Pendekar Mata Keranjang Jilid 68

Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya kemudian menjatuhkan diri di atas rumput dan... menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya bisa memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran sekali.

Semenjak bertemu dengan Kui Hong, saling berebut bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi bahaya maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu sekarang tiba-tlba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.

"Kui Hong mengapa engkau menangis?" Akhirnya Hay Hay bertanya lembut sesudah dia ikut duduk di depan gadis itu.

Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari arah barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka jatuh ke dalam jurang.

Memang gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang sudah dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika dia merasa amat terhina oleh nenek iblis serta ketidak berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya.

Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong cepat mengusap sisa air matanya. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, sekarang memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri-seri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tanpa pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.

"Ihhh, Hay Hay! Mengapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!" Dan Kui Hong tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti kaum gadis pada umumnya.

"Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang tadi dicekam keheranan namun kini sudah bisa menguasai diri Tadi engkau menangis tanpa sebab, lantas sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangisan. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?"

Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala. "Entah, Hay Hay, aku sendiri pun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita jatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti aku merasa hatiku ringan dan demikian lega sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!"

Kini mengertilah Hay Hay dan dia pun mengangguk-angguk. "Ahh, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."

"Beruntung? Apa maksudmu?"

"Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau telah terbebas dari semua itu. Kemudian, sesudah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi sangat lega dan gembira sehingga engkau mendapatkan kembali watakmu yang asli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak..."

Sepasang mata itu melotot lebar dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut. "Aku? Kau berani mengatakan aku galak?"

Hay Hay tertawa. "Nah... nah... baru dikatakan galak saja sudah marah. Apa lagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kau maafkan aku, Nona manis."

Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Dia kelihatan termenung karena dia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar goa itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berkata lirih, "Gila, sungguh gila...!"

Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu. "Sudah dua kali engkau mengatakan ucapan itu, Kui Hong!"

"Dua kali?" gadis ini pun bertanya heran.

"Iya, ketika kita akan meninggalkan goa, di depan kamar goa itu engkau pun mengatakan demikian, dan kini engkau mengulanginya. Sebenarnya apa dan siapa yang kau katakan gila itu?"

"Mereka, kakek dan nenek lumpuh itu. Mereka menjadi gila karena cinta," kata Kui Hong, lalu termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja.

Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Puteri ketua Cin-ling-pai ini manis sekali, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biar pun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang melenyapkan kekerasan pada ujung kedua bibirnya.

"Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam urusan cinta sehingga tahu bahwa mereka menjadi gila karena cinta," pancing Hay Hay.

Biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui bahwa mata itu sangat indah, bening sekali ketika mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk yang indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.

"Biar pun aku bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila akibat cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Dia sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tak semestinya dia begitu mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."

Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah dara itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya demikian murni dan suci. Biar pun isterinya sudah melakukan penyelewengan dengan pria lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya juga berusaha membunuhnya lantas meninggalkannya hingga puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tapi tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan di dunia ini kiranya sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."

"Itulah sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya pantas dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu juga sudah gila karena cintanya terhadap kekasihnya. Kekasihnya itu sudah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, tapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke goa, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin ditinggalkan. Dan nenek itu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematian kekasihnya kepada Hek-hiat-kwi. Apa lagi namanya itu kalau tidak gila?"

"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta birahi, hanya cinta nafsu belaka! Mungkin laki-laki yang menjadi kekasihnya itu sangat tampan, sangat menyenangkan hatinya sehingga dia merasa kecewa dan berduka ketika dia kehilangan kekasihnya itu, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."

"Itulah, bukankah keduanya itu gila? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tak semestinya begitu!" kata Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena dia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri.

Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta adalah seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, seorang hamba nafsu birahi yang telah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, maka tak akan terdengar aneh. Akan tetapi sungguh terdengar lucu dan ganjil apa bila keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya,.

"Kui Hong, engkau sungguh hebat! Jika menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia agak khawatir kalau-kalau gadis itu menjadi marah.

Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar yang sedang memberi kuliah kepada para mahasiswanya, dia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung birahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembang biakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa birahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu birahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki sehingga terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar birahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan."

Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih ‘hijau’ ini bisa bicara demikian panjang lebar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji.

"Hebat, engkau sungguh hebat sekali, Nona! Ternyata engkau adalah seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"

Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri lantas bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"

Tentu saja Hay Hay sangat terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"

"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Sudah jelas tadi engkau menghinaku, mengatakan bahwa aku sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kau kira aku ini petualang cinta?"

"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau begitu pandai menguraikan soal cinta sampai demikian jelas dan terperinci kalau tidak memiliki banyak pengalaman? Dari mana engkau mendapat pengetahuan yang begini luas tentang cinta?"

"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"

"Akan tetapi bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"

"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?!" Kui Hong membentak. "Tentu saja orang bisa memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor anjing, monyet atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi anjing, monyet atau babi?"

Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"

"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"

"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong? Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"

"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentulah laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Ibuku selalu memperingatkan aku supaya berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"

"Wah-wah, betapa banyaknya tuduhan itu! Kau bilang aku hidung belang?" dia mengelus hidungnya yang mancung dan sama sekali tidak belang. "Akan tetapi aku yakin hidungku tak pernah belang, dan mata keranjang? Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku memang kurang ajar karena sejak kecil tidak mengenal ayah ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"

Kui Hong membanting kaki kanannya, lalu duduk kembali di atas rumput dan mengomel sebab merasa kewalahan dalam berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apa semua itu bukan merayu namanya?"

"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya jika orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang sangat manis itu menjadi sangat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, juga kerling matamu demikian tajam menyayat!"

Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena merasa canggung dan malu, akan tetapi dia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tak berani menentang pandang mata pemuda itu.

"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat hidung yang seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang sangat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat." Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.

"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ahh, tidak mudah untuk melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, di dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Bila diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum laksana bunga mawar mekar merekah, dan jika tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, jika sedang cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tidak tersisir, akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai...!"

Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya dia merasakan kenikmatan serta kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar.

Akan tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat dia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Dia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati dia berseru. "Cukup...!"

Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan dia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar dan penuh selidik. Tetapi dia tidak menemukan kekurang ajaran di dalam pandang mata pemuda itu.

"Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang tadi kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin bisa menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukanlah seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, juga bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Lelaki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja di dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!"

Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walau pun dia merasa malu dan canggung, Akhirnya dia mengangkat muka sehingga kedua orang itu beradu pandang. "Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"

"Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong."

Kali ini Kui Hong tidak cemberut, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Dia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, begitu pintar memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, akan tetapi tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali.

"Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay."

Hay Hay tertawa girang. Dia pun bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!" Dia lalu memandang ke sekelilingnya. "Akan tetapi senja sudah larut dan malam hampir tiba. Apakah tidak sebaiknya kalau kita melanjutkan perjalanan mencari dusun supaya kita memperoleh rumah untuk melewatkan malam?"

Kui Hong menggelengkan kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal sendiri di sini!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan.

"Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"

"Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"

"Batu tapi bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras laksana baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak."

"Engkau harus bercerita lebih dulu," kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar di batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan tidak jauh dari situ agaknya terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air.

"Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."

"Hay Hay, tadi pada saat engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak tapi kemudian ternyata engkau hanya bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis itu. Andai kata engkau tak mengalah, apakah engkau akan bisa mengalahkan Hek-hiat-kwi?"

"Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya juga aneh dan matang, dan tenaga saktinya sangat kuat. Akan tetapi aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh," jawab Hay Hay sejujurnya.

Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya pada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai, ilmu silatmu jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaianku, bahkan engkau pun pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun..."

"Ehh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu..."

"Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?"

"Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, sangat pantas mendapat keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat ialah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Laut Pohai, serta See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu gurunya suheng Cia Sun. Yang mematangkan seluruh ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin."

Kui Hong memandang penuh kagum. "Pantas saja engkau hebat. Ternyata yang menjadi guru-gurumu dalam hal ilmu silat adalah dua orang di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kongkong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri..."

"Ahhh, jangan mengejekku, Kui Hong! Siapa sudi dengan orang macam aku? Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!"

"Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."

"Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh."

"Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?"

Kali ini lenyaplah seri pada wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang kini diliputi mendung.

"Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku juga tidak tahu siapa nama ibuku. Aku pun tidak pernah melihat ayah ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil dan ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana."

"Ohhhh...!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay..."

Keriangan watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan pada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau keadaan hidupku memang sudah semestinya begitu?"

"Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal ayah ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?"

Hay Hay merasa canggung sekali. Akan tetapi karena sudah berjanji, maka terpaksa dia pun menuturkan sebagian dari riwayat hidupnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek.

"Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Pada waktu aku masih kecil sekali, agaknya ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Tetapi perahu itu terguling sehingga ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong."

"Nanti dulu," bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kau pengaruhi dengan ilmu sihirmu?"

"Ahh, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biar pun aku sudah tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu."

"Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, sedangkan ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis..."

"Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kongkong-mu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kau dapat dari orang tuamu."

"Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari kakek dan nenekku."

"Pantas saja! Ilmu silatmu lihai bukan main, Kui Hong. Apa lagi dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan takluk."

"Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau," kata Kui Hong yang tidak ingin berbicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan mengenai keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?"

Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce.

"Menurut keterangan dua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga sudah bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana. Ketika perutku terasa amat lapar, aku lalu berburu kijang itu dan bertemu denganmu." Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"

"Aku? Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga hendak mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepantasnya dihancurkan karena dia dapat menjadi orang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali.

Hay Hay terkejut sekali dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang. "Hemmm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?"

"Kalau hanya seorang murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari sekedar seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah."

"Ahhh...! Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?"

"Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang ketika kecil ditolong oleh kakek dan nenekku lalu diambil murid dan digembleng. Ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, aku sendiri sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang silam dia minggat dari pulau sambil membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah kakek dan nenek kemudian mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya."

"Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia memiliki akhlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik kakekmu?"

"Menurut kakek dan nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku. Aku menolak dan menyerangnya, kami lantas berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)."

"Aihh, kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu sebab engkau memang cantik menggairahkan, hanya saja dia tidak sanggup melawan nafsu birahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti juga semua keindahan, menjadi sangat berbahaya kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan."

"Hemmm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka dengan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?"

"Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan sering tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik dengan kecantikan bunga-bunga yang beraneka bentuk dan warna. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi birahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila."

Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lantas mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu.

Mereka duduk berhadapan, terhalang oleh api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa cahaya api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut.

"Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?"

Hay Hay terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik.

Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku bersukur bahwa aku belum pernah jatuh cinta, Kui Hong."

"Bersukur? Kenapa mesti bersukur?"

"Karena, seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung di dalam sangkar. Aku tidak ingin kakiku terikat atau terkurung di dalam sangkar, lebih suka terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau sendiri, Kui Hong? Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta."

"Huh, engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta, apa lagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tidak perlu kita berbicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka tadi, dan di mana mereka bersarang?"

"Menurut keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo, seorang datuk sesat yang amat sakti. Dan masih banyak tokoh sesat lihai yang bergabung dalam persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak tokoh lihai. Mereka sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan."

"Hemm, aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu di sana aku akan dapat bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay."

"Bagus! Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya melakukan perjalanan bersamamu!"

"Mengapa senang?" Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimana pun juga hati gadis ini senang sekali mendengar pujian-pujian pemuda itu sehingga ingin lebih banyak mendengarnya.

"Kenapa? Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu, Kui Hong."

"Hushhh, di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis, Hay Hay!"

"Ah, sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di langit timur, berarti bulan akan segera muncul."

"Apa lagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihhh! Sungguh mengerikan!" Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil ketika mengenang tentang setan dan iblis.

"Ha-ha-ha, seorang gadis selihai engkau ini merasa ngeri dan takut soal setan dan iblis? Sesungguhnya merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu, Kui Hong, bukan engkau yang takut!" Hay Hay berkelakar.

"Kalau setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja aku tidak takut sama sekali. Tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh, makhluk-makhluk halus, hiiihhh, siapa yang tidak merasa ngeri?" Kui Hong memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang.

Selama melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun, dan karena tidak pernah berbicara atau berpikir tentang setan, maka dia pun tidak pernah takut. Tapi kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia, teringatlah dia akan dongeng-dongeng mengerikan tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar