"Heiii, di mana Bibi Kui Hong...?" Tiba-tiba saja Ling Ling teringat dan cepat melepaskan diri dari rangkulan Sun Hok.
"Dia tadi menuju ke sana..." Sun Hok menunjuk ke arah sebuah hutan kecil tak jauh dari situ.
"Mari kita cari Bibi Kui Hong!" Ling Ling lalu berlari ke arah itu, diikuti oleh Sun Hok.
"Bibi Kui Hong...! Bibi Kui Hong...!" Beberapa kali Ling Ling memanggil setelah memasuki hutan itu.
"Lihat itu di sana! Seperti ada kertas yang menempel di batang pohon," tiba-tiba Sun Hok berkata sambil menunjuk pada sebatang pohon.
Ling Ling menengok dan menghampiri sebatang pohon besar yang tadi ditunjuk Sun Hok. Benar saja, ada kertas berlipat menempel di batang pohon itu, ujungnya tertusuk sebuah ranting kecil. Ling Ling cepat mengambil kertas itu, lalu dibukanya dan ternyata kertas itu adalah sehelai surat dari Kui Hong kepadanya! Segera dibacanya surat singkat itu.
Ling Ling,
Can Sun Hok adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.
Bibimu,
Cia Kui Hong.
Can Sun Hok adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.
Bibimu,
Cia Kui Hong.
Ling Ling tersenyum dan semakin gembira. Kiranya pemuda yang mencintanya ini bukan orang sembarangan, melainkan cucu dari seorang pangeran, akan tetapi mengaku putera seorang wanita tokoh sesat! Sambil tersenyum Ling Ling menyerahkan surat itu kepada Sun Hok yang membacanya pula. Pemuda itu pun tersenyum.
"Ahhh, kiranya wanita perkasa cucu Pendekar Sadis itu adalah bibimu? Ternyata engkau keturunan keluarga para pendekar yang hebat. Ling-moi!"
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, ke tempat tinggal orang tua Cia Ling. Ketika mereka tiba di rumah Cia Sun, kembali Cia Ling merasa tegang dan ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Jika saja dia tidak pulang bersama Sun Hok, kiranya dia tidak akan berani langsung menceritakan keadaan dirinya kepada ayah ibunya. Kehadiran Sun Hok membesarkan hatinya, apa lagi karena selama dalam perjalanan itu Sun Hok sudah membuktikan dirinya sebagai seorang lelaki yang menghargainya dan sopan.
Cia Sun dan Tan Siang Wi menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira. Akan tetapi Tan Siang Wi merasa agak khawatir melihat wajah puterinya yang agak pucat dan sinar matanya yang redup seperti orang tengah menderita tekanan batin. Sedangkan Cia Sun merasa heran pada saat melihat puterinya pulang bersama seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana.
Atas bantuan dan semangat yang diberikan oleh Sun Hok, dengan suara tersendat-sendat bercampur tangis akhirnya dari bibir Ling Ling keluar juga kisah sedih tentang mala petaka yang menimpa dirinya, yaitu diperkosa oleh seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu.
Baru cerita itu tiba di bagian ini, Tan Siang Wi yang berwatak angkuh dan galak itu sudah melompat berdiri dari kursinya, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali, kedua tangan dikepal dan matanya mendelik.
"Aku harus mencari Ang-hong-cu! Aku akan mengadu nyawa dengan jahanam keparat busuk itu!"
Akan tetapi Cia Sun yang berwatak sabar dan halus itu menyentuh lengan isterinya, lalu berkata, "Tenang dan bersabarlah. Segalanya sudah terjadi dan mari kita mendengarkan cerita Ling-ji lebih lanjut." Akhirnya wanita yang sangat marah itu dapat dibikin tenang dan dengan kedua mata basah dia mendengarkan kelanjutan cerita anaknya
Ling Ling melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban, akan tetapi banyak dan di antaranya seorang murid Bu-tong-pai. Kini Ang-hong-cu menjadi buronan dan dikejar-kejar oleh puteranya sendiri yang bernama Tang Hay karena pemuda ini ingin mencuci namanya yang tadinya menjadi pusat persangkaan dan dia akan memaksa agar ayah kandungnya mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang jahat.
Juga Ling Ling menuturkan tentang pemberantasan gerombolan sesat yang memberontak hingga gerombolan itu dapat dihancurkan. Begitu pula pertemuan-pertemuannya dengan Kui Hong dan para pendekar lainnya.
"Dan siapakah orang muda ini?" Cia Sun bertanya kepada puterinya sesudah ceritanya selesai.
"Ayah, dia adalah salah seorang di antara para pendekar yang ikut membantu membasmi gerombolan pemberontak. Namanya Can Sun Hok, tinggal di kota Siang-tan. Dia… dia… ikut bersamaku ke sini untuk... untuk..." Ling Ling tak melanjutkan ucapannya, melainkan menoleh ke arah Sun Hok seperti hendak minta bantuan.
Sekarang suami isteri pendekar perkasa itu memandang kepada Sun Hok. Di dalam hati mereka terdapat rasa penasaran sebab tadi puteri mereka menceritakan tentang aib yang menimpa dirinya di depan pemuda asing ini pula.
Sun Hok cepat memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu. Dia tadi amat terkesan melihat sikap orang tua Ling Ling. Ibunya begitu galak penuh semangat dan keberanian, ayahnya demikian pendiam dan tenang, penuh wibawa. Hatinya gentar juga menghadapi dua orang yang perkasa ini.
"Harap Paman dan Bibi sudi memaafkan saya. Sebenarnya amat tidak pantas kalau saya datang menghadap sendiri untuk keperluan ini, akan tetapi mengingat bahwa saya sudah tidak mempunyai keluarga lagi, tiada ayah bunda, maka terpaksa saya memberanikan diri menghadap Paman dan Bibi untuk mengajukan pinangan atas diri Ling-moi, untuk menjadi calon isteri saya kalau Paman dan Bibi sudi menerima saya yang bodoh dan yatim piatu sebagai calon mantu."
Suami isteri itu saling pandang dan tampak ibu Ling Ling membelalakkan kedua matanya, lalu menoleh kepada puterinya.
"Dia... dia sudah tahu... tentang dirimu...?" tanyanya kepada Ling Ling.
Ling Ling mengangguk. "Sudah, Ibu. Bahkan dia telah menduganya sebelum aku berterus terang kepadanya. Aku tentu telah mati membunuh diri dengan terjun ke jurang kalau saja tidak ada Hok-ko ini yang mencegahku. Dia tidak peduli dengan aib yang menimpa diriku, bahkan dia merasa iba kepadaku."
Mendengar ini ibu Ling Ling merasa terharu dan suami isteri itu tentu saja tidak menolak, malah berterima kasih sekali kepada pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawa puteri tunggal mereka, bahkan bersedia pula mencuci aib itu dengan menikahinya. Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang terkenal angkuh, belum puas rasa hati Tan Siang Wi kalau belum mendapat keterangan tentang asal-usul pemuda yang akan menjadi menantunya. Maka secara langsung saja dia lalu bertanya mengenai orang tua pemuda itu, walau pun ayah ibu pemuda itu telah meninggal dunia.
"Ibu, Hok-ko adalah cucu seorang pangeran," kata Ling Ling untuk mengangkat pemuda itu dalam pandangan ibunya.
Akan tetapi Sun Hok segera berkata. "Ah, keturunan bangsawan itu sudah tidak termasuk hitungan lagi. Memang kakek saya adalah Pangeran Can Seng Ong yang pernah menjadi gubernur di Ning-po. Kemudian kakek saya pindah ke Siang-tan. Ayah saya bernama Can Koan Ti, ada pun ibu saya... bernama Gui Siang Hwa dan mereka sudah meninggal dunia semua..."
Tiba-tiba Tan Siang Wi meloncat dari kursinya. Matanya terbelalak karena dia ingat benar dengan nama itu. "Gui Siang Hwa? Benarkah nama ibumu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis?"
Sambil menundukkan mukanya Sun Hok berkata, "Benar, Bibi, mendiang ibu saya adalah seorang tokoh sesat."
Cia Sun juga tertegun, lebih lagi Tan Siang Wi. Ia pernah bentrok dengan Gui Siang Hwa dan teringatlah dia akan masa lalu. Ketika dia masih seorang gadis, pernah dia bertanding melawan Gui Siang Hwa yang amat lihai dan dia kalah bahkan tertawan oleh wanita iblis itu.
Wanita ini menjadi bingung. Ia bermantukan putera Gui Siang Hwa yang terkenal dengan julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi) itu? Tidak mungkin! Akan tetapi dia pun lalu teringat akan keadaan puterinya yang sudah ternoda, dan ingat betapa putera Gui Siang Hwa ini adalah seorang pendekar, bahkan seorang patriot! Maka dia terduduk kembali dan termangu-mangu memandang suaminya.
Cia Sun menghela napas panjang. "Di dalam hidup manusia ada tiga hal yang sudah ada garisnya, sudah ditentukan dan diatur oleh kekuasaan Thian, yaitu kelahiran, perjodohan dan kematian. Sebagai manusia kita hanya dapat menerima saja. Dan dalam perjodohan yang terpenting adalah cinta kasih antara dua orang yang berjodoh. Can Sun Hok, apakah engkau benar-benar mencinta puteri kami Cia Ling?" Sambil bertanya sinar mata Cia Sun dengan tajam mengamati wajah pemuda itu. Sun Hok balas memandang dan menjawab dengan suara yang tenang dan tegas, tanpa ragu-ragu.
"Saya mencinta Ling-moi dengan sepenuh hati, Paman."
"Dan engkau, Ling Ling, apakah engkau mencinta Can Sun Hok?" Sekarang pendekar itu memandang kepada Ling Ling. Wajah gadis ini berubah merah dan sambil mengerling ke arah Sun Hok, dia pun menjawab dengan lantang dan tegas.
"Ayah, aku... aku cinta padanya."
Cia Sun kelihatan puas lantas mengangguk-angguk. "Bagus, kalau begitu kami orang tua hanya tinggal melaksanakan saja pernikahan antara kalian berdua. Kita akan memilih hari dan bulan baik, kemudian merayakan pernikahan kalian secara sederhana saja."
Dengan hati gembira keluarga itu lalu merayakan kepulangan Ling Ling, juga merayakan perjodohan antara kedua orang muda itu. Cia Sun serta isterinya akhirnya merasa puas dan gembira juga mendengar riwayat hidup Can Sun Hok yang tanpa merahasiakan lagi menuturkan pertemuannya dengan Ceng Sui Cin yang tadinya dianggap musuh besarnya, betapa kemudian dia sadar sesudah mendengar wejangan wanita perkasa itu. Walau pun mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang terkenal jahat, akan tetapi pemuda ini agaknya tidak mewarisi kejahatan ibunya.
Demikianlah, seperti bergantinya hujan dan mendung dengan sinar matahari yang cerah, setelah mengalami penderitaan batin karena diperkosa orang yang hampir saja membuat Ling Ling membunuh diri, sekarang gadis itu menemukan kebahagiaan di samping Can Sun Hok yang mencintanya.
Sesudah menjadi isteri pemuda itu dan dibawa pulang ke Siang-tan, ke rumah megah di mana dia dipertemukan dengan Bhe Siauw Cin, hati Ling Ling menjadi semakin gembira. Bhe Siauw Cin ternyata seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga ramah dan halus budi bahasanya, pandai membawa diri dan meski pun dia seorang bekas penyanyi dan penghibur panggilan kelas tinggi, tetapi dia cerdas dan memiliki banyak pengetahuan sehingga Ling Ling yang kini menjadi ‘nyonya besar’ banyak belajar dari wanita ini, juga dalam melayani suaminya.
Pada masa itu merupakan hal yang lajim bagi seorang pria, apa lagi kalau dia seorang bangsawan atau hartawan, untuk memiliki isteri lebih dari seorang walau pun isteri yang lain dinamakan selir. Ling Ling hidup berbahagia di samping suaminya dan madunya…..
********************
Nasib Pek Eng tidaklah sebaik nasib Ling Ling yang mendapatkan seorang suami yang di samping mencintanya juga sangat dicintanya. Akan tetapi, bila mengingat peristiwa yang mendatangkan aib bagi diri Pek Eng, nasibnya masih dapat dinamakan baik juga.
Ayahnya, Pek Kong yang menjadi Ketua Pek-sim-pang, secara diam-diam menemui Song Bu Hok dan mengajaknya berbicara empat mata. Sesudah memesan kepada pemuda itu bahwa semua yang akan dibicarakan merupakan rahasia besar keluarga Pek, dan hanya kepada Song Bu Hok seorang Ketua Pek-sim-pang itu memberi tahukan, juga meminta kepada pemuda itu agar menyimpannya sebagai rahasia sampai mati, barulah Pek Kong menceritakan tentang peristiwa yang menimpa diri puterinya.
Song Bu Hok adalah seorang pemuda keturunan orang-orang gagah pekasa. Walau pun wataknya agak tinggi hati namun mempunyai jiwa yang gagah perkasa, seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan dan membela keadilan. Mendengar betapa gadis yang dicintanya, yang kini menjadi calon isterinya karena pinangan ayahnya telah diterima oleh keluarga Pek, diperkosa oleh jai-hwa-cat Ang-hong-cu, dia menjadi marah sekali.
"Saya akan mencari jahanam itu dan akan saya bunuh dia!" katanya penuh geram.
"Bukan itu maksudku mengapa aku membuka rahasia ini kepadamu, Anakku," kata Pek Kong. "Akan tetapi kami sekeluarga menunggu keputusanmu mengenai ikatan perjodohan antara engkau dan Eng-ji."
Bu Hok menatap calon ayah mertuanya dengan tajam dan heran. "Keputusan apakah? Bukankah ikatan perjodohan itu telah diputuskan dan kedua pihak telah menyetujuinya?"
"Akan tetapi, setelah mala petaka yang menimpa keluarga kami, setelah tunanganmu itu tercemar, mendapatkan aib... bagaimana pendirianmu?"
Bu Hok mengerutkan alisnya. "Gak-hu (Ayah Mertua), aib yang menimpa tunangan sama dengan aib yang menimpa diri sendiri. Tentu saja saya tidak menyalahkan Eng-moi, saya tetap menghormati dan mencintanya."
Wajah Pek Kong yang tadinya muram sekarang terlihat cerah ketika dia mengamati wajah Song Bu Hok dengan tajam dan penuh selidik. "Engkau tidak akan merasa kecewa atau menyesal, juga tidak akan memandang rendah, menghina atau membenci Eng-ji karena peristiwa itu?"
"Mengapa saya harus begitu? Eng-moi tidak bersalah. Keparat busuk itulah yang bersalah dan kelak saya akan mencarinya untuk menuntut balas! Mengenai perasaan saya kepada Eng-moi... saya kira tidak akan berubah, Gak-hu, bahkan bertambah dengan satu macam perasaan lagi, yaitu iba. Kasihan Eng-moi yang tertimpa kemalangan seperti itu. Saya tetap menghormati dan mencintanya, Gak-hu."
"Bagus, sungguh sikapmu ini jantan dan mulia, Bu Hok, dan engkau sudah membuat hati kami menjadi tenang. Terima kasih! Dan tentunya engkau akan menyimpan aib dari calon isterimu sendiri, bukan?"
"Tentu saja! Sampai mati peristiwa yang saya dengar dari Gak-hu ini tak akan keluar dari mulut saja, bahkan mulai saat ini pun sudah saya lupakan."
Demikianlah, akhirnya Pek Eng juga terangkat dan namanya tercuci bersih karena dia menikah dengan Song Bu Hok, putera tunggal Song Un Tek Ketua Kang-jiu-pang, yang menurut pendapat orang banyak, merupakan kedudukan terhormat dan menyenangkan.
Song Bu Hok terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa berwatak baik, juga dari keluarga terhormat, disegani oleh dunia kang-ouw. Memang Pek Eng tidak memiliki perasaan cinta kepada Song Bu Hok, akan tetapi dia merasa berhutang budi karena Song Bu Hok tetap menghormati dan mencintanya, bahkan bersedia menikah dengannya. Hal ini saja sudah membuat dia bersyukur dan berhutang budi sehingga setelah menikah, Pek Eng berusaha keras untuk dapat menumbuhkan perasaan cinta terhadap suaminya…..
********************
Hay Hay seperti sudah gila. Dia meninggalkan bukit di mana Ang-hong-cu yang mengaku bernama Han Lojin itu ditahan kemudian melarikan diri, meninggalkan sajak yang bahkan membuat Hay Hay menderita pukulan batin yang paling hebat. Dia berlari meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat. Bagaikan terbang saja tubuhnya meluncur ke depan tanpa ada tujuan tertentu, lari dan lari terus, seolah-olah dia hendak lari dari kenyataan yang amat pahit getir dan merobek-robek perasaan batinnya itu.
Sambil berteriak seperti kuda gila, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang semakin menusuk hatinya. Bahwa ayahnya adalah seorang jai-hwa-cat kelas berat, hal itu hanya merupakan luka yang sudah lama. Namun luka itu kini ditambah lagi dengan kenyataan betapa ayahnya sudah mencemarkan Pek Eng dan bahkan memperkosa Cia Ling secara keji. Lebih dari itu malah, ayah kandungnya itu agaknya memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya, agar semua orang menuduh dia sebagai pelakunya.
"Ang-hong-cu...! Keparat jahanam, di mana engkau...?!" Akhirnya dia pun berteriak-teriak, mengerahkan khikang hingga suaranya melengking dan bergema sampai jauh.
Dia berlari terus, naik-turun gunung, melompati jurang-jurang. Kadang kala dia berteriak-teriak menyebut nama Ang-hong-cu, kadang-kadang nampak pula air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Dia berlari terus, tanpa pernah mengurangi tenaganya.
Betapa pun terlatih dan kuatnya, tenaga manusia tetap terbatas dan akhirnya, menjelang senja Hay Hay roboh terpelanting di atas rumput, di sebuah lereng bukit yang sunyi. Dia roboh dan pingsan karena kelelahan dan kehabisan tenaga. Seperti sudah mati tubuhnya rebah miring setengah menelungkup di antara rumput tebal hijau segar. Dan kini, setelah roboh pingsan, wajahnya yang tadinya penuh dengan linangan air mata dan nampak lesu, muram dan berkerut-kerut, kini berubah menjadi tenang bahkan ada setengah senyuman membayang pada mulutnya.
Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biang keladi dari segala macam emosi dan sentimen dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu.
Bahkan duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis tidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran, setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, mulai dari yang manis merayu sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apa bila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!
Oleh karena itu tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau pun takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka adalah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran, ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa silam dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai ‘aku yang berusaha membebaskan’ bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain.
Pikiran memang lihai dan lincah, seperti Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalam dongeng See-yuki. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Jadi: Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak pernah terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting.
Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati sebab kalau begini, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian dan dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasip saja.
Bahkan duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis tidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran, setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, mulai dari yang manis merayu sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apa bila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!
Oleh karena itu tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau pun takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka adalah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran, ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa silam dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai ‘aku yang berusaha membebaskan’ bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain.
Pikiran memang lihai dan lincah, seperti Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalam dongeng See-yuki. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Jadi: Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak pernah terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting.
Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati sebab kalau begini, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian dan dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasip saja.
Angin semilir menggoyangkan rumput-rumput hijau, juga membuat rambut di kepala Hay Hay berkibar. Angin dingin meniup kepalanya sementara hawa dingin menyusup ke dalam kepala, menggugah Hay Hay yang pingsan seperti orang tertidur itu. Dia membuka mata, menggerakkan tubuhnya lantas bangkit duduk. Teringat dia akan semua yang terjadi dan dia pun menampar kepala sendiri, lirih, lalu tersenyum.
"Hay Hay, apakah engkau sudah gila? Membiarkan diri terseret oleh kedukaan dan malu? Tenanglah, tidak ada suatu apa pun tidak dapat diatasi di dunia ini."
Dia pun bangkit berdiri, merentangkan kedua lengannya ke atas, menghirup udara segar hingga sepenuh paru-paru dan perutnya, lalu menghembuskannya perlahan dan perasaan lega dan sejuk menyusup sampai ke dalam dirinya yang paling dalam. Dia pun tersenyum lagi dan kembalilah dia seperti keadaan Hay Hay semula, sebelum diracuni duka. Juga perasaan benci terhadap Ang-hong-cu tidak terasa lagi.
Dia mengangguk-angguk, merasa bersyukur melihat keadaan dirinya. Kemudian perlahan dia menghampiri sebuah batu besar di bawah pohon tidak jauh dari situ, lalu dia duduk di atas batu. Tempat itu sunyi dan sejuk sekali.
Langit senja begitu indahnya, menciptakan awan beraneka warna dan di sudut barat langit terbakar warna merah muda. Di antara kelompok awan yang bentuknya laksana biri-biri putih salju nampak sinar biru dan ungu, juga ada awan besar yang menghitam yaitu awan mendung yang bagaikan raksasa malas, bergerak perlahan-lahan tak secepat awan-awan putih di sekitarnya. Langit bagaikan pantulan lautan yang amat luas, dengan awan-awan itu mengambang di atasnya secara terbalik, hanyut bersama arus angin.
Di bawah tidak kalah indahnya. Rumput di padang itu hijau kekuningan, segar dan tampak hidup setelah seharian penuh dibakar matahari, kini agaknya dengan penuh harapan siap menyambut selimut malam yang hitam dan sejuk. Pohon-pohon besar bagaikan raksasa-raksasa berjajar, siap untuk memasuki alam gelap malam yang penuh rahasia. Burung-burung sudah sibuk memilih tempat tidur mereka di antara daun-daun dan ranting-ranting, suara mereka bagaikan celoteh yang cerewet menceritakan pengalaman masing-masing sehari yang lalu.
Hay Hay duduk bersila di atas batu. Sebelum membiarkan diri tenggelam dalam siu-lian (semedhi), dia lebih dulu mengenangkan segala yang terjadi. Tentang Pek Eng, tentang Cia Ling, tentang Hui Lian, Kui Hong, dan mereka yang ditemuinya, tentang pertempuran hebat itu. Dan dia melihat betapa dia dituduh karena sikapnya yang manis terhadap setiap wanita yang dijumpainya. Dia dianggap mata keranjang! Mata keranjang!
Dia mencari arti dari kata-kata sebutan ini. Mata keranjang! Seorang pria yang suka sekali kepada wanita cantik? Seorang pria yang selalu tertarik kepada wanita cantik? Yang suka memuji-muji kecantikan wanita yang dijumpainya? Itukah yang disebut mata keranjang?
Pasti bukan seperti Ang-hong-cu! Dia bukan sekedar mata keranjang, melainkan perusak, penjahat yang berhati kejam dan keji. Tidak, dia tidak seperti Ang-hong-cu, sungguh pun harus diakuinya bahwa dia senang sekali melihat wanita cantik, tertarik akan kecantikan wanita dan suka memuji-muji kecantikan itu.
Apa salahnya dengan ini? Apa salahnya kalau pria itu mata keranjang? Bukankah setiap orang pria, apa bila dia itu normal, memang mata keranjang? Bukankah daya tarik atau kecantikan wanita terhadap pria itu sudah alami!
Setiap orang pria normal sudah pasti suka melihat kecantikan wanita, sudah pasti tertarik hatinya, sudah pasti memujinya meski hanya dalam hati. Hanya bedanya, dia tidak mau menyimpan perasaan suka ini menjadi rahasia, tapi dia selalu berterus terang, dia memuji kecantikan wanita seperti memuji keindahan bunga dan dia memperoleh kenikmatan batin kalau dia menyampaikan pujiannya itu kepada si empunya kecantikan.
Apa salahnya dengan itu? Dia tak suka untuk berpura-pura, menikmati kecantikan wanita sambil sembunyi-sembunyi, melirik dari sudut, memuji di dalam hati, bahkan berpura-pura alim dan berpura-pura tidak suka! Ini munafik namanya!
Dia lantas teringat akan ayah kandungnya. Tidak, dia tidak membenci ayah kandungnya. Perasaan benci adalah racun, ini dia tahu benar. Akan tetapi dia pun tahu betapa jahatnya Ang-hong-cu, dan betapa berbahayanya membiarkan orang seperti itu berkeliaran dengan bebas. Tentu akan berjatuhan lagi korban-korban baru.
Gadis-gadis cantik yang tidak berdosa, seperti bunga-bunga indah yang dipetik secara kasar, dipermainkan lalu dicampakkan begitu saja, mati melayu di selokan, di tepi jalan, terinjak-injak kaki! Bagaimana pun juga dia harus mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dia harus minta pertanggungan jawab laki-laki itu. Setidaknya dia akan membuktikan bahwa dia memegang janji, kepada Bu-tong-pai, kepada Pek Han Siong dan Pek Eng, kepada Kui Hong dan Ling Ling.
Hatinya terasa tenteram dan Hay Hay lalu tenggelam ke dalam semedhi…..
T A M A T