak ikut berlatih!" kata mereka.
"Bagus! Marilah, suheng berempat, maju dan bantulah Ciok-suheng supaya lebih ramai!" tantang Kui Hong tanpa sombong, wajahnya berseri, cantik sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat kagum semua murid yang berada di situ.
Empat orang murid itu kemudian mulai membantu Ciok Gun, mengepung Kui Hong dan menyerang secara bertubi-tubi, akan tetapi serangan mereka itu selalu mempergunakan ilmu silat Sam-in Kun-hoat karena mereka itu sedang berlatih, bukan berkelahi dan tiada seorang pun di antara mereka yang mau bertindak curang.
Kini Kui Hong benar-benar memperlihatkan kelihaiannya! Gadis itu tidak berani main-main lagi seperti ketika menghadapi Ciok Gun seorang. Kini dara ini dikeroyok oleh lima orang murid Cin-ling-pai yang sudah tinggi ilmunya, dan empat orang yang baru masuk itu pun tentu saja telah menguasai San-in Kun-hoat dengan baik, walau pun mereka tidak seahli Ciok Gun. Kini Kui Hong mengerahkan tenaga yang lebih besar dan memainkan San-in Kun-hoat sebaik mungkin.
Terjadilah adu ilmu yang sangat seru dan menarik sekali. Gerakan Kui Hong sedemikian cepat dan ringannya, juga amat indah. Tubuhnya bergerak seolah-oleh seekor kupu-kupu di antara lima tangkai bunga yang tertiup angin bergerak ke sana sini, dan kupu-kupu itu beterbangan di antara mereka! Bagaimana pun kelima orang itu mendesak dan berusaha mengalahkan sumoi mereka, namun mereka tidak pernah mampu menyentuh ujung baju Kui Hong!
Dan para murid yang menonton adu ilmu ini menjadi bengong. Barulah mereka melihat kenyataan bahwa ilmu silat San-in Kun-hoat dapat menjadi ilmu yang sangat hebat, yang membuat gadis itu sama sekali tidak terdesak meski pun dikeroyok oleh lima orang murid utama yang merupakan tokoh-tokoh tingkat dua di Cin-ling-pai!
Tentu saja hal ini tidaklah aneh. Semua ilmu silat merupakan ilmu bela diri yang amat baik dan teratur, penuh dengan daya serang dan daya bertahan yang baik. Tinggi rendahnya tingkat seseorang bukan ditentukan oleh ilmu silatnya itu sendiri, namun oleh orangnya! Siapa yang tekun berlatih dan menguasai rahasia ilmu silat itu, dan yang memiliki tenaga sakti yang kuat, tentu dapat memainkan ilmu silat itu dengan amat baik dan membuatnya amat tangguh, sukar dikalahkan lawan. Sebaliknya, betapa pun tinggi dan hebatnya suatu ilmu, jika yang mempelajarinya hanya menguasai setengah-setengah saja, maka ilmunya belum matang dan tentu saja tidak membuat dia menjadi terlalu tangguh.
Kui Hong bukan saja sudah menguasai ilmu San-in Kun-hoat dengan sangat baik, akan tetapi sesudah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, gadis ini telah memiliki sinkang yang amat kuat. Juga kakek dan neneknya menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam gerakan semua ilmu silat yang telah dikuasainya sehingga ilmu itu menjadi semakin ampuh karena seolah-olah telah disempurnakan oleh dua orang ahli silat yang sakti!
Oleh karena itu, menghadapi lima orang suheng-nya, biar pun seorang di antara mereka ahli San-in Kun-hoat, dara ini memang jauh lebih matang, lebih cepat karena menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) gemblengan neneknya, juga memiliki sinkang (tenaga sakti) gemblengan kakeknya. Walau pun dikeroyok oleh lima orang, Kui Hong menguasai keadaan karena semua serangan yang sudah dikenalnya dengan baik itu dapat dielakkan dengan kecepatan gerakan tubuhnya, dan jika tak sempat mengelak, setiap tangkisannya membuat tubuh penyerangnya terdorong ke belakang.
Akhirnya lima orang itu harus mengakui keunggulan sumoi mereka. Mereka tahu bahwa dalam perkelahian sungguh-sungguh, sudah sejak tadi mereka akan roboh seorang demi seorang! Ciok Gun yang lebih dulu melompat ke belakang diikuti empat orang murid lain.
"Hebat, ilmu kepandaianmu sekarang amat hebat, sumoi. Sungguh membuat kami semua kagum dan membuka mata kami bahwa keturunan ketua dan guru kami memang hebat!"
Mendengar ucapan Ciok Gun itu, semua murid menjadi gembira karena tadinya banyak di antara murid Cin-ling-pai kebingungan, merasa kehilangan pimpinan, seperti sekumpulan anak ayam ditinggalkan induknya ketika ketua mereka, Cia Hui Song, bertapa di makam isterinya yang kedua, sedangkan ketua lama, Cia Kong Liang hanya bersemedhi di dalam kamarnya tanpa mau mencampuri urusan luar, dan Sui Cin juga bersikap acuh terhadap perkumpulan itu karena bagaimana pun juga, dia merasa bukan haknya untuk memimpin Cin-ling-pai. Akan tetapi sekarang muncul Cia Kui Hong yang demikian lihai, maka para murid mempunyai harapan untuk dapat memperoleh seorang pemimpin yang pandai dan boleh diandalkan, juga yang ahli dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai.
"Hidup nona Cia Kui Hong!" teriak para murid. Ada yang menyebut sumoi, suci, dan juga nona! Kui Hong menjura ke arah mereka dengan sikap merendah.
"Para suheng dan sute, harap jangan terlalu memuji padaku. Ketahuilah, aku memperoleh kemajuan karena aku tekun dan giat berlatih, juga aku sudah menerima bimbingan kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku mengajak kalian berlatih bukannya untuk pamer, melainkan karena aku melihat kelesuan di antara kalian. Marilah kita berlatih dengan baik, karena kalau bukan kita siapa lagi yang harus menegakkan nama besar Cin-ling-pai! Dan bagaimana kita akan mampu menegakkan nama besar Cin-ling-pai bila kita lemah dan malas berlatih? Ketahuilah, aku membawa berita baik, yaitu bahwa mulai hari ini ayahku, yaitu ketua kalian, telah meninggalkan tempat pertapaan dan akan memimpin Cin-ling-pai seperti biasa."
Mendengar ini semua murid segera bersorak gembira sekali karena berita ini merupakan berita baik. Kui Hong mencari dengan matanya dan akhirnya dia melihat pemuda tinggi besar bermuka putih yang bernama Tang Cun Sek itu, murid Cin-Iing-pai yang baru dan amat disuka oleh kakeknya, yang menurut kakeknya lihai sekali karena sebelum masuk menjadi anggota Cin-ling-pai sudah mempunyai banyak macam ilmu silat yang tinggi. Dia melihat pemuda itu di sudut, turut pula bertepuk tangan dengan para murid lain.
Tiba-tiba seorang murid lain yang berdiri di dekat Tang Cun Sek, yakni murid bertubuh kurus yang dikenal oleh Kui Hong sebagai seorang murid lama dan terhitung suheng-nya, berusia tiga puluh lima tahun, bangkit berdiri dan berkata dengan suara nyaring,
"Tentu saja kami gembira sekali mendengar berita itu, Cia-sumoi, akan tetapi kami pernah mendengar bahwa nanti akan diadakan pemilihan ketua baru untuk Cin-ling-pai. Sampai di mana kebenaran berita itu?"
Kui Hong kembali bertemu pandang dengan Tang Cun Sek dan ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seakan-akan tertarik sekali dan ingin benar mendengar jawabannya atas pertanyaan itu.
Gadis itu tersenyum. Tentu saja para murid itu juga telah mendengar akan hal ini, karena bukankah kakeknya juga mendengar? Dia mengangguk dan memandang ke sekeliling.
"Memang benar, ayahku telah memberi tahu pula kepadaku bahwa dalam waktu dekat ini akan diadakan pesta di Cin-ling-pai, pertama untuk merayakan hari ulang tahun ke tujuh puluh dari kakekku…"
"Hidup dan panjang umur lo-pangcu!" terdengar para murid Cin-ling-pai serentak berseru untuk menghormati ketua lama yang akan merayakan ulang tahunnya itu.
"Dan yang kedua, memang ayahku berniat untuk mengangkat seorang ketua Cin-ling-pai yang baru. Hal ini adalah karena ayah dan ibuku hendak pergi merantau dan tidak baik kalau Cin-ling-pai dibiarkan tanpa ketua," sambung Kui Hong.
"Mengapa mesti susah-susah mencari ketua baru? Nona Cia Kui Hong sangat lihai dan amat pantas menjadi pengganti ketua!" terdengar teriakan seorang murid dan ucapan ini kembali mendapat sambutan sorak-sorai, tanda bahwa sebagian besar dari para murid itu setuju jika Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai. Mereka sudah melihat kelihaian Kui Hong dan juga merasa senang sekali kalau ketua mereka seorang gadis yang demikian cantik dan gagah perkasa!
Sejenak Kui Hong memperhatikan wajah Tang Cun Sek. Akan tetapi pemuda tinggi besar yang bermuka putih itu kelihatan tenang saja, malah tersenyum dan mengangguk-angguk tanpa menyatakan setuju, akan tetapi juga tidak menentang.
Wajah Kui Hong yang menjadi merah, "Aihh, para Sute dan Suheng ini ada-ada saja. Aku hanya seorang wanita, bagaimana dapat menjadi seorang ketua yang harus menghadapi banyak tantangan dan persoalan? Aku paling tidak suka dengan kesibukan, apa lagi kalau harus mempergunakan otak memikirkan banyak persoalan. Aku ingin bebas. Kurasa Cin-ling-pai memiliki cukup banyak murid yang pandai dan pantas untuk menjadi ketua, kalau memang ayah menghendaki adanya seorang ketua baru," berkata demikian, kembali Kui Hong melayangkan pandang matanya kepada Tang Cun Sek yang masih diam saja, tidak membuat tanggapan apa pun.
"Sudahlah, kita menanti datangnya saat itu dan kita lihat saja nanti. Bagaimana pun juga, seorang calon ketua Cin-ling-pai haruslah benar-benar seorang yang selain pandai ilmu silat Cin-ling-pai juga bijaksana. Tentu kepandaiannya itu akan diuji lebih dulu, dan kurasa para susiok dan pemuka Cin-ling-pai juga sudah siap untuk menghadapi peristiwa besar itu. Sekarang, siapa lagi yang ingin berlatih silat dengan aku?"
Dengan gembira para murid Cin-ling-pai itu lalu bergantian maju dan berlatih silat dengan gadis puteri ketua itu yang ternyata pandai dalam semua ilmu silat perkumpulan mereka. Dan Kui Hong tidak segan-segan untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada mereka dengan hati tulus.
Demikianlah, semenjak Kui Hong pulang ke Cin-ling-pai banyak di antara para murid yang memperoleh kegembiraan baru dan mereka mulai rajin lagi berlatih silat. Sementara itu Cia Hui Song sibuk mengirim surat undangan kepada para tokoh pendekar dan pimpinan perkumpulan persilatan besar untuk menghadiri pesta yang akan diadakan dengan dua peristiwa penting, yaitu pertama untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya yang ke tujuh puluh tahun, dan ke dua untuk mengadakan pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai dengan disaksikan oleh para tokoh yang hadir.
Dan tanpa diketahui orang lain kecuali ketua Cin-ling-pai itu dan anak isterinya, pesta itu pun diam-diam diadakan untuk merayakan pertemuan serta bersatunya keluarga mereka setelah berpisah batin selama kurang lebih empat tahun lamanya. Sesudah mengirimkan surat-surat undangan, Cin-ling-pai sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya hari baik itu dan tempat-tempat darurat dipersiapkan untuk menampung para tamu…..
********************