Pendekar Mata Keranjang Jilid 49

Di samping kekagumannya, Hay Hay juga merasa amat berduka. Sungguh menyedihkan sebab baru saja mereka saling mencurahkan kasih sayang dan kemesraan, malah hampir saja terjadi hubungan yang lebih mendalam antara mereka, tetapi kini mereka telah saling serang dan agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk saling membunuh!

"Enci Lian, engkau tidak adil, hentikanlah seranganmu...!" berkali-kali Hay Hay memohon. Akan tetapi Hui Lian tidak mempedulikan semua ucapannya, bahkan justru memperhebat serangannya.

"Cappp...!"

Ujung pedang Kok-hwa-kiam berhasil melukai pangkal lengan kiri Hay Hay. Robeklah baju di bagian itu dan segera nampak darah membasahi kain yang terobek. Hay Hay terhuyung dan jatuh terduduk, bersandar dinding goa. Dia lalu menancapkan suling di atas lantai.

"Enci Lian, kalau engkau memang menghendaki nyawaku. Bunuhlah aku! Aku tidak akan melawanmu lagi." Dia pun bersedakap dan pasrah.

Hui Lian menahan pedangnya, berdiri dan menodongkan pedangnya, napasnya terengah, matanya berkilat memandang pemuda itu. "Hay Hay, bangkitlah! Demi Tuhan, kubunuh engkau kalau tidak bangkit melawan!"

"Hemm, mengapa kita harus saling membunuh?"

"Keparat! Engkau... engkau telah menghinaku, telah menolakku, sesudah menggodaku... engkau... sungguh memandang rendah padaku!"

Hay Hay menarik napas panjang. "Enci Lian, aku kagum padamu, aku juga... amat suka padamu, bagaimana mungkin aku berani menghinamu? Enci Lian, bukankah kita berdua sudah membuktikan bahwa kita saling suka? Kalau bicara tentang kesalahan, maka kita berdualah yang bersalah, kita berdua yang lemah. Bahkan menurut aku, kita berdua tidak bersalah, yang bersalah adalah iblis dalam goa ini yang telah membuat kita lupa diri. Enci Lian, aku tak pernah menghinamu, melainkan memperingatkanmu bahwa kita telah salah tindak, kita hanya menuruti nafsu birahi belaka... kalau hal itu kau anggap bersalah, nah, kau bunuhlah aku...!"

Kemarahan yang menyelubungi batin Hui Lian sudah menipis dan kini dia pun mulai dapat menembus seluruh selubung amarah itu dan melihat keadaan yang sebenarnya. Pemuda ini bukan mempermainkannya, bahkan mengingatkan! Hay Hay tidak menghinanya, sama sekali tidak. Lemaslah seluruh tubuhnya.

"Tranggg...!"

Pedang Kiok-hwa-kiam terlepas dari tangannya lantas jatuh ke atas lantai batu. Tubuhnya terhuyung ke depan dan dia pun sudah menubruk Hay Hay, merangkul lantas menangis terisak-isak!

Legalah rasa hati Hay Hay. Dia pun balas merangkul, membelai rambutnya dan dengan rasa sayang dia mencium dahi yang halus itu. Kembali dia dibikin kagum oleh keharuman ketika hidungnya menjadi agak basah oleh keringat di dahi itu. Luar biasa, pikirnya. Gadis ini benar-benar memiliki keringat yang harum!

"Enci Lian, tenangkan hatimu!" Hay Hay menghibur dengan ramah sekali. "Engkau tentu dapat merasakan betapa aku sayang kepadamu, aku suka kepadamu dan engkau adalah seorang wanita yang amat hebat, yang paling hebat di antara semua wanita yang pernah kujumpai. Akan tetapi kita berdua harus waspada, Enci. Sebagai orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kegagahan kita harus kuat menahan dorongan gairah serta nafsu yang dapat menyeret kita ke dalam perbuatan sesat yang akhirnya hanya akan menimbulkan penyesalan belaka."

Kagum bukan main hati Hui Lian mendengar ucapan pemuda ini. Seorang pemuda yang masih begini muda, namun memiliki pandangan yang demikian luasnya.

"Hubungan badan hanya patut dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, Enci yang baik, dan hanya baik dilakukan oleh sepasang suami isteri. Kita bukan suami isteri, dan biar pun ada rasa suka dan kagum, harus diakui bahwa tidak ada perasaan cinta seperti itu dalam hatiku. Aku hanya mau melakukan hal itu dengan seorang wanita yang kucinta, sebagai isteriku. Nah, kini engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak menghinamu, malah menghormati dan menghargai dirimu, Enci, agar kita tidak sampai mabok dan tenggelam ke dalam jurang kehinaan dengan melakukan perbuatan aib."

Hui Lian menghentikan tangisnya. Dengan pengerahan sinkang-nya dia tadi telah berhasil mengusir pula gairah nafsu yang menguasai batinnya. Kini dia dapat melihat dengan jelas betapa mulia hati pemuda ini yang tak ingin menyeretnya ke dalam perbuatan tercela. Dia pun tahu bahwa dia tak mencintai pemuda ini, melainkan tadi hanya terdorong oleh nafsu birahi belaka.

"Terima kasih, Hay-te... terima kasih, dan kau maafkan aku..."

"Aihh, akulah yang harus minta maaf, Enci. Atau kita berdua tadi telah menjadi lemah dan kita berdua yang bersalah. Sudahlah, Enci, kita tetap menjadi sahabat baik dan selama hidup aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang luar biasa, cantik menarik dan gagah perkasa, juga berhati mulia..."

"Jangan terlampau memuji, Hay-te, aku hanya seorang perempuan yang bernasib malang. Engkau tidak tahu bahwa semuda ini aku telah menjanda sampai dua kali..."

"Ahh...! Aku tidak percaya, Enci!" Hay Hay benar-benar terkejut dan heran, tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang wanita sehebat ini sampai menjanda dua kali? Laki-laki tolol barang kali yang menjadi suami-suaminya itu.

Hui Lian tersenyum, senyum pahit akan tetapi senyum itu menunjukkan bahwa keadaan batinnya telah normal kembali, semua sisa-sisa penyesalan karena peristiwa tadi agaknya sudah berhasil dilenyapkan.

"Tidak percaya namun kenyataannya memang demikian, Hay-te."

Hui Lian lalu menceritakan tentang perkawinannya dengan Tee Sun, putera kepala daerah dusun Hek-bun yang amat pencemburu itu. Betapa pernikahan pertama ini, yang hanya dia lakukan untuk menyenangkan hati suheng-nya yang menjadi pengganti orang tuanya, telah gagal dan berakhir dengan perceraian karena suami pertama itu terlalu pencemburu sehingga hal itu menyiksa batinnya.

Kemudian dia jatuh oleh rayuan seorang laki-laki lainnya, yaitu Su Ta Touw yang menjadi suaminya ke dua. Betapa kemudian ternyata bahwa suaminya itu seorang laki-laki mata keranjang, perayu dan perusak wanita, termasuk wanita isteri orang sehingga kembali dia terpaksa bercerai dari suaminya yang ke dua itu.

"Sejak itu aku tidak ingin menikah lagi, Hay-te, bahkan aku mulai menaruh rasa tidak suka terhadap kaum pria yang kuanggap palsu dan perayu belaka. Akan tetapi ketika bertemu denganmu, aku... aku telah lupa diri..."

Hay Hay tersenyum. "Laki-laki mana pun tentu akan terpesona oleh kecantikanmu, Enci Lian. Engkau cantik jelita dan yang istimewa padamu adalah bau harum keringatmu. Aku sendiri pun terpesona dan tergila-gila."

"Ihhh, engkau mencoba untuk merayu lagi? Dasar engkau tukang merayu!" kata Hui Lian, akan tetapi sekali ini sambil tersenyum.

"Bukan merayu, Enci. Terus terang saja, aku sangat suka dengan keindahan, dan wajah seorang wanita, juga bentuk tubuhnya merupakan suatu keindahan yang amat luar biasa bagiku. Kalau aku memujimu, itu bukan merayu, melainkan bicara dengan sejujurnya!"

Hui Lian bangkit berdiri. "Sudah, Hay-te, kalau engkau memuji terus, aku akan keluar dari goa ini dan pergi sekarang juga. Pujian-pujianmu ini merupakan godaan yang akan dapat membuat aku mabok lagi."

Hay Hay cepat berdiri dan memberi hormat. "Maafkan, maafkan aku, Enci Lian. Baiklah, aku berjanji, aku bersumpah, tidak akan memujimu lagi dengan mulut, melainkan di dalam hati saja."

Hui Lian tersenyum lagi. "Tidak perlu engkau bersumpah, anak nakal! Cukup berjanji saja, dan mulai saat ini aku menganggap engkau sebagai adikku sendiri!"

"Terima kasih, Enci-ku yang baik. Nah, engkau tidurlah. Luka-luka itu baru saja sembuh, engkau perlu beristirahat."

"Engkau juga baru saja sembuh dari lukamu. Biarlah engkau yang tidur dulu dan aku yang berjaga, nanti bergantian."

"Engkau dulu, Enci."

"Tidak! Engkau adikku bukan? Nah, seorang Enci harus mengalah, maka biarlah Si Adik tidur dulu dan Si Enci menjaganya."

"Tapi aku bukan adik yang masih kecil. Dan meski pun engkau lebih tua, namun engkau adalah wanita. Tidurlah, Enci dan jangan sungkan. Nanti boleh kita berganti tugas."

Akhirnya Hui Lian yang memang merasa lelah sekali itu mau mengalah, dan dia pun tidur di dekat api unggun, sedangkan Hay Hay duduk bersila sambil berjaga.

Sebentar kemudian Hui Lian telah tidur pulas. Napasnya halus dan panjang tanda bahwa tidurnya amat nyenyak. Hay Hay mengambil sehelai selimut dari buntalan pakaiannya dan menyelimuti tubuh wanita itu, kemudian dia duduk termenung sambil memandang wajah yang manis itu.

Dia menarik napas panjang. Sudah dua kali dia mengalami hal yang sama. Pertama kali dengan Ji Sun Bi. Akan tetapi ketika dia bermesraan dengan Ji Sun Bi, dia tergoda oleh rayuan wanita iblis itu dan mudah dia menyingkir ketika Ji Sun Bi memperlihatkan sikap hendak bertindak lebih dari pada sekedar cumbuan belaka.

Namun ketika tadi dia bercumbuan dengan Hui Lian, keadaan mereka berdua sama saja, sama-sama tenggelam dan terseret oleh gairah nafsu birahi mereka. Sungguh berbahaya, pikirnya, membayangkan betapa mereka tadi sudah berada di tepi jurang dan keduanya nyaris terjerumus ke dalam jurang.

Bagaimana seandainya tadi terjadi? Dia tentu harus menjadi suami Hui Lian! Kalau tidak, mereka berdua tentu akan selalu dibayangi perasaan kotor dan hina! Celaka kalau sudah begitu, pikirnya bergidik.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa cinta antara pria dengan wanita harus dibuktikan dengan sex. Akan tetapi, tepatkah pendapat ini? Memang harus diakui bahwa hubungan sex harus didasari cinta kasih, sebab kalau tidak demikian, maka hubungan sex menjadi semacam pengejaran kenikmatan saja, menjadi pemuasan dan pemanjaan nafsu birahi belaka.

Hubungan sex tanpa cinta kasih seperti itu terjadi di dalam pelacuran, dalam perkosaan, dan jelaslah bahwa hubungan seperti itu hanya akan menimbulkan duka sebagai imbalan dari pada kesenangan yang diperoleh darinya. Hubungan sex tanpa cinta kasih menjadi suatu hubungan yang kotor.

Sebaliknya, hubungan sex yang dilandasi cinta kasih merupakan sesuatu yang indah dan bersih, merupakan pencurahan kasih sayang antara dua manusia yang saling mencinta, dan hubungan semacam ini menjadi sarana penciptaan manusla baru yang sempurna. Jelaslah bahwa sex bukanlah cinta! Ada cinta kasih yang sama sekali tidak mengandung gairah sex, misalnya cinta kasih antara saudara, antara anak dengan orang tua, antara sahabat.

Lewat tengah malam Hui Lian terbangun dari tidurnya dan ia berganti jaga, menyuruh Hay Hay beristirahat. Karena dia pun merasa amat lelah, sebentar saja Hay Hay tertidur pulas dan kini giliran Hui Lian duduk termenung dekat api unggun sambil mengamati wajah Hay Hay.

Saat teringat akan peristiwa yang baru saja terjadi, wajah Hui Lian menjadi merah dengan sendirinya. Dia memang haus akan belaian seorang pria, rindu kepada seorang pria yang mencintanya. Biar pun Hay Hay seorang pemuda yang tampan gagah dan menarik hati, tetapi kini dia merasa yakin bahwa bukan Hay Hay orang yang dirindukannya itu! Pemuda ini jauh lebih muda darinya, dan dia tidak bisa membayangkan kebahagiaan hidup dengan seorang suami yang masih demikian muda, sepuluh tahun lebih muda darinya!

Tak bisa disangkal bahwa dia suka kepada Hay Hay, karena dia tampan, gagah dan lucu, suka mempunyai Hay Hay sebagai sahabat, sebagai adik, namun bukan sebagai suami! Diam-diam dia bersyukur bahwa Hay Hay yang tadi juga telah terseret arus memabokkan dapat sadar dan mencegah terjadinya hubungan badan yang akibatnya tentu hanya akan membuat mereka berdua merasa malu dan menyesal.

Dia lalu mengenang kembali pernikahannya dengan dua orang pria itu. Pernikahan yang pertama terjadi karena dia ingin berbakti kepada suheng-nya. Dan pernikahan tanpa cinta itu gagal. Kemudian muncullah Su Ta Touw, dan dia pun jatuh oleh rayuan pemburu yang tinggi kurus dan pincang itu.

Su Ta Touw tidak tampan, namun pandai merayu dan dia pun jatuh dan menjadi isterinya. Tanpa cinta pula, hanya sekedar nafsu yang dibangkitkan oleh rayuan pria itu. Gagal lagi! Ahhh, betapa dia merindukan seorang lelaki yang sungguh-sungguh dicintanya! Dan yang sungguh-sungguh mencintanya!

Akhirnya perasaan kesepian dan duka membawa Hui Lian tidur pulas dan dalam tidurnya beberapa kali dia mengerang serta mengeluh sehingga Hay Hay terbangun dari tidurnya dan cepat menghampiri. Hay Hay memandang dengan perasaan iba.

Dia kagum sekali kepada wanita ini, dan alangkah mudahnya jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Hui Lian. Heran sekali dia memikirkan bagaimana seorang wanita seperti Hui Lian sampai dua kali gagal dalam membina rumah tangga. Tentu dua orang laki-laki yang pernah menjadi suaminya itu merupakan orang-orang yang tidak benar dan agaknya memang tidak secara murni mencinta wanita ini.

Betapa pun cantiknya seorang wanita, kalau tanpa ada cinta di dalam hati, maka setelah menjadi milik seorang pria, lambat laun wanita itu akan kehilangan daya tarik kecantikan yang dimilikinya. Nafsu mendatangkan kebosanan, dan nafsu selalu haus akan sesuatu yang baru.

"Kasihan engkau, Enci Lian. Semoga engkau akan segera bertemu dengan seorang pria yang benar-benar mencintamu dan dapat hidup berbahagia bersamanya." Diam-diam dia mengeluh dan berdoa.

Hari telah terang ketika Hui Lian terbangun. Kini tubuh mereka sudah segar kembali. Dia menggeliat dan membuka mata, melihat Hay Hay masih duduk di dalam goa, akan tetapi api unggun sudah padam dan pemuda itu duduk di mulut goa, menghadap keluar. Ketika dia bergerak, agaknya Hay Hay mendengar lantas menengok. Kiranya pemuda itu sudah nampak segar dengan rambut masih basah.

"Wah, engkau sudah mandi rupanya! Di mana ada air di tempat ini, Hay-te?"

"Di luar goa, tidak jauh dari sini, di sebelah kiri goa."

"Aku hendak mandi!" kata Hui Lian sambil melompat bangun dan keluar dari dalam goa. Hay Hay menunjukkan sumber air itu, kemudian dia pun kembali ke goa, menanti Hui Lian yang membersihkan badan dengan air sumber yang dingin sejuk itu

Mendengar suara air ketika wanita itu mandi, tidak jauh dari situ, hanya terhalang dengan batu-batu besar, berdebar rasa jantung Hay Hay. Dia membayangkan wanita yang cantik dan keringatnya harum itu mandi bertelanjang bulat di bawah air jernih yang menyiram seluruh tubuhnya yang indah! Gairahnya langsung timbul dan hanya dengan pengerahan tenaga batinnya saja dia dapat menahan diri untuk tidak mendekat dan mengintai!

Nafsu birahi, seperti juga segala nafsu yang silih berganti menguasai diri manusia seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-ingat, membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang lain, segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Dan ingatan tentang bayangan-bayangan yang diciptakan oleh pikiran inilah yang sesungguhnya menimbulkan gairah nafsu!

Untuk membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita lalu diajarkan untuk mengekang dan mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil kalau yang mengendalikan itu pun pikiran kita sendiri?

Nafsu merupakan hasil pemikiran, sedangkan keinginan mengendalikan juga timbul dari pikiran setelah melihat akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya, pengendalian itu didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari nafsu. Kalau dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul dikendalikan, tidur sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada habisnya sampai kita mati!

Setelah kita tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak melenyapkan sumbernya saja? Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran memang penting bagi hidup, melainkan menggunakan pikiran untuk hal-hal yang bermanfaat dan membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang hal-hal yang akan menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri hati, dan sebagainya. Bukan timbul dari keinginan untuk membersihkan pikiran, melainkan membiarkan pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan terhadap pikiran sendiri, terhadap nafsu yang timbul dalam pikiran. Pengamatan saja tanpa usaha pengekangan, tanpa usaha merubah, tanpa menilai.

Pengamatan ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran sehingga akan mendatangkan perubahan. Pengamatan secara waspada akan membebaskan pikiran kita dari perbuatan yang menyeleweng. Perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di dalam dan luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.

Hui Lian muncul dari balik batu-batu besar. Segar, bersih, rambutnya yang terurai lepas masih basah. Sinar matahari pagi menimpanya, menerangi wajahnya, dan Hay Hay pun terpesona.

Wanita itu demikian cantik, kedua pipinya yang agaknya tadi digosok keras ketika mandi, pada tonjolan pipi di bawah mata, menjadi kemerahan laksana diberi pemerah kulit saja, namun segar tidak seperti kalau dirias. Bibirnya segar merah membasah, dan kulit muka dan lehernya demikian putih bersih. Rambutnya demikian hitam dan seolah-olah ada sinar cerah mengelilingi seluruh kepada wanita itu.

"Haiii... engkau kenapa, Hay-te? Kenapa engkau memandangku seperti itu? Dengan mata terbelalak dan mulut celangap, melongo seperti orang keheranan. Ada apa sih?"

Hay Hay menarik napas panjang. "Aduhhh, Enci Lian. Jika aku belum mengenalmu, tentu engkau kukira Dewi Pagi sendiri yang baru turun dari langit!"

"Ehh? Apa maksudmu? Aneh-aneh saja engkau ini!"

"Engkau demikian cantik, demikian anggun, demikian agung! Wahai... sungguh mati, Enci Lian, engkau wanita paling cantik yang pernah kulihat di dunia ini...!"

Sepasang mata itu terbelalak, kedua pipinya menjadi makin merah, akan tetapi Hui Lian tidak marah, bahkan tertawa terkekeh geli sampai dia menutupi mulut dengan tangannya.

"Hayaaaa, wanita yang menjadi isterimu tidak perlu kau beri makan lagi, Hay-te."

"Ehh, kenapa begitu?"

"Cukup dengan pujian dan sanjunganmu saja. Pagi sarapan pujian, siang makan rayuan, malam makan sanjungan, maka kenyanglah dia! Engkau sungguh seorang laki-laki mata keranjang dan perayu wanita nomor satu di dunia ini!"

Hay Hay tersenyum. "Enci, apakah salah kalau aku memuji sesuatu yang memang amat indah? Aku suka dengan keindahan dan aku melihat keindahan di mana-mana, terutama sekali pada diri dan wajah seorang wanita. Demikian sempurna, lekuk-lengkungnya, garis-garisnya, demikian... ahh, sukar aku menceritakan dengan kata-kata..."

Sejenak Hui Lian menatap wajah pemuda itu, sambil melangkah dekat, kemudian dia pun duduk di hadapan Hay Hay, di atas batu di luar goa dan sikapnya menjadi serius. "Hay-te, kalau boleh aku menasehatimu, sebaiknya kalau engkau lekas mencari jodoh dan kawin saja."

Hay Hay yang melihat sikap serius juga mendengarkan dengan serius, dan dia terkejut, memandang dengan heran. "Mengapa begitu, Enci Lian?"

"Karena kalau tidak, akan berbahaya jadinya."

"Ehh? Kenapa?"

"Engkau seorang pemuda yang berwajah tampan, ganteng, tetapi yang paling berbahaya adalah watakmu yang demikian pandai merayu wanita. Setiap wanita pasti akan jatuh hati jika bertemu dan berkenalan denganmu, dan hal ini amat tidak baik karena akhirnya akan timbul kesalah pahaman dan engkau disangka orang penggoda wanita. Apa bila engkau sudah kawin, berarti akan ada seorang wanita di sisimu, dan mungkin hal itu akan dapat mengobatimu dari penyakitmu itu."

"Penyakit? Aku tidak sakit!"

"Maksudku, penyakit mata keranjang itulah."

Hay Hay yang tadinya memandang serius dan agak khawatir, sekarang tertawa geli dan gembira. "Ha-ha-ha-ha, engkau aneh benar, Enci Lian. Bagaimana bisa orang didorong-dorong kawin? Kawin haruslah berdasarkan cinta, dan sampai saat ini belum ada wanita yang kucinta. Mengenai penyakit itu, ahh..., aku tidak menganggapnya sebagai penyakit. Salahkah jika aku suka kepada wanita, kagum dengan tulus hati, bukan karena pengaruh nafsu? Siapa dapat menyalahkan orang yang suka dengan kembang yang indah? Bagiku, wanita bagaikan bunga. Seperti engkau ini, Enci. Engkau seperti setangkai bunga teratai yang amat indah. Lihatlah sepasang matamu, demikian jernih dan jeli seperti mata seekor burung merpati. Wajahmu berbentuk demikian manis, memiliki daya tarik yang amat kuat, terutama sekali bibirmu yang segar merah membasah, kedua pipimu kemerahan laksana kelopak teratai bermandi embun, rambutmu..."

"Stop! Stop!" Hui Lian berseru sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua tangan, akan tetapi sambil tertawa. "Lihat itu! Setiap kali membuka mulut, terus saja memuji-muji! Engkau benar-benar pria mata keranjang nomor satu di dunia, belum pernah aku bertemu dengan laki-laki seperti engkau, Hay-te. Kalau seseorang memuji wanita, maka biasanya tentu ada udang di balik batu, ada maunya. Pria merayu untuk menjatuhkan hati wanita, namun engkau tidak demikian. Engkau memuji-muji karena memang engkau mengagumi wanita, akan tetapi pujianmu mengalahkan segala perayu-perayu wanita yang berpamrih menjatuhkan dan menguasai."

"Kenapa engkau menutupi telingamu tadi, Enci Lian? Apakah... apakah kata-kataku tidak menyenangkan? Apakah engkau tidak senang kalau kecantikanmu kugambarkan dengan sejujurnya?"

Kembali Hui Lian tertawa. "Tidak senang? Hi-hi-hik, hati wanita manakah di dunia ini yang tidak senang mendengar pujian, apa lagi kalau pujian itu diucapkan sedemikian indahnya oleh seorang pemuda yang seganteng engkau? Aku hanya takut kalau-kalau akan jatuh pingsan dan menjadi lemas karena pujianmu yang melangit itu. Sudahlah, Hay-te, kini tiba saatnya kita berpisah."

"Berpisah? Mengapa, Enci?" Hay Hay terbelalak memandang seperti orang yang sangat terkejut. Demikian menyenangkan keadaan wanita itu sehingga ketika mendengar bahwa mereka harus saling berpisah, dia terkejut sekali.

Melihat keadaan pemuda itu, Hui Lian pun tersenyum. "Anak bodoh, kita bukan apa-apa, hanya kebetulan bertemu di jalan dan menjadi sahabat. Apa kau sangka kita harus terus begini dan tidak pernah saling berpisah? Kita masing-masjng mempunyai urusan sendiri dan aku harus melanjutkan perjalananku. Sudah terlalu lama perjalananku tertunda oleh ulah gerombolan penjahat itu."

"Akan tetapi, Enci Lian." Hay Hay yang masih ingin terus bersama wanita itu membantah, "urusan kita dengan gerombolan itu belum selesai! Kita telah mereka lukai dan mereka itu jahat sekali. Apakah engkau tak ingin menyerbu lagi ke sana dan membasmi orang-orang jahat itu? Kalau mereka itu dibiarkan merajalela, tentu mereka hanya akan mendatangkan kekacauan dan mengganggu rakyat yang tidak berdosa."

"Engkau benar, Hay-te, dan memang sudah sepatutnya kalau kita membasmi gerombolan itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa pada saat ini aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting yang harus kuselesaikan lebih dahulu. Oleh karena itu, selamat berpisah, Hay-te, dan terima kasih atas segalanya. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu pula." Setelah berkata demikian, Hui Lian melompat ke dalam goa, mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung, kemudian dia pun keluar kembali dan setelah memandang sejenak kepada Hay Hay yang sudah bangkit berdiri, dia pun meloncat pergi.

"Enci Lian...!" Hay Hay memanggil sambil mengejar. Hui Lian berhenti dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri saling pandang dan Hay Hay melangkah menghampiri.

"Ada apa, Hay-te?" Hui Lian bertanya manis, diam-diam dia pun merasa kecewa bahwa dia harus berpisah dari pemuda yang amat menyenangkan hatinya ini.

"Enci, sesudah apa yang kita alami bersama, walau pun dalam waktu singkat, sejak dari sayembara suku bangsa Miao itu hingga kita dikeroyok oleh gerombolan penjahat dan kita hampir tewas, setelah semua itu, apakah kini kita harus saling berpisah secara demikian mendadak? Enci, hatiku terasa sangat sedih dan seperti terbetot ketika engkau tadi pergi meninggalkan aku."

"Hay-te, ada pertemuan tentu ada perpisahan, hal seperti itu sudah lumrah bukan? Kita dapat bersyukur bahwa kita berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik dan aku yakin bahwa kelak kita pasti akan dapat saling berjumpa pula." Wanita itu lantas menarik napas panjang sambil menyentuh lengan Hay Hay. "Nah, selamat tinggal Hay-te, jangan murung seperti anak kecil. Ingat bahwa engkau sudah dewasa dan engkau pemuda ganteng mata keranjang perayu wanita nomor satu di dunia!" Hui Lian berkelakar untuk membuat hati sahabat barunya itu gembira, sambil membalik lagi untuk pergi.

Hay Hay memegang tangannya sehingga wanita itu kembali membalik dan memandang bingung. "Enci, sebelum kita berpisah, sebelum engkau meninggalkan aku, aku... ingin... aku ingin minta sesuatu darimu, bolehkah?"

Hui Lian memandang sambil tersenyum manis, deretan giginya mengintai dari balik bibir yang merah. "Minta apakah, adikku yang baik?"

"Aku... aku ingin menciummu untuk kujadikan kenangan tentang dirimu, Enci. Bolehkah? Jangan... jangan marah lagi..." Hay Hay kelihatan khawatir kalau-kalau wanita itu menjadi marah.

Akan tetapi Hui Lian tidak marah. Dia sudah mulai mengenal watak pemuda ugal-ugalan ini. Seorang pemuda yang romantis sekali, namun berhati baja dan kuat mempertahankan kebenaran, tidak mudah tersesat. Dia tersenyum lantas mengajukan pipinya. "Tentu saja boleh. Nah, ciumlah!" katanya.

Melihat wanita itu menyerahkan atau menyodorkan pipinya yang kemerahan itu, Hay Hay girang sekali. Ia maju merangkul dan mencium pipi yang hangat itu. Diciumnya kedua pipi Hui Lian, kemudian bibirnya dan terdengar Hui Lian merintih kemudian wanita ini balas merangkul dan mencium Hay Hay penuh nafsu bernyala.

Mula-mula tadi dia seperti berkelakar menyodorkan pipinya, namun ciuman-ciuman Hay Hay itu ternyata secara wajar membangkitkan gairahnya dan kini dialah yang menyerang. Hay Hay mencium leher Hui Lian dan menghisap keharuman keringat di leher itu.

“Sudah... cukup... cukup!" Hui Lian terengah-engah, kedua matanya terpejam dan walau pun dia membisikkan kata-kata itu, tetapi kedua lengannya tetap saja merangkul. Dengan lembut Hay Hay melepaskan pelukannya dan melepaskan lingkaran dua lengan Hui Lian yang bagaikan dua ekor ular membelit lehernya.

"Terima kasih, Enci Hui Lian. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan engkau, Enci. Engkau sahabatku yang paling baik dan semoga Thian memberkahimu, semoga engkau akan mendapat seorang jodoh yang benar-benar mencintamu dan semoga engkau hidup berbahagia."

Sampai beberapa saat lamanya Hui Lian masih memejamkan mata dan terengah-engah, kemudian dia dapat menguasai dirinya dan membuka mata, memandang wajah Hay Hay. "Aihhh, Hay-te, engkau sungguh seorang laki-laki yang berbahaya sekali. Selamat tinggal, Hay-te, aku pun selamanya tidak akan pernah melupakanmu. Selamat tinggal!" Wanita itu meloncat lantas berkelebat lenyap, diikuti pandang mata Hay Hay yang tiba-tiba menjadi agak basah.

Entah mengapa, dia merasa kasihan sekali kepada wanita itu, dan harus diakuinya bahwa berdekatan dengan wanita itu pun merupakan ancaman bahaya yang amat besar baginya. Setiap kali menyentuh Hui Lian, dia langsung diserang oleh gairah yang sangat kuat, dan hanya setelah mengerahkan seluruh tenaganya saja dia baru dapat mempertahankan diri.

Malam tadi dia nyaris tergelincir, bahkan saat mereka berciuman tadi, nyaris dia tak kuat bertahan! Memang sebaiknya kalau mereka saling berpisah! Dia pun mengambil buntalan pakaiannya dan meninggalkan goa itu…..

********************

Di puncak sebuah di antara bukit-bukit Pegunungan Cin-ling-pai berdiri megah bangunan-bangunan yang dikenal sebagai pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Seperti telah kita ketahui, sudah terjadi perubahan besar dalam keluarga Cia, yaitu keluarga yang menjadi pimpinan perkumpulan Cin-ling-pai.

Di dunia persilatan, perkumpulan Cin-ling-pai amat terkenal semenjak puluhan tahun yang lalu, maka tidak aneh kalau perkembangan dan perubahan dalam perkumpulan ini diikuti orang-orang kang-ouw dan merupakan berita yang menarik bagi mereka.

Meski pun tidak ada orang yang dapat mengetahui sebabnya, akan tetapi dunia kang-ouw mendengar bahwa menantu dari Ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar wanita Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis, telah pergi meninggalkan Cin-ling-pai, meninggalkan keluarga suaminya dan pergi bersama puterinya, anak tunggalnya, yaitu Cia Kui Hong.

Semenjak itu tidak ada lagi yang mendengar berita tentang ibu dan anak ini, akan tetapi keadaan keluarga Ketua Cin-ling-pai selalu diperhatikan orang. Tahulah dunia kang-ouw bahwa Cia Hui Song, putera tunggal Ketua Cin-ling-pai, kini menikah lagi dengan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang bernama Siok Bi Nio, seorang gadis biasa, dan isteri baru ini setahun kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Cia Kui Bu. Dan sejak isteri barunya melahirkan seorang putera, Ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang menyerahkan kedudukan ketua perkumpulan itu kepada puteranya, pendekar Cia Hui Song.

Pendekar Cia Hui Song berusia empat puluh dua tahun ketika oleh ayahnya dia diserahi tugas sebagai Ketua Cin-ling-pai. Walau pun di perguruan silat atau perkumpulan silat itu ada peraturan bahwa yang berhak menjadi ketua haruslah tokoh terlihai dari Cin-ling-pai, akan tetapi ketika Cia Kong Liang mengundurkan diri dan mengumumkan bahwa Cia Hui Song menjadi ketua baru, tidak ada yang berani maju untuk menguji kepandaian Cia Hui Song.

Semua tokoh dan murid Cin-ling-pai tahu belaka siapa adanya Cia Hui Song. Dalam ilmu silat, pendekar ini bahkan jauh melampaui kelihaian ayahnya, maka siapakah yang berani mengujinya?

Selain mewarisi semua ilmu silat Cin-ling-pai dengan baiknya, pendekar ini juga mewarisi banyak ilmu sakti dari mendiang Siang-kiang Lojin, yakni salah seorang di antara tokoh atau datuk sakti yang terkenal sebagai Delapan Dewa! Maka, pengangkatan Cia Hui Song sebagai Ketua Cin-ling-pai disambut gembira oleh para murid, karena tentu ketua baru ini akan mengajarkan pula ilmu-ilmu silatnya yang tinggi itu demi kemajuan perkumpulan dan kemajuan para murid pula.

Pada saat Ceng Sui Cin, isterinya yang amat dicintanya, pergi meninggalkan Cin-ling-san bersama puteri tunggal mereka, pendekar Cia Hui Song tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang hebat, yang membuatnya jatuh sakit sampai lebih dari sebulan lamanya. Akan tetapi, sebagai seorang anak tunggal yang berbakti, dia mentaati kehendak ayahnya dan dia pun tidak membantah ketika dinikahkan dengan Siok Bi Nio, seorang gadis muda yang usianya separuh usianya sendiri.

Seperti semua perasaan, duka dan penyesalan tercipta dari pikiran dan apa yang timbul dari pikiran tidaklah dapat bertahan lama. Sang Waktu akan menenggelamkannya, akan melahapnya.

Demikian pula dengan kedukaan yang meliputi hati Cia Hui Song ketika dia ditinggal pergi oleh isterinya dan puterinya. Selama berbulan-bulan dia memang selalu tampak melamun dalam duka, akan tetapi lambat laun, apa lagi setelah isteri barunya melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat, luka di hatinya akibat kepergian Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong menipis, mengering dan sembuh. Malah sekarang hanya kadang-kadang saja dia teringat kepada isteri dan anaknya itu, yang dia tahu tentu kembali ke Pulau Teratai Merah, dan kalau teringat dia nampak melamun. Akan tetapi dia lebih sering kelihatan tenang.

Satu-satunya perubahannya yang diketahui oleh orang yang mengenal sejak muda, yaitu bahwa kini dia kehilangan wataknya yang lincah gembira dan sangat ramah, juga sering ugal-ugalan. Betapa pun juga, kedukaannya lenyap dan yang tinggal hanyalah garis-garis di antara kedua alisnya, di tepi matanya dan di kanan kiri ujung bibirnya.

Duka selalu ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga, dengan orang yang dicinta, dengan kedudukan, dengan ketenaran, dengan kepandaian, dengan harta benda dan dengan apa saja. Ikatan menimbulkan rasa takut pula, takut akan kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan sesuatu yang mengikat batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di dalam masyarakat, tidak mungkin bebas sama sekali dari pada segala macam kewajiban dengan keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup bermasyarakat.

Akan tetapi semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu ikatannya pun seharusnya lahiriah, bukan batiniah. Pada lahirnya memang kita mempunyai keluarga, bekerja untuk kepentingan keluarga, membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya. Namun sekali batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa depan keluarga, takut akan kehilangan dan takut tidak akan memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah duka karena kehilangan.

Hal ini bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap keluarga atau segala hal yang kita punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan berarti harus ada ikatan batin! Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, tetapi batin seharusnya bebas, batin tidak memiliki apa-apa! Mempunyai tapi tidak memiliki! Lahiriah mempunyai, batiniah tidak memiliki atau bebas.

Cinta kasihlah yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan sebagainya, bukan ikatan! Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya harus berpisah, sesuatu itu seperti dicabut akarnya dan akan membuat hati berdarah dan terluka!

Sekali lagi, bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan berarti tidak mencinta bila tidak ada ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih tak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan ikatan hanyalah si-aku, hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong kalau tidak memiliki sesuatu. Memiliki sesuatu hanya akan menambah ‘isi’ dan arti dari si-aku, membesarkan si-aku.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar