Pendekar Mata Keranjang Jilid 48

Goa itu lebar sekali, lebar mulutnya tak kurang dari sepuluh tombak dan dalamnya empat tombak, walau pun bagian depannya tertutup batu-batu besar dan jalan masuk ke dalam goa itu hanya sebesar tubuh orang saja, itu pun masih tertutup semak-semak sehingga jarang ada orang luar yang mengetahui bahwa di balik semak-semak itu terdapat sebuah goa yang demikian lebarnya. Juga goa itu tidak gelap karena di bagian atasnya terdapat lubang besar dari mana sinar matahari dapat masuk. Maka tidak mengherankan apa bila gerombolan Min-san Mo-ko tak dapat menemukan dua orang buronan yang bersembunyi di dalam goa itu.

Sebelum terpaksa melarikan diri bersama Hui Lian, di dalam perantauannya dulu secara kebetulan Hay Hay pernah menemukan goa ini. Oleh karena itu ketika mereka melarikan diri membawa luka yang cukup parah karena mengandung racun, dia mengajak Hui Lian memasuki goa itu dan bersembunyi.

Tentu saja malam itu di dalam goa amat gelapnya. Mereka tidak dapat saling memeriksa luka, dan sesudah masuk ke dalam serta membetulkan lagi semak-semak dari sebelah dalam agar menutupi lubang goa, Hay Hay segera bertanya,

"Bagaimana, Enci Hui Lian, parahkah luka yang kau derita ini?" Di dalam suara Hay Hay terkandung kekhawatiran besar karena ketika melarikan diri tadi, wajah Hui Lian nampak pucat dan larinya kadang terhuyung.

Di dalam kegelapan goa itu Hui Lian lantas meraba pinggul kanannya, dan dia menahan rintihannya. Pinggul kanan itu sekarang membengkak dan rasanya panas, gatal dan sakit bukan main.

"Pinggul kananku... agaknya terkena jarum-jarum berbisa," katanya. Akan tetapi dia pun lalu teringat akan keadaan Hay Hay sendiri yang juga terluka dadanya. "Dan bagaimana dengan luka di dadamu, Hay-te?"

Hay Hay merasa betapa luka di dadanya juga sangat parah, walau pun ujung pedang itu hanya menggores serta merobek kulit dan daging, tidak sampai memasuki rongga dada, namun karena ujung pedang itu mengandung racun, kini lukanya sudah membengkak dan rasanya panas bukan main hingga menembus ke seluruh tubuhnya! Akan tetapi temannya itu sedang terluka parah, tidak baik kalau dibuat khawatir pula.

"Ahh, kulit dadaku hanya tergores sedikit, tidak apa-apa, Enci Lian. Akan tetapi luka pada pinggulmu itu... ahh, apakah jarum-jarum itu sudah kau cabut?"

"Mana bisa mencabutnya? Jarum-jarum itu masuk ke dalam!" kata Hui Lian agak khawatir juga karena saat meraba dengan jari-jari tangannya, dia tidak merasakan adanya gagang jarum di permukaan kulit pinggul. "Agaknya ada tiga batang yang menembus kulit..."

"Ingatkah engkau siapa di antara mereka yang melepas jarum-jarum itu?"

"Ketika aku membalik, kulihat perempuan bermuka mayat yang pakaiannya serba hitam itulah..."

"Ahhh… celaka!" seru Hay Hay. "Dia adalah Tong Ci Ki, Si Jarum Sakti! Jarum-jarumnya mengandung racun yang amat berbahaya, tidak kalah jahatnya dibandingkan jarum-jarum dari Ma Kim Li! Mari, Enci, aku harus membantumu mengeluarkan jarum-jarum itu!"

"Tapi... begini gelap, biarlah kulawan dengan semedhi dan mengerahkan sinkang. Besok kalau sudah terang baru kita..."

"Besok bisa terlambat, Enci. Biar kubuat api unggun dahulu!" kata Hay Hay lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian, sinar api unggun mengusir kegelapan dalam goa dan mereka dapat saling pandang. Keduanya langsung terkejut setelah melihat betapa wajah masing-masing pucat kehijauan tanda bahwa hawa beracun mulai menguasai mereka!

"Bagaimana kalau mereka melihat api unggun dan datang menyerbu?" tanya Hui Lian.

"Mereka tidak akan melihatnya, cahaya api tertutup sama sekali. Dan pula, tidak perlu kita memikirkan itu, yang penting sekarang harus mengeluarkan jarum-jarum itu..."

"Tapi... tapi..." tentu saja Hui Lian merasa rikuh bukan main. Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan pemuda ini mengeluarkan jarum-jarum dari pinggulnya?

Tentu saja tak mungkin mengeluarkannya sendiri karena kedua tangannya hanya mampu menjangkau tempat itu, juga tangannya hanya mampu meraba-raba saja namun dia tidak dapat melihatnya. Kalau dibiarkan Hay Hay melakukannya, berarti membiarkan Hay Hay melihat pinggulnya! Bukan hanya melihat saja, bahkan meraba dan menyentuhnya pula! Bagaimana mungkin ini?

"Kenapa engkau masih ragu-ragu, Enci? Bukankah berbahaya sekali bila dibiarkan saja? Marilah, biarkan aku memeriksa luka itu!" Hay Hay lantas mendekati Hui Lian yang duduk bersandar dinding goa dan dia pun berlutut, tangannya diulur ke arah pinggul.

"Tidak...! Jangan...!" Hui Lian membentak dan terkejutlah Hay Hay mendengar kemarahan dalam bentakan ini. Ketika dia memandang, ternyata Hui Lian juga sedang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan mendelik marah!

"Ehh, kenapa Enci Lian?"

"Bagaimana... bagaimana engkau berani kurang ajar kepadaku?"

Hay Hay pun melongo. "Wah, kurang ajar? Apa maksudmu, Enci Lian? Aku tidak pernah kurang ajar kepadamu."

"Engkau hendak melihat pinggulku, bahkan mungkin memeriksa sambil merabanya, dan engkau bilang tidak kurang ajar?" Gadis itu kini marah sekali dan ingin ia menampar muka pemuda itu, kalau saja ia tidak melihat betapa wajah pemuda itu pun pucat dan nampak kesakitan.

Hay Hay tersenyum karena mendadak dia mengerti dan melihat kelucuan dalam keadaan mereka itu. "Wah, Enci Lian, pikirkan dulu baik-baik sebelum engkau menuduh aku yang bukan-bukan. Pinggulmu sudah terluka oleh jarum beracun, bukan? Nah, bagaimana aku tidak akan melihat pinggulmu kalau aku hendak menolongmu dan memeriksa pinggul itu? Dalam keadaan seperti ini, di waktu engkau terancam bahaya maut, mengapa memikirkan soal kecil itu, Enci? Baiklah, sekarang biarkan aku memeriksa dan mengobati pinggulmu, lupakan kekurang ajaranku, dan nanti sesudah aku berhasil mengeluarkan jarum-jarum itu dan mengobati lukamu, engkau boleh menghukum aku karena kekurang ajaranku. Aku tidak akan melawan. Bagaimana, akur?"

Lega hati Hui Lian. Bagaimana pun juga dia akan dapat membalas ‘kekurang ajaran’ itu nanti. "Akur, akan tetapi engkau tidak boleh berbohong dan melanggar janji."

"Aku tidak pernah berbohong."

"Hemm, laki-laki memang paling pandai berjanji akan tetapi paling pandai pula melanggar janji sendiri!"

"Namun aku tidak. Nanti boleh kau hukum aku sesuka hatimu, Enci Lian, tetapi sekarang biarkan aku memeriksa lukamu."

Dan kini Hui Lian rebah menelungkup, memejamkan mata dan menyembunyikan muka di atas dua lengannya, membiarkan Hay Hay memeriksa lukanya. Seluruh bulu di tubuhnya meremang saat dia merasa betapa Hay Hay menyentuh lembut pinggulnya di luar celana.

"Enci Lian, celanamu harus dilepas... ehh, maksudku, harus diturunkan supaya aku dapat memeriksa keadaan luka di pinggulmu..."

"Kurang ajar kau...!" Hui Lian membentak dan dia merasa malu bukan main, akan tetapi jari-jari tangannya melepaskan tali celana itu dan dengan hati-hati dia menurunkan bagian belakang celana itu agar pinggul yang terluka itu kelihatan. Dia menggigit bibir menahan rasa nyeri dan malu.

Akan tetapi pada saat itu seluruh perhatian Hay Hay ditujukan untuk memeriksa keadaan luka. Dia melihat betapa pinggul kanan itu membengkak, merah kebiruan dan ada tiga titik hitam berjajar di situ. Dia meraba dengan sangat hati-hati, akan tetapi jari-jari tangannya tidak merasakan satu pun ujung gagang jarum, maka tahulah dia bahwa jarum-jarum itu sudah terbenam ke dalam daging pinggul!

"Enci Lian, tahanlah, tentu agak sakit, akan tetapi satu-satunya jalan untuk mengeluarkan jarum hanya begini..." Dan tiba-tiba, tanpa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk membantah karena Hay Hay tahu bahwa gadis itu tentu akan keberatan, dia cepat-cepat menundukkan mukanya dan menempelkan mulutnya di atas tiga titik hitam itu!

"Aihhh... kau... kau... keparat...!" Hui Lian berseru, akan tetapi rasa sakit yang luar biasa kini menggantikan rasa malu ketika Hay Hay sudah mengerahkan tenaga khikang untuk menyedot dengan mulutnya.

Hui Lian mengaduh dan merintih, lupa akan rasa malu betapa mulut pemuda itu sedang menempel di pinggulnya. Hay Hay melepaskan kecupannya dan meludahkan tiga batang jarum kecil hitam ke atas tanah.

"Jarum-jarum itu telah keluar, akan tetapi racunnya harus diketuarkan sampai bersih, Enci Lian," katanya.

Dan kembali dia menyedot dengan mulutnya melalui tiga lubang kecil bekas jarum. Nyeri bukan kepalang rasanya bagi Hui Lian, akan tetapi rasa malu bersaing dengan rasa nyeri sehingga dia mampu menahan keduanya!

Setelah beberapa kali menyedot dan meludahkan darah hitam, akhirnya Hay Hay melihat darah merah keluar dari tiga lubang kecil itu, dan dia pun menghentikan penyedotannya.

"Semoga racunnya sudah keluar semua, Enci. Kini tinggal memberi obat luka."

Hay Hay mengambil obat luka berupa bubukan putih yang dibuatnya dari kulit pohon yang dikeringkan dan menaburkan bubukan itu pada luka di pinggul, kemudian memijit-mijitnya sehingga bubukan putih memasuki lubang dan menutupnya.

"Nah, selesailah sudah, Enci Lian." katanya.

Ketika Hay Hay hendak membantu menaikkan celana itu, Hui Lian segera merenggutnya dan menaikannya sendiri, lalu mengikatkan kembali tali celana. Ia lalu bangkit duduk dan tiba-tiba saja tangannya menampar muka Hay Hay sampai tiga kali.

"Plak! Plak! Plak!"

Dua kali tangan kanannya menampar pipi kiri dan satu kali tangan kirinya menampar pipi kanan pemuda itu. Begitu tiba-tiba dan keras sehingga terdengar suara nyaring dan tubuh Hay Hay terguncang ke kanan kiri, kemudian roboh!

Melihat wajah pemuda itu, Hui Lian yang merasa malu dan marah menjadi terkejut sekali. Pemuda ini seperti orang pingsan atau setengah pingsan, nampak lemah sekali. Mukanya menjadi kehitaman, juga kedua ujung bibirnya berdarah.

"Hay-te...!" Hui Lian berseru memanggil dan mengguncang-guncang pundak pemuda itu.

Namun Hay Hay kelihatan semakin lemah. Hui Lian semakin terkejut dan gelisah. Apakah tamparannya tadi demikian kuatnya? Kalau bibir pemuda itu berdarah, hal ini tidak aneh, akan tetapi mengapa Hay Hay sampai pingsan?

"Hay-te, maafkan aku... ahh, engkau sadarlah...!" katanya lagi.

Kini dia cepat-cepat melakukan pemeriksaan. Denyut nadi pemuda itu lemah sekali, dan napasnya juga memburu! Ah, ingatlah dia bahwa pemuda ini pun terluka parah. Cepat Hui Lian merobek baju di bagian dada pemuda itu, dan nampaklah betapa pada dada sebelah kanan terdapat luka yang cukup lebar dan luka itu melepuh, membengkak dan kehitaman! Racun yang jahat telah membuat luka itu menjadi parah dan berbahaya sekali! Dia harus cepat menolongnya.

Dengan amat cekatan jari-jari tangan Hui Lian membuka kancing-kancing baju itu, dengan maksud membuka baju supaya lebih mudah dia berusaha mengobati. Ketika dia hendak menanggalkan baju itu, tiba-tiba saja ada sebuah benda terjatuh keluar dari saku baju dan kebetulan sekali benda itu terjatuh ke atas dada Hay Hay, tepat di atas luka di dadanya.

Hui Lian hendak mengambil benda itu, namun dia mengeluarkan seruan kaget, menahan tangannya. Benda itu adalah sebuah batu giok berwarna belang-belang merah dan hijau dan sekarang benda yang berkilauan terkena sinar api unggun itu perlahan-lahan berubah menjadi menghitam, dan warna hitam pada luka di dada itu perlahan-lahan menghilang! Teringatlah Hui Lian tentang mustika batu giok milik Jaksa Kwan yang dirampas penjahat dan agaknya Hay Hay telah dapat merampasnya kembali. Dia pun teringat akan kata-kata jaksa tinggi itu bahwa mustika itu merupakan benda langka penawar racun!

Dengan hati girang Hui Lian memegang benda itu dan kini sengaja menggosok-gosokkan perlahan-lahan ke atas luka dan tepat seperti yang diduganya, makin digosokkan, benda itu berubah semakin menghitam, sementara luka itu pun dengan cepat sekali mengempis dan kehilangan warna hitamnya.

Hay Hay bergerak dan mengeluh. "Wah, benda apa yang dingin sekali di atas dadaku itu, Enci Lian?"

Hui Lian merasa lega bukan main melihat keadaan Hay Hay yang sudah sembuh secara cepat itu dan dia pun tersenyum. Hay Hay sampai melongo melihat Hui Lian tersenyum. Bukan main cantiknya gadis ini kalau sedang tersenyum, senyum wajar yang pertama kali dilihatnya.

"Enci Lian, engkau... cantik sekali kalau tersenyum," kata Hay Hay dan kembali berkerut alis Hui Lian. Bocah ini sungguh perayu benar, baru saja sadar dari pingsan, pertama kali yang dilakukan adalah memuji kecantikannya!

"Hay-te, engkau membawa mustika batu giok ini yang dengan mudah menyedot semua racun dari dadamu, kenapa tidak kau pergunakan ketika engkau menolong aku?"

Hay Hay bangkit duduk, memeriksa dadanya sendiri dan dia menjadi kagum. Dilihatnya batu giok itu yang kini oleh Hui Lian sudah diletakkan di atas lantai goa. Dari batu giok itu perlahan-lahan menetes cairan hitam, kemudian perlahan-lahan batu giok itu memperoleh kembali cahayanya. Warna hitam makin lenyap bersama cairan yang keluar, lalu berganti dengan warna merah hijau. Benar-benar benda mustika yang langka dan mukjijat!

"Ahh, sungguh... tadi aku lupa sama sekali tentang batu giok ini, Enci Lian. Aku... ahh..." Tiba-tiba Hay Hay memegang kepala dengan kedua tangannya karena kepala itu terasa pening dan bumi seperti terputar, akan tetapi dia memaksa diri melanjutkan, "Aku terlalu khawatir setelah memeriksa pinggulmu... eh, pinggulmu itu indah sekali dan membengkak merah kehitaman... dan keringatmu harum sekali, Enci..."

"Gila...!" Hampir saja Hui Lian menampar muka Hay Hay, akan tetapi tiba-tiba dia melihat pemuda itu terkulai dan roboh pingsan! Tentu saja Hui Lian menjadi terkejut.

"Hay-te, ada apakah...?" Dia cepat mendekat dan lebih kaget lagi setelah dia menyentuh dahi pemuda itu yang terasa panas bukan main.

Ternyata racun dari pedang Min-san Mo-ko amat jahat sehingga tadi sudah menimbulkan hawa beracun di dalam tubuh Hay Hay. Biar pun racunnya telah tersedot oleh batu giok, akan tetapi kini meninggalkan demam yang cukup hebat pada diri Hay Hay. Hal ini terjadi karena tadi Hay Hay mengerahkan khikang ketika menyedot racun dan jarum dari pinggul Hui Lian, dan pengerahan khikang ini membuat hawa beracun terdorong semakin dalam ke dadanya.

Maklum bahwa Hay Hay terserang demam, Hui Lian segera menempelkan kedua telapak tangannya pada dada Hay Hay, lantas dia membantu pemuda itu mengusir hawa beracun itu dengan pengerahan hawa sakti dari tubuhnya. Lambat laun terjadi perubahan pada diri Hay Hay. Napasnya normal kembali, wajahnya menjadi agak kemerahan dan panasnya menurun.

Hui Lian melepaskan tangannya dan membiarkan pemuda itu tertidur. Sampai lama sekali dia terus mengamati wajah pemuda itu dan hatinya semakin tertarik. Terngiang kembali di telinganya kata-kata Hay Hay yang memuji-mujinya, memuji betapa cantiknya kalau dia tersenyum, bahkan sebelum pingsan tadi masih sempat memuji bahwa pinggulnya indah dan keringatnya harum!

Hui Lian pun tersenyum ketika teringat tentang hal ini,. Bocah kurang ajar, pikirnya sambil tersenyum memandang wajah itu. Wajah yang masih kekanak-kanakan, namun sungguh sangat menarik hatinya. Jantungnya berdebar dan bergeloralah gairahnya terhadap Hay Hay. Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pandai merayu dan menarik hati walau pun sikapnya agak nakal dan kurang ajar.

Tanpa disadarinya lagi, tangan kirinya bergerak menyentuh dan meraba wajah pemuda itu, mengusap dagunya, bibirnya yang tadi tanpa ragu-ragu menyedot luka beracun pada pinggulnya, mulut yang tadi sampai berdarah akibat ditamparnya. Dia telah menamparnya dengan keras sesudah pemuda itu menyelamatkan nyawanya dan sesudah pemuda itu tanpa rasa jijik sedikit pun menyedot luka beracun di pinggulnya. Dia merasa terharu dan kedua matanya basah.

"Hay Hay, kau maafkan aku...," bisiknya.

Hay Hay membuka matanya, berkejap-kejap lalu bangkit duduk setelah melihat bahwa dia rebah di atas lantai goa dan gadis itu duduk bersimpuh di dekatnya.

"Enci Lian, apakah aku tertidur? Aku seperti dalam mimpi mendengar engkau berbicara kepadaku, seperti maaf-maaf begitu. Apa sih yang kau katakan, Enci Lian?"

Hui Lian tersenyum. Kadang-kadang Hay Hay bersikap kekanak-kanakan dan dia merasa seperti berbicara dengan adiknya sendiri, apa lagi mendengar pemuda itu menyebutnya ‘Enci Lian’ secara demikian akrabnya.

"Tidak apa-apa, Hay-te. Tidurlah, biar aku menjagamu...!"

"Tidak, Enci Lian. Aku tidur enak-enakan sedangkan engkau yang hendak berjaga kalau ada musuh yang datang? Wah, itu terbalik namanya, Enci. Engkau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Engkaulah yang tidur dan aku yang berjaga."

"Akan tetapi engkau baru saja pingsan dan demam, juga biar pun perempuan aku lebih tua, engkau kanak-kanak."

Hay Hay yang kesehatannya sudah pulih kembali lalu memandang wajah Hui Lian sambil tersenyum. "Enci yang baik, jangan katakan aku kanak-kanak, aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran sekali pun!"

"Ihhh, engkau memang ceriwis, mata keranjang, kata-katamu tak senonoh!"

Hay Hay membelalakkan matanya. "Wah, seenaknya engkau memaki aku, Enci Lian. Di bagian manakah kata-kataku yang tidak senonoh?" Dia mengingat-ingat, alisnya berkerut. "Belum banyak aku bicara padamu, hemmm... tadi aku memuji bahwa engkau cantik, dan keringatmu berbau harum dan... dan pinggulmu indah..."

"Nah, itulah! Tutup mulutmu, Hay Hay, engkau sungguh lancang dan tak tahu malu!"

"Eihhh? Kenapa, Enci? Apa salahnya kalau aku memuji sesuatu yang memang indah dan patut dipuji? Bukankah pujian itu menunjukkan kejujuranku dan tidak pura-pura? Memang mataku melihat sesuatu yang indah, mulutku langsung memuji, salahkah itu?"

"Tapi bukan... ehh, pinggul! Tidak sopan itu, menyebut-nyebutnya juga sudah tidak sopan dan harus malu!"

Hay Hay menggaruk-garuk belakang telinganya. "Lho! Kenapa tidak sopan? Apa salahnya kalau aku menyebut pinggul, pinggul, pinggul! Bukankah kita manusia ini semua memang berpinggul? Apa bedanya kukatakan pinggulmu indah, dengan matamu indah, tanganmu indah dan sebagainya?"

"Cukup! Jangan membuatku marah! Engkau masih kanak-kanak, aku lebih tua dari pada engkau, maka tidak pantas kalau engkau merayuku dengan kata-kata manis serta pujian-pujian muluk dan kotor!"

"Aku jadi makin penasaran, Enci. Maafkan, aku bukan bermaksud menghinamu. Engkau memang lebih tua, akan tetapi hanya satu dua tahun saja dan itu sama sekali tidak ada artinya. Dan aku bukan kanak-kanak! Usiaku sudah dua puluh satu tahun dan banyak pria berusia dua puluh satu sudah mempunyai dua tiga orang anak! Aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran. Dan tadi aku memujimu dengan jujur, sama sekali bukan merayu, aku hanya mengatakan apa adanya saja menurut penglihatanku!"

Melihat pemuda itu berbicara keras penuh rasa penasaran, Hui Lian berbalik menjadi geli. "Hemm, jika menurut penglihatanmu bagaimana?" tanyanya, tertarik juga karena pemuda ini jelas tidak bermaksud kurang ajar kepadanya.

Dengan sepasang matanya yang tajam mencorong itu Hay Hay lalu memandang seluruh bagian tubuh Hui Lian dari kepala sampai ke kaki, kemudian memandang wajah gadis itu dan berkata ragu, "Kalau aku bicara terus terang, apakah engkau tidak akan marah lagi, Enci Lian?"

Gadis itu menggelengkan kepala tanpa menjawab.

"Baiklah, aku akan bicara menurut hasil penglihatanku. Engkau seorang gadis yang telah matang, beberapa tahun lebih tua dariku, watakmu sederhana dan engkau suka dengan kebersihan. Wajahmu cantik menarik dan manis, dengan sepasang matamu yang indah, jeli dah tajam, hidungmu yang kecil mancung dan mulutmu yang menggairahkan, dengan bibir merah basah dan barisan gigi putih rapi, dagu meruncing manis, rambut yang hitam panjang dan berombak, lehermu berkulit putih mulus dan panjang. Tubuhmu padat dan mempunyai lekuk lengkung yang sempurna dengan pinggang ramping, dada membusung dan pinggul penuh. Sepasang lenganmu bulat penuh dan jari-jari tanganmu panjang kecil lembut, kakimu kecil mungil dengan paha dan betis panjang. Engkau cantik manis, dan jiwamu gagah perkasa biar pun ada suatu kedinginan dan kegalakan tersembunyi di balik gerakan bibirmu. Dan yang sangat mengagumkan adalah keringatmu yang berbau harum, engkau seperti setangkai bunga yang indah, semerbak harum..."

"Sudah... sudah cukup...! Wah, Hay-te, sungguh engkau seorang perayu besar! Kalau kau teruskan jangan-jangan kepalaku akan menjadi besar kemasukan angin dan tubuhku akan dibawa melambung ke udara, kemudian meletus di atas sana!" Hui Lian berseru sambil mengangkat kedua tangan menutupi kedua telinganya dan tertawa. Baru sekarang gadis itu dapat tertawa gembira, terbawa oleh kegelian hati mendengar pujian yang dihujankan oleh pemuda itu kepadanya.

"Aku bicara sejujurnya, Enci..."

"Tidak, engkau mata keranjang. Seorang lelaki mata keranjang selalu memandang wanita dari segi keindahannya saja, sehingga setiap orang wanita muda akan nampak secantik bidadari baginya. Engkau perayu wanita yang amat berbahaya karena para wanita mudah runtuh pertahanan dirinya bila menghadapi rayuan laki-laki. Jangan-jangan kelak engkau akan menjadi penakluk wanita!"

"Tidak, Enci Lian. Engkau memang cantik jelita dan..."

"Cukup, Hay-te, jangan memuji lagi."

"Dan aku heran sekali, justru karena engkau demikian cantik, kenapa engkau berkeliaran sendiri saja di dunia kang-ouw? Padahal seorang wanita secantik engkau ini sepatutnya tentu sudah menjadi seorang isteri, bahkan mungkin seorang ibu yang baik, yang hidup penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan, dalam sebuah rumah tangga yang tenteram dan berbahagia..."

"Hay-te... jangan teruskan...," Hui Lian yang duduk bersandar dinding goa menutupi muka dengan kedua tangannya dan wanita yang gagah perkasa ini, wanita yang keras hati dan galak, sekali ini menangis! Kedua pundaknya terguncang dan walau pun dia menahan diri sehingga tidak mengeluarkan suara, namun dia sesenggukan dan air matanya mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya

Hay Hay terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita seperti Hui Lian itu bisa juga menangis, menjadi seorang wanita biasa yang lemah dan mudah mencucurkan air mata. Dia tidak tahu betapa semenjak kegagalan pernikahannya yang sudah dua kali itu, selama ini semua kedukaan selalu ditahan-tahan oleh Hui Lian, dan ucapan Hay Hay itu seakan menjadi pembuka bendungan sehingga sekarang tercurahlah semua kedukaan yang menumpuk di dalam batinnya melalui tangis.

Melihat gadis itu demikian nelangsa, Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu masa lalu gadis ini sangat suram dan menyedihkan, maka dia pun mendekat dan menyentuh pundak gadis itu.

"Enci Lian, kau maafkanlah aku, Enci. Aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, akan tetapi kalau kata-kataku tadi ternyata menyinggung perasaanmu, sungguh, engkau boleh memukulku lagi, Enci. Akan tetapi engkau jangan menangis, hatiku terasa pilu dan turut sakit melihat engkau menangis begini sedih..."

Merasakan sentuhan tangan Hay Hay yang lembut dan hangat di pundaknya, mendengar ucapan itu, hati Hui Lian bukannya terhibur, bahkan dia lalu menangis semakin sedih. Dia merasa nelangsa, merasa betapa dirinya sebatang kara dan bernasib amat buruk, hatinya disakiti dan dikecewakan dalam dua kali pernikahan, dan betapa hidupnya terasa kosong dan kesepian.

"Adik Hay... uuhuuhuu... Adik Hay...!" Dia mengguguk kemudian merangkul pemuda itu, menjatuhkan mukanya di atas dada Hay Hay. Pemuda ini merangkulnya, mengusap-usap rambut kepala hitam halus itu untuk menghiburnya.

"Tenanglah, Enci Lian, kuatkan hatimu. Di dunia ini tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi," kata Hay Hay dengan suara sungguh-sungguh dan nadanya menghibur.

Hay Hay merasa betapa air mata membasahi bajunya dan menembus baju, membasahi dadanya. Dan jantungnya berdegup keras, seolah-olah menjadi segar akibat terkena pula siraman air mata itu. Tubuh yang dipeluknya itu begini lunak dan lembut, dan keharuman yang halus keluar dari tubuh Hui Lian amat memabokkan dan menggairahkan.

"Aih, Hay-te... engkau tidak tahu, aku... aku adalah wanita yang paling sengsara di dunia ini... sebatang kara, tidak mempunyai siapa pun..."

Hay Hay mempererat pelukannya dengan sikap menghibur. "Enci Lian, mengapa engkau berkata demikian? Ada aku di sini, bukan? Engkau memiliki aku, sebab itu jangan merasa kesepian, Enci..."

Ucapan Hay Hay itu hanya untuk menghibur dan setengah berkelakar, akan tetapi sama sekali tak disangkanya bahwa ucapannya itu membangkitkan keharuan dan gairah dalam hati Hui Lian. Sambil tersedu Hui Lian merangkul leher Hay Hay dan mencium mulut yang mengucapkan kata-kata demikian manisnya sebagai ucapan terima kasih.

Perbuatan Hui Lian ini sesungguhnya hanya terdorong luapan perasaan saja, akan tetapi begitu dia mencium Hay Hay, gairahnya lalu berkobar tanpa dapat ditahannya lagi. Sambil setengah menangis dan merintih Hui Lian terus menciumi Hay Hay, mencurahkan seluruh kerinduan di dalam hatinya, seluruh kehausan akan kemesraan seorang pria yang selama ini ditahannya, demikian bernafsunya sehingga Hay Hay jatuh telentang dan tertindih oleh Hui Lian!

Hay Hay adalah seorang manusia biasa, dari darah daging, bahkan seorang pemuda yang mulai dewasa, bertubuh sehat, juga memiliki watak romantis sekali, suka akan keindahan bahkan pemuja keindahan. Karena itu, setelah kini dia digeluti oleh seorang wanita seperti Hui Lian, yang dirangsang birahi, yang haus akan kasih sayang, penuh kerinduan akan belaian dan kemesraan seorang pria, seorang wanita yang bagaimana pun juga sudah berpengalaman karena telah dua kali menjanda, maka tidak mengherankan jika Hay Hay juga menjadi kebakaran oleh nafsu birahinya sendiri.

Bau keringat dari tubuh Hui Lian yang sedap harum seperti bunga menambah rangsangan sehingga dia pun lalu balas merangkul, balas mencium, balas membelai sampai Hui Lian menjadi terengah-engah dan mengeluarkan rintihan-rintihan kecil. Belaian dan ciuman itu menambah berkobarnya api nafsu birahi masing-masing sehingga mereka lupa diri, lupa keadaan dan yang ada hanyalah pasrah, siap menyerahkan dirinya lahir batin demi untuk pemuasan hasrat nafsu, terseret oleh gelombang badani yang memabokkan.

Akan tetapi, pada saat mereka telah bergulingan sampai ke tepi jurang, hampir mencapai puncak dari pemuasan gairah mereka, pada saat Hui Lian yang memejamkan mata mulai terengah-engah dan berbisik-bisik lirih, pada saat Hay Hay membalikkan tubuh wanita itu sehingga kini dia yang menindihnya, dia membuka mata dan melihat wajah Hui Lian yang berkeringat, matanya yang hampir terpejam, mulutnya yang ditarik hingga nampak seperti orang yang sedang menderita nyeri hebat, tiba-tiba saja Hay Hay sadar!

"Aihhhh...!" Dia melepaskan rangkulannya, dengan lembut melepaskan kedua lengan Hui Lian yang merangkul lehernya, dan dia pun menjauhkan diri, menatap wajah Hui Lian yang kini juga membuka matanya yang sayu.

Hui Lian mengembangkan kedua lengannya, dengan sikap mengajak, hendak merangkul kembali. "Hay Hay aku... aku... ahhh, aku..."

"Tidak, Enci Lian!" Tiba-tiba saja Hay Hay berseru dengan keras dan di dalam seruannya ini dia mengerahkan tenaga batinnya. Seruan ini dapat mengusir semua kekuasaan sihir dan amat berwibawa sehingga dapat pula menyadarkan Hui Lian yang sedang mabok oleh gairah nafsu birahi itu. Gadis itu bangkit duduk, matanya terbelalak dan mukanya pucat memandang Hay Hay.

Hay Hay merasa kepalanya pening dan seperti ada suara berbisik-bisik di belakangnya, "Bodoh kau... dia begitu cantik manis, tubuhnya begitu hangat, dan dia begitu menantang, begitu mesra dan ciumannya penuh api nafsu. Dia ingin cintamu, bodoh. Lekas peluk dan cium dia, tidak ada orang melihatnya di sini... lekas, tolol...! Hajar …!"

Sejak tadi bisikan-bisikan ini memenuhi kepalanya, bisikan iblis yang seakan-akan berada di belakangnya.

"Keparat!" Hay Hay melayangkan tangannya ke belakang sambil mengerahkan tenaganya.

"Prakkk…!" Sebuah batu menonjol di dinding goa itu remuk oleh tamparannya.

"Hay-te... engkau... engkau kenapa...?" Hui Lian bertanya, wajahnya masih merah sekali, membuat sepasang bibir itu merah basah dan matanya sayu sekali laksana mata orang yang sedang mengantuk.

Tiba-tiba Hay Hay berlutut di depan Hui Lian, "Enci Lian, ampunkan aku, Enci...! Ahh, aku layak dipukul mampus, tadi aku benar-benar telah menjadi hamba iblis. Enci, marilah kita berdua sadar. Perbuatan kita ini tak boleh dilanjutkan. Enci Lian, bereskanlah pakaianmu dan kita bicara yang benar." Dia sendiri lalu mengancingkan kembali kancing-kancing baju yang tadi sudah hampir terlepas semua.

Kini sepasang mata Hui Lian terbuka lebar dan dia pun baru sekarang melihat keadaan mereka. Sesudah dapat menguasai batin sendiri sepenuhnya, dia melihat betapa dia telah melakukan hal yang amat memalukan. Dengan tubuh menggigil dia segera bangkit duduk dan jari-jari tangannya gemetar pada waktu membereskan pakaiannya, kemudian tiba-tiba dia menampar muka sendiri dengan tangan kirinya.

"Plakkk!"

Ujung bibir sebelah kiri pecah dan berdarah ketika tertampar, dan dia pun menggerakkan tangan kanan untuk menampar lagi mukanya yang sebelah kanan. Namun dengan cepat Hay Hay menangkap pergelangan tangan kanan itu dan suaranya menggetar penuh haru ketika dia berkata,

"Enci Lian... jangan lakukan itu! Kalau engkau mau menampar, tamparlah aku, Enci...!"

Hui Lian merenggut lepas tangannya dan kini dia pun meloncat berdiri, mukanya masih merah sekali, akan tetapi kali ini bukan merah oleh gairah nafsu birahi, melainkan merah karena merasa malu dan marah. Matanya tidak sayu seperti mata yang mengantuk lagi, namun terbuka lebar dan memancarkan sinar berkilat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia telah menyambar pedangnya yang berada di atas buntalan pakaian lantas dihunusnya pedang itu. Pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan sinar berkilat ketika tertimpa cahaya api unggun.

"Bangkitlah...!" katanya dengan suara menggetar pula, "bangkitlah dan mari lawanlah aku. Salah seorang di antara kita harus mati di sini!"

"Enci Lian...!" Hay Hay berseru, terkejut sekali.

"Hal yang memalukan telah terjadi, satu di antara kita harus mencucinya, satu di antara nyawa kita harus menebusnya!" kata pula Hui Lian.

"Tidak, Enci Lian! Aku tidak mau membunuhmu, engkau tidak bersalah, dan aku pun tak bersalah. Kita berdua telah menjadi korban bisikan iblis..."

"Kalau begitu, engkau harus mati!" Dan Hui Lian sudah menyerang dengan hebatnya.

Hay Hay terkejut dan cepat mengelak. Namun wanita itu sudah melanjutkan serangannya dan melihat ini, Hay Hay cepat menggunakan ilmunya Jiau-poa Poan-soan, yaitu langkah ajaib yang berputar-putaran untuk selalu mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran pedang Kiok-hwa-kiam.

Akan tetapi, betapa pun hebatnya langkah-langkah ajaib itu, kini yang dihadapinya adalah serangan dari Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut (llmu Pedang Naga Awan) yang amat hebat, maka maklumlah Hay Hay bahwa tidak mungkin dia akan dapat menyelamatkan diri kalau hanya mengelak terus. Dia pun segera mengeluarkan sulingnya dan kini mempergunakan benda itu untuk kadang kala menangkis, dan terpaksa juga membalas dengan serangan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Lian.

Terjadilah perkelahian yang sangat seru dan hebat di dalam goa itu! Hui Lian yang sudah dikuasai kemarahan dan kenekatan saking malunya, kali ini menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang In-Iiong Kiam-sut amatlah hebatnya, peninggalan dari mendiang In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Pedang Kiok-hwa-kiam lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar yang amat luas, dan dari dalam gulungan ini mencuat sinar-sinar berkelebatan yang menghujankan serangan-serangan maut ke arah tubuh Hay Hay!

Menghadapi ilmu yang hebat ini, diam-diam Hay Hay merasa terkejut dan kagum bukan main. Agaknya kini Hui Lian benar-benar marah, dan baru sekarang dia melihat Hui Lian mengeluarkan kemampuannya yang amat dahsyat. Hanya dengan mengerahkan sinkang sambil memainkan suling seperti yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lo-kai, dibarengi gerakan kaki dalam langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama, Hay Hay baru mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Hui Lian.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar