"Siapakah datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?" tanyanya.
"Menurut hasil penyelidikan kami, pemimpinnya ada beberapa orang, namun di antaranya yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan yang lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini mereka tengah membangun pasukan yang kuat."
Mendengar ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti itu.
"Dan banyak di antara sekutu mereka yang sudah kau kenal, Taihiap." kini Jaksa Kwan berkata. "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga Tung-ting..."
"Ahhh, mereka pun terlibat?" Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami isteri iblis yang lihai dan Min-san Mo-ko bersama muridnya, Ji Sun Bi, juga pemuda tampan yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu. "Kalau begitu, lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang sangat lihai dan curang! Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?"
"Bantuan Taihiap amat kami harapkan untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka, seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang bersedia membantu kami. Dan kami siap untuk menyediakan semua biayanya bagi Taihiap. Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja menyiapkan pasukan besar untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu, Tang-taihiap?"
"Taijin, sudah menjadi tugas setiap orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, meski tanpa diminta sekali pun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Saya pun tidak mengharapkan upah, namun saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin. Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri untuk segera memulai dengan tugas saya."
"Nanti dulu, Tang-taihiap," tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia mengeluarkan sebuah benda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat dari menteri itu. "Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa. Jika engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau akan dianggap sebagai utusan pribadiku karena memiliki tanda kuasa. Terimalah ini."
Hay Hay menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Masih ada satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang sudah menyanggupi untuk membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, hal itu sungguh baik sekali sebab dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi, karena dia adalah orang kota Siang-tan ini, agaknya Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan kepadamu."
Kwan-taijin mengangguk. "Apa yang dikatakan oleh Yang-taijin itu memang benar sekali, Tang-taihiap. Di Siang-tan ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh dan sukar sekali didekati, bahkan dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemerintah. Ketika diberi tahu mengenai usaha pemberontakan yang hendak dilakukan kaum sesat, dia pun acuh saja. Kami pernah mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya dan sengaja membiarkan seorang gadis cantik diganggu orang-orang jahat, dan dia kemudian keluar menolong gadis itu. Agaknya kini dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, namun selanjutnya tetap saja dia bersikap acuh dan tak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan agar dia mau membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana jika engkau berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu serta perkenalannya denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu."
Hay Hay tertarik sekali. "Siapakah dia, Taijin?"
"Sebenarnya dia adalah keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua atau tiga tahun lebih tua darimu." Jaksa Kwan lalu memberi tahu di mana tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu.
Hay Hay lantas berpamit. Dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat dengan penyelidikannya ke Lembah Sungai Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak…..
********************
Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dengan dua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, yaitu pendekar muda yang pernah kita kenal saat terjadi keributan di Telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri sambil memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu dan anak ini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.
Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) sangat terkenal di dunia sesat karena dia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat biar pun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli menggunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya.
Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok.
Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa ini bukanlah wanita yang dapat terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Dia seorang petualang, maka akhirnya dia pun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan dia melanjutkan petualangannya sampai akhirnya dia tewas dalam pertempuran ketika dia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika dia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka lau tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para prajurit.
Sebelum tewas Gui Siang Hwa sudah menitipkan puteranya, Can Sun Hok, kepada salah seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, kedua orang guru Gui Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis.
Nenek Wa Wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, biar pun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih dari Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti sudah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini kemudian dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa.
Sesudah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri, Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia tumbuh dewasa dengan watak yang gagah, walau pun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin.
Namun sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapa pun juga asalkan dia juga tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, malah suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat.
Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda kaya raya yang tinggal di gedung besar di kota Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo tewas, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia sangat berbakat dengan pemainan musik ini.
Can Sun Hok kini sudah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri sesudah kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin, dan selama tiga tahun ini Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih.
Ada dua buah kitab silat peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan oleh neneknya. Dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastera kuno, dia pun dapat mengerti arti dari pelajaran itu lantas dia berlatih diri dengan tekun. Maka, dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat.
Walau pun dia kaya raya namun hidupnya sederhana. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya.
Beberapa bulan yang silam Jaksa Kwan yang dahulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi Can Sun Hok, walau pun dia jarang sekali mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu sangat mengejutkan hati Sun Hok, apa lagi sesudah jaksa itu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya sedang menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan niat hendak memberontak terhadap pemerintah.
"Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang kakekmu juga pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami sangat mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti terhadap nusa dan bangsa."
Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok lalu mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu belaka bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang. Malah dia pernah seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai.
Akan tetapi dia tidak pernah minta diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tak ingin bicara dengan orang lain mengenai apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak!
"Kwan-taijin…," katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat serta melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa. "Tak perlu saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya apa bila menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai, maka persekutuan itu dapat ditumpas habis."
Kwan-taijin tersenyum. "Apa yang kau ucapkan tadi memang tepat, Can Kongcu. Namun ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang melawan pasukan lain dalam suatu pertempuran. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Tapi sekarang keadaannya berbeda lagi. Para datuk kaum sesat yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo telah mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Kini mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan, dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti ini, sebab itu saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu."
Can Sun Hok tersenyum, senyum sinis dan sebentar saja. "Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar, Taijin."
"Ahhh, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di Siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu mempunyai ilmu silat yang sangat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang berbahaya dan keji. Sekali ini ada pekerjaan yang lebih penting dan mulia, maka saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami tadi, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat."
"Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu bagi saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya senang sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, tetapi selama ini saya belum pernah bekerja secara berkelompok. Sebab itu, bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."
Jaksa Kwan akhirnya pulang sesudah meninggalkan pesan dan permintaannya, dan juga mendengar jawaban pemuda ini yang hendak berpikir-pikir dahulu tentang hal itu.
Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Lalu didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja.
Gadis ini sesungguhnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar. Karena kepintarannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu kemudian terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar.
Di dalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tidak dapat menahan diri lagi, dan menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, kepada para pembesar yang berwatak mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan.
Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk menjalankan niatnya ‘memancing harimau supaya keluar dari sarangnya’, yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.
Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, di suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di pinggir sungai itu, tempat yang sunyi sepi karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu memang sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam sungai di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezatnya bukan main.
Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti sudah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya hanya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpan. Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, tentu akan terasa oleh tangannya.
Penantian sambaran ikan yang tak nampak inilah yang amat mengasyikkan bagi seorang pengail. Di situ terdapat suatu kejutan yang sangat menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan pada pancingnya.
Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan pada pancingnya.
Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, kemudian ia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlampau berabe, apa lagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan.
Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena semenjak tadi tidak pernah berhasil, kini dia pun menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi lagu merdu yang keluar dari sulingnya. Suara merdu itu mengalun naik turun, lirih saja sebab dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan melalui lagu yang ditiup dengan sulingnya itu seolah-olah dia ingin mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya.
"Tolooonggg...!" tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita.
Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lantas memandang ke depan. Nampak sebuah perahu meluncur lewat di tengah dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya secara kasar oleh beberapa orang laki-laki. Ada lima orang laki-laki di perahu itu.
Mendadak tali pancingnya bergerak. Sun Hok langsung menyambar tangkai pancingnya, lalu menarik dengan sekali kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya!
Kalau saja tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya itu. Tetapi sekarang ada gangguan, maka dia pun melepaskan gagang pancing sehingga ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat ada sebuah perahu nelayan kecil yang ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya.
"Paman Tua tukang perahu…! Bolehkah aku menyewa perahumu sebentar? Engkau akan kuberi uang ini!" katanya sambil mengacungkan sepotong perak yang beratnya satu tail.
Tentu saja nelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu terlampau besar untuk menyewa perahunya, apa lagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan semenjak tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya.
"Ah, kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"
Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu, lalu mendayung perahu dengan amat cepatnya, meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu besar itu sudah meluncur agak jauh, namun masih kelihatan dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu sudah membungkam mulut gadis tadi.
Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok cepat mendayung perahunya yang lebih kecil. Perahu itu segera meluncur cepat sekali sehingga tidak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu.
Kini nampaklah olehnya bahwa kaki tangan gadis itu memang sudah diikat, dan mulutnya juga diikat sapu tangan sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan kelima orang itu agaknya sedang bersuka ria sambil minum arak. Mereka nampak terkejut ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel pada perahu mereka dan seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu.
"Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?!"
Empat orang kawannya juga marah sekali. Mereka berlima segera menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring.
"Hemmm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kalian lakukan dengannya?"
"Hei orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini juga!"
Sun Hok tertarik. "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"
Seorang di antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki. "Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo..."
"Sudah, hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan kelima orang itu segera menerjang dengan golok mereka.
Melihat gerakan mereka, Sun Hok segera dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan akan tetapi mempunyai ilmu golok yang cukup tangguh, maka ia pun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya lantas bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air!
Tanpa banyak cakap lagi Sun Hok cepat menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya lalu dia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali.
Dengan sebelah tangannya Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, sapu tangan yang menutupi mulut berikut sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihat wajah itu dengan jelas.
Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.
"Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku ini, tentu lebih hebat dari pada kematian. Tidak mungkin aku dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya, dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini," kata-kata itu diucapkan dengan suara yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan.
Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus. "Nona, tak perlu engkau bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu."
Gadis itu kini menangis sambil menutupi muka dengan sepasang tangannya, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan tua tadi masih menunggu.
"Kita turun di sini, Nona, dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan sering kali mengail di sungai, maka dia pun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Ia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.
"Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar, Kongcu!" gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya.
Melihat ini Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun ikut bersenang hati.
"Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu..."
"Aku selalu membawanya," kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain.
"Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?" Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus.
"Kongcu, apakah engkau punya pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya..."
Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala. "Mari kubantu engkau," katanya dan dia pun mengambil ikan itu. Dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu.
Kemudian dia memasang umpan cacing di mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya satu ekor lagi yang agak besar supaya cukup untuk mereka berdua. Entah kenapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi.
Tak lama kemudian umpannya kembali disambar ikan. Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya.
"Horeeeee...!" Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang kini sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi.
Gadis itu pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Pada waktu gadis ini tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang
"Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu.
Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya lagi kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan segera membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu-bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu.
"Kita butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok segera mencari kayu kering kemudian membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun.
Dengan dua tangkai kayu yang digunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan terhalang api unggun, akan tetapi malah bisa saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan.
Beberapa kali sinar mata mereka bertaut, akan tetapi selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Meski pun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian.
Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi bila mana dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apa lagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin tak pernah dapat dilupakannya.
Menurut nasehat Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya. Akan tetapi menurut nasehat Ceng Sui Cin, karena ibu kandungnya dulu pernah melakukan penyelewengan, menjadi seorang tokoh sesat dan turut memberontak, maka satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu!
Sekarang dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali belum mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Apakah kecantikannya yang khas itu yang sudah membangkitkan rangsangan di dalam hati mudanya? Ataukah karena sikap gadis itu yang begitu gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri?
Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering tapi tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.
"Kenapa harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena semenjak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya tersenyum-senyum saja, seakan-akan merasa canggung dan malu untuk bicara, seakan-akan tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu.
Gadis itu memandang dan menyembunyikan senyum, lalu menunduk dan menggunakan sumpit besar itu membalikkan ikan di dalam tanah liat itu. "Kalau dipanggang begitu saja, ikannya akan bau asap, juga bisa gosong. Akan tetapi kalau dibungkus tanah liat, tidak berbau asap, tidak gosong dan panasnya lebih meresap, bumbunya akan terasa benar sehingga biar pun dagingnya masih nampak putih kemerahan seperti mentah, akan tetapi sebetulnya sudah lunak dan matang. Memanggang seperti ini adalah cara memanggang istimewa yang biasanya dihidangkan kepada para bangsawan di istana."
Sun Hok mengerutkan kedua alisnya. Gadis ini tahu akan kebiasaan memasak di istana bangsawan? Apakah dia seorang puteri? Jika melihat pakaiannya, biar pun cukup indah, namun tidaklah terlalu mewah. Juga perhiasan di leher, telinga dan lengannya bukan dari emas murni dan berhiaskan permata mahal, hanya perhiasan sederhana saja. Akan tetapi cara bicaranya demikian halus, seperti orang terpelajar, dan gerak-geriknya pun lembut, suaranya merdu dan mengerti tentang cara memasak hidangan para bangsawan! Makin tertariklah hatinya, seperti menghadapi sebuah rahasia yang harus dipecahkan.
Setelah tanah liat itu terlihat kemerahan, gadis itu mengetuk-ngetuknya dengan sepasang sumpit ranting dan berkata girang. "Sekarang sudah matang, siap untuk dimakan setelah agak dingin."
Dengan sumpitnya dia lantas mengambil dua ikan yang terbungkus tanah itu, dikeluarkan dari api unggun yang tetap dibiarkan hidup terus untuk menerangi tempat itu, juga untuk mengusir nyamuk. Malam mulai masuk dan cuaca mulai menjadi gelap.....