Pendekar Mata Keranjang Jilid 76

Semalam suntuk Pek Eng tidak dapat tidur. Kadang kala dia terisak, akan tetapi kadang-kadang dia nampak tersenyum bahagia lalu termenung. Ia telah menyerahkan diri kepada Hay Hay, seperti orang yang mabuk keduanya sudah mereguk anggur manis itu bersama, dengan suka rela, dengan sepenuh kasih sayang dan kemesraan.

Tadi, ketika Hay Hay tiba-tiba meninggalkannya, dia bingung dan menyesal. Akan tetapi, ketika pemuda itu masuk kembali ke kamarnya dia terkejut sekali. Baru setelah Hay Hay kembali merangkul, mendekap dan menciuminya, dia pasrah sepenuh hatinya.

Dia mencinta Hay Hay, dan dia tidak merasa menyesal bahwa dia telah menyerahkan diri kepada pemuda itu, karena dia merasa yakin bahwa Hay Hay akan bertanggung jawab, akan mengawininya! Dan dia merasa bahagia kalau teringat akan hal ini, membayangkan menjadi isteri Hay Hay walau pun kadang-kadang hatinya terganggu oleh perasaan sesal karena dia telah menyerah begitu saja, dengan amat lemah.

Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Pek Eng mencari Hay Hay, dengan menahan perasaan canggung dan malu, dia tidak dapat menemukan pemuda itu! Ternyata pada malam hari itu juga Hay Hay telah pergi meninggalkan perkampungan itu tanpa pamit kepada siapa pun. Tentu saja Pek Eng menjadi terkejut dan khawatir, dan dia pun segera pergi untuk mencari Hay Hay.

Bagi Ki Liong, yang menghilang bukan hanya Hay Hay, akan tetapi juga Han Lojin yang tidak berada di dalam kamarnya. Tidak seorang pun di antara para penjaga melihat kedua orang itu meninggalkan perkampungan, namun hal ini tidak mengherankan hati Ki Liong karena kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Dia merasa menyesal sekali. Kalau tidak karena kegagalannya merayu Pek Eng, tentu dia akan lebih waspada mengamati kedua orang itu. Kini mereka sudah pergi, entah ke mana dan entah apa yang akan mereka lakukan. Ketika dia melapor kepada Lam-hai Giam-lo, Bengcu ini tentu saja menjadi marah dan menegur para penjaga yang dimakinya kurang hati-hati.

"Sebar orang-orang dan cari mereka!" bentak Lam-hai Giam-lo. "Kalau tempatnya sudah diketahui, aku sendiri yang akan menghadapi mereka kalau mereka memang berkhianat!"

Ki Liong sendiri yang juga merasa penasaran segera memimpin pasukan kecil untuk turut melakukan pencarian. Keadaan menjadi sangat kacau, apa lagi sesudah Lam-hai Giam-lo mendengar dari para pelayan bahwa pagi sekali tadi Pek Eng juga meninggalkan tempat itu.

Para penjaga melihat Pek Eng keluar dari perkampungan, namun karena semua penjaga mengenal bahwa Pek Eng adalah murid dan juga anak angkat bengcu, tak seorang pun di antara mereka berani bertanya apa lagi menghalangi kepergian dara itu. Lam-hai Giam-lo merasa khawatir sekali, dan dia pun menyuruh orang-orang untuk mencari pula muridnya itu…..

********************

Saat mendengar tuduhan para tokoh Bu-tong-pai bahwa Hay Hay, susiok-nya yang amat dikaguminya itu adalah Ang-hong-cu, seorang penjahat pemerkosa wanita yang tersohor, tanpa Hay Hay mampu membuktikan bahwa dia bukanlah Ang-hong-cu, timbul perasaan kaget, penasaran dan kemarahan di dalam hati Cia Ling atau Ling Ling.

Ling Ling adalah seorang gadis yang berhati lembut, mempunyai watak jujur, terbuka dan peka sekali. Begitu bertemu dengan Hay Hay hatinya sudah tertarik sekali karena selama hidupnya dia merasa belum pernah bertemu dengan seorang pria yang demikian menarik hatinya dan amat dikaguminya. Karena itu, tuduhan bahwa Hay Hay seorang jai-hwa-cat yang tersohor, membuat hatinya bimbang dan berduka. Apa lagi ketika dia teringat betapa Hay Hay memang memiliki sikap yang perayu dan seperti pemuda mata keranjang, begitu bertemu dengannya langsung saja memuji-muji kecantikannya.

Apakah Hay Hay benar-benar seorang penjahat pemetik bunga, atau penjahat yang suka memperkosa dan mempermainkan wanita? Tidaklah sulit bagi Hay Hay untuk melakukan kejahatan seperti itu, pikirnya. Hay Hay cukup tampan dan ganteng untuk menggetarkan hati wanita, cukup gagah dan sangat lihai untuk menarik hati wanita, dan pandai merayu pula dengan kata-kata manis dan indah. Apa bila rayuannya tidak mempan, tentu saja dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menundukkan wanita dan memperkosanya. Ling Ling bergidik, merasa ngeri. Benarkah pemuda yang gagah itu, yang masih terhitung paman gurunya sendiri, adalah seorang penjahat keji?

Tadinya dia sudah tidak mempedulikan lagi, ingin meninggalkan Hay Hay dan menyelidiki sendiri persekutuan pemberontak itu. Namun betapa pun juga hatinya merasa tidak tega kepada Hay Hay. Pemuda itu telah berjanji bahwa tiga hari kemudian akan menjumpainya di tepi telaga, pada bagian yang sunyi di mana untuk pertama kali dia berjumpa dengan susiok-nya itu, ketika Hay Hay tengah memancing ikan kemudian terganggu oleh luncuran perahunya.

Maka, pada hari ketiga Ling Ling membawa perbekalan makanan kemudian pergilah dia ke tempat itu. Dia menunggu dengan sabar, bahkan sampai menjelang malam ketika hari telah menjadi gelap dia masih duduk di tepi telaga, menanti munculnya Hay Hay di situ.

Gadis ini merasa yakin bahwa susiok-nya pasti akan datang, entah malam ini atau paling lambat besok pagi-pagi. Dia akan menanti dan akan bicara dari hati ke hati, bukan hanya untuk mendengar tentang hasil penyelidikan susiok-nya, akan tetapi juga tentang tuduhan orang-orang Bu-tong-pai itu. Dia harus dapat yakin mengenai hal itu!

Ketika malam tiba dan hawa mulai dingin, dengan bulan yang masih muda muncul hingga mendatangkan cuaca yang muram, Ling Ling membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk, juga untuk memberi sedikit cahaya penerangan sebelum dia tidur. Dia tetap menanti, akan tetapi sampai jauh malam, setelah semua kayu untuk dibakar sudah habis, Hay Hay belum juga datang.

Ling Ling membiarkan api unggun padam, kemudian merebahkan diri di atas tanah di tepi telaga, berselimut kain yang dibawanya. Dia tidak mempunyai nafsu untuk makan malam dan membiarkan saja bekal makanan tanpa disentuh. Bagaimana pun juga dia merasa agak kecewa karena malam itu agaknya Hay Hay tidak datang.

Gadis itu mulai hanyut dalam kantuknya dan hampir saja pulas sehingga dia tidak melihat berkelebatnya bayangan orang menghampirinya. Dia baru merasa kaget saat ada tangan menotoknya. Dia tidak keburu mengelak atau bergerak, dan ketika dia sadar dan hendak meloncat, ternyata tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang menjadi seperti lumpuh!

Ada sosok tubuh orang berdiri di dekatnya, dan biar pun cuaca remang-remang sehingga tak memungkinkan dia untuk mengenal wajah orang itu, namun dari bentuk tubuhnya, dia merasa yakin bahwa orang itu adalah Hay Hay! Ingin dia memanggil susiok-nya, namun mulutnya juga tidak mampu bersuara.

Totokan itu lihai bukan main, membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan mau pun lidahnya, namun tetap membiarkan dia sadar. Kenapa susiok-nya melakukan hal ini? Menotoknya? Apakah hendak main-main atau ada alasan lain yang memaksanya?

Alangkah kagetnya ketika dia melihat apa yang dilakukan susiok-nya terhadap dirinya! Ia terbelalak, tak dapat meronta dan hampir pingsan! Susiok-nya telah melucuti pakaiannya kemudian memperkosanya!

Hatinya memberontak! Bukan karena hubungan itu sendiri, melainkan karena perkosaan itu! Tak tahulah susiok-nya itu bahwa semenjak pertama kali bertemu dia telah jatuh hati? Dia akan merasa berbahagia sekali menjadi isteri susiok-nya itu, dengan rela dan suka hati dia akan menyerahkan dirinya, dengan pasrah dan penuh kasih sayang! Akan tetapi mengapa susiok-nya itu memperkosanya?

Alangkah kejamnya, betapa kejinya! Benar-benar dia seorang jai-hwa-cat! Dan Ling Ling pun jatuh pingsan, tidak merasakan lagi semua yang sedang terjadi pada dirinya. Hatinya menjerit-jerit, langit bagaikan runtuh bagi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih ini.

Ketika akhirnya Ling Ling siuman kemudian membuka matanya, dia mengeluh tanpa bisa mengeluarkan suara. Hanya rintihan panjang yang keluar dari dalam dadanya dan dia pun menggigil. Dingin sekali rasanya. Ketika dia membuka mata, ternyata malam sudah lewat dan biar pun matahari belum muncul, akan tetapi sinarnya telah mendahuluinya mengusir sisa-sisa malam pekat dan dingin.

Ling Ling mendapatkan dirinya masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat, di atas pakaiannya sendiri! Dia masih belum mampu bergerak! Dan Hay Hay telah tidak ada, tidak nampak bayangannya. Keparat! Alangkah kejinya! Meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Telanjang bulat dan dalam keadaan masih tertotok. Atau ditotok lagi, pikir Ling Ling penuh kebencian dan kedukaan. Totokan pertama itu sudah habis daya gunanya dan agaknya, sebelum meninggalkannya, jai-hwa-cat itu telah menotoknya lagi!

"Ling Ling...!" Mendadak terdengar suara Hay Hay lantas muncullah pemuda ini. Matanya terbelalak memandang gadis yang terlentang telanjang bulat dan tak mampu bergerak itu. Cepat Hay Hay menanggalkan baju luarnya dan menutupi tubuh Ling Ling.

"Ling Ling, kau kenapa?!" teriaknya. Dan melihat betapa gadis itu hanya memandangnya dengan mata mengalirkan air mata, tanpa suara dan kaki tangannya lemas, Hay Hay lalu cepat memulihkan totokan itu.

Begitu Ling Ling mampu bergerak, pertama kali yang dilakukannya adalah membalikkan tubuhnya membelakangi Hay Hay, kemudian mengenakan kembali pakaiannya satu demi satu dengan cepat, dengan kedua tangan gemetar dan kedua kaki menggigil, air matanya bercucuran. Hay Hay memandang saja, membiarkan hingga Ling Ling selesai berpakaian, barulah dia bertanya lagi.

"Ling Ling, apakah yang sudah terjadi? Apa... siapa..." dia tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya karena gadis itu sudah membalik dan memandang kepadanya dengan sinar mata berapi namun juga mencucurkan air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya yang pucat.

"Manusia keji! Engkau masih berpura-pura dan bertanya apa yang sudah terjadi? Aihhh, Susiok, mengapa hati manusia dapat sekejam hatimu?" Gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.

Hay Hay terbelalak dan mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Ling Ling, apa... apa maksudmu...?"

Ling Ling menahan tangisnya, menurunkan kedua tangan lantas dengan mata membendul merah karena terlampau banyak menangis dia menatap wajah pemuda itu dan berkata, suaranya penuh nada penyesalan.

"Engkau... jai-hwa-cat terkutuk berjiwa pengecut! Tadi malam... engkau datang ketika aku sedang tidur, dan engkau menotokku… kemudian kau... kau... memperkosa aku! Dan kini sekarang engkau pura-pura bertanya dan bersikap tidak berdosa?"

Kalau saat itu ada guntur menggelegar dan kilat menyambar kepalanya, belum tentu Hay Hay akan sekaget ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh dara itu. Dia meloncat dengan muka pucat, kemudian mukanya berubah merah sekali.

"Ling Ling...! Apakah engkau benar-benar melihat bahwa orang itu adalah aku? Dapatkah engkau melihat dan mengenalku?"

Dengan mata mencorong karena marah melihat pemuda itu tetap hendak berpura-pura, Ling Ling berkata, "Biar pun keadaan gelap dan tidak dapat melihat mukamu, akan tetapi aku mengenalmu. Bayangan tubuhmu, juga mukamu halus, dan siapa lagi yang tahu akan tempat ini selain kita berdua? Bukankah engkau sudah berjanji kepadaku akan datang ke sini setelah tiga hari, jadi tepat malam tadi? Susiok, engkau mempergunakan kesempatan dan kepandaianmu untuk melakukan kekejian. Engkau sudah menghancurkan hatiku dan menodai kehormatanku..." Dara itu menangis lagi. "Akan tetapi semua ini telah terlanjur..., mungkin engkau dikuasai nafsu... dan aku bersedia memaafkan semua itu asal engkau menyatakan penyesalanmu lantas bertobat, tidak menjadi Ang-hong-cu lagi, dan engkau memperisteri aku dengan sah..."

"Tidak...! Tidak, bukan aku, Ling Ling! Sungguh mati, bukan aku yang melakukan kekejian itu terhadap dirimu!"

Dengan hati marah Ling Ling meloncat dan berdiri tegak, tangisnya terhenti dan wajahnya membayangkan kemarahan. "Tang Hay! Hanya begini sajakah keadaan batinmu? Engkau melakukan kekejian, memperkosa aku, dan kini masih tega untuk berpura-pura tidak tahu dan menyangkal? Kalau begitu engkau bukan manusia, engkau kejam melebihi binatang, engkau iblis, maka engkau atau aku yang akan mati di sini!"

Gadis yang biasanya berwatak lembut itu kini berubah beringas laksana seekor harimau marah dan dia telah menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali karena dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan itu.

Batin Hay Hay masih terguncang akibat tuduhan tadi, karena itu seperti orang bingung dia menghadapi serangan ini dan hanya menolaknya untuk melindungi dirinya, atau sebagai gerakan pertahanan otomatis. Tapi dia tidak mengerahkan tenaga yang terlampau besar, sebab di samping kebingungan dan kekagetannya, juga dia merasa amat kasihan kepada gadis yang baru saja ditimpa mala petaka yang bagi seorang gadis lebih hebat dari pada maut itu.

"Dukkk...!"

Tubuh Hay Hay terlempar lantas terbanting jatuh bergulingan, dan dengan gerakan yang cepat bukan main Ling Ling sudah melompat, mengejar dan mengirim tendangan ke arah kepala Hay Hay. Serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh pemuda itu, karena di dalam tendangan ini terkandung pula tenaga yang amat besar. Hay Hay belum sempat bangun dan melihat tendangan menyambar ke arah kepalanya, kembali gerakan otomatis membuat dia menggerakkan tangan melindungi kepala.

"Dessss...!"

Tendangan yang diterima oleh tangan Hay Hay itu kuat sekali, dan untuk kedua kalinya tubuh Hay Hay terlempar dan bergulingan seperti sebutir bola ditendang. Bagaikan seekor harimau mencium darah, Ling Ling bertambah beringas dan dia pun sudah mengejar lagi.

Akan tetapi Hay Hay sudah meloncat bangun. "Ling Ling, tahan dulu! Sungguh mati, aku tidak melakukan perbuatan itu!" Hay Hay berseru sambil mengangkat tangan ke atas.

Akan tetapi penyangkalan ini membuat hati Ling Ling menjadi makin marah. Kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hebat. Bagaimana jika ternyata benar-benar bukan Hay Hay yang memperkosanya? Hal ini akan mendatangkan kehancuran hati lebih besar lagi.

Apa bila Hay Hay yang melakukannya, bagaimana pun juga dia mencintai susiok-nya itu. Akan tetapi kalau orang lain? Akan lenyaplah harapannya untuk dapat memaksa Hay Hay mempertanggung jawabkan perbuatannya. Maka ia tak sudi mendengarkan kemungkinan ini dan dia sudah menerjang lagi sambil berkata,

"Engkau akui perbuatanmu atau harus mengadu nyawa dengan aku!"

Dan ini memang telah menjadi tekadnya. Kalau Hay Hay mengaku dan mau bertanggung jawab maka dia akan suka memaafkan dan menjadi isteri pemuda itu, sebaliknya jika Hay Hay tetap menyangkal, maka pemuda itu harus mati atau dia sendiri yang akan mati di dalam tangan pemuda itu.

Dia menyerang kembali dengan satu loncatan tinggi dan ketika tubuhnya meluncur turun, dua tangannya membentuk cakar sambil mencengkeram ke arah ubun-ubun, kepala dan leher pemuda itu. Serangan ini bukan main hebatnya sebab Ling Ling telah menggunakan satu jurus dari Ilmu Silat Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis)!

Serangan ini memang dahsyat bukan kepalang, tapi dengan tingkat kepandaiannya yang lebih tinggi, kiranya tidak akan begitu sukar bagi Hay Hay untuk menyelamatkan diri, juga membalas. Akan tetapi sekuku hitam pun tak ada niat di hatinya untuk membalas kepada gadis yang amat dikasihaninya itu.

Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua tangan gadis itu terus mengejar kepala dan lehernya. Terpaksa dia menangkis dengan lengannya, menyampok ke dalam.

"Dukkk!"

Kini tubuh Ling Ling terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, Hay Hay sudah merangkap lengannya sehingga gadis itu tidak terbanting. Hay Hay masih memegang lengan Ling Ling dengan lembut, berdiri dekat dan membujuk.

"Dengarkan dulu, Ling Ling, dan jangan terburu napsu. Sesungguhnyalah kalau kukatakan bahwa aku tidak..."

"Bukkk!"

Kini hantaman Ling Ling tepat mengenai dada Hay Hay sehingga pemuda itu terpelanting. Pukulan dari jarak dekat itu cukup keras karena mengandung tenaga sinkang yang kuat, tetapi tidak melukai Hay Hay walau pun dalam dadanya terguncang dan ada sedikit darah nampak pada ujung bibirnya ketika dia meloncat bangun kembali. Pada saat itu Ling Ling sudah menyerang lagi, dan Hay Hay hanya mengelak sambil mundur.

"Ling Ling, demi Tuhan... Ling Ling..." Hay Hay masih mencoba untuk menyabarkan gadis itu di antara serangan bertubi-tubi yang dielakkan atau ditangkisnya dengan lembut,.

"Pengecut keji!" Ling Ling bahkan menjadi semakin marah dan menyerang lagi, sekarang menggunakan Ilmu Totokan It-sin-ci yang amat cepat dan berbahaya sekali.

Karena sama sekali tak membalas, Hay Hay menjadi repot juga ketika dihujani serangan totokan ini. Percuma saja dia menghindarkan diri dengan Jiauw-pouw-poan-soan karena gadis itu telah mengenal ilmu ini dan tentu akan bisa melihat rahasia gerakan kakinya dan bahkan membahayakan dirinya.

Maka Hay Hay menggunakan kedua tangannya untuk selalu menangkis atau menyambut totokan satu jari itu dengan telapak tangannya yang diisi dengan sinkang lunak. Pemuda ini mundur terus dan menjadi semakin bingung karena Ling Ling menyerang makin hebat.

"Tahan serangan! Nona, kenapa Nona menyerang pendekar itu mati-matian?" Mendadak terdengar seruan dari arah samping.

Hay Hay melirik dan dapat mengenal pemuda perkasa Can Sun Hok yang dahulu pernah dibujuknya agar ikut menentang persekutuan pemberontak. Dia menjadi semakin bingung karena jika pemuda ini menanyakan urusan maka tidak mungkin dia dapat menceritakan tentang aib yang menimpa diri Ling Ling.

Maka, menggunakan kesempatan saat Ling Ling menoleh dan memandang kepada orang yang baru datang itu, Hay Hay cepat melompat dan menggunakan kepandaiannya untuk menghilang di antara pohon-pohon dalam hutan di tepi telaga.

"Jahanam, jangan lari kau!" bentak Ling Ling yang segera melakukan pengejaran. Pemuda itu, Can Sun Hok, yang merasa heran sekali juga ikut pula mengejar.

Akan tetapi bayangan Hay Hay telah menghilang sehingga Ling Ling kehilangan jejaknya. Ketika gadis ini berhenti di tengah hutan dalam keadaan bingung, Can Sun Hok muncul dan bersikap hormat.

"Maaf, Nona. Bukan maksudku ingin mencampuri urusan Nona, akan tetapi aku sungguh merasa heran melihat betapa Nona mati-matian menyerang dia, seorang pendekar yang berilmu tinggi dan seorang utusan pemerintah untuk menumpas persekutuan pemberontak itu."

Tadinya Ling Ling hendak marah melihat ada orang mencampuri urusannya, akan tetapi kemarahannya segera berkurang melihat Sun Hok yang demikian sopan dan mendengar Sun Hok memuji-muji Hay Hay. Ia pun maklum bahwa dia sama sekali tak mungkin dapat menceritakan peristiwa antara dia dan Hay Hay yang merupakan rahasia pribadinya itu, merupakan aib yang tak mungkin diceritakannya kepada orang lain, kecuali orang tuanya sendiri.

"Pendekar? Huh, dia adalah Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat keji, karena itu aku tadi berusaha mati-matian untuk membunuhnya.

Kini Sun Hok yang terbelalak heran, "Apa...?! Dia...? Ang-hong-cu Si Jai-hwa-cat...? Ahh, benarkah itu, Nona? Aku pernah bertemu dengannya. Ilmu silatnya sangat tinggi dan dia membujukku untuk membantu pemerintah menghadapi para datuk sesat yang bersekutu dan hendak memberontak. Bahkan aku sudah mendengar sendiri dari Menteri Cang Ku Ceng bahwa Saudara Hay Hay itu adalah orang kepercayaan Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan di kota Siang-tan, dan mereka itu telah memesan kepadaku agar aku suka membantunya. Akan tetapi, ahh... mengapa aku begini lancang mulut, padahal aku tidak mengenalmu, Nona. Siapakah engkau, dan bagaimana dapat menuduh Saudara Hay Hay yang gagah perkasa itu seorang Jai-hwa-cat?"

"Hemmm, aku sendiri belum mengenal siapa engkau..." Ling Ling berkata sambil menatap tajam.

"Namaku Can Sun Hok, Nona, juga tinggal di kota Siang-tan. Aku sudah berjanji kepada Saudara Hay Hay untuk membantu pemerintah dalam menentang kaum sesat yang akan memberontak."

Ling Ling percaya kepada pemuda yang sopan dan halus ini, "Namaku Cia Ling, dan aku pun sedang melakukan penyelidikan setelah mendengar bahwa di daerah Yunan terdapat persekutuan kaum sesat yang dipimpin Lam-hai Giam-lo dan mereka hendak melakukan pemberontakan. Kebetulan saja aku bertemu dengan Hay Hay itu dan ada serombongan murid Bu-tong-pai yang mengejar-ngejar dan menyerangnya karena menurut para murid Bu-tong-pai itu, dia adalah Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang sudah mengganggu kemudian membunuh seorang murid Bu-tong-pai."

"Ahh, kalau benar demikian, sungguh berbahaya! Dia lihai bukan main dan jika benar dia jai-hwa-cat, berarti dia seorang tokoh sesat, maka tentu saja dia menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo! Padahal Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan sangat percaya kepadanya, bahkan menurut Menteri Cang Ku Ceng, dia telah menerima tanda kepercayaan Menteri Yang. Kalau begitu, sebaiknya kita melapor kepada Menteri Cang supaya jangan sampai terlambat. Siapa tahu dia itu mata-mata pihak musuh."

“Tapi... Menteri Cang Ku Ceng tentu berada di kota raja!" kata Ling Ling ragu.

Pemuda itu tersenyum. "Menteri Cang telah berada di sini, tak jauh dari telaga ini, di balik bukit di utara itu. Dia sudah mempersiapkan ribuan orang pasukan dalam benteng darurat di sana. Juga banyak pendekar sedang berkumpul dl sana, siap menanti saat baik untuk menggempur para pemberontak. Marilah, Nona. Kita harus melaporkan tentang Hay Hay itu kepada Menteri Cang agar beliau dapat mengambil keputusan."

Tak ada jalan lain bagi Ling Ling kecuali menyetujui. Ia ingin sekali mengejar dan mencari Hay Hay sampai dapat, akan tetapi maklum bahwa tidak mudah menyusul pemuda yang amat lihai itu. Dengan perasaan hancur dan tubuh lemas dia lalu mengikuti pemuda yang sopan itu menuju ke utara.

Untung dia adalah seorang gadis gemblengan dan tubuhnya telah memiliki kekuatan yang jauh melebihi gadis biasa. Kalau tidak demikian, sesudah apa yang dialaminya semalam, tentu dia tidak akan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa amat menderita lahir batin.

Dia membayangkan betapa ayah ibunya akan terkejut sekali bila mendengar mala petaka yang menimpa dirinya. Ibunya tentu akan marah bukan main dan akan mencari Hay Hay untuk membalas dendam. Jika mengingat ini, ingin rasanya dia menangis tersedu-sedan, namun perasaan ini ditekannya karena dia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya di depan Can Sun Hok yang baru saja dikenalnya.

Ia harus dapat bertemu lagi dengan Hay Hay, kemudian akan dicobanya sekali lagi untuk minta pertanggungan jawab pemuda itu. Kalau Hay Hay tetap menyangkal maka dia akan menyerang mati-matian dan tidak akan berhenti menyerang sebelum Hay Hay atau dia sendiri yang roboh dan tewas…..

********************

Hati Hay Hay gelisah bukan kepalang. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh memperkosa Ling Ling! Tidak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah ketika sampai di tepi telaga dia sudah melihat sendiri betapa Ling Ling berada dalam keadaan telanjang bulat dan tertotok?

Tak dapat disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang lelaki datang, lalu menotoknya dan memperkosanya. Akan tetapi jelas bukan dia! Lantas siapa? Potongan tubuhnya seperti dia, dan wajahnya halus seperti dia pula! Tentu ada seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu.

Can Sun Hok? Pemuda itu baru saja muncul. Hemmm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan perbuatan keji itu? Mungkin saja! Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia, bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis mau pun jenggot. Hanya itu yang dikenal Ling Ling karena malam itu gelap. Tetapi, kalau benar Can Sun Hok, kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor ular yang mendatangi penggebuk! Lalu siapa?

Hay Hay berlari keluar masuk hutan. Pikirannya begitu ruwet sehingga dia yang biasanya waspada tidak melihat bahwa dari arah depan datang seorang gadis, yang juga berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan.

"Hay-ko...! Ahh, betapa aku telah mencari-carimu, Hay-ko...!" Dan gadis itu langsung saja merangkul dan menangis di dadanya. Hay Hay terkejut dan merangkul gadis itu.

"Eng-moi, tenanglah, diamlah. Ada apa, Eng-moi?" tanyanya, wajahnya berubah merah karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, pada waktu malam di dalam taman itu. Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok nafsu birahi.

Pek Eng menangis dengan hati lega karena dia telah dapat menemukan kekasihnya, dan jika melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab atas pebuatannya. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya mereda, dia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih.

"Hay-ko, mengapa engkau begltu kejam? Engkau meninggalkan aku begitu saja sesudah malam kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun lantas mencarimu, akan tetapi hanya mendengar bahwa malam itu juga engkau telah pergi tanpa pamit! Hay-ko, mengapa engkau pergi meninggalkan aku? Setengah mati aku mencarimu, keluar masuk hutan..." Gadis itu lalu menangis lagi.

Hay Hay menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, kemudian melangkah mundur dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam.

"Maafkan aku, Eng-moi. Malam itu... ahh, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ahh, aku merasa begitu menyesal sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku, Eng-moi."

Sungguh aneh! Gadis itu memandang padanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih heran lagi.

"Hay-ko, tidak ada yang harus dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki bersama? Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko, dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi hidupku. Marilah, Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimana pun juga dia adalah guruku, lalu kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan untuk memberi tahu kepada ayah ibuku tentang perjodohan kita."

Hay Hay terbelalak memandang wajah gadis itu. "Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya ? Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat tali perjodohan..., ahhh, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kau maafkanlah aku, tapi bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan..."

Hay Hay menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak dan bibirnya menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau bagaikan orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti orang terserang demam.

"Hay-ko... apa... apa maksudmu? Maksudku sudah jelas... sesudah apa yang kau... kita lakukan malam itu... tidaklah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?"

"Eng-moi! Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali. Aku sudah minta maaf, akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan segera melarikan diri "

"Apa? Belum terlambat? Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian dilupakan? Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti dengan sikapmu ini. Bukankah aku sudah menjadi isterimu? Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan sebaliknya aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu? Dan engkau tak ingin diresmikan dalam sebuah pernikahan? Aku tak percaya bahwa engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa sesudah aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku..." Wajah itu semakin pucat.

Kini wajah Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis. "Eng-moi! Apa maksudmu? Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, lalu masuk ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai di situ saja, aku lalu sadar dan aku lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita..."

"Benar sekali! Tapi tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu..."

"Tidak! Aku tidak pernah kembali ke pondok!"

"Hay-ko...!" Pek Eng menjerit, menutupi mulutnya dengan tangan kanan yang menggigil, mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tak mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.

Sementara itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng, dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling.

"Eng-moi, katakanlah, siapakah yang memasuki pondok itu? Yang pasti, aku tidak pernah kembali dan..."

"Orang itu adalah engkau!" Pek Eng menjerit.

"Apa engkau tidak keliru? Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku? Bukankah pondok itu amat gelap?"

"Aku tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!"

Mendadak Hay Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan sanggup menaklukkan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong? Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh mereka pun sama, dan wajah Ki Liong juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng.

Mungkin karena pemuda itu memang jahat dan cabul. Atau lebih masuk akal lagi apa bila perbuatan itu sengaja dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau sebagai akal untuk mengikatnya dengan persekutuan itu.

"Ki Liong jahanam kau...!" Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

"Hay-ko... ouhhhh... Hay-ko...!" Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan dia pun terkulai pingsan di tengah hutan itu.

Keraguan yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau ternyata bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat menusuk perasaannya dan gadis ini pun tidak kuat menahan kenyerian batinnya. Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu untuk selamanya, sebagai isterinya.

Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Bila kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanyalah menjadi panggung sandiwara di mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadang tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis!

Betapa hidup ini penuh dengan kekecewaan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling dengan sedikit saja kegembiraan bagai selingan kilat di antara awan gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi ketika sedang dilahirkan? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita!

Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum di dalam kematiannya, seakan-akan wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu!

Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, khawatir, sesal, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si aku yang bersemayam dalam pikiran, yang memiliki seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.

Apa bila keinginan itu tidak terpenuhi maka timbullah kecewa. Apa bila kepentingan diri terancam maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini.

Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, dan kadang kita lari bersembunyi di balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan. Akan tetapi pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk sebuah lingkaran setan.

Sesudah mendapat hiburan, untuk sejenak kita lupa akan kedukaan itu, namun sesudah hiburan memudar, maka kedukaan itu pun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri!

Yang paling tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan itu. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, akan tetapi sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran.

Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan semua itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang memiliki kuasa untuk membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Cahaya Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.....

********************

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar