Pendekar Mata Keranjang Jilid 85

Sesudah mereka bertiga berhadapan, Kui Hong yang sudah menjadi sangat marah dan membenci Hay Hay, segera berkata, "Laki-laki busuk! Apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami? Engkau telah memperkosa Ling Ling secara kejam dan biadab, dan engkau bahkan begitu pengecut untuk menyangkal perbuatanmu yang amat busuk itu! Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan?"

Ling Ling mengusap air matanya karena hatinya hancur teringat akan mala petaka yang menimpa dirinya. Hay Hay menghela napas panjang. Tadi dia berani menggunakan ilmu sihir untuk memaksa Pek Eng mengucapkan pengakuan yang sejujurnya, karena di sana ada Han Siong yang menjadi saksinya. Kini dia tidak berani melakukan hal serupa kepada Ling Ling karena hal itu tentu akan menambah kecurigaan dua orang gadis itu.

"Kui Hong, harap bersabar dulu. Engkau hanya baru mendengar keterangan sepihak, dari pihak Ling Ling yang memang sedang menyangka bahwa akulah pelaku pemerkosa yang biadab itu. Akan tetapi, apa bila engkau mau mendengarkan keterangan dariku, aku sama sekali tidak merasa pernah melakukan perbuatan biadab itu, baik terhadap Ling Ling atau kepada wanita mana pun juga! Dan Ling Ling, engkau adalah murid keponakanku sendiri, puteri dari Suheng-ku, bagaimana mungkin aku melakukan perbuatan sekeji itu terhadap dirimu? Apakah engkau tidak keliru sangka?"

Ling Ling menghentikan tangisnya lantas mengangkat muka memandang wajah Hay Hay, kini pandang matanya tajam penuh selidik dan dia menggeleng kepala penuh keyakinan.

"Aku tidak mungkin keliru," katanya pasti.

"Bukankah engkau sedang tidur pulas ketika ditotok orang?"

"Benar, akan tetapi aku lalu tersadar walau pun tidak mampu bergerak."

"Dan waktu itu malam gelap sekali, bukan?"

"Remang-remang, biar pun aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas, namun bentuk mukamu, bentuk wajahmu, aku tak akan keliru sangka. Pula, tidak ada orang lain kecuali engkau yang tahu bahwa aku menunggu di tempat sunyi itu. Dan kalau orang biasa saja, apakah akan mampu menotokku sampai tidak mampu bergerak? Akan tetapi, engkau adalah sute dari Ayahku, engkau mengenal ilmu silatku..."

"Dan orang itu sama sekali tidak mengeluarkan suara?"

Ling Ling mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak."

"Ling Ling, aku tahu pasti dan yakin bahwa engkau seorang gadis yang budiman, gagah perkasa dan tak akan mungkin mau melakukan fitnah, juga aku yakin engkau jujur. Coba ingat-ingat, apakah tak ada sesuatu yang khas pada orang itu? Sesuatu yang merupakan tanda, mungkin cacat pada tubuhnya, atau suaranya, atau sinar matanya, atau mungkin juga... bau badannya?"

Ling Ling termenung dan sepasang alisnya berkerut, kemudian tiba-tiba ia berkata. "Ahh, aku ingat. Dia... dia... mengeluarkan bau harum... seperti bunga... Seperti madu... wangi bunga... ya, wangi bunga..."

"Bunga cendana...?"

"Benar! Bau bunga cendana!"

Seketika wajah Hay Hay menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar bagaikan melihat setan, lantas dia pun meloncat tinggi dan ketika turun, dia mengepal tinju dan terdengar suaranya melengking nyaring seperti jeritan seekor binatang buas yang marah.

"Han Lojiiiiin...!" Dan Hay Hay sudah melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Lengkingan panjang yang sangat nyaring ini terdengar sampai di tempat di mana Menteri Cang dan yang lain-lain masih menanti. Semua pendekar terkejut, apa lagi ketika melihat Hay Hay berlari cepat seperti itu lewat di dekat mereka. Han Siong dan beberapa orang sudah berlompatan maju menghadang karena menyangka bahwa Hay Hay yang menjadi tertuduh itu melarikan diri. Akan tetapi Hay Hay melompat ke samping, menghindar dan kembali dia berteriak, sekali ini lebih nyaring dari pada tadi.

"Han Lojiiiiiinnnn...!" Sambil berteriak-teriak memanggil nama ini seperti orang kesetanan, Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit di mana Han Lojin dijadikan tawanan oleh Menteri Cang.

Para pendekar cepat melakukan pengejaran, juga Kui Hong dan Ling Ling yang tadi amat terkejut kini ikut pula mengejar. Menteri Cang yang juga ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi cepat menunggang kuda dikawal oleh para perwira, setelah memberi perintah kepada komandan pasukan untuk membereskan para tawanan pemberontak.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya berlari cepat, maka Hay Hay tak terkejar oleh para pendekar dan dia dapat tiba lebih dahulu di bukit kecil itu. Pasukan yang berjaga di situ sudah mendengar laporan bahwa pasukan pemerintah telah berhasil baik dan bahwa Han Lojin yang ditawan di situ bukanlah pembohong, maka mereka pun tidak terlampau ketat menjaga Han Lojin, memberinya kebebasan di puncak bukit. Akan tetapi ketika mereka melihat Hay Hay, pemuda yang tidak mereka kenal, komandan jaga cepat membawa anak buahnya menghadang.

"Heiii, berhenti! Siapa pun juga dilarang naik ke puncak bukit ini!"

Hay Hay menjadi tertegun dan mukanya penuh keringat. Dia lantas teringat akan Tek-pai, tanda kuasa yang diterimanya dari Menteri Yang Ting Hoo, maka tanpa banyak cakap dia mengeluarkan tanda kuasa itu, memperlihatkannya kepada komandan jaga. Melihat tanda kuasa ini, komandan segera memberi hormat, diturut oleh para anak buahnya.

"Di mana Han Lojin?" Hay Hay bertanya. "Aku harus berjumpa padanya, penting sekali!"

"Dia berada di dalam kamarnya di pondok itu, sejak pagi tadi dia tidak pernah keluar dari dalam pondok."

"Kalau begitu, biarkan aku menemuinya di dalam pondok."

"Silakan, Taihiap!" kata komandan itu, menyebut Taihiap (Pendekar Besar) setelah melihat pemuda itu membawa tanda kuasa dari Menteri Yang.

Hay-Hay melompat dan berlari cepat ke puncak bukit. Tubuhnya berkelebat dan melihat pemuda itu bergerak ke atas seperti terbang saja, komandan jaga bersama anak buahnya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.

"Han Lojin, keluarlah!" Hay Hay berseru. Tiada jawaban.

Dengan perasaan tidak sabar Hay Hay mendorong daun pintu. Pintu terbuka dan ternyata pondok itu kosong dan semua jendelanya terbuka sehingga cahaya matahari memenuhi pondok. Tiada seorang pun di situ, akan tetapi Hay Hay segera tertarik oleh coret-coret di dinding sebelah dalam pondok. Tulisan yang cukup indah dan jelas dalam bentuk sajak. Dibacanya tulisan itu.

Beterbangan dari bunga ke bunga
menyusup kelopak bunga harum semerbak
sepuas hati menghisap madunya
meninggalkan bunga layu tergeletak!

Kamu Tawon Muda tiada guna
hanya puas dimabok harum bunga
biarkan seratus bunga melayu
masih ada ribuan kuncup mekar penuh madu!

Hay Hay mengerutkan alisnya dan dia segera melihat dua buah benda berkilauan di atas meja dekat dinding itu. Ketika dia menghampiri, ternyata dua buah benda itu adalah dua perhiasan tawon merah, persis seperti yang tersimpan dalam kantung bajunya! Nampak pula sehelai kertas tertulis di bawah dua benda perhiasan itu. Cepat disambarnya kertas itu dan dibaca tulisannya.

Dua buah tanda mata ini untuk Nona Pek Eng dan Nona Cia Ling, masing-masing satu buah.

Dan di dalam tulisan itu terdapat lukisan seekor tawon merah! Wajah Hay Hay berubah pucat, dua tangan yang memegang surat itu gemetar, dan tiba-tiba dia meremas hancur surat itu, lalu menyimpan dua buah perhiasan yang sangat dibencinya itu ke dalam saku bajunya. Kemudian matanya mengeluarkan sinar berapi dan memandang ke arah tulisan sajak di atas dinding. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya digenggam kuat-kuat dan dia pun mengeluarkan bentakan nyaring.

"Jahanaaaammmm...!" Dihantamnya meja di depannya.

"Braaakkkk...!"

Meja itu hancur berkeping-keping, sementara tubuh Hay Hay langsung terkulai dan jatuh di atas lantai, pingsan! Dia telah mengalami guncangan batin yang sangat hebat.

Ketika untuk kedua kalinya, pertama dari Pek Eng, kemudian kedua kalinya dari Ling Ling, dia mendengar bahwa yang menggauli Pek Eng dan memperkosa Ling Ling itu seorang pria yang mengeluarkan bau harum bunga, madu dan cendana, dia pun segera teringat. Hanya Han Lojin yang mengeluarkan bau seperti itu!

Hal ini diingatnya benar karena ketika pada malam itu dia disuguhi arak oleh Han Lojin, dia pun mencium bau yang khas itu, yang sempat membuatnya terheran-heran. Maka dia pun merasa yakin bahwa pelaksana kejahatan yang amat keji itu tentulah Han Lojin yang lihai! Ini merupakan guncangan pertama.

Kemudian, di dalam pondok ini, setelah membaca sajak itu, apa lagi membaca surat dan peninggalan dua buah perhiasan tawon merah, hatinya terguncang untuk ke dua kalinya, bahkan lebih hebat lagi karena dia memperoleh kenyataan bahwa Han Lojin penjahat keji yang telah memperkosa Pek Eng dan Ling Ling bukan lain adalah Ang-hong-cu atau ayah kandungnya sendiri!

Kebencian menyesak dalam dadanya. Ayah kandungnya terkenal sebagai Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat kejam dan jahat, pemerkosa ibunya, kemudian juga memperkosa dua orang gadis dusun yang sederhana itu, dan kini memperkosa Pek Eng dan Ling Ling! Lebih hebat lagi, semua orang menyangka bahwa dia yang melakukan perbuatan itu, dan agaknya Han Lojin atau Ang-hong-cu orang she Tang itu memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya.

Bahkan dari sindiran pada sajak itu agaknya Ang-hong-cu atau Han Lojin juga telah tahu bahwa dia adalah puteranya yang dikatakan ‘Tawon Muda tiada guna’! Pantas dia pernah disuguhi arak perangsang, tentu dengan maksud supaya dia memperkosa atau menggauli Pek Eng, tindakan yang tentu akan menyenangkan hati ayah kandung itu sebab dianggap cocok dengan wataknya, dianggap mewarisi bakat dan keahlian ayah kandungnya!

Ketika Menteri Cang beserta para pendekar memasuki pondok itu, Hay Hay telah siuman dari pingsannya, dan dia demikian terpukul sehingga dia masih berlutut di atas lantai dan termenung seperti orang kehilangan semangat.

Semenjak tadi Kok Hui Lian merasa amat khawatir akan keadaan Hay Hay. Wanita yang secara diam-diam amat mencinta Hay Hay ini tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya, mempergunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur bagaikan terbang. Kini dia sudah tiba paling depan, lalu dia pun menyentuh pundak Hay Hay dengan lembut dan penuh kekhawatiran.

"Hay Hay, apakah yang telah terjadi?" tanyanya.

"Di mana Han Lojin?" terdengar pertanyaan-pertanyaan dari para pendekar yang tadinya sudah tahu bahwa Han Lojin ditahan di pondok itu.

Ketika Menteri Cang muncul pula ke dalam pondok, semua orang memberi jalan dan dia pun bertanya, "Di mana adanya Han Lojin? Tang-enghiong (Orang Gagah Tang), di mana Han Lojin?" tanyanya kepada Hay Hay.

Semenjak tadi Hay Hay diam saja seakan-akan tidak mendengar pertanyaan orang-orang itu, bahkan seolah-olah tidak sadar bahwa pondok itu telah penuh orang. Kini, mendengar suara Menteri Cang, dia pun tersadar dan mengangkat kepala memandang pembesar itu. Akan tetapi dia pun tidak menjawab, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah tulisan di dinding.

Semua orang termasuk Menteri Cang membaca sajak di dinding itu, dan mulailah mereka itu berseru kaget hingga suasana menjadi bising.

"Ang-hong-cu...! Ada gambar tawon merah...!"

"Kalau begitu, dia Ang-hong-cu...!"

"Han Lojin adalah Ang-hong-cu...!"

Kini Hay Hay sudah sadar betul. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, menyapukan pandang matanya kepada mereka semua, kemudian dia berkata, suaranya lantang. "Benar sekali! Han Lojin adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), penjahat cabul, jai-hwa-cat yang sangat kejam! Dia adalah ayah kandungku! Dia yang telah melakukan semua kejahatan terhadap wanita dan yang akhirnya dituduhkan kepadaku. Aku berjanji kepada semua orang untuk mencarinya, untuk meminta pertanggungan jawabnya! Akan tetapi, kalau masih ada yang merasa penasaran dan hendak menghukum aku sebagai anaknya, sebagai penggantinya yang menerima hukuman, silakan! Aku tak akan melawan, silakan sebelum aku pergi dari sini untuk memulai dengan tugas yang sudah kujanjikan yaitu mencarinya sampai dapat dan menuntut pertanggungan jawab darinya!"

"Bapaknya jahat, anaknya pun tentu jahat! Biar aku yang menghukumnya!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan dari Bu-tong Liok-eng. Enam orang tokoh murid utama dari Bu-tong-pai itu berlompatan maju lalu mengepung Hay Hay yang sudah keluar dari dalam pondok dan berada di pelataran pondok itu.

Akan tetapi tiba-tiba Hui Lian sudah melompat ke dalam kepungan, mukanya merah dan matanya bersinar-sinar.

"Hay Hay tak bersalah, jika ada yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan aku!"

Suaminya, Ciang Su Kiat yang juga berpendapat bahwa Hay Hay tidak dapat disalahkan, sudah maju pula di samping isterinya sehingga Hui Lian merasa girang sekali.

"Saudara Tang Hay tidak bersalah, biarkan dia pergi mencari ayah kandungnya seperti yang sudah dijanjikannya tadi."

Kini Han Siong juga telah melangkah maju ke dalam kepungan, siap untuk membela Hay Hay karena dia merasa tidak rela kalau sampai pemuda perkasa itu dibunuh tanpa dosa.

"Siancai... kalian mundurlah," kata Tiong Gi Cinjin. "Bukankah tadi telah ada kesepakatan antara kita dengan putera Ang-hong-cu itu?" Mendengar teguran paman guru mereka, juga melihat betapa orang-orang sakti itu sudah maju membela Hay Hay, Bu-tong Liok-eng lalu melangkah mundur.

Hay Hay memandang ke sekeliling, terutama sekali dia memandang wajah Ling Ling dan Pek Eng dengan penuh rasa iba, kemudian mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat.

"Terima kasih atas kepercayaan Cu-wi. Bagaimana pun juga, yang melakukan kejahatan-kejahatan itu adalah ayah kandungku sendiri, oleh karena itu sudah sepantasnya kalau di sini aku mohon maaf sebesarnya kepada Cu-wi. Percayalah, aku akan pergi mencarinya sampai dapat, dan akan kupaksa dia untuk mempertanggung jawabkan semua dosanya. Kalau perlu dia mati di tanganku atau aku yang mati di tangannya. Nah, selamat tinggal dan maafkan aku" Hay Hay memberi hormat lantas meloncat jauh dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu.

Menteri Cang kemudian menghaturkan terima kasih kepada para pendekar atas bantuan mereka sehingga pemberontakan dapat ditumpas dan menawarkan bantuan bagi mereka yang kehilangan anggota atau teman dalam pertempuran itu. Para pendekar lalu bubaran.

Pek Eng yang bertemu dengan ayahnya segera lari menghampiri ayahnya dan disambut dengan pelukan. Gadis itu langsung menangis pada dada ayahnya. Pek Kong, atau Ketua Pek-sim-pang, mengajak kedua orang anaknya, yaitu Pek Han Siong dan Pek Eng untuk berbicara di tempat terpisah. Bahkan dia minta permisi kepada sahabatnya, Song Un Tek untuk dapat bicara bertiga saja dengan kedua orang anaknya.

"Nah, sekarang ceritakan apa artinya semua itu," kata Pek Kong dengan nada suara yang penasaran. "Pertama aku minta penjelasan darimu, Eng-ji. Apa yang telah terjadi hingga Lam-hai Siang-mo suami isteri iblis itu mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan antara engkau dengan Song Bu Hok, malah suami isteri iblis itu juga telah membikin kacau dan menyerang orang-orang Kang-jiu-pang!"

Dengan wajah menunjukkan penyesalan dan ketakutan, terpaksa Pek Eng menceritakan betapa dia ditangkap oleh anak buah Lam-hai Giam-lo, lalu untuk menyelamatkan diri dia terpaksa mau menjadi anak angkat dan murid Lam-hai Giam-lo. Karena tak setuju dengan ikatan jodoh itu, dia lalu minta kepada Lam-hai Giam-lo untuk membatalkannya dan ketua pemberontak itu mengutus Lam-hai Siang-mo untuk mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan.

Merah wajah Pek Kong mendengar pengakuan puterinya itu. "Hemmm, sungguh engkau sudah membikin malu keluarga kita!" omelnya. "Lalu apa artinya keributan dengan Tang Hay tadi? Han Siong, mengapa pula engkau bersusah payah berusaha untuk membunuh Tang Hay?"

Han Siong tidak berani menjawab dan hanya memandang kepada adiknya. Pek Eng telah menangis dan tiba-tiba saja dia menubruk kaki ayahnya lalu menangis sesenggukan. Pek Kong amat mencinta Pek Eng, maka betapa pun marahnya, melihat puterinya merangkul kedua kakinya sambil menangis sesenggukan, dia terkejut dan cepat mengangkat bangun gadis itu.

"Engkau kenapakah?"

"Ayah, ampunkan aku, Ayah... atau... bunuh saja aku...!"

"Ehh, sudah gilakah engkau? Apa yang telah terjadi?"

"Koko... tolonglah aku, ceritakan kepada Ayah..." pinta Pek Eng kepada kakaknya dengan sendu. Bagaimana pun juga, bagaimana dia dapat menceritakan aib yang telah menimpa dirinya itu kepada ayahnya?

Han Siong mengangguk, maklum akan perasaan adiknya. Ia pun ingin menolong adiknya dan meringankan kesalahan adiknya, oleh karena itu dia berani sedikit berbohong kepada ayahnya. "Ayah, sesungguhnya Eng-moi telah menderita mala petaka yang sangat hebat. Dia telah... telah diperkosa orang..."

"Apa...?" Pek Kong berseru keras dan mukanya menjadi pucat. "Bagaimana...? Siapa...?" Dia tergagap saking kaget dan marahnya mendengar bahwa puterinya sudah diperkosa. Berita ini agaknya lebih hebat dari pada berita kematian.

Han Siong maklum akan keadaan ayahnya, maka dengan tenang dia lalu berkata, "Harap Ayah suka menenangkan hati Ayah. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih jika telah dikehendaki oleh Thian. Eng-moi diperkosa orang yang memiliki ilmu tinggi, dia tidak berdaya dan tertotok. Tadinya Eng-moi menyangka bahwa pelakunya adalah Tang Hay, oleh karena itu dia memusuhi Tang Hay dan minta kepadaku untuk menghajarnya. Itu pula sebabnya mengapa aku berkelahi mati-matian melawan Tang Hay. Akan tetapi, kemudian kita sama melihat bahwa Tang Hay tidak berdosa, bahwa yang melakukan hal itu bukan lain adalah Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay yang menyamar sebagai Han Lojin."

Kini wajah Pek Kong menjadi merah dan dia mengepal tinju, marah sekali. "Keparat! Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!"

Melihat kemarahan ayahnya, Han Siong cepat mendekati dan menghibur. "Ayah, memang peristiwa ini benar-benar menyakitkan hati, menyinggung kehormatan keluarga kita, serta menghancurkan kehidupan Eng-moi. Akan tetapi Tang Hay sudah berjanji untuk mencari dan menangkap ayah kandungnya sendiri. Dan kita harus ingat, Ayah. Memang semenjak dahulu ada hubungan dekat sekali antara Ang-hong-cu dengan kita. Bukankah Tang Hay itu adalah anak kandungnya, dan Tang Hay sudah dipergunakan oleh keluarga kita untuk menggantikan aku, untuk menyelamatkan aku? Agaknya itulah kesalahan keluarga kita, Ayah, sehingga kini timbul peristiwa dan aib yang menimpa keluarga kita. Yang penting sekarang adalah mengurus bagaimana baiknya dengan nasib adikku ini."

Pek Kong menarik napas panjang dan memandang kepada puterinya itu. Walau pun tidak menangis sesenggukan, tetap saja dia mengeluarkan air mata yang menetes-netes pada sepanjang kedua pipinya.

"Baiklah, memang seyogyanya begitu. Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga Song. Eng-ji, bagaimana sekarang, apakah engkau masih tetap tidak setuju kalau menjadi isteri Song Bu Hok?"

Pek Eng mengangkat mukanya yang basah, memandang ayahnya dengan sikap sangat memelas, lalu dia mengangguk lemah. "Aku menurut saja apa yang Ayah tentukan, akan tetapi, Ayah, aku... aku sudah..." Dia tidak dapat melanjutkan.

"Jangan khawatir. Aku tahu bahwa Song Bu Hok benar-benar mencintaimu, dan mudah-mudahan dia cukup gagah untuk dapat melihat bahwa peristiwa ini terjadi bukan karena kesalahanmu."

"Tapi, Ayah, bukankah sebaiknya bila aib ini dirahasiakan dari orang lain? Mungkin harus berterus terang kepada Song Bu Hok, akan tetapi kurasa tak perlu diketahui keluarganya. Hal itu akan sangat merugikan Eng-moi karena dia akan dipandang rendah."

Mendengar pendapat puteranya, Pek Kong mengangguk-angguk setuju. "Engkau benar, aku yang akan bicara empat mata dengan Song Bu Hok setelah kita pulang nanti," kata Ketua Pek-sim-pang itu. 

"Dan aku akan pergi mengunjungi guru-guruku di kuil Siauw-lim-si, Ayah, bersama Sumoi Bi Lian. Ada urusan yang amat penting antara aku, Sumoi, dan kedua orang guru kami. Kelak akan kuceritakan kepada Ayah mengenai semua itu."

Demikianlah, ayah dan dua orang anaknya ini lalu berpisah. Han Siong menemui Bi Lian yang sudah dijanjikan akan dibawa menghadap kedua orang gurunya di kuil Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong mengajak puterinya yang prihatin itu untuk pulang.

Bagaimana dengan Ling Ling? Dengan sedih gadis ini bersama Kui Hong meninggalkan tempat itu. Kesedihan yang dirasakan Ling Ling hampir mirip dengan kesedihan Pek Eng. Kedua orang gadis ini bukan hanya menyedihi nasib mereka yang kini sudah dinodai aib, kehilangan keperawanan dan kehormatan, namun lebih dari pada itu, yaitu ketika mereka melihat kenyataan bahwa yang memperkosa mereka itu bukan Hay Hay melainkan ayah kandung pemuda itu, seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!

Hal inilah yang menyedihkan hati mereka, bahkan membuat harapan mereka lenyap sama sekali. Kalau Hay Hay yang menjadi pelakunya, sedikitnya mereka masih mengharapkan pemuda itu mau mengakui dan bertanggung jawab mengawini mereka!

Kui Hong tak pernah melepaskan tangan Ling Ling, terus menggandengnya ketika mereka meninggalkan sarang pemberontak yang kini telah dikuasai pasukan pemerintah. Setelah tinggal berdua saja, Ling Ling menangis sambil bersandar kepada Kui Hong, dihibur oleh Kui Hong di sepanjang jalan.

Ling Ling membayangkan nasibnya. Ia mencinta Hay Hay, hal ini tak dapat disangkalnya pula. Biar pun tadinya dia mengira bahwa Hay Hay telah memperkosanya, namun dia siap untuk memaafkannya bahkan bersedia menjadi isteri pemuda yang dicintanya itu. Akan tetapi… kenyataannya demikian pahit.

Pemerkosanya adalah Ang-hong-cu, penjahat besar, ayah kandung Hay Hay. Bagaimana dia mampu hidup terus dengan menahan siksa batin karena aib ini? Bagaimana pula dia akan menghadap ayah dan ibunya? Ahhh, ayah dan ibunya tentu akan merasa terpukul, akan ikut menderita sengsara.

Membayangkan betapa ayahnya akan berduka sekali, ibunya akan menangis, mendadak Ling Ling melepaskan diri dari gandengan tangan Kui Hong, menjerit dan berlari bagaikan orang gila! Kui Hong terkejut dan segera mengejar, khawatir sekali karena agaknya Ling Ling tidak mempedulikan lagi ke mana dia lari, seperti orang yang berlari sambil menutup matanya.

"Ling Ling...! Berhentilah, Ling Ling...!" Kui Hong mengejar sekuat tenaga. Dia terbelalak melihat betapa Ling Ling lari mendaki bukit, terus lari ke arah tebing yang curam.

"Ling Ling...!" Wajah Kui Hong sudah menjadi pucat sekali karena dia merasa tidak akan mampu mencegah gadis itu yang agaknya akan lari terus dari atas tebing!

Ling Ling yang berlari terus agaknya tak melihat bahwa dia berlari menuju ke tebing yang amat curam. Tepi tebing itu tinggal dua tiga meter lagi dan tiba-tiba dari samping nampak berkelebat sesosok bayangan, lalu tahu-tahu tubuh Ling Ling telah disambar dan dirangkul pinggangnya oleh Can Sun Hok.

"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" Ling Ling meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri, namun Sun Hok mempergunakan seluruh tenaganya untuk memeluk dan tidak mau melepaskan gadis itu.

Melihat betapa pemuda ini nekat merangkulnya, Ling Ling menjadi heran, keheranan yang sejenak membuat dia bingung, yang mengatasi kedukaan dan keputus asaannya hingga membuatnya ingin membunuh diri itu. Dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, lantas kembali dia membentak.

"Lepaskan aku!"

"Tidak, Ling-moi, tidak mungkin aku membiarkan engkau terlepas dan melanjutkan niatmu yang sesat itu!" kata Sun Hok, tetap merangkul pinggangnya.

Ling Ling menjadi semakin bingung. Perkenalannya dengan Sun Hok belum lama, namun sudah timbul keakraban di antara mereka ketika mereka berdua menghadapi gerombolan pemberontak itu. Sun Hok menyebutnya adik dan ia pun menyebut kakak kepada pemuda perkasa itu.

"Hok-ko, lepaskan aku dan jangan engkau mencampuri urusanku!" kembali dia meronta dengan sia-sia.

"Ling-moi, aku tahu bahwa engkau hendak membunuh diri ke jurang itu! Ingin membunuh diri! Perbuatan itu sungguh sesat, pengecut dan sama sekali keliru, Ling-moi. Karena itu, sebelum engkau mengubah pendirianmu itu, aku tidak akan melepaskanmu!"

Ling Ling menjadi marah. Tangan kanannya sudah menempel pada tengkuk pemuda itu. "Lepaskan! Kalau tidak, kubunuh engkau lebih dahulu!"

Sun Hok tidak terkejut, malah tersenyum. "Bagus, jika engkau masih bisa marah, hal itu berarti engkau masih suka hidup. Ling-moi, silakan saja bila engkau hendak membunuhku sebelum bunuh diri. Biarlah aku akan mengantarkanmu ke alam baka. Nah, silakan..."

Melihat kepasrahan pemuda ini, Ling Ling menjadi lemas lahir batin. Tenaganya bagaikan habis dan ia pun menangis, mengguguk di atas pundak pemuda itu yang kini melepaskan rangkulan di pinggangnya. Sun Hok masih merangkul pundak gadis itu, mengelus rambut kepalanya dan membiarkan gadis itu menangis sepuas hatinya.

Kui Hong berlari menghampiri dan gadis ini menghela napas lega. Wajahnya masih pucat dan jantungnya tadi berdebar penuh ketegangan. Melihat betapa Ling Ling menangis di dalam rangkulan pemuda itu, dia tidak berani mengeluarkan kata-kata, takut kalau-kalau Ling Ling ‘kumat’ lagi kenekatannya. Dia hanya saling pandang dengan Sun Hok, pemuda yang sudah dikenalnya itu.

Beberapa tahun yang lalu dia dan ibunya pernah bertemu dengan pemuda ini yang tadinya mendendam kepada ibunya karena kematian ibu pemuda ini, yakni seorang tokoh sesat bernama Gui Siang Hwa, disebabkan karena bertanding melawan Ibunya.

Akan tetapi ibunya dapat menyadarkan Can Sun Hok. Dan agaknya pemuda ini memang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Buktinya dia pun ikut muncul dalam pertempuran melawan kaum sesat yang memberontak, bersamaan dengan Ling Ling yang agaknya telah dikenal dengan baik.

Tentu ada apa-apa di antara mereka, pikir Kui Hong. Maka tanpa banyak cakap, sebelum Ling Ling sempat melihatnya, diam-diam Kui Hong meninggalkan kedua orang itu.

Setelah tangisnya mereda, Ling Ling teringat bahwa dia menangis pada dada pemuda itu sehingga baju bagian dada Sun Hok menjadi basah. Dia lalu melepaskan diri dan dengan lembut Sun Hok melepaskan pelukannya.

Gadis itu mundur dua langkah, mengangkat muka dan memandang dengan kedua mata yang kemerahan dan basah. Sun Hok memandang dengan senyum yang membesarkan hati, sementara sepasang matanya jelas membayangkan perasaan iba dan sayang.

"Hok-ko, kenapa... kenapa engkau... menghalangi aku? Kenapa engkau tak membiarkan aku mati saja sehingga aku akan terbebas dari penderitaan ini?" kata Ling Ling, suaranya setengah menyesal dan setengah menegur.

Sun Hok masih tersenyum ketika menggeleng kepalanya. "Ling Ling, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau mati? Hal itu sama saja dengan membunuh kebahagiaan serta harapan hidupku sendiri. Tidak, Ling-moi, aku tidak akan membiarkan engkau mati seperti juga dunia tidak akan membiarkan hilangnya matahari."

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak mengamati wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, bertubuh tegap dan matanya mencorong, sikapnya ramah dan sederhana.

"Hok-ko... apa... apa maksudmu? Apa... artinya kata-katamu tadi, Hok-ko...?" tanyanya bingung dan jantungnya berdebar karena samar-samar dia mampu menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu, namun dia masih belum dapat menerima atau percaya begitu saja.

"Engkau tentu mengerti, Ling-moi, bahwa semenjak kita saling berjumpa, aku... aku telah mengagumimu, menyukaimu, mengasihanimu dan aku... cinta padamu."

Sepasang mata Ling Ling semakin terbelalak dan wajahnya yang tadinya pucat sekarang berubah merah sekali. Kemudian wajah yang membayangkan kekagetan dan keheranan itu berubah, berkerut-kerut, bibir itu gemetar, matanya menjadi sayu dan tak tertahankan lagi Ling Ling lantas menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, terisak-isak, lebih sedih dari pada tadi!

Can Sun Hok mengerutkan alis dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut sekali. "Ling-moi, sungguh aku tak tahu diri dan lancang sekali. Aku bahkan telah menambah kedukaanmu dengan menyinggung hatimu. Jika kejujuranku ini menyinggung perasaanmu, harap kau maafkan aku, Ling-moi."

Sampai lama Ling Ling tak mampu menjawab, hanya terisak-isak, pundaknya terguncang-guncang dan air mata menetes melalui celah-celah jari tangannya. Dan akhirnya, setelah tangisnya mereda, dia menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Sun Hok yang masih menanti dengan sabar.

"Bukan begitu maksudku, Hok-ko... aku... aku menjadi semakin sedih karena... karena… engkau begitu baik, engkau... engkau menyatakan cinta kepadaku, padahal aku... aku..."

Sun Hok tersenyum lembut dan memandang dengan sikap memberi semangat. "Engkau kenapa Ling-moi? Bagiku, engkau gadis yang paling hebat di dunia ini."

"Aihh... Hok-ko, aku... aku tidak berharga untuk menjadi sisihanmu... aku... aku..."

"Engkau kenapa? Katakanlah, Ling-moi, aku siap mendengar yang bagaimana pun juga."

Ling Ling menatap tajam wajah pemuda itu, mengumpulkan ketabahannya lantas dia pun berkata, "Aku... aku telah ternoda... aku bukan perawan lagi, Hok-ko..."

Dan dia pun segera menundukkan mukanya yang menjadi pucat, air matanya mengalir di sepanjang kedua pipinya, kedua kakinya menggigil dan tentu tubuhnya akan roboh kalau saja Sun Hok tak cepat-cepat menghampiri dan memegang kedua pundaknya, kemudian mengguncangnya sedikit untuk memberi semangat dan kekuatan.

"Aku telah mengetahui, Ling-moi, aku telah dapat menduga semuanya."

Ling Ling makin terkejut dan heran. Dia mengangkat muka dan memandang pemuda itu, sinar matanya tajam menyelidik melalui genangan air matanya. "Engkau... engkau sudah tahu...? Bagaimana... engkau bisa tahu?"

"Sejak berjumpa denganmu, lalu melihat engkau berkelahi mati-matian melawan pemuda perkasa bernama Tang Hay itu, mendengar engkau menyebutnya jai-hwa-cat dan melihat kebencianmu kepadanya, aku sudah menyangka bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat antara engkau dan dia. Kemudian, tidak percuma aku bertemu dan jatuh hati kepadamu, Ling-moi, aku memperhatikan semua gerak-gerikmu, juga aku melihat semua yang terjadi ketika engkau menyerang Tang Hay, dan setelah melihat perkembangannya aku dapat menduga bahwa engkau tentu seorang di antara korban-korban dari jai-hwa-cat yang kemudian ternyata ialah Ang-hong-cu, ayah kandung Tang Hay! Betulkah demikian, Ling-moi?"

Ling Ling menggerakkan tangan mengusap air matanya dan dia pun mengangguk. "Benar dugaanmu, Hok-ko. Aku adalah seorang korban dari jai-hwa-cat itu, yang tadinya kukira Hay-ko orangnya. Dan engkau... engkau sudah tahu bahwa aku bukan perawan lagi, telah ternoda, tercemar badan, nama dan kehormatanku, akan tetapi engkau... engkau masih menyatakan cinta...?"

Sun Hok melepaskan kedua pundak gadis itu lantas mundur dua langkah. Mereka saling pandang dan Sun Hok mengangguk. "Benar, Ling-moi. Aku cinta kepadamu, dan dengar baik-baik, engkaulah yang kucinta, engkau, jiwa ragamu, engkau seutuhnya! Aku bukan mencinta nama dan kehormatanmu. Dan aku merasa bangga dan gembira sekali bahwa engkau telah berani mengaku di depanku, hal ini menandakan bahwa cintaku tidak keliru. Engkau seorang gadis yang hebat sekali. Akan tetapi... Ling-moi, aku masih merasa ragu apakah seorang gadis sehebat engkau ini akan mungkin membalas cinta kasihku? Maka jawablah, Ling-moi, sudikah engkau menerima pinanganku dan maukah engkau menjadi calon isteriku?"

Kembali mereka saling pandang dan sebelum Ling Ling sempat menjawab, Sun Hok telah mendahuluinya. "Nanti dulu, Ling-moi! Jangan jawab dahulu sebelum engkau mendengar siapa adanya diriku ini!"

"Engkau seorang pendekar gagah perkasa dan patriotik!"

Sun Hok menggelengkan kepala. "Jauh dari pada itu, Ling-moi. Mendiang ibuku adalah seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai! Hanya saja, aku sadar akan kesesatannya dan tidak mengikuti jejaknya. Dan yang lebih dari pada itu, aku... aku sudah mempunyai seorang selir, Ling-moi. Jadi, kalau engkau sudi menjadi isteriku, di sana telah menunggu seorang selir, berarti seorang madu bagimu..."

Kini Ling Ling mengangkat muka memandang dengan mata dilebarkan. "Seorang selir...? Tapi, mengapa dia tidak menjadi isterimu? Siapa dia dan bagaimana hanya menjadi selir? Ceritakanlah tentang wanita itu..."

Sun Hok mengangguk-angguk. "Bukan isteri, hanya selir, itu pun baru seorang calon selir. Dia tidak mau menjadi isteriku, hanya mau menjadi selir itu pun kalau aku telah beristeri, kalau belum, dia tidak mau."

Ling Ling semakin heran. "Hok-ko, ceritakan tentang dia!" kata Ling Ling semakin tertarik.

Sun Hok lalu bercerita dengan sejujurnya tentang Bhe Siauw Cin, gadis penyanyi bekas dayang seorang pangeran di kota raja yang dipergunakan oleh Jaksa Kwan untuk merayu dan membujuknya itu. Siauw Cin memang sudah mengaku kepadanya tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan Sun Hok sudah memaafkannya. Dia menceritakan kepada Ling Ling betapa Siauw Cin yang mencinta dirinya, tidak mau mendatangkan aib kepada namanya dan hanya mau melayani sebagai seorang selir kalau dia sudah menikah.

"Demikianlah, sekarang dia berada di rumahku menjadi seorang pengurus rumah dan juru masak. Dialah yang akan menjadi selirku kalau engkau sudi menjadi isteriku, Ling-moi."

Ling Ling mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang jujur, yang tidak malu mengakui kelemahannya dan cacatnya, kalau pun mempunyai seorang calon selir dapat dikatakan cacat.

Agaknya pemuda itu sengaja menceritakan hal ini untuk membangkitkan harga diri Ling Ling sehingga setidaknya Ling Ling akan menganggap bahwa Sun Hok pun mempunyai cacat dan seperti juga dirinya, menjadi jodohnya tidak dalam keadaan ‘utuh’. Dan biar pun harus diakuinya bahwa hatinya pernah jatuh kepada Hay Hay, namun semenjak bertemu dengan Sun Hok, dia pun merasa tertarik dan kagum kepada pemuda ini.

"Ling-moi, bagaimana? Sudikah engkau menerima cintaku, sudikah engkau menjadi calon isteriku?"

Akhirnya Ling Ling memandang kepadanya dan menarik napas panjang. "Hok-ko, engkau sudah menghindarkan aku dari kematian bunuh diri yang sesat, engkau seakan memberi harapan dan kehidupan baru bagiku. Tentu saja aku merasa sangat berterima kasih dan menerima uluran tanganmu dengan rasa syukur dan gembira. Akan tetapi bagaimana pun juga, yang akan mengambil keputusan adalah ayah dan ibuku. Aku akan pulang ke dusun Ciang-si-bun, menceritakan semuanya kepada orang tuaku."

Berkata demikian, nampak oleh Sun Hok betapa gadis itu gemetar, agaknya merasa ngeri untuk menceritakan mala petaka yang menimpa dirinya kepada ayah ibunya. Dengan hati penuh iba Sun Hok maju dan merangkulnya.

"Jangan khawatir Ling-moi, aku akan menyertaimu, dan aku akan membantumu bercerita kepada mereka, juga sekalian mengajukan pinangan karena aku sudah tidak mempunyai orang tua yang dapat mengajukan pinangan."

Ling Ling merasa demikian lega dan girang sehingga sejenak dia menyandarkan kepala di dada calon suaminya itu. Kedamaian yang menenteramkan hatinya, yang mendatangkan harapan baru baginya, yang menyelubungi hatinya. Gadis ini nampak tersenyum manis walau pun pada kedua pipinya masih ada sisa-sisa air mata yang tadi.

Kita manusia hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera kehidupan yang luas, penuh dengan ombak mengalun yang menghantam biduk kita dari kanan kiri! Biduk yang kita dayung di tengah samudera kehidupan itu silih berganti dipermainkan ombak senang dan susah. Mulut ini sampai lelah rasanya oleh permainan tawa dan tangis yang saling menyeling tiada henti, walau pun sepanjang hidup kita tangis datang lebih banyak dari pada tawa.

Kita selalu mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawa, dan selalu menjauhi kesusahan yang mendatangkan tangis. Akan tetapi mungkinkah itu? Mungkinkah ombak mengalun dari satu sisi saja?

Senang dan susah hanya suatu timbal-balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan malam. Tidak mungkin sepanjang hidup hanya mendapatkan senang saja tanpa pernah menemukan susah, karena senang dan susah adalah saudara kembar yang tidak dapat terpisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama!

Kalau sudah mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di kala senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke senang, dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau kita mau mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu, bagaimana munculnya.

Sebenarnya susah dan senang hanyalah permainan pikiran belaka, pikiran yang menilai berdasarkan keuntungan dan kepentingan pribadi. Segala peristiwa yang menguntungkan pribadi akan mendatangkan senang, sebaliknya yang merugikan pribadi mendatangkan susah. Kalau pikiran tidak menimbang-nimbang, menilai, maka segala peristiwa adalah wajar dan tidak akan menimbulkan susah senang.

Berbahagialah manusia yang berada di luar jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini. Pengamatan mendalam secara pasip (tanpa mengubah) bila mana susah atau senang menguasai batin merupakan langkah pertama ke arah kebebasan.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar