Bantuan saluran dana dari para enghiong telah saya salurkan karena beliau butuh biaya cepat untuk kemoterapi, kita doakan sama-sama agar penyakit beliau cepat diangkat. Open Donasi masih tetap akan saya lakukan sampai pertengahan bulan september🙏

Pendekar Mata Keranjang Jilid 45

Hui Lian dan Hay Hay dinyatakan lulus dan kini hanya tinggal mereka berdua yang harus melakukan ujian terakhir, yaitu mengadu ilmu kepandaian dalam bela diri! Mereka berdua lalu dipanggil naik panggung.

Hay Hay yang tidak mengerti bahasa Miao, hanya ikut-ikutan saja meloncat naik ke atas panggung ketika dia melihat Hui Lian sudah meloncat naik. Mereka berdiri berdampingan menghadap kepala suku yang berkata dalam bahasa Miao bahwa mereka berdua adalah dua orang muda perkasa dan kini mereka harus memperlihatkan siapa di antara mereka yang lebih unggul dan berhak menjadi mantu kepala suku.

Kemudian kepala suku memberi isyarat kepada puterinya dan bangkitlah gadis Miao itu, membawa dua buah mouw-pit (pena bulu) dan tempat tinta. Dengan langkah yang lemah gemulai, puteri kepala suku itu tersenyum manis ketika menghampiri dua orang peserta itu, diiringi tepuk tangan para penonton.

Hay Hay memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang manis sekali, pikirnya, hitam manis dan baju yang dikenakan gadis itu bagian depannya terbuka agak rendah sehingga memperlihatkan lereng sepasang bukit dada yang indah membusung, dihiasi oleh kalung-kalung emas dengan ukir-ukiran indah. Sayang anting-anting yang dipakainya terlampau besar, membuat bagian daun telinga itu tergantung mulur dan lubangnya menjadi lebar. Dia pun tersenyum ramah sambil memandang dengan sinar mata berseri-seri ketika gadis Miao itu mendekat.

Sikap Hay Hay ini menarik hati gadis suku bernama Nian Ci itu dan dia pun memandang kepada Hay Hay dengan tersenyum pula. Dia lebih suka kepada Hay Hay yang kelihatan ramah dari pada Hui Lian yang bersikap dingin saja, biar pun Hui Lian tidak kalah tampan dibandingkan pemuda bercaping. Bahkan ketika menyerahkan mouw-pit dan bak kepada masing-masing peserta, Nian Ci berbisik kepada Hay Hay,

"Mudah-mudahan engkau menang."

Hay Hay hanya mengangguk dan menjawab dalam bahasa Han karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh gadis itu. "Engkau sungguh manis sekali!"

Melihat sikap mereka dan mendengar pula ucapan pemuda bercaping, Hui Lian menjadi mendongkol sekali. Hemm, tak diduganya bahwa pemuda bercaping ini ternyata seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita!

Tadi Si Kepala Suku sendiri sudah menjelaskan bahwa pertandingan adu ilmu bela diri itu bukan dimaksudkan untuk saling melukai apa lagi membunuh, tetapi hanya untuk menguji kepandaian masing-masing. Oleh karena itu, mereka masing-masing diberi mouw-pit dan bak (tinta) agar dengan alat itu mereka dapat mendatangkan coretan atau totolan kepada tubuh lawan selama bernyalanya sebatang hio. Setelah itu akan dihitung, siapa yang lebih banyak terdapat noda hitam totolan mouw-pit, dialah yang kalah.

Kini keduanya sudah saling berhadapan di atas panggung, ditonton semua orang yang hadir. Hay Hay masih belum mengerti kenapa dia diberi mouw-pit dan tinta bak. Dengan mouw-pit di tangan kanan dan bak di tangan kiri, dia berdiri dengan muka bodoh, lalu dia memandang Hui Lian.

"Eh, Twako yang baik, apakah kita disuruh berlomba menulis sajak atau membuat tulisan indah? Wah, kalau begitu aku menyerah kalah saja! Tentu engkau lebih mahir."

Hui Lian maklum bahwa orang ini sama sekali tak mengerti bahasa Miao, akan tetapi dia tidak tersenyum, bahkan merasa semakin mendongkol. Jika sudah memasuki sayembara ini, tentu pemuda ini sudah tahu akan semua syaratnya dan sikapnya yang ketololan ini tentu sengaja dilakukan untuk mempermainkannya.

"Huh, kiranya engkau hanya seorang laki-laki mata keranjang!" bentaknya.

Hui Lian pun sudah mulai menyerang dengan mouw-pitnya. Karena mouw-pit yang sudah direndam bulunya dengan tinta tadi hanya menyambar ke arah ujung lengan bajunya, Hay Hay tidak menghindar sehingga nampaklah coretan pada ujung lengan bajunya. Dia pun terbelalak kaget dan kagum karena ternyata coretan itu bukan sembarangan saja, namun membentuk huruf ‘Mata Keranjang’!

"Ehhh...!" Dia berseru dan cepat dia pun membalas, akan tetapi mouw-pitnya tertangkis oleh mouw-pit lawan. Karena penasaran belum membalas makian lewat coretan, Hay Hay lalu menggunakan kepandaiannya, mouw-pitnya menyambar ke arah mata lawan.

Hui Lian terkejut karena serangan ini sungguh berbahaya sekali. Pada saat dia mengelak ke samping, tiba-tiba saja mouw-pit lawan itu meluncur turun dan mengenai ujung bajunya yang putih. Ketika memandang, dia melihat coretan itu pun berbentuk huruf makian yang berbunyi ‘Lancang Mulut’!

Hui Lian marah. Mouw-pitnya menyambar-nyambar lagi dan berhasil mencoret-coret huruf makian ‘Goblok’ dan ‘Gila’ pada kanan kiri bagian baju Hay Hay. Kalau saja Hay Hay mau menghindarkan, tentu tidak mudah bajunya dicoret-coret, akan tetapi sungguh aneh, dia ingin sekali melihat tulisan apa lagi yang dilakukan lawan maka dia sengaja membiarkan lawan mencoret-coret bajunya.

Ketika membaca ‘Goblok’ dan ‘Gila’, dia pun membalas dan sekali ini Hui Lian juga ingin tahu jawaban lawannya. Marahlah dia sesudah membaca huruf ‘Tolol’ dan ‘Sinting’ yang dicoretkan mouw-pit di tangan Hay Hay pada bajunya. Dia pun segera balas menyerang kalang kabut, dan keduanya pun kini bertanding mempergunakan mouw-pit.

Setelah keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing maka sulitlah bagi keduanya untuk membuat satu totolan atau coretan saja di baju lawan! Sekarang keduanya terkejut bukan main karena tidak menyangka bahwa pihak lawan sedemikian lihainya!

Hay Hay memang tahu akan kelihaian Hui Lian, akan tetapi tak disangkanya sehebat ini. Sebaliknya Hui Lian juga sangat terkejut mendapat kenyataan bahwa pemuda bercaping itu mampu mengimbangi kecepatan gerakannya, bahkan membalas serangannya dengan totokan-totokan yang amat cepat, aneh, dan bertenaga!

"Engkau manusia tak tahu malu!" Hui Lian mendesis dalam bahasa Han, tidak keras tapi hanya cukup terdengar oleh Hay Hay saja ketika mereka saling serang dan belum juga berhasil menodai baju masing-masing kecuali huruf-huruf tadi. "Aku tidak percaya engkau benar-benar mau menjadi mantu kepala suku dan kawin dengan gadis Miao itu!"

Tentu saja Hay Hay merasa heran mendengar ucapan itu. "Gila!" dia pun berbisik. "Siapa mau menjadi mantu kepala suku?"

"Engkau tergila-gila kepada gadis suku Miao itu, tadi engkau mengajaknya tersenyum dan memuji dia manis!"

"Memang dia manis, apa salahnya aku memuji? Akan tetapi aku tidak tergila-gila!"

"Engkau tolol, kalau tidak tergila-gila, kenapa ikut sayembara ini?" Kini Hui Lian menduga bahwa pemuda ini mengikuti sayembara hanya karena iseng saja, mungkin tidak tahu apa artinya sayembara ini karena dia tidak paham bahasa Miao.

"Aku ikut karena merasa tertarik, apa salahnya?" Hay Hay tersenyum. "Aku hanya ingin mengurangi kesombonganmu berlagak dan memamerkan kepandaian!"

"Aihh, engkau lancang mulut! Apa engkau tidak tahu kalau sayembara ini diadakan untuk memperebutkan gadis anak kepala suku! Pemenangnya yang akan menjadi suaminya."

Hay Hay terkejut sekali sehingga dia menengok ke arah kiri di mana duduk gadis Miao itu di samping ayah dan ibunya. Gadis beranting-anting besar itu memandang padanya dan tersenyum. Karena menoleh Hay Hay menjadi lengah, maka Hui Lian berhasil membuat coretan pada bajunya. Hay Hay meloncat ke belakang.

"Apa? Gadis beranting-anting besar itu? Jadi... jadi isteri pemenang...?"

"Benar, tolol! Dan kau tidak tahu mengenai itu, ya? Ikut sayembara hanya untuk iseng saja?" Hui Lian menyerang lagi tetapi kali ini dia merasa terkejut karena kini mudah saja baginya untuk mencoretkan mouw-pitnya kepada pakaian lawan.

"Wah, kalau begitu biar aku kalah saja. Ambillah perempuan itu untukmu, sobat!"

Kini sambil bersilat Hay Hay melakukan gerakan yang amat cepat dengan mouw-pitnya, akan tetapi bukan pakaian lawan yang menjadi sasarannya melainkan pakaiannya sendiri! Bahkan saking gemasnya kepada diri sendiri yang hampir saja celaka karena jika menang dia harus menjadi suami gadis Miao itu, maka dia mencoret-coretkan mouw-pitnya pada mukanya pula!

Saking cepat gerakannya, para penonton tidak ada yang tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu mencoreti pakaian dan mukanya sendiri. Hanya Hui Lian yang tahu dan diam-diam dia tertawa. Betapa pun juga pemuda ini bukan orang jahat dan bukan mata keranjang, bahkan lucu sekali!

Setelah hio yang membara itu padam, pengatur pertandingan segera memberi tanda agar mereka berhenti bertanding dan tanpa dihitung lagi, mudah saja diketahui bahwa Hay Hay telah kalah! Bajunya penuh dengan coretan, bahkan leher dan mukanya juga berlepotan bak hitam! Sorak-sorai menyambut kemenangan Hui Lian, dan mereka yang tadi bertaruh menjagoi Hay Hay, terpaksa membayar kekalahan sambil mengomel panjang pendek.

Sebagai pemenang Hui Lian lalu dihadapkan kepada kepala suku. Kepala suku mencabut golok dari pinggangnya, memberikannya kepada puterinya. Nian Ci, gadis kepala suku itu, membawa golok dan melepaskan pula kalungnya, hendak dikalungkan ke leher Hui Lian dan menyerahkan golok sebagai tanda bahwa ‘pemuda’ itu telah diterima menjadi mantu ayahnya.

Akan tetapi Hui Lian melangkah mundur dan memberi isyarat penolakan dengan tangan. Melihat ini, kepala suku terbelalak dan para penonton menjadi gaduh. Pemenang menolak menjadi suami Nian Ci! Apa pula ini?

"Orang muda!" Kepala suku membentak dengan suara marah karena hatinya penasaran. "Mengapa engkau menolak? Engkau adalah pemenang sayembara tadi sehingga berhak menjadi mantuku!"

"Aku mengikuti sayembara bukan untuk diriku sendiri, akan tetapi mewakili dia!" Dan dia pun menuding ke arah Kiao Yi yang berada di bawah panggung. Digapainya Kiao Yi dan disuruhnya naik ke panggung. Kiao Yi yang tubuhnya masih lemah itu segera naik ke atas panggung kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kepala suku.

"Kiao Yi...!" Nian Ci berseru. Pemuda itu membalas pandangan mata kekasihnya lantas mengangguk tersenyum.

Semua orang mendengar ini merasa penasaran, maka mulailah mereka berteriak-teriak. Mereka adalah suku bangsa yang menjunjung tinggi kegagahan serta kejujuran. Mereka tak setuju bila kini hadiah puteri kepala suku itu diberikan kepada Kiao Yi yang dianggap tidak berhak karena yang memenangkan sayembara adalah pemuda berpakaian putih itu.

Hay Hay juga merasa sangat penasaran. "Heiiii, sobat!" teriaknya dari bawah panggung. "Apa-apaan itu? Engkau sudah menang dan engkau berhak mengawini gadis itu, kenapa menolak? Dia cantik jelita dan manis, pantas sekali menjadi teman hidupmu selamanya. Ha-ha-ha! Bukankah engkau sudah menang?" Hay Hay mentertawakan Hui Lian.

Kepala suku Miao itu kini memandang kepada Kiao Yi dengan mata terbelalak. Dia suka kepada Kiao Yi dan tahu bahwa antara puterinya dan pemuda ini sudah lama terjalin cinta dan saling suka. Akan tetapi dia harus mempertahankan kewibawaan dan kegagahannya sebagai kepala suku.

"Kiao Yi, apa artinya ini? Mengapa engkau lancang berani maju hendak menerima hadiah dari pemenang, padahal pemenangnya orang lain?"

Kiao Yi menjawab dengan lantang sehingga didengar oleh semua orang. "Harap maafkan saya. Sesungguhnya saya sendiri yang hendak maju memasuki sayembara. Akan tetapi saya keracunan dan jatuh sakit, hampir saja mati kalau tidak ditolong oleh... pendekar itu. Melihat saya diracun orang yang agaknya hendak menghalangi saya ikut sayembara, dan mendengar bahwa antara saya dengan Nian Ci sudah saling cocok untuk menjadi suami isteri, Tuan pendekar ini lalu mewakili saya dalam pertandingan sayembara ini."

Sekarang para penonton kembali terpecah dua, ada yang pro dan ada pula yang kontra sehingga keadaan di tempat itu menjadi sangat gaduh dan bising karena mereka saling berbantahan sendiri. Ada yang setuju kalau puteri kepala suku menikah dengan Kiao Yi yang sudah dikenal sebagai pemuda suku sendiri yang cukup gagah perkasa. Ada pula yang mempertahankan agar puteri kepala suku dikawinkan dengan pemuda pakaian putih sebagai pemenang sayembara.

Selagi keadaan mulai menjadi tegang, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan tampaklah orang-orang Miao berlarian, dikejar oleh orang-orang yang keadaannya sangat mengejutkan karena mereka itu adalah orang-orang yang berwajah dan bersikap sungguh menyeramkan. Apa lagi ketika nampak beberapa orang Miao sudah roboh mandi darah akibat diserang oleh beberapa orang itu. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerbu perkampungan itu.

Hui Lian sudah meloncat turun dari atas panggung. Ia tadi menengok dan melihat bahwa di antara para penyerbu terdapat dua pasang suami isteri yang pernah dilawannya ketika mereka hendak merampas domba-domba yang digembala seorang anak Miao pada hari kemarin. Dia tahu alangkah lihainya mereka, dan kini mereka berempat datang bersama belasan orang lain yang keadaannya juga aneh-aneh namun menunjukkan bahwa mereka adalah kaum sesat yang berilmu tinggi.

Hay Hay juga terkejut, bukan saja melihat dua pasang suami isteri itu, melainkan karena di antara para penyerbu itu dia mengenal pula Ji Sun Bi yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) yang cantik dan cabul itu bersama gurunya, Min-san Mo-ko yang lebih lihai lagi. Melihat kedua orang ini, Hay Hay mengerutkan alisnya dan teringatlah dia kembali akan pengalamannya ketika dia terjatuh ke tangan dua iblis itu. Untunglah bahwa dia dapat lolos dari tangan dua orang manusia keji ini, ditolong oleh mendiang Pek Mau Sanjin yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadanya.

Bagaimanakah dua pasang suami isteri iblis itu kini dapat bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, murid dari mendiang See Kwi Ong, seorang di antara Empat Setan? Seperti kita ketahui, suami isteri Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan telah bersekutu, setelah tadinya bermusuhan karena memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) keluarga Pek dan sama-sama gagal. Ketika secara berkelompok mereka bertemu pula dengan Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong yang sudah bergabung pula dengan Min-san Mo-ko yang setingkat, dua pasang suami isteri ini lalu menggabungkan diri pula.

Ketika itu golongan hitam yang mulai menghimpun kekuatan ini mendengar bahwa Jaksa Tinggi Kwan Sin bersama keluarganya sedang mengadakan liburan ke Telaga Tung-ting. Jaksa Tinggi ini terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang pembesar yang selalu menghadapi dunia kejahatan dengan tangan besi.

Banyak sudah tokoh-tokoh kaum sesat yang menjalani hukuman berat melalui Kwan-taijin ini, maka oleh kalangan sesat dia pun dianggap sebagai tokoh musuh. Banyak orang dari dunia hitam menginginkan nyawanya, bukan saja karena membencinya sebagai seorang pejabat yang bertangan besi terhadap penjahat, juga terutama sekali karena pembesar itu terkenal memiliki mustika yang amat langka.

Benda mustika itu berupa sebuah giok (batu kemala) yang sudah ribuan tahun umurnya, berwarna belang merah hijau dan mempunyai khasiat menyembuhkan segala macam luka beracun, dapat pula menyedot racun dari dalam tubuh dan juga kalau air rendaman batu kemala ini diminum selama beberapa hari berturut-turut, maka dapat menjadi obat kuat pembersih darah. Batu giok ini selalu tergantung pada dada pembesar itu sebagai mainan seuntai kalung, tersembunyi di balik jubahnya.

Berita tentang Kwan-taijin inilah yang membuat kawanan sesat itu kini menuju ke Telaga Tung-ting. Dua pasangan suami isteri iblis itu sering kali memisahkan diri dari gerombolan mereka. Kemarin mereka telah gagal merampas domba, kemudian pada hari ini, bersama dengan gerombolan teman-teman mereka, mereka menyerbu perkampungan suku Miao yang sedang mengadakan pesta itu.

Ketika Hui Lian berloncatan menyambut serbuan gerombolan penjahat, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan yang berdekatan dengan Min-san Mo-ko cepat-cepat berkata, "Itulah pemuda yang amat lihai itu."

Mereka telah menceritakan kepada rekan yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka itu tentang kegagalan mereka merampas domba ketika bertemu dengan pemuda berpakaian putih itu.

Begitu melihat Hui Lian, Ji Sun Bi yang mata keranjang segera jatuh hati. Tidak dikiranya bahwa pemuda yang kabarnya telah mengalahkan pengeroyokan dua pasang suami isteri itu adalah seorang lelaki yang demikian tampan. Maka dia pun cepat meloncat ke depan menyambut Hui Lian dengan senyum memikat. Karena sudah mendengar betapa lihainya pemuda pakaian putih itu, Ji Sun Bi telah mencabut sepasang pedangnya dan memegang di kedua tangan.

"Orang muda yang ganteng, engkau ikut saja dengan kami, menjadi sahabat baikku dan kita hidup bersenang-senang!" katanya sambil melepas senyum manis serta lirikan mata memikat.

Hui Lian mengerutkan alisnya ketika melihat sikap wanita yang cantik dan genit itu. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita cabul dan mata keranjang, maka dia pun membentak marah. 

"Perempuan tak tahu malu, jangan mencoba untuk membujukku!"

Ji Sun Bi adalah orang yang selalu berpendapat bahwa jlka sesuatu yang dikehendaki itu tidak akan berhasil dimilikinya, maka sesuatu itu harus dihancurkan! Karena itu, sesudah melihat sikap pemuda berpakaian putih yang memakinya, rasa sukanya segera berubah dan berbalik menjadi kebencian.

"Kalau begitu, mampuslah!" bentaknya, kemudian sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat ke arah Hui Lian.

Melihat betapa serangan wanita itu ternyata cukup dahsyat dan berbahaya, Hui Lian pun maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh, maka dia meloncat ke belakang menghindar sambil menggerakkan tangannya dan tiba-tiba tampak sinar putih kemerahan berkelebat ketika dia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan.

Itulah Kiok-hwa-kiam, pedang yang ia temukan bersama suheng-nya di dalam goa berikut kitab peninggalan In Liong Nio-nio dan Sin-eng-cu The Kok, dua orang di antara delapan tokoh yang dahulu dikenal dengan sebutan Delapan Dewa.

Ji Sun Bi yang sudah marah sekali melanjutkan serangannya dan kini dua gulungan sinar pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam.

"Cringgg…! Tranggg...!"

Ji Sun Bi menahan teriakannya dan terkejut bukan main karena dalam pertemuan pedang itu dia merasa betapa sepasang tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga lawannya memang amat kuat. Ia pun berhati-hati dan kembali menggerakkan sepasang pedangnya menyerang dengan dahsyat. Hui Lian menyambutnya dengan gerakan tenang saja, tetapi dalam gebrakan-gebrakan berikutnya, pedangnya menekan sepasang pedang lawan dan dia pun sudah mendesak hebat!

Melihat ini, Min-san Mo-ko segera melangkah maju. "Sun Bi, minggirlah'" bentaknya dan ketika muridnya meloncat ke belakang, dia melangkah maju lagi menghadapi Hui Lian.

Gadis ini memandang tajam lawan barunya yang bertubuh kurus bermuka pucat itu. Akan tetapi, melihat betapa sepasang mata kakek ini mencorong seperti mata harimau, dia lalu bersikap hati-hati. 

Dengan suara melengking tinggi Min-san Mo-ko menudingkan jari telunjuknya ke arah Hui Lian sambil memandang dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!"

Hui Lian terkejut bukan main karena suara itu laksana menembus otaknya dan menusuk ke arah jantungnya, begitu menguasai dirinya sehingga tak dapat ditahannya lagi pedang di tangannya dilepaskan, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi dia masih mampu bertahan dan tidak menjatuhkan diri berlutut. Melihat ini Min-san Mo-ko mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lagi suaranya yang semakin tinggi melengking.

"Orang muda, engkau tidak mampu menahan lagi, harus berlutut di hadapanku!" Tangan kanannya bergerak-gerak ke arah Hui Lian.

Kembali Hui Lian merasa seolah-olah dirinya dipaksa untuk berlutut dan biar pun hatinya menolak, akan tetapi kedua kakinya sudah gemetar dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut. Mendadak terdengar suara ketawa dan anehnya, suara ketawa ini membuyarkan kekuatan hebat yang memaksanya harus berlutut tadi.

"Ha-ha-ha-ha, Toako yang berpakaian putih, jangan dengarkan omongan dukun cabul itu. Omongannya tiada arti dan gunanya sama sekali, lebih busuk dari kentut perut kotor!"

Ucapan ini langsung membuyarkan pengaruh yang menguasai diri Hui Lian sehingga dia terkejut sendiri melihat pedang Kiok-hwa-kiam di dekat kakinya. Cepat dia membungkuk dan mengambil kembali pedangnya. Dia menoleh dan melihat bahwa yang muncul adalah pemuda bercaping itu.

Mukanya berubah merah karena tadi dia memperlihatkan kelemahannya terhadap lawan dan baru sekarang dia sadar bahwa dia tadi berada di bawah pengaruh sihir. Kalau tahu begitu, dengan pengerahan sinkang dan khikang, dia tentu akan dapat mempertahankan dirinya!

"Terima kasih," katanya kepada Hay Hay.

"Lebih baik engkau bantu orang-orang Miao itu, Toako, dan biarlah aku yang menghadapi Si Dukun Cabul ini!" kata Hay Hay.

Hui Lian melihat betapa dua pasangan suami isteri yang pernah dikalahkannya kemarin, bersama teman-teman mereka kini mulai menyerbu sehingga terjadi pertempuran antara mereka dengan orang-orang Miao yang tentu saja tidak mampu menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu. Beberapa orang Miao telah roboh menjadi korban dari keganasan gerombolan itu. Melihat ini, dengan pedang di tangan Hui Lian lalu berlari dan menerjang ke arah para penyerbu, pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Sementara itu sambil tersenyum lebar Hay Hay menghadapi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Ji Sun Bi segera mengenalnya, maka giranglah hati wanita ini melihat pemuda yang dahulu pernah membuat dirinya tergila-gila itu. Teringatlah dia betapa bagaikan segumpal daging di mulut harimau, pemuda ini telah berada dalam cengkeramannya dan tentu telah dimilikinya kalau tidak muncul kakek aneh yang merebut pemuda ini darinya.

"Hay Hay! Engkau datang mencariku, sayang?" tegur Sun Bi sambil tersenyum manis dan menghampiri, akan tetapi berhati-hati karena dia sudah mengenal kelihaian Hay Hay.

Hay Hay juga tetap tersenyum memandang wanita yang merupakan orang pertama yang mengajarkan dia bercumbu itu, wanita cantik menarik yang kemudian menjadi musuhnya karena hendak memaksakan kehendaknya yang tidak baik, wanita cabul!

"Ji Sun Bi, kita berjumpa lagi! Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memaksakan keinginanmu yang kotor dengan bantuan dukun cabul ini!" Dia menuding ke arah Min-san Mo-ko.

Tentu saja Min-san Mo-ko menjadi sangat marah mendengar dua kali dia dimaki dukun cabul oleh Hay Hay. Tadi dia tidak mengenal Hay Hay ketika pemuda ini muncul dan baru dia teringat sesudah Ji Sun Bi saling tegur dengan pemuda itu. Dia lantas teringat bahwa pemuda ini yang dahulu pernah dijatuhkannya dengan sihir dan sebelum dibunuh hendak dipermainkan dulu oleh Sun Bi, akan tetapi kemudian muncul Pek Mau San-jin yang kuat sekali ilmu sihirnya sehingga pemuda itu dapat lolos.

"Bagus! Dulu kebetulan saja engkau dapat melepaskan diri, sekarang jangan harap lagi, orang muda!" Kakek itu lantas menggosok kedua telapak tangannya, mulutnya berkemak-kemik, matanya mencorong menatap wajah Hay Hay, kemudian dia mengembangkan dua lengannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengar suaranya melengking tinggi.

"Orang muda, tidurlah engkau! Tidurlah, karena kini engkau merasa lelah dan mengantuk sekali!" Suaranya bergema mengerikan dan mempunyai pengaruh amat kuat

Tentu saja Hay Hay sudah siap siaga menghadapi ilmu sihir kakek itu. Dia mengerahkan tenaga batinnya, menangkis bahkan melontarkan kembali kekuatan yang menyerangnya itu kepada Si Penyerang, ditambah lagi oleh kekuatan sendiri yang bergelombang sangat kuatnya.

"Bagus, kakek kurus, bagus sekali, tidurlah engkau!"

Min-san Mo-ko sama sekali tak pernah menyangka bahwa pemuda di depannya itu sama sekali berbeda dengan pemuda yang pernah dirobohkannya dengan sihir! Kini dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang hebat, jauh lebih kuat dari pada ilmu sihirnya sendiri.

Dia tidak tahu betapa kekuatan sihirnya tadi sudah ditangkis dan dikembalikan oleh Hay Hay kepadanya, bahkan ditambah dengan kekuatan pemuda itu sendiri. Kini tahu-tahu dia merasa mengantuk bukan kepalang, menguap dan tubuhnya terkulai, terus rebah di atas tanah dan tidur mendengkur!

Terkejutlah Ji Sun Bi melihat keadaan gurunya yang juga menjadi kekasihnya. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Biasanya gurunya sangat lihai dalam ilmu sihir dan sekali memerintah orang, tentu akan berhasil. Barusan gurunya memerintah Hay Hay untuk tidur, akan tetapi kenapa hasilnya bahkan gurunya sendiri yang tidur mendengkur? Dia pun menubruk dan mengguncang pundak Min-san Mo-ko, mengerahkan sinkang dan berseru,

"Suhu, bangunlah! Bangunlah!"

Sebagai seorang ahli sihir yang amat berpengalaman tentu saja Min-san Mo-ko menyadari bahwa dia telah terpukul oleh serangannya sendiri namun tadi terlambat dia menyadari hal ini sehingga dia keburu terpengaruh dan pulas. Sekarang gugahan Ji Sun Bi membuat dia terbangun lantas dengan muka merah dia meloncat berdiri, memandang kepada pemuda yang masih senyum-senyum itu.

Dia langsung teringat akan ilmu sihirnya yang paling kuat. Sejenak dia diam mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian tiba-tiba saja kedua matanya mencucurkan air mata dan dia pun menangis sesenggukan! Sungguh penglihatan yang lucu dan aneh sekali! Kakek Min-san Mo-ko menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sambil memandang kepada Hay Hay.

"Hu-uhu-hu-huuu...!" Ia menangis dan mengeluh, "Hidup begini sengsara... penuh duka... uhu-hu-huuuu...!"

Tangis biasa saja sudah amat menular, memiliki kekuatan untuk menyeret orang lain agar ikut menangis, apa lagi tangis Min-san Mo-ko ini, tangis yang mengandung kekuatan sihir amat dahsyat. Bahkan Ji Sun Bi, yang meski pun sudah tahu bahwa gurunya melakukan sihir, tak dapat menahan diri dan ikut pula menangis!

Hay Hay merasakan getaran yang sangat kuat, yang seolah-olah menerkam dirinya dan menyeretnya, memaksanya untuk ikut pula menangis bersama Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Bahkan ingatannya pun lalu membayangkan keadaan dirinya yang sebatang kara dan tidak memillki apa-apa di dunia ini, terbayang olehnya betapa sunyinya hidup, betapa dia menderita kesepian.

Mau rasanya dia mengguguk menangis seperti anak kecil. Tetapi kesadarannya membuat dia waspada dan dapat melihat bahwa semua ini hanyalah karena kekuatan sihir lawan! Dia membiarkan air matanya jatuh menetes ke atas pipinya, kemudian dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara menghibur.

"Sudahlah, Kakek yang malang, janganlah terlampau berduka, hal itu dapat mengganggu kesehatanmu."

Kalau mendengar kata-kata hiburan, orang yang sedang bersedih biasanya kedukaannya menjadi penuh keharuan sehingga membuatnya menangis semakin sedih. Demikian pula dengan Min-san Mo-ko, karena kekuatan sihirnya tak cukup kuat untuk mengalahkan Hay Hay, sekarang sebaliknya dia malah terseret oleh kekuatan sihir yang dilepas Hay Hay. Mendengar kata-kata hiburan itu, dia pun menangis makin hebat, tidak hanya mengguguk lagi, malah kini melolong-lolong dan tak lama kemudian dia pun bergulingan di atas tanah sambil menangis seperti anak kecil!

Melihat keadaan gurunya ini, Ji Sun Bi terkejut sekali, akan tetapi dia pun tidak berdaya karena dia juga menangis semakin hebat, terseret pula oleh pengaruh sihir yang dilepas Hay Hay! Guru dan murid itu bertangis-tangisan dengan amat sedihnya, hingga keduanya megap-megap dan sukar bernapas seperti tercekik oleh tangis sendiri.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncul dua orang berpakaian pendeta. Melihat gambar teratai di dada mereka, mudah dikenal bahwa mereka adalah dua orang pendeta Agama Pek-lian-kauw. Seorang di antara mereka membanting sesuatu, terdengar suara meledak dan tempat itu penuh tertutup asap hitam.

Hay Hay menggunakan dua lengannya untuk mengebut dan mengusir asap. Akan tetapi sesudah asap hitam menghilang, tidak nampak lagi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi di situ. Ternyata mereka berdua telah dilarikan oleh dua orang teman mereka dari Pek-lian-kauw! Hay Hay tidak peduli dan cepat dia menyerbu ke dalam pertempuran.

Hui Lian yang memegang pedang dikeroyok banyak orang, akan tetapi permainan pedang pemuda berpakaian putih itu demikian hebat sehingga meski pun ada belasan orang lihai mengeroyoknya, mereka tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedang itu!

Melihat ini, Hay Hay menepuk pundak seorang lawan yang mengeroyok, kemudian orang ke dua. Dua orang itu membalik, kemudian mereka berdua saling hantam sendiri karena di dalam pandangan mereka, masing-masing adalah musuh yang harus dihantam, bukan kawan lagi! Hay Hay melakukan hal yang sama terhadap dua orang pengeroyok lain dan tidak lama kemudian para pengeroyok Hui Lian itu sudah saling hantam sendiri di antara teman mereka!

Tentu saja Hui Lian sendiri menjadi bingung melihat ulah para pengeroyoknya itu, begitu pula dengan orang-orang Miao yang kini dengan enaknya memukuli para penyerbu yang saling hantam sendiri itu. Melihat keadaan ini, Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, juga suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki, menjadi terkejut dan gentar. Mereka cepat berloncatan dan melarikan diri dari tempat itu.

Sisa anak buah atau teman-teman mereka, hanya setengahnya yang akhirnya dapat lolos melarikan diri membawa luka-luka ketika mereka diserbu oleh suku Miao. Ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu, beberapa orang lagi luka-luka dan merangkak pergi, dibiarkan saja oleh orang-orang Miao yang sibuk merawat teman-teman sendiri yang terluka. Pesta yang gembira itu berubah menjadi suasana berkabung karena di antara suku Miao ada beberapa orang pula yang tewas.

Kepala suku menghaturkan terima kasih kepada Hui Lian dan Hay Hay sebab jelas bahwa dua orang inilah yang sudah mengusir para perampok tadi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk memberi tahu kepada kepala suku.

"Saya hendak melakukan pengejaran terhadap mereka dan meninggalkan perkampungan ini. Akan tetapi saya minta dengan sangat supaya Nian Ci dikawinkan dengan Kiao Yi karena keduanya sudah saling mencinta. Maukah kalian memenuhi permintaanku itu?"

Kepala suku dan keluarganya menyatakan setuju, maka Hui Lian lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Hanya dengan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ, membuat orang-orang Miao melongo.

"Ha-ha, aku pun harus pergi!" kata Hay Hay dalam bahasanya sendiri, dan orang-orang pun hanya melihat pemuda itu berkelebat lenyap.

Muncul dan lenyapnya dua orang muda itu tak pernah dilupakan oleh orang-orang Miao di perkampungan itu. Mereka yang masih percaya akan tahyul merasa yakin bahwa kedua orang itu tentulah penjelmaan para dewa yang sengaja datang hendak menolong mereka dari serbuan para perampok tadi.

Kiao Yi juga tidak pernah membuka rahasia bahwa pemuda berpakaian putih itu adalah seorang wanita menurut pengakuan orang itu sendiri. Dia sendiri masih belum yakin betul, akan tetapi dia takut untuk membuka rahasia ini, biar kepada isterinya sendiri sekali pun. Hal itu disimpannya sendiri sebagai sebuah rahasia keramat…..

********************
Berita Duka🙏

Halo, Enghiong semua. Saya mohon maaf mengganggu kesenangan membaca cersil anda. Saya ingin berbagi kabar tentang salah satu pengelola Cerita Silat Indomandarin yang sedang dirawat di rumah sakit karena mengidap Leukimia Stadium 2.

Beliau membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit, maka dari itu saya berinisiatif untuk melakukan open donasi untuk meringankan biaya pengobatan beliau. Donasi dapat dikirim ke norek berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

Setiap sumbangan Anda akan sangat berarti bagi beliau dan keluarganya. Terima kasih atas perhatian dan kepeduliannya🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar