Bunyi suling itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa, bermain-main dengan awan yang bergerak menuju timur, kemudian di lain saat menukik turun seolah bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat, bahkan kemudian menyelam dan bersatu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk pada lain saat muncul kembali kemudian berdendang mengiringi angin yang bersilir sejuk di antara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, dan akhirnya menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi.
Sukma Hay Hay melayang-layang, hanyut oleh suara suling itu. Ia ikut melayang di antara awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi, turun hingga ke permukaan sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dan riak air di antara batu-batuan, turut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi.
Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada di antara tiga cabang pohon besar. Sinar matahari sudah mulai menyusup di antara celah-celah cabang, ranting serta daun pohon, menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata, mengusir kabut yang mulai naik membubung dari permukaan tanah dan dari daun-daun pohon di mana semalam mereka berkumpul.
Burung-burung berkicau sambil beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang bukan main seakan-akan semua makhluk hidup, baik yang bergerak mau pun yang tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Memang cahaya matahari pagi merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang membuat semua makhluk mengundurkan diri, dan cahaya pagi seakan-akan menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati selama satu malam.
Kini Hay Hay terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam di sekelilingnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang tadi didengarnya, dan dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main.
Buntalan pakaian yang tadi malam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke punggungnya, lalu dia pun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar di antara semak-semak di bawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut mereka.
Kegembiraan di sekitarnya menular kepada Hay Hay. Ia merasa gembira, hatinya ringan, pikirannya bebas tanpa beban, dan semua ini membuat seluruh anggota tubuhnya bekerja dengan sempurna dan akibatnya dia merasa amat lapar! Hal ini sudah wajar kalau diingat bahwa sejak kemarin siang dia tidak pernah makan sedikit pun. Sekarang terdengar suara berkeruyuk di dalam perutnya.
Dia harus mencari makanan, pikirnya. Kelinci-kelinci itu! Agaknya terdapat banyak kelinci di dalam hutan ini, daging kelinci yang lunak dan cukup sedang untuk mengisi perutnya. Daging kelinci panggang, dengan diberi garam dan bumbu yang berada di dalam buntalan pakaiannya, hemmm, sedap bukan kepalang. Mengingat akan ini, perut Hay Hay semakin meronta dan menjerit.
Dia memungut dua buah batu sebesar ibu jari kaki. Cukup untuk menjatuhkan seekor atau dua ekor kelinci gemuk! Dengan dua buah batu di tangannya, Hay Hay kemudian mencari kelinci.
Tak lama kemudian dia melihat empat ekor kelinci di balik semak-semak, berkejaran dan mereka itu terlihat bergembira. Agaknya satu keluarga, pikir Hay-Hay. Dua ekor yang kecil diikuti dua ekor yang besar. Sayang masih terlampau kecil, pikirnya.
Maka dia lalu memilih salah satu di antara dua ekor yang besar. Cukup besar dan gemuk, seekor pun akan cukup untuk mengenyangkan perut. Dipilihnya yang bulunya putih bersih dan di lain saat, begitu dia menggerakkan tangan, sebuah batu melayang dengan sangat cepatnya ke arah leher kelinci itu.
"Takkk…!" batu itu runtuh di tengah jalan!
Hay Hay terbelalak, merasa penasaran dan batu kedua melayang, lebih cepat dan kuat ke arah kepala kelinci putih itu. Menurut perhitungannya, kalau batu pertama tadi hanya akan membuat kelinci itu jatuh pingsan, batu kedua ini akan membunuhnya.
"Takkk…!" kembali batu itu runtuh seolah-olah menabrak dinding yang tidak nampak.
Akan tetapi pandangan mata Hay Hay yang tajam melihat meluncurnya sinar hitam kecil dari samping dan sinar itulah yang menahan batu-batunya. Dia tidak tahu sinar apakah itu, tapi dia pun tidak sempat melakukan penyelidikan karena dia harus cepat menangkap kelinci sebelum keempat ekor binatang itu melarikan diri ke dalam semak belukar penuh duri. Maka dia pun cepat meloncat ke balik semak-semak, bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah kelinci putih dengan tangan di ulur untuk menangkapnya.
“Wuuutttt...!"
Tiba-tiba saja empat ekor kelinci itu seperti ditiup angin, lenyap begitu cepatnya sehingga dia hanya menangkap angin saja! Pada saat dia mengangkat muka memandang ke arah berkelebatnya binatang-binatang itu, dia melihat betapa dengan tubuh gemetar empat ekor kelinci itu berada di atas pangkuan seorang kakek yang sedang duduk bersila di bawah pohon, tadi tidak kelihatan karena tertutup semak belukar. Dan Hay Hay terbelalak penuh kekagetan dan keheranan, mengamati kakek itu penuh perhatian karena selama hdiupnya belum pernah dia melihat seorang kakek seaneh ini.
Dua orang gurunya, yaitu Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama atau Go-bi San-jin, juga merupakan dua orang kakek aneh, bahkan gurunya ketiga, Pek Mau San-jin pertapa di Min-san, lebih aneh lagi. Akan tetapi mereka bertiga itu masih menyerupai manusia yang hidup terikat oleh peraturan umum, baik sikap, pakaian dan bicaranya. Akan tetapi kakek ini, baru melihat keadaannya saja sudah tidak lumrah manusia.
Kakek ini sukar ditaksir berapa usianya, mungkin sudah tua sekali jika melihat mukanya yang penuh keriput dan garis-garis malang melintang itu. Kepalanya besar, nampak tidak normal karena bagian belakangnya seperti membengkak, dan kepala itu gundul bukannya akibat dicukur tetapi botak dan tidak ditumbuhi rambut. Akan tetapi kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan masih hitam, membuat wajah yang sempit itu nampak bagaikan monyet atau manusia hutan yang liar. Pendeknya, lebih mendekati monyet dari pada manusia!
Tubuhnya nampak kecil pendek, bukan karena ukurannya memang pendek tetapi karena tubuh itu bongkok dan punggungnya melengkung seperti tubuh udang. Sepasang mata itu kecil bundar bagaikan mata monyet, dikelilingi kerut merut, akan tetapi Hay Hay merasa silau ketika bertemu pandang dengan mata itu, karena sepasang mata kecil itu bagaikan dua titik api membara! Hidungnya juga pesek seperti hidung monyet, mulutnya kecil dan seolah selalu tersenyum mengejek.
Yang lebih mengherankan adalah tubuh kakek itu yang tidak tertutup pakaian! Hanya ada semacam cawat terbuat dari kulit pohon yang tergantung di pinggang,. Kakinya telanjang tanpa alas kaki. Sungguh merupakan seorang manusia hutan yang agaknya tidak pernah mengenal peradaban!
Akan tetapi Hay Hay langsung tertegun ketika mendengar suaranya! Bukan manusia liar, juga bukan setengah binatang, tapi seorang manusia yang dapat mengeluarkan kata-kata penuh kasih sayang terhadap empat ekor kelinci di atas pangkuannya itu!
Hanya sebentar saja kakek itu membalas pandang mata Hay Hay karena dia lantas sibuk mengelus-elus tubuh empat ekor kelinci itu bergantian, kemudian mulutnya bicara dengan kata-kata yang penuh kasih sayang.
"Jangan takut, sayang, jangan khawatir. Selama ada Kakek Song di sini, tidak akan ada seorang pun manusia jahat yang mampu mengganggumu. Tenanglah dan pergilah sana bermain-main. Akan tetapi hati-hati selalu apa bila melihat ada manusia, bersembunyilah karena manusia lebih jahat dari pada ular, lebih keji dari iblis. Pergilah, sayang...!" Kakek itu mengelus punggung empat ekor kelinci lalu mendorong mereka agar masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang itu nampak jinak sekali terhadap Si Kakek.
Melihat sikap dan mendengar kata-kata kakek itu, hati Hay Hay merasa tidak enak sekali. Dengan sikap hormat dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu lalu menjura.
"Maafkan aku, Kek. Apakah kelinci-kelinci itu peliharaanmu?"
Kakek itu bangkit hingga tubuhnya nampak makin bongkok, matanya mengeluarkan sinar yang menyambar ke arah muka Hay Hay, lantas dia menudingkan sebatang telunjuk yang bengkok. "Manusia jahat, kau masih muda tetapi sudah jahat, tahunya hanya menangkap binatang untuk dipelihara atau dimakan dagingnya. Keji, sungguh kejam dan jahat sekali! Semua binatang di dunia ini adalah sahabatku, aku tak mengenal apa itu peliharaan. Dan awas kau, kalau kau mengganggu seekor binatang terkecil pun, akan kubunuh kau!"
"Tapi, Kek..."
"Huh, tidak ada tapi! Lihat, pagi demikian indah, alam demikian elok dan suasana begini suci dan penuh bahagia..." Mendadak Hay Hay melihat betapa wajah itu membayangkan kelembutan dan suaranya berubah halus, kata-katanya indah seperti sajak. "Dan engkau manusia jahat lalu datang, tanpa mempedulikan semua keindahan itu, dengan hati penuh kebencian, penuh nafsu membunuh!"
"Tetapi, Kakek yang baik, hatiku tidak dipenuhi kebencian, tidak penuh nafsu membunuh. Yang benar, perutku yang penuh keluh kesah dan jerit akibat lapar!"
"Gila kau! Masa perut lapar saja hendak membunuh kelinci?" bentak kakek itu. "Kau lebih jahat dari pada segala makhluk. Binatang jauh lebih baik dari pada manusia macam kau!"
Hay Hay merasa amat penasaran. Dia melihat ke atas dan tampak seekor burung sedang makan ulat. "Kakek yang baik, jangan kau sembarangan memaki orang. Lihat, binatang-binatang pun memakan sesama makhluk hidup bila mereka lapar. Burung itu makan ulat, juga cacing dan serangga. Kucing makan tikus dan cecak. Harimau dan singa memakan kijang, kambing dan kelinci!"
"Tentu saja, tolol! Karena memang itu makanannya! Harimau tidak suka makan rumput, kalau tidak ada kijang atau kambing atau binatang kecil lainnya maka dia akan mampus kelaparan. Sebaliknya, kerbau tidak suka makan daging, makanannya adalah rumput, jika tidak ada rumput dia akan mampus kelaparan! Akan tetapi engkau adalah manusia, apa saja yang tidak kamu makan? Kamu makan daging bukan karena lapar, melainkan karena mencari enak! Tidak boleh disamakan dengan harimau!" Kakek itu mencak-mencak dan nampak marah.
"Kakek yang baik, sekarang ini perutku sedang lapar bukan main. Kalau aku tidak boleh menangkap binatang untuk kumakan dagingnya, aku pun tentu akan mati kelaparan."
"Bohong, begini banyaknya makanan di sekelilingmu. Daun-daunan, buah-buahan, bahkan rumput pun dapat kau makan."
Hay Hay tertegun. "Apakah engkau sendiri juga tidak pernah makan daging, Kek? Hanya makan rumput, daun dan buah?"
"Tentu saja! Aku bukan manusia jahat pelahap macam engkau! Aku penyayang binatang karena mereka itu jauh lebih suci dari pada manusia yang berhati palsu, curang, kejam dan munafik, ha-ha-ha!" Tiba-tiba kakek itu berjingkrak dan tertawa.
Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kakek ini bukan hanya aneh, akan tetapi agaknya otaknya juga sudah miring, sudah gila! Suara tawanya itu tidak wajar dan muka yang dapat berubah-ubah itu menunjukkan bahwa kakek itu memang tidak waras.
Agaknya untuk membuktikan kata-katanya, kakek itu lantas mencabut rumput hijau muda lantas memakannya. Nampak enak seperti seperti seekor sapi makan rumput, kemudian memetik pupus daun pohon dan memakannya pula.
Melihat ini Hay Hay tersenyum. "Kakek yang baik, apa kau sangka karena makan rumput dan daun saja, engkau tidak membunuh? Rumput dan daun itu pun telah kau bunuh saat engkau memakannya, belum lagi terhitung kutu-kutu dan binatang-binatang kecil yang tak nampak oleh mata, yang berada di daun dan rumput itu, ikut pula kau kunyah dan kau telan. Entah berapa ratus ekor binatang kecil sekali yang kau makan bersama rumput dan daun itu!"
Kakek bongkok itu memandang dengan sepasang mata mencorong. Mulutnya yang tadi sedang mengunyah daun menghentikan gerakannya, kemudian kalamenjing itu bergerak menelan rumput dan daun di mulutnya, nampaknya agak sukar. Setelah semua sayur itu habis di telannya, baru dia dapat berkata marah,
"Engkau gila! Sudah, aku tak sudi berbicara dengan orang gila, aku tidak mau naik darah lantas membunuh orang gila! Akan tetapi awas, sekali saja kau ganggu seekor binatang, akan kubunuh kau, manusia jahat!" Sebelum Hay Hay menjawab, sekali berkelebat kakek itu pun lenyap.
Hay Hay tertegun. Tidak disangkanya bahwa kakek itu memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya, seperti menghilang saja. Maklumlah dia bahwa kakek itu bukannya sembarang orang. Tadi saat menangkis sambitan batunya sampai dua kali, kemudian menghindarkan kelinci dari tubrukannya, sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Siapakah kakek itu pikirnya. Tingkahnya seperti orang yang otaknya miring, seperti orang gila, akan tetapi kakek itu memaki dia sebagai orang gila. Kakek itu menyayang binatang, hal ini jelas sekali, dan menganggap orang yang makan daging binatang amatlah biadab.
Siapakah yang gila, kakek itu ataukah dia? Dia tahu bahwa banyak sekali binatang kecil yang tak bisa dilihat oleh mata saking kecilnya, hidup di dalam dan di luar daun-daun dan sayur-sayuran sehingga jika makan sayur mentah pun tanpa disengaja sudah membunuh banyak binatang!
Ahh, di sinilah letak perbedaannya, pikir Hay Hay. Kakek itu pantang membunuh, biar pun tadi mengancamnya akan membunuh bila mana dia berani mengganggu binatang. Kakek itu pantang membunuh, apa lagi membunuh untuk makan!
Membunuh sengaja dan tanpa sengaja jelas berbeda. Membunuh binatang untuk makan dagingnya memupuk kekejaman serta memperbesar nafsu mengejar kesenangan melalui makanan. Agaknya inilah inti pelajaran yang tersembunyi di balik tingkah yang aneh dari kakek tadi.
Ahh, peduli amat, perutnya lapar! Hay Hay menengok ke kanan kiri namun tidak nampak bayangan kakek tadi, juga tidak terdengar suara, maka dia merasa yakin bahwa kakek itu tentu sudah jauh dari situ. Dia pun kembali mulai mencari binatang buruan untuk dijadikan calon korbannya, calon mangsanya.
Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan di atas pohon. Dia berhenti bergerak dan melihat ada seekor ular sedang merayap turun dari atas sebuah pohon melalui sebatang cabang yang menjulur ke bawah. Gerakan ular itu lambat sekali, tak mengeluarkan suara, bahkan seperti tidak nampak bergerak tapi tubuhnya semakin maju dan lidahnya bergerak keluar masuk monconganya dengan amat cepat seperti tusukan pedang di tangan seorang ahli.
Ketika Hay Hay memperhatikan ke bawah, dia melihat seekor tikus besar sedang makan bangkai ayam hutan. Begitu asyiknya tikus hitam itu makan daging bangkai ayam hingga agaknya dia lupa akan segala. Walau pun matanya selalu bergerak ke kanan kiri dengan waspada, akan tetapi dia tak melihat benda bergerak yang hidup dan mengancam di atas kepalanya itu. Seekor ular sedang mengintai dan merunduk calon korban dan mangsanya, pikir Hay Hay.
Hatinya tertarik sekali maka dia pun tidak berani bergerak, takut kalau akan mengejutkan pemburu di atas pohon berikut buruannya yang berada di dekat semak di bawah cabang pohon itu. Sebagai seorang ahli silat, perasaannya sangat peka terhadap setiap gerakan dan dia seakan-akan dapat merasakan ketegangan dan kegembiraan penuh harapan dari ular itu, kegembiraan seorang pemburu yang mengintai dan mengejar calon korban!
Hay Hay yang mengikuti gerakan ular itu, diam-diam ikut pula merasakan kegembiraan itu dan dia malah membuat ancang-ancang, seolah-olah dialah yang hendak menerkam tikus itu. Saat melihat posisi ular yang telah tiba di dekat ujung cabang yang mulai melengkung akibat bobot ular itu, dia sudah merasakan bahwa kini tibalah waktunya untuk menerkam. Dan ternyata perhitungannya tepat sekali, binatang itu pun menjatuhkan diri ke bawah!
Karena kehilangan beban berat, maka cabang pohon itu melenting ke atas dan daunnya mengeluarkan bunyi. Hal ini cukup membuat tikus yang berada di bawah menjadi terkejut ketakutan dan meloncat karena perasaan nalurinya membisikkan ancaman bahaya.
Akan tetapi tubuh panjang ular itu memungkinkannya untuk menyambar dengan moncong terbuka ke arah meloncatnya tikus itu sehingga loncatan itu harus terhenti di udara karena tubuhnya sudah tertahan oleh gigitan ular yang tepat mengenai lehernya. Tikus itu segera meronta-ronta, mencakar dan mengeluarkan suara bercuitan menyedihkan.
Sejenak Hay Hay memejamkan mata hingga suara itu terhenti. Ketika dia membuka mata lagi, nampak betapa ular itu perlahan-lahan mulai menelan tubuh tikus yang tak bernyawa lagi itu, sedikit demi sedikit karena perut tikus yang gendut itu lebih besar dari pada lebar mulutnya. Sepasang mata ular itu meram melek dan kelihatan betapa dia amat menikmati santapannya!
Hay Hay menghela napas panjang. Betapa mengerikan, betapa kejamnya. Sejenak timbul keinginannya untuk membunuh ular itu. Akan tetapi dia teringat bahwa memang beginilah cara ular mempertahankan hidupnya, yaitu membunuh dan memakan binatang lain yang lebih kecil atau juga lebih besar namun kalah kuat.
Ular tidak akan dapat hidup dari makan rumput, daun atau pun buah. Makanannya adalah bangkai binatang lain! Tikus itu pun tadi sedang makan bangkai ayam hutan yang mulai membusuk! Dia mulai melihat kebenaran tingkah dan sikap kakek gila tadi. Tidak, ular itu tidak kejam, tidak buas. Ular membunuh untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi manusia?
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan bening. Hay Hay cepat meloncat ke arah dari mana datangnya suara itu. Suara rusa betina! Dia mengenal suara itu. Daging rusa amat enak, lebih lezat dan gurih dari pada daging domba! Masa bodoh dengan peringatan kakek gila itu beserta filsafatnya, masa bodoh dengan ular itu, yang penting dia amat lapar dan kini dia sedang membutuhkan daging rusa yang enak!
Dengan ilmu lari cepatnya, sebentar saja Hay Hay sudah dapat melihat rusa betina yang mengeluarkan lengkingan tadi. Dia mengintai dari balik semak-semak. Di depan, di dekat sebuah rawa kecil, nampak seekor rusa betina bersama seekor anaknya dan rusa betina itu nampak marah, bersikap melindungi anaknya dan siap menyerang seekor rusa jantan yang mendekatinya.
Sejenak mereka berdua itu mendengus-dengus. Si jantan hendak mendekati tapi si betina marah dan menolak. Akhirnya rusa jantan itu kecewa, menggerakkan kepala ke atas lalu memutar tubuhnya, membalik dan berlari pergi.
Rusa betina itu agak kurus, maklum karena sedang menyusui, dan anaknya masih terlalu kecil untuk dimakan dagingnya. Hay Hay telah siap untuk meloncat dan menangkap rusa betina itu. Walau pun rusa itu amat gesit dan dapat berlari cepat, dia yakin akan mampu menangkapnya. Apa lagi rusa betina itu sedang menjaga anaknya, tentu dia tidak akan mau meninggalkan anaknya melainkan mengajaknya melarikan diri, akan tetapi rusa kecil itu belum begitu kuat untuk berlari secepat induknya.
Akan tetapi tiba-tiba timbul keraguan di hati Hay Hay. Apakah dia akan sama dengan ular tadi? Kalau dia membunuh induk rusa itu, lalu bagaimana dengan anaknya? Tentu akan mati karena tidak ada yang menyusuinya! Dan bagaimana pula kalau diketahui oleh kakek tadi? Berarti dia mencari musuh.
Sekaligus dia akan menukar beberapa potong daging rusa kurus yang belum tentu enak itu dengan tiga kerugian. Pertama, dia akan membayangkan bahwa dia tak ada bedanya dengan ular tadi, ke dua dia akan selalu teringat sebagai seorang kejam yang membunuh induk rusa dan membiarkan anak rusa itu mati kelaparan, dan yang ke tiga, mungkin dia akan dibenci dan dimusuhi kakek gila yang sakti tadi.
Selagi dia hendak meninggalkan tempat itu karena nafsunya untuk makan daging kijang lenyap sama sekali, terdengarlah auman nyaring dan suara itu bergema di seluruh hutan, menggetarkan bumi. Hay Hay melihat munculnya seekor harimau di balik semak-semak, tak jauh dari tepi rawa di mana induk rusa tadi berada. Anak rusa cepat-cepat mendekati induknya dan rusa betina menggigil, keempat kakinya gemetar, akan tetapi dengan gagah dia melindungi anaknya sambil memasang kepalanya ke bawah, matanya melirik ke arah harimau itu, siap melindungi anaknya sampai saat terakhir!
Melihat ini, Hay Hay lupa segala. Dorongan batinnya untuk menolong pihak yang lemah terancam membuat dia melompat bersamaan dengan lompatan harimau yang menerkam rusa. Dua tubuh itu bertemu di udara dan Hay Hay sudah menggerakkan tangan terbuka menghantam ke arah kepala harimau itu.
"Dukkk!"
Pukulan tangan miring itu begitu kerasnya, mengenai belakang telinga kiri harimau. Tubuh harimau itu terbanting keras, mengaum tiga kali akan tetapi lalu berkelojotan dan akhirnya mati. Dari mulut, hidung serta telinganya mengalir darah. Induk dan anak rusa itu sudah berloncatan pergi entah ke mana, dan entah muncul dari mana pula, kini di tempat rusa itu telah berdiri kakek yang gila dan aneh tadi.
Tentu saja Hay Hay menjadi terkejut sekali. Cara kakek itu muncul dan sekarang berdiri memandangnya dengan mata lebar melotot, membuat dia mengerti bahwa kakek itu telah melihat segalanya dan kini marah karena dia telah membunuh harimau itu. Maka dia pun cepat melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.
"Locianpwe (Orang Tua Gagah), harap maafkan. Tadi bukan aku sengaja membunuh dan mengganggu binatang, akan tetapi ketika melihat betapa harimau itu hendak membunuh induk rusa, aku merasa kasihan kepada induk rusa dan anaknya, maka aku lupa diri dan membela mereka."
"Huh! Kasihan kepada rusa dan anaknya, akan tetapi tidak kasihan terhadap harimau itu! Entah telah berapa hari dia kelaparan dan pada saat dia memperoleh calon penyambung hidupnya, ada saja orang yang usil bahkan membunuhnya dalam keadaan kelaparan!"
Hay Hay terkejut. Tak disangkanya akan demikian jalan pikiran kakek aneh itu. Otomatis dia lalu memandang ke arah bangkai harimau dan melihat binatang itu menggeletak mati dengan mulut, hidung serta telinga berdarah, dengan perut yang kempis, tiba-tiba saja dia merasa kasihan juga.
"Maaf, Locianpwe. Aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kulakukan hanya apa yang timbul dalam perasaanku pada saat itu. Melihat rusa dan anaknya itu terancam..."
"Perlukah harus membunuh harimau itu? Dengan kepandaianmu, mudah saja jika engkau mengusir tanpa harus membunuh. Engkau membunuhnya untuk mendapatkan dagingnya sebagai ganti daging rusa itu bukan? Kejam, sungguh kejam!"
"Maaf, Locianpwe," kata pula Hay Hay, merasa khawatir kalau-kalau peristiwa itu nantinya akan menimbulkan kebencian di dalam hati kakek itu terhadap dirinya sehingga mereka akan bermusuhan, hanya oleh sebab yang amat sepele itu.
"Huh, kalau aku tidak melihat engkau membunuhnya untuk melindungi rusa, apa kau kira aku hanya akan tinggal diam saja? Engkau terlampau mengandalkan kepandaianmu, nah, sekarang aku ingin mencoba sampai di mana kelihaianmu itu. Bersiaplah!" tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membantah lagi, kakek itu segera menerjang kalang kabut kepada pemuda itu!
Hay Hay kaget bukan main. Kakek itu menyerang dengan gerakan yang aneh dan seperti ngawur saja, dan di dalam semua serangannya terkandung sifat gerakan segala macam binatang, akan tetapi ternyata serangan-serangan itu dahsyat dan berbahaya bukan main. Agaknya semua gerakannya itu sepenuhnya berdasarkan naluri saja dan tidak terkendali oleh pikiran, seperti yang dilakukan binatang apa bila sedang berkelahi. Akan tetapi, kalau binatang mempunyai kekuatan terbatas sesuai dengan sifat serta keadaan tubuh mereka, kakek ini memiliki tenaga terlatih yang tumbuh berkat latihan, dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.
Karena repot kalau harus mengelak terus ke sana sini, sedangkan ke mana pun tubuhnya mengelak selalu dibayangi oleh dua tangan kakek itu yang bergerak otomatis melanjutkan serangan yang gagal, terpaksa Hay Hay menggunakan lengan tangannya menangkis.
"Dukkk!"
Keduanya terpental ke belakang. Hay Hay merasa betapa tubuhnya tergetar, sebaliknya kakek itu mengeluarkan suara menggereng karena dia pun merasa betapa pertemuan tenaga itu telah membuat isi perutnya terguncang hebat.
"Eh, kau boleh juga!" kata kakek itu memuji dan kini dia menyerang lagi, lebih hebat dan lebih aneh dari pada tadi karena sekarang dia menyerang dengan jalan menyerudukkan kepalanya ke depan seperti tingkah seekor binatang buas yang bertanduk jika melakukan penyerangan.
Akan tetapi kakek itu tidak bertanduk, dan mempergunakan kepalanya yang gundul botak serta membendol besar, dan karena memang tubuhnya agak bongkok melengkung maka ketika menyeruduk seperti itu, dia tiada bedanya laksana seekor kerbau yang menyerang lawan. Tetapi kalau binatang bertanduk hanya mengandalkan tanduknya dalam serangan, kakek ini di samping menggunakan kepalanya, juga dibantu oleh kedua tangannya yang menyerang dari kanan kiri, bahkan kakinya siap untuk melakukan tendangan!
Hay Hay menjadi amat sibuk mengelak ke sana sini, akan tetapi karena serangan kakek itu memang aneh bukan kepalang, sulit diduga kemana perkembangan gerakan serangan itu, dan mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, juga amat cepat, tetap saja Hay Hay terdorong oleh angin pukulan tangan kanan yang membuatnya terpelanting!
Namun pemuda yang sudah memiliki ilmu yang hebat itu segera melompat kembali begitu tubuhnya menyentuh tanah, dan sekarang dia pun mulai menjadi marah. Gila atau pun tidak, kakek ini sungguh keterlaluan, mendesaknya sedemikian rupa. Maka dia pun mulai membalas! Melihat ini, kakek itu cepat mengelak sambil mengibaskan lengan menangkis dan terkekeh.
"He-he-he, bagus, engkau mulai mempunyai nyali untuk menyerangku. Nah, orang muda kejam, jangan kira bahwa engkau akan bisa merobohkan aku seperti engkau merobohkan harimau tadi. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" katanya sambil berdiri tegak.
Setegak-tegaknya kaki itu berdiri terpentang, tetap saja dia seperti seekor monyet besar sedang berdiri karena punggungnya yang bongkok. Matanya mencorong dan seperti ada api membara di dalamnya, bibirnya yang tersenyum menyeringai itu malah terlihat seperti orang cemberut atau mengejek.
Aneh sekali, melihat kakek ini tiba-tiba timbul perasaan iba di dalam hati Hay Hay. Kakek yang amat tua, tidak seperti manusia lumrah, wajahnya begitu buruk seperti monyet saja, terlantar tanpa baju dan tanpa sepatu, hanya bercawat, padahal memiliki ilmu kepandaian yang demikian tingginya! Timbul perasaan tidak tega untuk menyerang kakek ini, karena itu secara diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya, hendak menggunakan sihir untuk menundukkan kakek ini dan membuat dia tidak marah sehingga tidak menyerangnya lagi.
"Kakek yang baik, lihatlah kepadaku! Aku bukan musuhmu, aku adalah sahabat baikmu! Lihatlah, kita adalah dua sahabat baik, bukan? Aku sahabatmu maka tak seharusnya kita berkelahi atau bermusuhan!" Di dalam setiap kata-katanya itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat.
Kakek itu tampak tertegun, lalu mendengus seperti seekor lembu marah dan membentak, "Aku tidak mempunyai sahabat macam engkau!"
Hay Hay terkejut. Kekuatan sihir yang dipergunakannya tadi amat kuat karena dia sudah mengerahkan tenaga batin. Biar pun kakek ini memiliki pertahanan batin yang bagaimana kuat pun, tentu akan dapat ditembus! Akan tetapi kakek itu kelihatan tidak apa-apa dan enak saja membantah kata-katanya!
"Locianpwe, lihat baik-baik, siapakah aku ini?"
"Engkau seorang manusia yang kejam melebihi ular dan harimau!"
"Engkau keliru, aku adalah cucumu sendiri!"
"Bohong, aku tidak punya cucu!"
"Aku adalah puteramu!"
"Omong kosong, aku tidak punya anak!"
Sungguh celaka, pikir Hay Hay. Dia yakin bahwa siapa saja apa bila dihadapinya dengan sihir ini, tentu akan takluk dan membenarkan semua kata-katanya. Akan tetapi kakek gila ini menyangkal semua ucapannya dan ini hanya berarti bahwa kakek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya.
Demikian kuatkah kakek ini, ataukah kekuatan sihirnya sendiri yang sudah melempem? Dia teringat bahwa kakek ini agaknya pembenci manusia tetapi pencinta binatang, maka kini dia menambah kekuatan pada pandangan mata dan suaranya, lantas berseru dengan suara menggetar penuh kekuatan sihir.
"Locianpwe, lihat baik-baik, aku adalah seekor kelinci!" Dia teringat betapa kakek itu amat melindungi kelinci-kelinci dan nampak sayang sekali kepada binatang itu.
"Ha-ha-ha-ha, engkau yang buruk ini mana bisa dibandingkan dengan kelinci yang bersih, manis dan mungil? Jangan mengacau!"
"Kakek, aku adalah seekor harimau, lihat baik-baik!"
"Ho-ho-ho, tak perlu membadut. Engkau yang lemah ini mana patut menjadi harimau yang gagah perkasa?"
Sial betul, pikir Hay Hay. Kakek ini kebal terhadap serangan sihir, atau memang kekuatan sihirnya yang telah melempem. Sekarang tidak ada jalan lain kecuali lari secepat mungkin meninggalkan kakek gila itu, atau kalau tidak agaknya dia harus berkelahi mati-matian melawan kakek yang benar sakti luar biasa ini.
Dia memilih yang pertama maka cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik sambil mengerahkan ilmu sihirnya. Di mata orang lain tentu dia akan lenyap menjadi asap, tetapi dia pun tak peduli lagi apa pengaruh sihirnya terhadap kakek gila, melainkan cepat-cepat mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan ilmu berlari cepat untuk meninggalkan tempat itu.
Pada waktu itu Hay Hay sudah mempunyai ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia sudah mewarisi bermacam ilmu dari tiga orang sakti yang menggemblengnya penuh ketekunan di samping bakatnya sendiri memang besar sekali. Jarang ada orang yang akan mampu mengejarnya, maka sesudah berlari cepat kurang lebih seperempat jam dia telah berada jauh sekali, mendaki bukit yang dipenuhi hutan.
Karena sejak tadi mengerahkan tenaga, Hay Hay merasa lelah dan tubuhnya berkeringat. Maka, pada saat melihat sebuah batu hitam menggeletak di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan teduh, dia pun menghampiri batu itu dan duduk menjatuhkan diri.
"Aaaahhhh...!" Dia menghela napas panjang dan lega. Enak sekali rasanya beristirahat di tempat teduh itu setelah berlari-lari seperti dikejar setan tadi.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika batu yang diduduki itu tiba-tiba saja bergerak lantas terdengar suara dari batu itu, "Hemm, engkau baru tiba. Sampai mengantuk aku menanti kedatanganmu. Mari kita lanjutkan perkelahian kita!"
Hay Hay meloncat sampai lima meter jauhnya dari batu itu dan ketika dia memandang, ternyata batu itu bukan lain adalah kakek gila tadi yang duduk bersila di situ! Tengkuknya meremang! Sukar di percaya bahwa dia bertemu dengan seorang manusia begini sakti!
Sekarang dia mengerti bahwa dia kalah jauh dalam hal ilmu sihir dan ilmu berlari cepat. Bukan saja kakek itu sudah dapat mendahuluinya, bahkan kakek itu dapat mengubah diri menjadi batu sehingga dia dapat dikelabui. Ini juga merupakan semacam sihir atau sulap yang aneh sekali sehingga orang seperti dia, yang pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek Mau San-jin dapat tertipu!
"Locianpwe, maafkan aku. Aku tak ingin berkelahi dengan Locianpwe," katanya merendah sambil menjura.
"Heh-heh-heh, aku tidak peduli apakah engkau ingin atau tidak, akan tetapi engkau sudah memperlihatkan kepandaian membunuh harimau yang tidak berdosa di hadapanku, maka sebagai hukumannya, engkau harus melawanku, hendak kulihat sampai dimana hebatnya kepandaianmu. Nah, bersiaplah engkau!"
Kakek itu menerjang lagi seperti tadi, dengan gerakan ngawur dan tidak menurut aturan ilmu silat, maka amat sukar bagi Hay Hay untuk mengenal atau bisa menduga gerakan-gerakannya. Kembali Hay Hay segera terdesak hebat dan diam-diam dia merasa sangat penasaran.
Bagaimana pun lihainya, kakek ini hanyalah seorang manusia biasa dan dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia harus membela diri dan membalas serangan kakek ini dengan ilmu-ilmu tinggi yang pernah dipelajarinya.
"Baiklah, kalau engkau memaksa, aku harus membela diri!" teriaknya.
Dia pun langsung membalas serangan kakek itu dengan serangan kilat. Kakinya bergerak dengan Jiau-poa Poan-soan, ilmu langkah ajaib yang pernah dipelajarinya dari See-thian Lama, sedangkan kedua tangannya mengirim serangan bertubi-tubi, tamparan yang amat dahsyat, totokan-totokan yang menggunakan satu jari, dua jari, bahkan tiga jari, semua mengancam jalan darah terpenting di seluruh bagian tubuh lawan! Hebat bukan kepalang serangkaian serangannya itu sehingga berkali-kali kakek itu berloncatan mengelak sambil memuji-muji.
"Wah, hebat kau! Hei, bukankah ini Jiau-poa Poan-soan? Wah, agaknya engkau mewarisi ilmu dari See-thian Lama, manusia dari Go-bi-san itu, ya? Ha-ha-ha, keluarkan semua!"
Hay Hay semakin heran dan terkejut, yakin bahwa tentu kakek ini seorang yang memiliki kedudukan tinggi walau pun nampak terlantar dan gila, tetapi buktinya mengenal ilmu dari suhu-nya yang kedudukannya amat tinggi sebagai seorang di antara Delapan Dewa.....