Pendekar Mata Keranjang Jilid 41

Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan, maka muncul angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu.

"Plakk! Plakk!"

Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lainnya dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat.

Kembali ada angin keras menyambar yang sangat mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu.

"Aihh, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.

"Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai? Kalau benar demikian, maafkanlah kami yang tidak tahu diri...!"

Su Kiat tersenyum. Ternyata Cin-ling-pai masih memiliki nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang.

Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, salah satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam goa di tebing jurang.

"Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dengan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoi-nya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!"

Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, tapi sekali ini aku tak akan main-main!"

Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja gadis itu sudah memperlihatkan kehebatannya, dan itu baru main-main saja? Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang amat hebat dan kini mereka tak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka bisa jatuh hanya dalam satu gebrakan saja ketika menghadapi gadis ini!

Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri. Sekarang mereka tidak lagi mengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh!

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka, dan tahu-tahu tubuh itu menyambar dari atas bagaikan seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!

Kong-goan Siang-houw telah meloncat bangun kembali dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya berkelebat sehingga lenyaplah tubuh itu, yang tampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, bagaikan burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, sekarang dengan kepala di bawah sambil kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.

Selama hidupnya dua orang harimau Kong-goan ini belum pernah mendapat lawan yang sepertipandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka telah berusaha untuk mengelak dan menangkis, tetapi tetap saja kalah cepat karena tubuh itu telah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas lantas robohlah mereka seperti sehelai kain.

Ternyata dengan kecepatan yang tak terhindarkan oleh mereka, gadis itu sudah menotok pundak mereka sehingga membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biar pun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Meski pun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.

"Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Namun aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu.

Melihat ini Hui Lian berkata kepada suheng-nya. "Suheng, biarkan aku mewakilimu untuk menghadapi Bouw-kauwsu!"

Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap engkau suka mundur, engkau sudah lulus ujian. Sekarang Bouw-kauwsu ingin mengujiku, maka biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.

Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu mempunyai keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan demikian cepatnya seperti gadis itu, seakan-akan pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja.

Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal dia sendiri belum tentu menang dengan mudah bila menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu!

Sungguh pun Ciang Su Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai dari pada gadis itu, namun bagaimana pun juga laki-laki itu hanya memiliki sebuah lengan saja dan agaknya tak mungkin memiliki kecepatan gerakan seperti sumoi-nya. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andai kata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!

"Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku pun telah banyak berkurang, maka marilah sebentar kita bermain-main dengan senjata, jadi tidak hanya mengandalkan tenaga serta kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh."

Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu lantas mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya. Begitu pedang tercabut dan digerakkan, segera nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukanlah pedang biasa, tetapi sebatang senjata pusaka yang ampuh.

Namun Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi. "Bouw-kauwsu, di antara kita tak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja." 

Bouw Kwa Teng mengira sudah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang mempunyai kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat betapa hebatnya tenaga gadis itu, maka dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan.

Akan tetapi sungguh tak dikiranya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak menggunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jeri, tapi menggunakan senjata, apakah tidak memalukan. Dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biar pun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, sekarang akan melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang?

Selagi dia masih ragu-ragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka sekali pada ketua ini, berkata dengan suara halus, "Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."

"Sebenarnya aku merasa sungkan sekali, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"

Berkata demikian, ketua Hek-houw Bu-koan ini telah memutar pedang pendeknya hingga bentuk pedang itu pun lenyap, berubah menjadi gulungan cahaya hijau yang menyilaukan mata. Tidak mungkin dia sanggup menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan.

Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, laki-laki yang lengan kirinya buntung ini merasa yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka dapatkan karena selama bertahun-tahun tubuh mereka selalu menerima makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia.

Makanan berupa jamur, sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata telah membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sulit dilawan oleh siapa pun juga di dunia persilatan.

Kini Su Kiat menghadapi lawannya yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan ginkang-nya. Seperti yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan.

Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung. Namun guru silat yang sejak tadi telah menduga akan kehebatan ginkang lawan ini, cepat memutar pedangnya, di samping melindungi seluruh tubuhnya juga untuk menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas.

Ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw tadi, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan.

Baik Hui Lian mau pun Su Kiat sudah memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam goa, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di goa itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, yaitu Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan ginkang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara.

Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah bisa menyentuh ujung baju lawan, apa lagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu dapat mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya saja. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya terus menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.

"Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.

"Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya karena bergerak amat cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.

"Trakkk…!" dan pedang di tangannya terdorong ke belakang.

Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual pada waktu mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.

"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi.

Tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang-kunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seakan-akan dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu.

Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian sudah mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat menggunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!

Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, tetapi dia merasa ada sesuatu yang menyentuh leher serta dadanya, lantas lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena kini Su Kiat sudah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata,

"Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"

Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya sambil meraba ke lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.

"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri sesudah mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa jika lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuh dirinya atau setidaknya melukai dengan berat.

"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiap dan Lihiap berhak membuka perguruan silat di mana pun juga."

Melihat sikap guru mereka ini, mendengar pula guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, dan juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun segera maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.

Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka sangat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka.

Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu mampu keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, malah dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, membuat banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu.

Suheng dan sumoi itu pun mulai bekerja. Tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat serta beberapa macam pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri…..

********************

"Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menunggu apa lagi? Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah bila dia telah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu," kata Su Kiat kepada sumoi-nya dengan sikap serius, pada suatu senja saat mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena semua murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang sekarang menjadi besar karena ditambah bangunan baru.

Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suheng-nya langsung menunduk dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan dia merasa malu serta canggung sekali. Betapa pun juga urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya.

Dia pun mengerti bahwa pada jaman itu setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah ketika berusia paling banyak dua puluh tahun. Dan dia telah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suheng-nya, yang juga merupakan pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara begitu banyak pemuda yang sudah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, dia selalu menolak dengan halus.

"Akan tetapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."

"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria jika dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suheng-mu, karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu, kakakmu dan akulah yang akan dicela orang apa bila mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku, kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan begitu banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Segera jatuhkan pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus semua pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga"

Mendengar suara suheng-nya yang bersungguh-sungguh serta sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini Su Kiat cepat menghiburnya.

"Sumoi, kenapa engkau berduka? Urusan ini adalah urusan yang amat menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga peristiwa terpenting dalam kehidupan yang kita alami. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang sangat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau akan menghadapi peristiwa pernikahan, kenapa harus berduka? Apa lagi kalau pernikahan ini bukan merupakan pemaksaan dan engkau diberi hak untuk memilih sendiri calon suamimu."

"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja padamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."

Wajah Su Kiat berseri. "Ahh, jadi engkau telah setuju, Sumoi? Banyak pemuda yang baik sudah meminangmu, akan tetapi bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Kini usianya telah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya sangat baik, halus dan sopan. Juga dia sudah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia kalau menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"

Di lubuk hatinya Hui Lian agak kecewa sebab pemuda yang dimaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah sungguh pun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagai putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.

"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal itu yang kau kehendaki."

"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."

"Aku mengerti, Suheng, engkau aturlah saja. Aku akan mentaati karena aku yakin bahwa segala yang kau kehendaki itu memang benar dan tepat."

Setelah berkata demikian Hui Lian pergi meninggalkan suheng-nya, kemudian memasuki kamar untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumoi-nya dengan wajah berseri-seri, mengira bahwa sebagai seorang gadis, tentu sumoi-nya merasa malu membicarakan urusan perjodohan itu.

Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat kemudian membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang sangat dikagumi, karena bukan saja dia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.

Dua bulan kemudian setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun.

Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walau pun dia menjadi isteri tanpa cinta kasih. Suaminya yang pernah lulus di kota raja itu lebih suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang.

Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walau pun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi apa yang tampak indah dari luar belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya. Antara Hui Lian dengan Tee Sun terdapat perbedaan cara dan selera hidup.

Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat, Hui Lian telah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan aman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya.

Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup yang penuh kekerasan, Hui Lian sering kali turut pergi berburu binatang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan ada kalanya Hui Lian rindu dengan keadaan hidup seperti ini. Makin sering dia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.

Pada dasamya Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sebenarnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam yang dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang beraroma harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun mau pun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian.

Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng biar pun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena kakinya pernah terluka oleh terkaman harimau buas.

Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan sebenarnya memang dia sudah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri adalah seorang pemburu yang gagah berani, tapi melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta.

Tanpa peduli bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu memang tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!

Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak keras, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa dia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya.

Wanita ini menyangka bahwa Su Ta Touw sungguh-sungguh cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Akan tetapi dia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.

Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun, maka marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu pada waktu engkau jauh dariku dan ikut bersama para pemburu kasar itu? Engkau sudah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"

Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau dia tidak ingat bahwa penuduhnya itu adalah suaminya dan laki-laki itu bertubuh lemah, tentu Tee Sun sudah ditamparnya.

"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh isterimu secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia kemudian hajarlah dia yang sudah berani merayu isterimu!" Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.

Akan tetapi tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apa lagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saja lebih kuat dari padanya itu. Namun sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat!

Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoi-nya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjinah dengan pria lain!

"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjinah dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap wajah tampan suami dari sumoi-nya itu.

Tee Sun menghela napas panjang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan. "Memang belum ada buktinya, namun banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu secara terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti yang cukup kuat? Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"

"Bagus!" Tiba-tiba saja muncul Hui Lian yang agaknya semenjak tadi telah mengikuti dan ikut mendengarkan pada waktu suaminya mengadu kepada suheng-nya. "Engkau hendak menceraikan aku? Baik, sekarang juga! Kau kira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau? Ceraikan aku. Sekarang juga!"

"Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.

Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, akan tetapi sia-sia belaka. Keduanya sudah merasa terlampau panas sehingga percekcokan itu pun harus berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoi-nya, maka terpaksa Su Kiat kemudian pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.

"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.

"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap waktu marah-marah dan menduga yang bukan-bukan? Apa bila dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, dan perceraian adalah jalan yang terbaik."

Akhirnya Hui Lian dan Tee Sun bercerai. Hui Lian kembali tinggal bersama suheng-nya dan membantu suheng-nya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati, lantas dengan nekat dia pun melakukan pendekatan sambil melimpahkan rayuan-rayuan mautnya.

Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Dia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga dia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi dia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Dia mengira bahwa sekali ini dia benar-benar bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka dia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!

Ketika dia minta persetujuan suheng-nya, Su Kiat memandang kepada sumoi-nya dengan alis berkerut. "Dia? Ahh, Sumoi, apakah telah kau pikir baik-baik kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw? Jangan lupa bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rumah tanggamu rusak, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tak akan menyesal? Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik dari pada Tee Sun, karena dia begitu kasar dan terlalu pandai bermanis muka."

"Tidak, Suheng. Justru karena dia yang menjadi penyebab aku bercerai, maka sebaiknya bila sekarang aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. Dulu aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, lagi pula sekali ini aku yakin bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."

Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoi-nya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw.

Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suheng-nya.

Pada bulan-bulan pertama Hui Lian merasa amat bahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw!

Baru nampak belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dahulu dia mau begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu birahi yang membadai. Kini, sesudah Hui Lian menjadi isterinya, maka muncullah kembali sifatnya yang asli, yaitu pembosan!

Laki-laki semacam ini tidak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum mendapatkan yang diinginkan, akan tetapi mudah merasa bosan. Kini sikap Su Ta Touw mulai berubah dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang leIaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik.

Hui Lian merasa hatinya bagai disayat-sayat. Dia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu jika harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suheng-nya. Betapa tepat peringatan suheng-nya dahulu. Akan tetapi segalanya telah terlanjur.

Dia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau telah berada di luar rumah, suaminya itu segera berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya

Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai satu tahun lagi. Sudah dua tahun dia menjadi isteri Su Ta Touw ketika dia mendengar bahwa suaminya itu kembali bermain gila dengan seorang wanita tetangganya, dan wanita itu sudah mempunyai tiga orang anak!

Ketegangan memuncak saat dia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu sudah berjinah dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak pernah mendekatinya sama sekali. Suami itu menuduh bahwa isterinya bisa mengandung sebagai hasil perjinahannya dengan Su Ta Touw.....!
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar