"Dia tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu telah membuat aku merasa malu dan marah, juga merasa terhina, maka aku menyerangnya!" katanya nekat.
Sui Cin merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau memang pemuda itu hanya mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian? Kalau puterinya itu tidak setuju, cukup mengatakan saja atau meninggalkan pergi.
"Kui Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Apa bila engkau tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus marah-marah dan memukulnya."
Kui Hong diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya sehingga dia merasa perlu menegur Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh.
"Ki Liong, perbuatanmu tadi sungguh lancang dan menyinggung hati cucu kami. Kuharap engkau bisa melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tak boleh melakukan hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?"
Tiba-tiba saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya! "Teecu merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima hukuman apa pun atas kelancangan dan kebodohan teecu."
Ceng Thian Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi mengapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata? "Sudahlah, penyesalan tidak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah, kembalilah ke kamarmu."
Ki Liong memberi hormat kepada suhu dan subo-nya, bahkan sesudah bangkit berdiri, dia menjura dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata, "Suci, aku mohon maaf sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku." Sesudah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda itu pun pergi meninggalkan taman untuk kembali ke dalam kamarnya
"Kui Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu," kata Sui Cin, merasa tidak enak juga kepada ayah dan ibunya.
Baru saja dia bersama puterinya pulang ke rumah ayah bundanya, membawa berita yang amat buruk mengenai hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah dan ibunya ikut merasa pusing. Dan sekarang, baru setengah malam saja berada di situ, puterinya telah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan perasaan tak enak. Sungguh dia merasa sebagai beban kedua orang tuanya saja yang tentu hidup di dalam keadaan aman tenteram sebelum dia datang dan kini menjadi kacau begitu dia pulang!
"Ah, Kui Hong memang seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja dia marah-marah lantas turun tangan. Sungguh tidak baik sekali," katanya sambil menarik napas duka. Jika saja di situ ada suaminya, tentu suaminya itu dapat mengambil tindakan yang tepat.
Toan Kim Hong merangkul puterinya. "Tidak mengapa, tidak perlu khawatir. Dia memang agak keras hati, tetapi gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak angkuh dalam soal cinta dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Namun Ki Liong juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuat anak itu merasa malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya akibat dia merasa dihina dengan pernyataan cinta itu. Aihh, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang muda dengan cinta mereka."
"Yang membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong," kata Ceng Thian Sin. "Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang sangat alim. Akan tetapi kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?"
"Seperti kukatakan tadi, orang muda yang sedang terlibat cinta memang suka melakukan tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidak terlampau besar untuk dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah hal itu merupakan dosa yang tak berampun? Kalau terlalu ditekan, dia akan merasa rendah dan menjadi pemalu."
Mendengar ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan. "Biarlah kita lupakan saja urusan itu dan aku akan menasehati Kui Hong agar dia juga melupakan urusan itu."
Diam-diam kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, sebenarnya Ki Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali jika keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada Sui Cin.
Mereka semua lalu kembali ke kamar masing-masing dan mereka pun dapat tidur nyenak karena urusan yang timbul tadi memang tak seberapa penting. Namun dapat dibayangkan betapa kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa pamit!
Pemuda itu sudah pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat kenyataan bahwa ada beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari dalam gudang pusaka! Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong? Tak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang bisa memasuki gudang pusaka itu!
"Ahh, apa artinya ini? Apakah dalam waktu semalam saja sudah terjadi perubahan yang demikian besar atas diri Ciang Ki Liong? Apakah setan sudah memasuki batinnya hingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?" kata Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju. "Aku akan mengejar dan menghajarnya kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi sesat!"
"Sabarlah," kata Toan Kim Hong. "Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam sudah membuat dia merasa malu sehingga tidak berani lagi berhadapan dengan kita sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat dari sini tanpa pamit. Sedangkan benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal kemudian kembali. Dan andai kata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal."
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dalam usahanya untuk menekan perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya terhadap muridnya yang dianggap sebagai putera sendiri itu. Walau pun murid itu sudah pergi meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan isterinya benar.
"Ahh, sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia memiliki bakat yang baik sekali dan mungkin sekarang tingkatnya sudah sukar ditundukkan lawan."
Mendengar ini, Sui Cin mengerutkan alisnya. "Benarkah dia demikian hebat, Ayah? Tetapi ketika melawan Kui Hong tadi..."
"Ahhh, engkau tidak tahu, Sui Cin!" kata Toan Kim Hong. "Seperti yang dikatakan ayahmu tadi, anak itu memiliki bakat yang sangat besar, bahkan lebih besar dari pada bakat yang ada padamu! Jangankan Kui Hong, bahkan engkau sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin."
Sui Cin terkejut bukan main. Dia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka dia pun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa dia kalah oleh sute-nya yang masih muda itu.
"Ahh, kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan menjadi penjahat," katanya lirih.
"Akan tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Selama berada di sini biarlah kami berdua akan menggembleng dia dan mengajarkan kunci-kunci pemunah dari semua ilmu berbahaya yang sudah dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak dia akan mampu menandinginya."
Mendengar ini, Sui Cin menjadi girang bukan kepalang dan mulai hari itu juga, kakek dan nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka dengan penuh ketekunan, dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu saja berlatih dengan giat.
Kakek dan neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu dari Bu-beng Hud-couw, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan silat yang selalu menempel di tanah, dan juga cara bersemedhi berjungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan semedhi cara ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak serangan ilmu sihir dan sebagainya.
Diam-diam Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walau pun pemuda itu tampan dan pandai, bahkan masih terhitung paman gurunya sendiri, namun dia gemas sekali kalau mengingat betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apa lagi mendengar batapa pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka milik kakek dan neneknya, diam-diam dia merasa semakin gemas dan marah. Kalau sudah tamat belajar, kelak dia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga hendak menghajar murid murtad itu!
Di samping pemuda itu, yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Dia ingin mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya kedua cita-cita ini, Kui Hong makin giat dan rajin belajar, hampir tak ada waktu lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya…..
********************
Pemuda itu berpakaian sederhana. Wajahnya tampan dengan muka yang berbentuk bulat dan berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan tampak bagus sekali pada kulit muka yang putih itu. Dua matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan sangat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air telaga yang dalam.
Pemuda yang berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini baru saja sampai di luar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan. Dia adalah Pek Han Siong, Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun.
Seperti yang sudah kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri pendekar yang telah mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang di antara Delapan Dewa. Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai.
Sesudah meninggalkan kuil, di dalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok Lo-jin, salah seorang di antara Delapan Dewa yang masih hidup biar pun sudah tua renta. Pada saat melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, kakek ini langsung mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya ke dalam goa untuk dilatih ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat.
Setahun lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin. Setelah pemuda ini berhasil menguasai ilmu yang dipelajarinya, gurunya yang baru itu menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Han Siong segera menjatuhkan diri dan berlutut menghaturkan terima kasih kepada kakek itu dengan hati terharu.
"Di mana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?" Han Siong bertanya.
Kakek itu terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak. "Hoa-ha-ha-ha! Mengapa mesti rindu, Han Siong? Setiap kali engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu, karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku lagi. Usiaku sudah terlampau tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau, dan semua orang yang pernah hidup. Manusia harus memegang dan menjalankan peran masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apa pun yang dipegang, peran itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan perannya yang penting namun pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan yang penting, tapi bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, sekarang pergilah, muridku."
Setelah memberi penghormatan terakhir, Han Siong lalu pergi meninggalkan gurunya yang duduk bersila di depan goa. Sesudah melakukan perjalanan yang cukup jauh, pada senja hari itu akhirnya sampailah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal orang tuanya!
Berdebar jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Akan tetapi bagaimana dia dapat menggambarkan wajah orang tuanya hanya melalui penuturan kakeknya? Bahkan wajah kakeknya pun dia sudah lupa lagi.
Saat menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai, kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah tua sekali dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun. Semenjak masih bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan di depan itu! Betapa dekatnya mereka.
Ayah dan ibu kandung. Akan tetapi betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua ini gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan.
Demikian menurut penuturan Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-pai itu. Karena dia akan dirampas oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di Tibet, maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu. Para pendeta Lama itu sungguh terlalu, pikirnya.
Menurut hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkan dirinya, juga banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar.
Dia mengepal tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita akibat mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu.
Dia akan segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan hal ini, membayangkan betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, sepasang mata Han Siong menjadi basah dan dia lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu.
Tiba-tiba dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia yang tadinya menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka, ternyata di depannya sudah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta.
Mereka bukan seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si. Pakaian mereka berbeda karena jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan wajah mereka pun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet! Namun, segera Han Siong dapat menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu.
Mereka rata-rata berusia enam puluh tahun. Tiga orang di antaranya memegang tongkat dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang. Han Siong pun dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan sembahyang, akan tetapi dapat juga dipergunakan sebagai senjata karena banyak pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata ampuh.
Melihat betapa lima orang pendeta itu berjajar memenuhi jalan di depannya, seperti orang yang sengaja menghadang, dia lalu memberi hormat dengan bersoja, mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada.
"Maaf Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan supaya saya dapat lewat," katanya penuh hormat.
Lima orang pendeta Lama itu mengerutkan alis dan menatap kepadanya dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, seorang di antara mereka yang matanya lebar sebelah, yang sebelah kiri jauh lebih kecil dari pada yang sebelah kanan, dan biji-biji tasbeh pada tangannya itu lebih besar dari pada orang ke dua yang juga memegang tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup, berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing.
"Apakah engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?" Suaranya parau dan datar.
"Benar, Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-sim-pang."
"Hemm, ada keperluan apakah?"
Biar pun wajahnya tetap senyum dan hormat, akan tetapi di dalam hatinya Pek Han Siong mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang hendak mencampuri urusan orang lain, seakan-akan mereka yang berkuasa di situ dan berhak mengurus orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang? Namun dengan sikap tenang dia menjawab,
"Saya hendak pergi menghadap keluarga Pek di sana, Losuhu."
"Hemm, siapakah namamu, orang muda?"
Han Siong sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan tidak mau menyembunyikan dirinya.
"Nama saya Pek Han Siong, Losuhu."
Benar saja dugaannya! Kelima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, segera menggelinding ke belakangnya.
"Perlihatkan punggungmu!" bentak pendeta gendut itu.
Han Siong merasa ada tangan menyambar ke arah punggungnya. Dalam waktu satu detik itu dia pun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka dia pun tidak mengelak, hanya secara diam-diam mengerahkan tenaga dan melindungi tubuh belakang agar tidak terkena pukulan gelap.
"Brettttt...!"
Punggung baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu!
"Omitohud...! Benar dia... dia Sin-tong...!" teriak Si Gendut yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong.
Dengan gerakan yang cepat dan ringan, empat orang pendeta lainnya telah berlompatan ke belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, seperti Si Gendut tadi mereka pun menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong.
"Ampunkan saya... yang sudah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong...!" kata pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung.
Han Siong berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi hatinya juga terasa geli melihat betapa ada lima orang pendeta yang usianya telah enam puluh tahun sekarang berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila, pikirnya.
"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas sebab aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua," katanya.
Pendeta tinggi kurus yang matanya sipit sebelah itu, yang nampaknya menjadi pemimpin mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan sepasang tangan menyembah di depan dada.
"Sin-tong yang mulia, pinceng mohon maaf. Karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng berlima sudah bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas di sini menunggu kedatangan Anda."
Han Siong pura-pura tidak mengerti. "Menunggu kedatanganku? Untuk apakah? Aku tidak pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong."
"Aihh, Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan ini."
"Hemm, aku tetap tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang, setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku."
"Sin-tong, pimpinan kami sudah lama menanti-nanti kedatangan Anda. Sekarang marilah ikut bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberi tahu lebih lanjut kepada Anda apa yang harus dilakukan."
"Apa? Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?"
"Benar, Sin-tong."
"Tldak, aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap ayah dan ibu kandungku."
"Keluarga Pek bukanlah keluarga Anda yang sejati, hanya secara kebetulan saja mereka dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama beserta seluruh umat Buddha di dunia. Marilah, Sin-tong."
"Tidak, aku harus bertemu dengan orang tuaku."
"Boleh bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut bersama kami ke Tibet."
"Harus? Kalian memaksaku?"
"Ahh, mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Namun kami sudah menerima tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Betapa pun juga, kami harus pulang membawa Sin-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali."
"Kalau aku tidak mau?"
"Apa boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar, namun kami harus mentaati perintah pimpinan kami," kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya berkemak-kemik lantas terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya sangat lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat, "Engkau harus mentaati kami!"
Pek Han Siong sudah menduga bahwa para pendeta Lama ini tentu mempunyai ilmu sihir untuk menguasai kemauan orang lain, maka sebelumnya dia telah bersiap siaga sehingga ketika ada getaran suara yang amat kuat itu mencoba untuk menekannya, dia tersenyum saja.
Baik, pikirnya, apa bila kalian mengajak bermain-main dengan ilmu sihir, aku memperoleh kesempatan untuk menguji kemampuanku setelah dilatih ilmu sihir oleh Ban Hok Lojin.
"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan main-main dan hendak memaksakan kehendak kepadaku. Aku tidak mempunyai urusan dengan para Lama di Tibet, dan aku pun berada di tempat sendiri, tak pernah mengganggu kalian. Bagaimana kalian orang-orang beribadat hendak memaksa seseorang? Bukankah itu merupakan dosa besar? Aku tetap tidak mau ikut dan hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan."
Lima orang pendeta itu saling pandang dengan perasaan heran sekali. Pimpinan mereka tadi telah mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu menguasai kemauan orang, akan tetapi agaknya pemuda ini sama sekali tak terpengaruh, bahkan seolah-olah tidak merasa sama sekali! Masih enak-enak saja bicara seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Akan tetapi keheranan mereka segera hilang ketika mereka teringat bahwa yang mereka hadapi adalah Sin-tong. Sebagai Anak Ajaib dan calon Dalai Lama, tentu saja pemuda ini memiliki kelebihan dari pada orang biasa, pikir mereka, belum sadar bahwa yang mereka hadapi bukan sekedar Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang baru saja tamat belajar ilmu sihir yang amat kuat dari seorang di antara Delapan Dewa, yaitu Ban Hok Lo-jin!
Tiba-tiba saja pimpinan Lama itu kembali membentak, kini dengan suara yang melengking lebih nyaring dan bergelombang kuat. "Pek Han Siong, demi Yang Mulia Dalai Lama di Tibet, engkau harus taat dan ikut bersama kami ke Tibet!"
Han Siong merasa alangkah dahsyatnya pengaruh suara itu, namun dia tetap tersenyum karena kalau diumpamakan suara itu seperti deburan ombak yang kuat, dia adalah seperti batu karang yang lebih kokoh lagi, yang tidak tergoyahkan oleh gelombang besar!
"Engkau harus ikut kami!" Lama ke dua menghentakkan tongkatnya ke atas tanah sambil membentak keras.
"Engkau harus taat!"
"Harus ikut!"
"Harus taat!"
Bergantian lima orang pendeta Lama itu membentak dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Han Siong. Akan tetapi pemuda itu berdiri biasa saja, bibirnya tetap tersenyum dan sikapnya masih penuh hormat, sedikit pun tidak bergoyang, sama sekali tidak nampak bahwa dia terpengaruh oleh serangan kelima orang pendeta Lama itu.
Kembali para pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga serangan mereka tadi, yang dilakukan susul-menyusul dengan tenaga gabungan mereka, sedikit pun tidak berbekas!
"Sudahlah, Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Kalau dipaksakan, segala sesuatu di dunia ini akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi."
"Baik, pinceng pergi...," kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.
"Kami pergi..."
"Kami pergi..."
Lima orang itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka lantas sadar bahwa mereka sudah kehilangan kemauan sehingga tanpa mereka kehendaki mulut mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kaki mereka hendak membawa mereka pergi.
"Omitohud...!" Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh.
Kini menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong sudah mempergunakan kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh!
"Pek Han Siong!" kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan, "biar pun engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar terhadapmu, akan tetapi saat ini engkau adalah seorang yang diharuskan oleh pimpinan kami untuk turut ke Tibet. Oleh karena itu terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membawamu ke Tibet!" Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siong dari belakang.
Han Siong tidak mengelak sehingga dua buah lengan yang besar dan panjang itu sudah memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular melibat tubuhnya, membuat Han Siong tidak mampu bergerak lagi. Pimpinan para Lama itu cepat melangkah maju lantas sekali menotok dengan jari tangannya ke arah pundak, tubuh Han Siong segera menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik lagi.
Lima orang pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tak menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu hanya pandai ilmu sihir saja namun sama sekali tidak pandai ilmu silat!
"Bagus, mari kita bawa dia!" kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu.
Si Raksasa segera memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, khawatir kalau-kalau sampai diketahui oleh orang-orang Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan.
Akan tetapi, baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya heran. "Ehh, mana Lung Ti Lama?"
Mendengar ini, teman-temannya berhenti kemudian menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek Lung Ti Lama, seorang di antara mereka, tidak kelihatan dan mereka kini hanya berempat! Berlima dengan tawanan mereka. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan cepat memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi besar dan seketika wajahnya menjadi pucat.
"Celaka, yang kau panggul itu adalah Lung Ti Lama!" teriaknya.
Si Tinggi Besar terkejut sekali, lalu menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja, ternyata yang ditawan dan ditotok tadi adalah salah seorang teman mereka sendiri, yaitu pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta itu menjadi terkejut bukan main dan pimpnan Lama cepat membebaskan totokan dari tubuh Si Pendek. Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa kaku sambil mengomel panjang pendek.
"Bagaimana bisa tahu-tahu engkau yang menjadi tawanan? Padahal tadi kami menangkap Sin-tong!" tegur pendeta tinggi itu.
"Sin-tong apa?" Si Pendek mengomel. "Kalian bahkan mengeroyok aku dan menangkap aku."
Semua pendeta maklum bahwa kembali Sin-tong mempergunakan sihir yang sangat kuat sehingga mereka berlima dapat dipermainkan. Ketika mereka menengok, mereka melihat pemuda itu telah melangkah lagi akan melanjutkan perjalanan memasuki perkampungan.
"Tangkap dia!" bentak pimpinan Pendeta Lama dan mereka pun segera berloncatan dan mengepung Han Siong yang masih bersikap tenang.
"Kalian adalah pendeta-pendeta yang tidak tahu diri." Han Siong menegur. "Mengganggu orang yang tidak bersalah sama sekali."
Akan tetapi lima orang pendeta itu tak lagi memberi kesempatan kepada Han Siong untuk banyak cakap dan mereka pun langsung menerjang dan menyerang. Tiga orang memakai tongkat hitamnya dan dua orang lagi mempergunakan tasbeh yang menyambar dengan dahsyat.
Melihat permainan senjata mereka yang begitu kuat, maklumlah Han Siong bahwa dalam hal ilmu silat, lima oang pendeta Tibet itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga sambil menggunakan ginkang-nya mengelak ke sana sini dengan loncatan-loncatan pendek dan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kerasnya dibandingkan tongkat lawan.
Han Siong tak ingin melukai lima orang pendeta itu karena dia tidak bermusuhan dengan mereka. Dia tahu pula bahwa mereka itu hanyalah petugas-petugas yang melaksanakan tugas dan tidak berani melanggar perintah atasan. Dan dia pun tak ingin memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subo-nya.
Maka, dalam menghadapi pengeroyokan itu dia hanya mainkan ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang dipelajarinya di kuil Siauw-lim-si. Biar pun demikian, karena dia telah memiliki sinkang yang kuat dan ginkang yang membuat gerakannya ringan dan cepat, maka dia selalu dapat menghindarkan diri dari hujan senjata itu.
Han Siong melihat banyak orang berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia mendengar suara seorang laki-laki, cukup keras sehingga terdengar olehnya. "Benarkah dia itu? Tidak kelirukah ini? Pek Han Siong telah kembali...?"
Dia tidak tahu siapa yang bicara itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu keluarga Pek telah berada di situ dan menonton perkelahian.....