Pendekar Mata Keranjang Jilid 51

Diam-diam Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan santun, dia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat saat diperkenalkan kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu. Dengan ramah Siok Bi Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan mempersilakannya duduk lagi. Mereka kemudian bercakap-cakap, di mana Ling Ling menuturkan bahwa dia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yang menyuruh puterinya supaya melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung ke Cin-ling -pai.

"Saya mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui Song dan Bibi," katanya menutup ceritanya. Hui Song merasa senang melihat sopan santun gadis ini.

"Ahh, tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu, tanda bahwa ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal di sini selama yang engkau kehendaki dan anggaplah di sini sebagai rumahmu sendiri. Tentang peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang agaknya memiliki niat yang kurang baik, sebab itu penjagaan lantas diperketat dan engkau dicurigai. Akan tetapi kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat, dengan mudah engkau mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Kiranya ayahmu tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik sekali."

"Ah, Paman terlalu memuji," kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada di sini."

Kembali secara diam-diam Hui Song memuji di dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan telah matang dan berpemandangan luas walau pun usianya masih demikian muda.

Hui Song lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan ibunya dalam keadaan sehat. "Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan berladang. Selain menggarap sawah ladang sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak tenaga petani, juga ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke kota." Antara lain Ling Ling bercerita.

Memang selama ini keluarga ayahnya hidup di dusun Ciang-si-bun dalam suasana aman dan tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan dan pakaian, bahkan keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, pada waktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlalu berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua tumpukan dan cadangan beras dan gandum di gudang mereka untuk membantu penduduk agar tidak sampai kelaparan.

Karena itu, nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan sampai jauh ke luar daerah itu. Apa lagi semua orang tahu belaka bahwa keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itu pun aman, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.

Sesudah menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lantas berkata, "Paman Cia Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"

Cia Kong Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru) karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri, pikirnya.

"Kakekmu itu kini lebih suka berdiam di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersemedhi saja, tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Akan tetapi dia tentu akan senang sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."

Kamar di mana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktu untuk semedhi itu cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya segar dan cukup menerima cahaya matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ, kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak kecil penuh dengan kitab-kitab kuno.

Pada waktu Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi menghadapi sebuah kitab yang terbuka di atas meja dan tengah dibacanya. Dia menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat seorang gadis. Tadinya dengan penuh harap dia menyangka bahwa gadis itu adalah Kui Hong, cucunya yang sangat disayangnya dan sudah lama dirindukannya. Akan tetapi sesudah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang dengan penuh heran kenapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki kamarnya.

Akan tetapi Ling Ling langsung menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil berkata, "Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."

Mendengar gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula, kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lantas bertanya, "Hui Song, siapakah gadis ini?"

"Ayah, dia bernama Cia Ling dan biasa dipanggil Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan Sumoi Tan Siang Wi."

Wajah kakek yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup akan tetapi juga dibayangi ketenangan mendalam itu, sekarang tiba-tiba saja mengeluarkan sinar berseri, sepasang matanya bersinar-sinar dan pada bibirnya membayang senyum gembira. Dia memandang kepada gadis itu.

"Aha, kiranya engkau adalah puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling Ling."

Gadis itu pun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kini duduk bersila di atas dipan.

Dengan suara halus tapi jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang lagi semua yang telah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk pada saat mendengar kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk dusun.

Dia mengenal benar watak Cia Sun yang sangat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang disayangnya, Tan Siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun ternyata dapat merubah wataknya. Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya. Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya.

"Tentu engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari ayah bundamu, bukan? Jika belum cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."

"Sukong, teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada di sini."

"Ayah, Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga dia mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnya. Hanya dalam waktu sebentar saja dia berhasil lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat dilewatinya dengan baik. Dia hebat, Ayah dan sungguh tak mengecewakan menjadi puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!" kata Hui Song dengan bangga.

Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi kembali kedua alisnya berkerut. "Hui Song, bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?"

Hui Song tersenyum. "Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, di sini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama sekali tidak mengenalnya. Ia seorang wanita muda yang memaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum mengenalnya, terpaksa saya menolaknya. Kemudian, tanpa memperkenalkan diri atau memberi tahukan kepentingannya, dia pergi begitu saja. Ketika masuk dia pun meloncati para penjaga yang menghadangnya dan sikapnya amat mencurigakan. Oleh karena itu penjagaan diperketat sehingga ketika Ling Ling muncul, tentu saja dia dicurigai dan dihalangi. Untung saya tadi keluar dan mengenal gerakan-gerakannya."

"Bagus sekali, aku turut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita muda yang mencariku itu?"

"Entahlah, saya belum pernah melihatnya namun sikapnya sungguh mencurigakan. Kalau melihat gerakannya, agaknya dia mempunyai ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah. Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin dia mempunyai niat yang buruk terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan dengan ketat."

"Hemm, sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dulu. Kalau dia datang lagi, biarlah kau beri tahu aku, aku akan menemuinya," kata kakek itu setelah menghela napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.

Malam itu Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamun dan meski pun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu beserta anak itu sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu, tetapi dia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam keluarga pamannya ini.

Setiap kali dia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, pamannya selalu memberi jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan sama sekali tak menjawab ketika dia bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu kelihatan gelisah dan tidak enak kalau mendengar dia bertanya tentang mereka. Apakah yang sudah terjadi dalam keluarga pamannya?

Selagi dia termenung di dalam kamarnya, mendadak dia mendengar suara wanita berkata keras di sebelah luar, arah ruangan dalam di mana dipergunakan sebagai ruangan duduk oleh keluarga itu. Dia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, dia pun keluar dari dalam kamarnya menuju ruangan itu. Di situ dia melihat dan mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya. Dia berhenti di balik pintu dan memandang ke dalam.

Nampak Cia Hui Song sedang berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang. Pamannya itu berdiri sambil menundukkan muka, sementara kakek Cia Kong Liang duduk dengan tubuh lemas dan mukanya agak pucat, berulang kali menarik napas panjang. Dan di hadapan mereka berdiri tegak seorang gadis yang berwajah manis dan cantik, dengan sepasang mata mencorong sedang marah-marah dan menegur dua orang ayah dan anak itu dengan suara lantang!

"Ayah mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apakah kesalahan ibu sehingga Ayah menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga ibu terpaksa meninggalkan tempat ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah? Ibu menderita batin karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati ibu dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan kebahagiaanku sendiri! Kini aku minta pertanggungan jawab dari Ayah!"

Wajah Cia Hui Song sebentar merah dan sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka memandang gadis itu, tetapi segera menunduk kembali dan agaknya sukar baginya untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya itu.

Kakek Cia Kong Liang yang sejak tadi juga tampak sedih sekali mencoba untuk membela puteranya. "Kui Hong, cucuku yang baik, janganlah engkau bersikap seperti itu terhadap ayahmu sendiri! Dia tidak bersalah..."

"Aku tahu, jika Ayah tidak bersalah, ini berarti Kongkong-lah yang bersalah! Ya, aku tahu bahwa Ayah telah menikah lagi karena dia dipaksa oleh Kongkong! Kongkong hanya mau menang sendiri saja, berdalih ingin cucu laki-laki! Apakah cucu perempuan seperti aku ini tidak ada harganya? Kongkong dan Ayah hanya ingin senang sendiri, di atas penderitaan ibuku! Dan juga di atas penderitaan batinku! Kongkong dan Ayah sungguh berdosa besar, sudah melakukan kejahatan terhadap Ibuku dan aku. Akan tetapi aku datang bukan untuk membela diri sendiri, melainkan membela Ibuku! Dia sudah menjadi sengsara, menderita akibat perbuatan kalian! Karena itu aku datang untuk menuntut pertanggungan jawab dari Kongkong, terutama dari Ayah! Ayah adalah seorang laki-laki jantan, seorang pendekar, seorang Ketua Cin-ling-pai, pantaskah kalau melakukan perbuatan seperti itu, menyakiti hati ibuku, isterinya sendiri?"

Mendengar semua ini dan melihat wajah kedua orang laki-laki itu pucat dan bingung, Ling Ling merasa penasaran sekali. Ia kini tahu siapa adanya gadis cantik itu. Tentulah Cia Kui Hong, puteri pamannya yang dikatakan pergi dengan ibunya berkunjung ke Pulau Teratai Merah itu.

Kiranya mereka bukan pergi berkunjung, melainkan Bibi Ceng Sui Cin pergi bersama Kui Hong karena pamannya Cia Hui Song menikah lagi dengan Bibi Siok Bi Nio! Kalau begitu, melihat usia Cia Kui Bu yang kini sudah dua tahun, tentu ibu dan anak itu telah pergi dari Cin-ling-san sedikitnya selama tiga tahun!

Sekarang gadis itu agaknya pulang hanya untuk marah-marah dan menegur ayahnya dan kakeknya, dengan kata-kata keras yang dianggap oleh Ling Ling sudah melampaui batas. Mukanya menjadi merah mendengar semua ucapan Kui Hong yang mencela ayah sendiri dan kakek sendiri itu. Ling Ling lalu melangkah memasuki ruangan itu.

"Maaf, engkau tentu Enci Cia Kui Hong," katanya lembut.

Mendengar ini, gadis itu yang ternyata memang Cia Kui Hong lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Ling Ling. Sebelum dia sempat membuka mulut, Ling Ling sudah mendahului dan melanjutkan kata-katanya yang dikeluarkan dengan nada lembut dan sikap sabar dan ramah, mulutnya dihias senyuman.

"Enci Cia Kui Hong, aku mohon kepadamu, ingatlah siapa yang berada di depanmu, siapa yang kau cela dengan kata-kata keras itu. Enci, mereka adalah ayah kandungmu sendiri dan kakekmu sendiri. Kelak engkau akan merasa menyesal sendiri, Enci. Ingatlah bahwa tidak semestinya kita bersikap seperti itu terhadap ayah sendiri dan kakek sendiri. Segala persoalan dapat dirundingkan dengan hati dan kepala dingin, dengan kata-kata yang halus dan penuh damai..."

Sejak tadi alis Kui Hong sudah berkerut dan sinar matanya menyambar-nyambar marah. Sikap dan ucapan gadis yang tidak dikenalnya itu dianggap membela dan membenarkan ayah dan kakeknya, sekaligus menyalahkan dirinya! Tentu saja hal ini membuat hatinya menjadi makin panas. Bagaimana pun juga dia masih belum berani untuk menggunakan kekerasan menyerang ayahnya sendiri atau kakeknya. Namun gadis ini tidak dikenalnya dan berani menyalahkannya, maka semua kemarahannya kini ditumpahkan kepada gadis itu.

"Berani engkau mencampuri urusan antara aku dengan ayahku sendiri? Siapakah engkau begini lancang?" bentaknya sambil melangkah maju mendekati Ling Ling bagaikan seekor singa betina yang marah. Namun Ling Ling tetap tenang menghadapinya.

"Enci, aku adalah Cia Ling, ayahku adalah Cia Sun dan ibuku Tan Siang Wi. Baru siang tadi aku datang dari tempat tinggal kami di dusun Ciang-si-bun, untuk berkunjung kepada keluarga Cin-ling-pai dan..."

"Cukup! Kau sangka karena itu engkau berhak mencampuri urusanku? Engkau manusia lancang patut dihajar!" bentak Kui Hong.

Semua rasa penasaran dan kemarahan yang membakar dirinya, yang membuat dia ingin sekali menyerang orang akan tetapi ditahan-tahannya karena dia tadi berhadapan dengan ayahnya dan kakeknya, kini ditumpahkan kepada Ling Ling dan dia pun menerjang maju menyerang gadis itu!

Tentu saja Ling Ling langsung mengelak dan menangkis ketika melihat betapa Kui Hong menyerangnya dengan gerakan dahsyat sekali. Melihat ini, Cia Kong Liang diam saja dan menyerahkan urusan ini kepada puteranya, akan tetapi Cia Hui Song juga tidak segera melerai.

Pendekar ini adalah seorang yang suka sekali akan ilmu silat, dan biar pun hatinya seperti ditusuk-tusuk oleh sikap puterinya tadi, bagaimana pun juga dia merasa gembira melihat munculnya Kui Hong dan kini dia hendak melihat sampai di mana pula kelihaian Ling Ling puteri Cia Sun! Maka dia pun diam saja, walau pun dengan penuh perhatian dia mengikuti setiap gerak perkelahian itu sambil berjaga-jaga supaya jangan sampai seorang di antara mereka terluka parah.

Mula-mula Ling Ling yang sama sekali tidak menghendaki adanya perkelahian di antara mereka hanya membela diri saja dengan elakan serta tangkisan. Akan tetapi dia terkejut sekali menghadapi serangan-serangan yang makin lama semakin dahsyat dan berbahaya. Apa lagi karena di pihak Kui Hong, gadis ini merasa penasaran bukan kepalang sesudah beberapa kali serangannya berhasil dihindarkan lawan dengan gesitnya. Rasa penasaran mendatangkan kemarahan, dan Kui Hong memperhebat serangannya dengan jurus-jurus pilihan.

Harus diketahui bahwa selama beberapa tahun ini Kui Hong telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah sehingga gadis ini menjadi lihai bukan main. Kalau dibandingkan dengan tingkat Ling Ling, dia jauh lebih lihai, bahkan kini dia tak kalah lihai dibandingkan ibunya sendiri. Maka, setelah dia mendesak dengan jurus-jurus pilihan, Ling Ling menjadi repot sehingga selain mengelak gadis ini pun terpaksa juga membalas untuk menghindarkan dirinya dari desakan.

Terjadilah perkelahian yang seru. Dua orang gadis yang sama gesitnya, kini saling serang dengan hebat di ruangan yang luas itu, hanya ditonton oleh Cia Hui Song dan Cia Kong Liang. Tidak ada murid Cin-ling-pai yang berani ikut menonton. Semenjak tadi mereka tak berani mendekat.

Pada saat Kui Hong muncul di depan pintu gerbang, para murid sudah terkejut dan girang bukan main. Mereka cepat menyapa dengan hormat dan manis, bahkan segera memberi tahukan ke dalam bahwa ‘Nona Kui Hong’ telah pulang.

Mendengar ini, maka Cia Hui Song dan Cia Kong Liang keluar pula dari kamar mereka sehingga mereka bertemu dengan Kui Hong yang sudah memasuki ruangan itu. Tak ada seorang pun murid atau pelayan di situ berani mendekat, apa lagi mendengar teriakan-teriakan Kui Hong yang marah-marah tadi. Mereka tak akan muncul tanpa dipanggil.

Akhirnya Ling Ling harus mengakui kelihaian Kui Hong. Setelah dua puluh lima jurus dia mulai terdesak hebat oleh jurus-jurus aneh yang digunakan Kui Hong dalam serangannya, yaitu jurus-jurus yang dipelajarinya dari Pulau Teratai Merah. Gadis ini tentu akan roboh dan mungkin terluka hebat kalau perkelahian itu dilanjutkan.

Melihat ini, diam-diam Hui Song terkejut, juga bangga akan kelihaian puterinya. Dia pun dapat menduga bahwa tentu puterinya itu sudah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan menengahi perkelahian itu.

"Sudah cukup, kalian tidak boleh berkelahi lagi!"

Melihat pamannya maju melerai, tentu saja Ling Ling cepat mundur. Akan tetapi Kui Hong menjadi semakin penasaran. Dia berdiri menghadapi ayahnya dengan mata mencorong.

"Hemm, agaknya Ayah bahkan hendak membela orang luar dan memusuhi aku?"

Cia Hui Song menarik napas panjang. Dia merasa berduka sekali melihat sikap puterinya ini, puteri yang amat dicintanya dan dia bisa mengerti akan sakit hati yang diderita dalam batin puterinya. Dia tidak menyalahkan sikap itu, melainkan menyesali nasib sendiri.

Sejenak dia memandang wajah puterinya, lantas terbayanglah semua kebahagiaan dan kemesraan bersama dengan ibu gadis ini, terbayanglah dia betapa sayangnya ketika dia membelai dan menimang gadis ini di waktu kecilnya dahulu, betapa tekunnya dia melatih silat kepada Kui Hong. Anak yang amat mungil dan sangat sayang kepada ayahnya pula. Namun sekarang? Anak ini berdiri bagaikan seekor singa kelaparan, dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kebencian kepadanya. Tak terasa lagi, sepasang mata pendekar ini terasa panas dan menjadi basah.

"Kui Hong, engkau tentu sudah tahu kenapa ibumu pergi meninggalkan aku. Karena aku menikah lagi. Dan engkau tentu tahu pula mengapa aku menikah lagi. Karena kakekmu menghendaki aku memiliki keturunan seorang anak laki-laki. Kui Hong, dalam kehidupan ini ada satu kewajiban yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh seorang laki-laki, yaitu memenuhi harapan utama seorang ayah. Ayahku menghendaki supaya aku memiliki keturunan laki-laki untuk penyambung nama keturunan, itu adalah hal yang wajar. Hidup memang kadang-kadang pahit, tetapi seorang gagah harus berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebaktiannya kepada orang tua. Kini aku sudah memenuhi kewajibanku, aku sudah memperoleh seorang anak laki-laki seperti yang diharapkan ayahku. Kewajibanku terhadap ayahku telah kuselesaikan dengan baik. Aku menikah lagi bukan karena bosan kepada ibumu. Ahh, aku mencinta ibumu, Kui Hong, juga mencintamu. Engkau dan ibumu tentu saja tahu akan hal itu. Apa bila engkau masih merasa penasaran, biarlah kutebus dengan nyawaku supaya kalian puas. Nah, engkau bunuh saja aku kalau engkau anggap ayahmu ini orang yang tidak pantas hidup di dunia ini!"

Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut Cia Hui Song ini! Seorang pendekar besar dan juga seorang ketua Cin-ling-pai, dan semua ucapannya itu sudah menunjukkan betapa tersiksa rasa hatinya menghadapi tuntutan puterinya. Ling Ling sampai menangis mendengar ucapan itu, dan wajah Kakek Cia Kong Liang menjadi pucat sekali, diam-diam menyesal mengapa permintaannya untuk memperoleh penyambung nama keluarga, yang sudah sepatutnya itu, ternyata mendatangkan akibat yang demikian pahit.

Kui Hong berdiri terbelalak. Wajahnya yang tadinya merah itu berubah pucat, jantungnya bagai ditusuk-tusuk saat mendengar ucapan ayahnya itu, kata demi kata seperti meremas batinnya. Apa lagi melihat Ling Ling menangis, tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu lari ke depan dan menubruk ayahnya sambil menjerit.

"Ayaaaahhh...!"

Dan menangislah gadis ini sesenggukan di dada ayahnya dengan mencurahkan seluruh rasa rindunya. Cia Hui Song juga merangkul dan menciumi puterinya itu dengan air mata bercucuran! Selama hidupnya, baru kali ini dia menangis demikian sedihnya.

Cia Kong Liang merasa terharu, akan tetapi juga gembira melihat betapa kekerasan hati cucunya sudah dapat mencair. Dia membiarkan ayah dan anak itu bertangisan sejenak, kemudian dia pun berbatuk-batuk dan berkata,

"Ayahmu benar, cucuku Kui Hong. Dia hanya ingin menyenangkan hati ayahnya. Akulah yang bersalah kalau keinginan seorang kakek tua memperoleh cucu laki-laki penyambung nama keturunan dapat disalahkan. Kalau saja Ibumu tidak terlalu menurutkan kekerasan hatinya, kalau saja dia dapat menerima kenyataan hidup ini, tentu dia tidak akan pergi dan tidak terjadi keretakan di dalam keluarga kita. Ahh, betapa dalam usia tuaku ini aku selalu menyesali sebab dari pada perbuatan-perbuatanku sendiri."

Kui Hong melepaskan rangkulannya pada ayahnya, lalu dia pun menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki kakeknya. Dia teringat betapa sejak dia masih kecil orang tua ini sangat menyayangnya dan sesudah kini dia sadar tentang segala hal yang terjadi, dia pun dapat melihat betapa ibunya juga terlalu keras hati. Dkia pun merasa menyesal atas sikapnya terhadap kakeknya tadi.

"Kongkong, maafkan aku, Kongkong. Aku telah bersikap kurang ajar terhadap Kongkong."

"Sudahlah, Cucuku yang manis. Bangkitlah, bukan kesalahanmu, melainkan kakekmu ini yang bersalah, terlalu menuruti keinginannya sendiri."

Pada waktu itu terdengar suara halus, "Bagus sekali, baru sekarang kakek tua Cia Kong Liang dapat melihat kesalahannya yang telah mendatangkan korban pada banyak orang!"

Semua orang terkejut lantas memandang gadis yang tiba-tiba saja muncul dari ambang pintu itu. Hui Song segera mengenal gadis itu, gadis yang pagi tadi datang minta bertemu dengan ayahnya!

Gadis itu memang Kok Hui Lian! Sudah semenjak tadi dia mengintai ke dalam ruangan itu. Dengan ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat, gadis ini berhasil meloncati pagar tembok tanpa diketahui oleh para anak murid Cin-ling-pai yang berjaga. Para murid itu memang agak lengah akibat kedatangan Kui Hong yang membuat mereka merasa girang. Mereka lalu beramai-ramai membicarakan kemunculan Kui Hong yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita.

Setelah berhasil memasuki gedung itu, Hui Lian menyelinap dan mencari kamar Cia Kong Liang, akan tetapi dia mendengar ribut-ribut di dalam ruangan itu maka dia pun mengintai dan melihat segala yang terjadi di sana. Melihat betapa cucu sendiri mencela ayah dan kakeknya, diam-diam dia merasa gembira dan menonton saja.

Andai kata tadi Kui Hong kalah oleh Ling Ling, tentu dia akan turun tangan membantu Kui Hong yang memusuhi ayah dan kakek sendiri. Akan tetapi Kui Hong menang dan dia pun hanya mengintai saja. Namun tak diduganya bahwa kemudian Kui Hong luluh oleh sikap ayahnya dan melihat ini, Hui Lian merasa tiba saatnya untuk keluar.

"Nona datang lagi secara menggelap, apa kehendakmu, Nona?" tanga Cia Hui Song, siap untuk bertindak.

Hui Lian tersenyum mengejek kepada Cia Kong Liang, akan tetapi dia menjura kepada Hui Song sambil berkata, "Harap Cia Pangcu (Ketua Cia) tidak mencampuri urusanku ini, karena aku hanya berurusan dengan Kakek Cia Kong Liang seorang."

"Tapi dia adalah ayahku!" bantah Hui Song.

"Hui Song, biarkan Nona ini bicara denganku dan jangan mencampuri," kata Cia Kong Liang dan dia sudah bangkit berdiri lalu melangkah maju menghadapi wanita muda yang baru datang ini.

Biar pun usianya sudah enam puluh delapan tahun, namun ketika dia berdiri di depan Hui Lian, tubuhnya masih tegap dan tegak, nampak gagah berwibawa. Akan tetapi sepasang matanya tidaklah angkuh dan keras lagi seperti dahulu, kini matanya bersinar lembut dan mulutnya yang dulu membayangkan kekerasan hatinya, kini membayangkan kesabaran.

"Nona, akulah Cia Kong Liang. Siapakah Nona dan urusan apakah hingga Nona berkeras hendak bertemu denganku?"

Sejenak Hui Lian mengamati kakek itu. Melihat sikap dan ketegakan tubuhnya, masih ada bayangan ketinggian hati kakek itu, pikirnya, akan tetapi sinar matanya amat lembut dan suaranya halus ramah. Apa lagi kalau diingat bahwa kakek ini adalah ayah pendekar Cia Hui Song yang kini telah menjadi ketua Cin-ling-pai, timbul keraguan dalam hatinya untuk menganggap bahwa kakek ini adalah orang kejam yang telah menyebabkan buntungnya lengan kiri suheng-nya, Ciang Su Kiat.

Begitu teringat akan suheng-nya yang buntung, kembali perasaan marah dan penasaran memenuhi hati Hui Lian. Kini sinar matanya kembali mencorong ketika dia memandang pada wajah kakek itu.

"Hemm, kiranya engkau Kakek Cia Kong Liang yang berhati kejam itu! Aku adalah adik seperguruan dari Suheng Ciang Su Kiat dan aku datang untuk menegur kelakuanmu yang jahat dan kejam terhadap suheng sehingga dia terpaksa hidup sebagai seorang manusia cacat, kehilangan sebelah lengannya! Benar-benar sukar dipercaya bahwa seorang ketua perkumpulan sebesar Cin-ling-pai, yang mengaku gagah dan pendekar perkasa, sanggup bertindak sekejam itu, tanpa perkemanusiaan membikin buntung lengan muridnya sendiri! Aku datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi juga mewakili Suheng Ciang Su Kiat minta pertanggungan jawab atas perbuatan kejam itu!"

Semua orang terkejut mendengar ini, lantas memandang kepada Kakek Cia Kong Liang. Kakek ini tidak kelihatan heran, hanya menarik napas panjang karena dia merasa sedih diingatkan tentang peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang silam itu.

Selama ini, setelah wataknya berubah, dia tidak pernah berhenti menyesali perbuatannya yang didasari kekerasan hatinya, terutama buntungnya lengan Ciang Su Kiat. Setelah dia sadar, barulah dia dapat membayangkan betapa kerasnya sikapnya pada waktu itu.

Ciang Su Kiat adalah seorang murid Cin-ling-pai yang baik dan berbakat. Pada suatu hari, ayah dari Ciang Su Kiat mencuri perhiasan untuk dijual, agar hasilnya bisa dipakai untuk mengobati isteri serta anak bungsunya yang sedang sakit keras. Dia kemudian ditangkap dan disiksa oleh seorang pembesar, Coan Tihu, sehingga orang tua itu menemui ajalnya.

Ciang Su Kiat mengamuk dan menyerbu gedung tihu untuk membunuh Coan Tihu, akan tetapi usahanya tak berhasil dan dia dikeroyok para pengawal, melarikan diri dan menjadi buronan. Karena dia dikenal sebagai murid Cin-ling-pai maka tentu saja Coan Tihu lalu menegur pimpinan Cin-ling-pai dan menuntut diserahkannya Ciang Su Kiat.

Ketika itu, sebagai Ketua Cin-ling-pai Cia Kong Liang bersikap keras dan tegas hendak menangkap dan menyerahkan Ciang Su Kiat kepada pembesar itu, tanpa mempedulikan alasan kenapa murid itu mengamuk. Su Kiat mencela peraturan Cin-ling-pai, kemudian di depan ketua yang juga menjadi gurunya itu, dia membuntungi lengan kirinya sendiri! Akan tetapi, walau pun sudah demikian, tetap saja Cia Kong Liang hendak menyerahkan murid itu kepada Coan Tihu! Karena putus asa, hampir saja Su Kiat membunuh diri.

Akan tetapi pada saat itu, muncul Hui Song yang mencegah perbuatannya, bahkan Hui Song mengajak Su Kiat pergi ke gedung Coan Tihu. Di sana dia meninggalkan buntungan lengannya, kemudian Su Kiat disuruh melarikan diri oleh Hui Song.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar