Perjalanan yang dilakukan oleh Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, adalah sebuah perjalanan yang sangat jauh dan akan makan waktu beberapa bulan lamanya walau pun mereka sudah mempergunakan ilmu berlari cepat! Tentu saja ibu dan anak ini mengalami banyak kesulitan. Di samping rasa lelah dan hati mereka yang tertekan duka, juga masih banyak gangguan yang harus mereka hadapi sebagai dua orang wanita cantik melakukan perjalanan tanpa pengawalan.
Meski pun usianya telah tiga puluh tiga tahun, namun Sui Cin masih nampak cantik jelita. Tubuhnya yang dulu ramping itu kini memang agak gemuk dibandingkan ketika sebelum dia memiliki anak, akan tetapi bukan gemuk karena kebanyakan gajih sehingga nampak kedodoran, melainkan gemuk padat sebab dia masih terus berlatih silat sehingga dia lebih tepat dikatakan bertubuh montok. Wajahnya kelihatan jauh lebih muda dari usianya yang sesungguhnya sehingga dalam melakukan perjalanan bersama Kui Hong, mereka berdua lebih pantas disebut enci adik dari pada ibu dan anak.
Sampai sekarang pun Sui Cin masih tidak mengubah kebiasaannya semenjak dulu, yaitu sikapnya bebas dan pakaiannya pun agak nyentrik. Dia lebih mengutamakan enak dipakai dari pada indah dipakai. Karena sedang melakukan perjalanan yang jauh, dia tidak lupa membawa payungnya yang merupakan senjata pusakanya, yang dulu sudah mengangkat namanya ketika dia masih gadis, di samping benda itu dapat pula dipergunakan sebagai payung untuk melindungi muka dari sengatan terik matahari dan curahan air hujan.
Juga puterinya mengenakan pakaian yang nyentrik, yakni pakaian pria yang ketat hingga tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mulai mekar itu kelihatan indah menarik laksana buah yang sedang ranum. Berbeda dengan ibunya yang membawa sebuah payung, yang diikat pada buntalan pakaiannya di punggung bila tidak digunakan sebagai payung, gadis yang berusia lima belas tahun ini membawa sebatang pedang yang dipasangnya di atas buntalan di punggung.
Karena gadis ini membawa pedang secara mencolok itulah agaknya yang sudah banyak menolong mereka. Setiap kali ada lelaki yang tertarik dan bermaksud kurang ajar, mereka langsung mundur teratur sesudah melihat pedang itu, maklum bahwa dua orang wanita itu adalah dua orang wanita kang-ouw (sungai telaga, golongan ahli silat) yang tidak boleh sembarangan diganggu.
Kurang lebih sebulan kemudian sesudah meninggalkan Cin-ling-san, pada suatu sore ibu dan anak ini tiba di kota Nan-sian yang terletak di tepi Telaga Tung-ting. Kota ini memang sangat indah karena letaknya di pinggir telaga besar itu yang menampung air dari Sungai Yang-ce-kiang yang lebar. Oleh karena hari telah menjelang sore dan tak mengenal baik daerah itu, pula melihat betapa puterinya tadi mengagumi keindahan pemandangan alam di telaga itu dari suatu ketinggian, Ceng Sui Cin kemudian mengambil keputusan untuk bermalam saja di kota Nan-sian ini.
Mereka memasuki kota Nan-sian, menyewa sebuah kamar yang cukup bersih di sebuah rumah penginapan yang terletak di tempat indah sekali, yaitu di tepi telaga. Setelah mandi dan berganti pakaian, ibu dan anak ini meninggalkan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, akan tetapi tidak lupa membawa senjata mereka.
Sedapat mungkin Kui Hong menyembunyikan pedangnya di bawah baju, sedangkan Sui Cin membawa payungnya. Mereka lantas meninggalkan rumah penginapan untuk melihat keindahan telaga itu di mana terdapat banyak sekali perahu sewaan untuk orang pesiar ke telaga.
"Ibu, kita menyewa perahu, membeli makanan dan makan di atas perahu. Tentu akan menyenangkan sekali!" kata Kui Hong.
Sui Cin tersenyum. Setelah melakukan perjalanan bersama puterinya, sedikit demi sedikit Sui Cin dapat menutup kedukaan hatinya, namun dia merasa kasihan terhadap puterinya yang ikut terbawa terlunta-lunta bersamanya.
"Baiklah, Kui Hong. Mari kita memilih rumah makan yang baik dan minta kepada pelayan untuk mengantar makanan ke perahu yang kita sewa."
Dengan hati gembira, seperti dua orang ibu dan anak yang tengah pergi pelesir dan sama sekali melupakan kedukaan mereka. Sui Cin dan Kui Hong lantas memilih sebuah perahu yang catnya masih baru dan berbentuk naga, tukang perahunya juga seorang kakek yang berpakaian rapi dan bersih. Setelah memperoleh perahu, mereka lalu memesan makanan dan arak yang diantar ke perahu oleh pelayan restoran dibantu oleh kakek pemilik perahu.
Tidak lama kemudian perahu itu pun sudah didayung perlahan oleh kakek tukang perahu, sedangkan Sui Cin dan Kui Hong makan minum di kepala perahu yang sengaja didayung menuju ke barat, menyongsong mentari yang sedang tenggelam. Pemandangan itu indah bukan main. Matahari yang condong ke barat itu membakar langit barat dan bayangannya pada permukaan air yang tenang dan jernih benar-benar merupakan pemandangan yang menakjubkan sekali.
Gembira hati ibu dan anak ini makan minum sambil melihat pemandangan indah itu, dan banyak pula perahu-perahu pesiar lain yang hilir mudik di permukaan telaga yang teramat luas. Terdengar suara musik dipukul orang, ada pula gadis-gadis penyanyi yang bermain yang-kim dan suling, bernyanyi menghibur hati para tuan muda yang bersenang-senang dan bermabok-mabokan di atas perahu besar.
Sui Cin dan Kui Hong tidak senang melihat lagak para kongcu yang bersenang-senang di atas perahu bersama gadis-gadis penyanyi itu. Mereka lalu menyuruh tukang perahu agar mendayung perahu itu menjauh, mencari tempat yang ramai.
Dari jauh perahu-perahu pelesir yang di cat indah itu nampak laksana binatang-binatang aneh yang meluncur berenang di permukaan air. Hanya ada satu dua buah perahu yang kadang-kadang bersimpangan jalan dengan perahu ibu dan anak itu yang masih belum selesai makan minum dengan sangat asyiknya karena mereka tidak tergesa-gesa.
Mendadak terdengar suara merdu dari tiupan suling yang diiringi suara sentilan yang-kim (semacam siter). Di tempat yang sunyi itu, jauh dari perahu-perahu lain yang bising, suara ini terdengar amat merdu, menambah keindahan pemandangan senja hari itu.
Petikan yang-kim yang mengiringi tiupan suling itu sungguh amat indah dan paduan suara itu demikian tepat dan serasi sehingga merupakan musik yang seakan-akan memberikan penghormatan dan mengiringi Sang Raja Hari yang sedang mengundurkan diri ke istana barat.
Ibu dan anak itu tertarik dan menoleh. Ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu kecil sederhana bercat merah yang meluncur perlahan dari arah kiri ke arah mereka. Dengan tenang perahu itu meluncur, dan ternyata digerakkan oleh layar kecil yang terpasang di atas perahu, dibiarkan meluncur ke arah mana pun sebab penumpangnya hanya seorang saja dan orang ini pun tidak mengemudikan perahu karena ternyata dialah yang sedang asyik memainkan musik itu. Akan tetapi, seorang saja memainkan paduan musik suling dan yang-kim, demikian indahnya pula, sungguh sukar untuk dipercaya!
"Dekati perahu itu...," kata Kui Hong kepada kakek tukang perahu karena dia tertarik dan gembira, juga Sui Cin mengangguk setuju.
Akan tetapi kakek itu mengerutkan alisnya, bahkan kemudian menggeleng kepala. "Tidak boleh terlalu dekat, Toanio dan Siocia (Nyonya Besar dan Nona)."
"Ehh, memangnya kenapa?" tanya Kui Hong dan Sui Cin juga memandang heran.
"Saya adalah tukang perahu yang setiap hari bekerja di sini sehingga saya mengetahui segala peristiwa yang terjadi di telaga ini, Nona. Sudah kurang lebih dua minggu perahu kecil itu muncul dan orang-orang tidak berani mengganggunya, karena pada hari pertama, ada sebuah perahu besar mengganggu dan perahu itu langsung saja dibalikkan sehingga tenggelam oleh penumpang perahu yang bermain suling dan yang-kim itu!"
Tentu saja Sui Cin dan Kui Hong tertarik sekali mendengar berita yang aneh itu. "Jahat sekali dia! Siapa sih orang itu?" tanya Kui Hong, mencoba untuk memandang orang yang duduk di dalam perahu kecil itu.
Akan tetapi karena jarak di antara perahunya dan perahu itu masih agak jauh dan cuaca telah mulai remang-remang, dia pun tidak mampu melihat jelas. Hanya kelihatan seorang laki-laki bertubuh sedang yang duduk menunduk di perahu itu, sambil memangku sebuah yang-kim dan memegang sebuah suling. Dia memegang suling itu dengan tangan kirinya, agaknya dia meniup suling dan memainkan suling itu dengan tangan kirinya saja, ada pun tangan kanannya digunakan untuk memainkan senar-senar yang-kim yang berada di atas pangkuannya.
"Saya tidak tahu, Nona. Tak seorang pun yang tahu siapa dia. Akan tetapi semua tukang perahu tidak berani mendekatinya. Selama dia tidak diganggu, maka dia pun tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, malah menyenangkan dengan permainan suling dan yang-kimnya yang luar biasa. Merdu, bukan?"
"Bagaimana dia menggulingkan perahu besar?" Sui Cin yang merasa tertarik bertanya.
Kakek itu menggelengkan kepala. "Siapa mengerti, Toanio? Tahu-tahu perahu itu terbalik, sedangkan orang itu berhenti meniup suling dan memainkan yang-kim. Sesudah perahu besar itu terbalik, barulah dia main musik lagi dan perahu kecilnya meluncur pergi."
"Apa yang telah dilakukan oleh perahu besar itu sehingga dia terganggu dan marah?" Sui Cin bertanya lagi, hatinya semakin tertarik.
"Perahu besar itu hanya lewat terlalu dekat sehingga ada air yang memercik membasahi pakaian dan yang-kimnya, dan para penumpang perahu besar mentertawakannya," jawab tukang perahu yang menghentikan dayungnya karena tidak mau datang terlalu dekat.
"Sombong benar orang itu, ingin aku melihat bagaimana macam orangnya. Paman tua, dekatkan perahu kita dengan perahunya!" kata Kui Hong yang sudah merasa tertarik dan penasaran sekali.
Sui Cin juga tertarik, karena menduga bahwa orang yang dapat sekaligus bermain suling dan yang-kim menjadi paduan suara yang sangat serasi, dan yang berwatak aneh seperti menggulingkan perahu besar yang airnya memercik kepadanya, tentu merupakan orang yang luar biasa. Apa lagi bila dipikir bahwa menggulingkan perahu bukan pekerjaan yang mudah.
"Dekatkan perahu kita," katanya pula kepada tukang perahu.
"Tidak, Toanio, Siocia, saya tak berani. Bagaimana jika nanti perahuku digulingkan pula? Celaka, saya akan menderita rugi." Ia lalu memandang kepada mereka. "Dan belum tentu Ji-wi (Anda Berdua) dapat menyelamatkan diri dengan berenang seperti para penumpang perahu besar itu. Bagaimana kalau Ji-wi sampai tenggelam?"
"Aku akan mengganti kerugianmu kalau terjadi demikian," kata Sui Cin sambil tersenyum.
"Saya tidak berani, Toanio."
"Heh, tukang perahu cerewet! Jika engkau mendekatkan perahumu ke sana, belum tentu dia akan menggulingkan perahumu, akan tetapi jika engkau tidak mau dan masih banyak cerewet, maka sekarang juga aku akan membikin perahumu terguling!" bentak Kui Hong yang gemas sekali melihat tukang perahu itu ketakutan dan menolak permintaan mereka.
Mata tukang perahu itu terbelalak kaget dan mukanya berubah pucat. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang perempuan yang menumpang di perahunya ini sama gilanya dengan laki-laki peniup suling itu! Akan tetapi karena yang mengancamnya hanya seorang gadis remaja, tentu saja dia tidak begitu takut. Agaknya Kui Hong melihat pula hal ini, maka dia pun menggerakkan jari-jari tangan kirinya, menusuk pinggiran perahu yang terbuat dari papan tebal itu.
"Cusss...!" Tiga buah jari yang kecil mungil itu menusuk masuk ke dalam kayu yang keras itu seolah-olah papan tebal itu hanya merupakan tahu yang lunak saja.
"Kau ingin aku membikin lubang-lubang di dasar perahumu?" Kui Hong membentak.
Sepasang mata kakek itu semakin melebar dan mukanya semakin pucat. "Tidak... tidak, Siocia, baiklah... saya... saya mendekatkan perahu...," katanya dengan suara gemetar.
Hampir dia tidak dapat percaya melihat betapa tiga buah jari tangan yang kecil mungil dan halus itu dapat menusuk amblas ke papan perahu seperti tiga batang jari baja memasuki agar-agar saja! Karena maklum bahwa ancaman di dalam perahunya lebih berbahaya dari pada ancaman perahu kecil pemain suling itu, maka dia pun mulai mendayung perahunya perlahan-lahan mendekati perahu kecil dengan hati berdebar ketakutan. Dengan hati-hati dia mendekatkan perahu, menjaga agar dayungnya tidak membuat air terpercik terlampau keras dan agar perahunya tidak sampai menubruk perahu kecil di depan itu.
Kini perahu kecil itu tidak meluncur lagi karena rupa-rupanya angin telah berhenti bertiup. Karena tidak didayung atau dikemudikan, perahu kecil itu hanya bergoyang lirih, kadang-kadang mengarah ke kanan dan kadang-kadang ke kiri seperti orang mabuk. Akan tetapi orang yang duduk pada kepala perahu itu agaknya tak mempedulikan hal ini, masih terus bermain yang-kim yang mengiringi tiupan sulingnya.
Remang-remang nampak seorang laki-laki meniup suling. Dengan ibu jari tangan kirinya dia menyangga suling, ada pun jari-jari tangan kiri lainnya mempermainkan lubang-lubang suling. Laki-laki itu meniup suling dengan suara merdu, melengking-lengking tinggi rendah dengan amat indah, dan suara ini diiringi petikan yang-kim yang dilakukan dengan jari-jari tangan kanannya.
Walau pun memainkan setiap alat musik hanya dengan satu tangan saja, namun jari-jari tangan itu bermain dengan sangat lincahnya dan suara yang berpadu itu amat merdunya. Orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh sedang, dan karena mukanya menunduk, apa lagi ditutup oleh sebuah caping lebar yang berada di atas kepalanya, maka ibu dan anak itu tidak dapat melihat dengan jelas.
Sui Cin teringat akan seorang tokoh dunia persilatan terkenal yang belasan tahun yang lalu masih dilihatnya, yaitu yang berjuluk Shantung Lo-kiam (Pedang Tua dari Shantung), seorang pendekar dari Shantung, merupakan salah seorang di antara Sam Lo-eng (Tiga Pendekar Tua) yang terkenal sebagai seorang ahli pedang dan seorang sastrawan yang pandai pula bermain yang-kim.
Akan tetapi, belasan tahun yang lalu Shantung Lo-kiam telah berusia delapan puluh tahun lebih, dan juga belum pernah dia mendengar bahwa kakek itu juga pandai meniup suling. Apa lagi dengan cara memainkan dua buah alat musik seperti orang ini. Agaknya bukan Shantung Lo-kiam, pikirnya. Lalu siapakah orang ini?
Tiba-tiba suara suling dan yang-kim terhenti, lalu laki-laki bercaping itu mengangkat muka, memandang ke angkasa dan dia pun mulai bernyanyi. Suara nyanyiannya cukup merdu dan lantang, kini diiringi suara yang-kim yang ramai karena dimainkan dengan sepuluh jari tangannya.
"Minum arak meniup suling
memetik yang-kim seorang diri
di atas perahu yang meluncur tanpa kemudi
di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas
perahuku meluncur dengan bebas
melalui jalur yang diciptakan matahari
jalur emas sang surya di senja hari
hidup begini bahagia dan indah
perlu apa segala keluh kesah…?"
memetik yang-kim seorang diri
di atas perahu yang meluncur tanpa kemudi
di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas
perahuku meluncur dengan bebas
melalui jalur yang diciptakan matahari
jalur emas sang surya di senja hari
hidup begini bahagia dan indah
perlu apa segala keluh kesah…?"
Mendengar nyanyian yang seolah-olah merupakan nasehat dan hiburan bagi hati mereka yang memang sedang dirundung malang itu, tentu saja ibu dan anak ini saling pandang dan Sui Cin memuji, "Bagus sekali sajak itu...!"
Sejak tadi Kui Hong juga mengamati orang itu. Setelah kini menengadah, dia bisa melihat wajahnya dan dia tercengang. Seraut wajah yang amat tampan! Wajah seorang pemuda yang agaknya hanya beberapa tahun saja lebih tua darinya. Dan nyanyian yang merdu itu, kata-kata nyanyian yang demikian indahnya. Kui Hong memandang seperti terpesona, setuju atas pujlan ibunya. Memang indah sajak itu, indah pula suaranya.
Tadinya laki-laki itu seolah-olah merasa bahwa dirinya hanya sendirian di tempat luas itu, karena itu agaknya dia terkejut mendengar pujian orang. Dia seperti baru sadar dan cepat memandang, sinar matanya mencorong mengejutkan hati Sui Cin. Untuk sejenak pemuda itu menatap wajah Sui Cin, kemudian mengalihkan pandangan matanya dan memandang kepada Kui Hong penuh selidik. Melihat orang memandang kepadanya demikian lama, Kui Hong mendongkol sekali.
"Apakah kau hendak menggulingkan perahu kami? Coba lakukan, hendak kulihat apakah kau dapat melakukan itu!" tantangnya. Sui Cin kaget bukan main, akan tetapi tak sempat mencegah puterinya yang menantang itu.
Mendengar tantangan ini, sepasang mata yang mencorong itu sekarang ditujukan kepada tukang perahu seakan-akan orang itu mengerti bahwa tentu tukang perahu itu yang telah bercerita bahwa dia pernah menggulingkan perahu. Melihat betapa mata yang mencorong itu menatap kepadanya, tukang perahu segera menjadi ketakutan dan dia pun menjura di tempatnya.
"Mohon maaf, kedua orang penumpang saya ini yang memaksa saya untuk mendekat, maafkan saya..."
Melihat betapa tukang perahu itu begitu penakut, Kui Hong menjadi semakin mendongkol. "Huh, memang benar kami yang memaksamu mendekat. Jika engkau demikian pengecut, tak usah engkau ikut campur. Memangnya danau atau telaga ini miliknya maka kita tidak boleh ke sana ke sini sesuka hati?"
Sekarang sepasang mata itu menjadi ramah, dan wajah yang tampan itu berseri ketika dia berkata, "Paman tua tukang perahu, aku bukan tukang makan orang, mengapa engkau begitu ketakutan?" Kemudian dia bangkit berdiri, lantas menjura ke arah Sui Cin dan Kui Hong. "Bibi yang terhormat dan adik yang manis, aku juga bukan tukang menggulingkan perahu. Tentu saja engkau boleh pergi ke mana saja dengan perahumu itu, siapa yang melarang?"
Sesudah berkata demikian, laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya menarik lepas tali layar dan meluncurlah perahu kecil itu dengan cepat meninggalkan tempat itu.
"Siapa sudi kau bermanis-manis?" bentak Kui Hong akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya. Ketika gadis itu memandang, dia melihat ibunya tersenyum geli.
"Kui Hong, engkau ini kenapakah? Orang itu bersikap sopan dan baik, kenapa kau marah-marah? Wah, jangan-jangan engkau telah kemasukan setan penunggu telaga ini!" kelakar ibunya.
"Mata orang itu seperti mata maling, membikin hatiku sangat mendongkol, Ibu!" kata Kui Hong yang teringat bahwa sikapnya tadi memang agak keterlaluan. Dia telah menantang digulingkan perahunya, kemudian dia marah-marah ketika disebut adik manis. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa sikap pemuda itu sopan dan manis budi.
"Memang telaga ini dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang gawat," tiba-tiba saja tukang perahu itu menanggapi mendengar kelakar nyonya itu. "Tadinya kami juga menganggap pemuda peniup suling itu adalah makhluk halus pula. Maka harap Nona tidak main-main di sini. Entah sudah berapa banyak pelancong yang tewas di telaga ini karena gangguan makhluk halus."
Tadinya Kui Hong hendak membentak orang yang lancang mencampuri percakapan itu, akan tetapi mendengar kalimat terakhir, kembali dia merasa tertarik.
"Kenapa banyak orang pelancong tewas di telaga ini? Diganggu makhluk halus katamu?" Diam-diam Kui Hong melirik ke kanan kiri.
Cuaca sudah menjadi agak gelap dan dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin. Bagaimana pun juga Kui Hong hidup di jaman di mana banyak orang masih percaya penuh kepada segala macam takhyul dan dongeng-dongeng tentang setan, iblis dan siluman. Semua itu merupakan hal-hal yang tak dimengertinya dan menurut dongeng, makhluk halus tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun karena makhluk halus pandai menghilang.
Tentu saja dia merasa takut begitu ada orang bercerita tentang makhluk halus. Apa lagi di telaga seperti itu, di mana dia merasa demikian lemah dan tidak leluasa seperti kalau dia menginjak tanah keras.
Agaknya tukang perahu nampak senang. Bagaimana pun juga, dia memperlihatkan bukti bahwa dia lebih tahu tentang telaga itu, dan lebih tahu tentang makhluk halus dan melihat gadis ini agaknya takut-takut, dia merasa lebih menang!
"Memang telaga ini mengandung banyak keanehan, Nona." katanya bercerita. "Meski pun nampaknya tenang, akan tetapi orang bilang bahwa di bagian tertentu telaga ini demikian dalamnya sehingga tak seorang pun manusia mampu mengukurnya. Kata orang lebih dari seratus tingginya pohon cemara, dan bahkan ada yang bilang bahwa ada bagian di mana terdapat terowongan yang menghubungkan air telaga ini dengan lautan di timur! Bahkan kadang-kadang bagaikan lautan saja, telaga ini akan mengamuk, airnya bergelombang besar dan kalau sudah begitu, banyak perahu tenggelam dan banyak orang binasa. Juga, banyak pula binatang-binatang aneh seperti naga dan laln-lain bermunculan di telaga ini."
"Ihhh...!" Kui Hong kembali melirik ke kanan kiri.
"Tidak aneh kalau telaga ini menjadi gawat dan banyak dihuni setan, karena banyak roh penasaran berkeliaran di sini."
"Kenapa begitu?" Kui Hong mendesak, tapi diam-diam dia mengisar duduknya mendekati ibunya.
"Di samping menjadi tempat hiburan bagi para pelancong, telaga ini juga terkenal sebagai tempat orang membunuh diri, Nona."
"Bunuh diri? Mengapa...?"
"Aihh, banyak sekali sebabnya, Nona. Karena patah hati, karena ketakutan, karena malu dan sebagainya. Sebagian besar wanita yang membunuh diri di sini."
"Maksudku, kenapa di sini?"
"Karena tempat ini amat dalam, sekali terjun, mereka yang tak dapat berenang tentu akan tewas. Dan airnya dingin sekali, juga sangat dalam. Orang yang sudah tenggelam, sukar untuk diselamatkan orang lain. Hanya mereka yang pandai renang sajalah yang tidak mati kalau sampai terlempar ke air. Baru kemarin dulu ada sepasang orang muda membunuh diri di sini. Aihh, kasihan sekali, masih muda remaja, seusia Nona..."
Melihat puterinya nampak ketakutan, Sui Ceng segera berkata. "Sudahlah, jangan bicara tentang hal yang bukan-bukan. Sekarang antarkan kami ke tepi, kami hendak mengaso, malam telah mulai tiba."
"Baik, Toanio dan maafkan saya." Tukang perahu itu girang sekali dan cepat mendayung perahunya kembali ke tepi.
Senang sekali kalau sudah terbebas dari dua orang wanita yang berani ini, yang tadi telah membuat dia ketakutan bukan main karena diharuskan mendekati perahu kecil Si Peniup Suling. Dia masih merasa heran mengapa laki-laki peniup suling itu tidak menggulingkan perahunya tadi, atau tidak membunuh nona yang menantangnya, bahkan bersikap ramah dan sopan. Bahkan Si Peniup Suling itu kelihatan takut. Ya, takut! Aihh, jangan-jangan...
Sambil melirik ke arah Sui Cin dan Kui Hong, kakek itu menjadi pucat mukanya. Ibu dan anak yang demikian cantik, bahkan yang lebih tua itu tidak patut menjadi ibu, cantik halus akan tetapi berani menantang Si Peniup Suling dan bertanya-tanya kepadanya mengenai makhluk halus! Ihh…! Siapa tahu dua orang wanita ini malah makhluk halus yang sengaja menyamar dan mempermainkan dia.
Setelah tiba di tepi, Sui Cin dan Kui Hong meloncat ke darat, membayar tukang perahu itu kemudian pergi. Tukang perahu sejenak melongo sambil memandang uang yang berada pada tangannya, setengah menduga bahwa uang itu tentu akan menjadi batu kerikil atau rumput seperti dongeng orang-orang yang sering dia dengar tentang pembayaran setan yang menyamar sebagai manusia. Dan mulai keesokan harinya, di antara tukang-tukang perahu di situ, tentu akan muncul dongeng baru tentang siluman yang menyamar sebagai dua orang wanita cantik menyewa perahu kakek itu, siluman yang berani menantang Si Tukang Suling yang ditakuti itu!
Ketika Sui Cin dan Kui Hong berjalan menyusuri telaga, tiba-tiba mereka lihat ribut-ribut di tepi sebelah depan, di mana sebuah perahu pelesir yang besar berlabuh. Mereka segera menghampiri tempat itu dan melihat betapa ada enam orang laki-laki tinggi besar yang berpakaian tukang pukul rebah malang melintang dan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun berpakaian mewah nampak berlutut minta ampun kepada seseorang, dan tak jauh dari situ nampak seorang wanita sedang menangis, yang bila dilihat dari pakaiannya tentu seorang gadis penyanyi,.
Ketika Kui Hong dan Sui Cin memandang, ternyata kongcu berpakaian mewah itu berlutut sambil minta ampun kepada seorang pemuda yang bukan lain adalah tukang suling tadi! Sekarang sulingnya terselip di pinggang dan tangannya memanggul yang-kim, laki-laki itu berdiri menundukkan muka memandang kepada kongcu yang minta ampun.
"Hemm, minta ampun? Orang semacam engkau ini sudah sepatutnya dilempar ke telaga biar dimakan ikan! Kerjanya hanya menggunakan kedudukan dan harta untuk menghina orang lain saja! Boleh aku memberi ampun, akan tetapi engkau harus mengganti kerugian kepada nona itu sebanyak seratus tael perak, dan mengantarkan dia kembali ke tempat tinggalnya dan jangan sekali-kali engkau berani mengganggunya. Kalau perintah ini tidak kau laksanakan, besok aku akan datang mengambil kepalamu!"
"Baik, Taihiap (pendekar), baik enghiong (orang gagah), baiklah, akan saya penuhi semua perintah Taihiap...," Kongcu itu meratap.
"Lekas laksanakan!" Bentak pemuda itu dan sekali kakinya menendang, tubuh kongcu itu langsung terguling dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap di antara banyak orang yang merubung di situ.
Kongcu itu meratap kesakitan, akan tetapi segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengantar dara penyanyi yang menangis itu setelah memberinya uang sebanyak seratus tael perak! Tentu saja Sui Cin dan Kui Hong langsung tertarik sekali. Mereka mendekati seorang kakek yang berada di situ dan bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi.
Kakek itu memandang kepada Sui Cin dan puterinya. "Agaknya Ji-wi bukan orang daerah sini, ya?"
"Benar, Lopek, kami pelancong. Apakah yang terjadi tadi?"
"Mari kita berbicara agak jauh di sana," kata kakek itu dan mereka pun berjalan menjauhi tempat itu. Setelah cukup jauh dan kiranya tidak terdengar orang lain, kakek itu bercerita. "Kongcu itu adalah Lui-kongcu, seorang kongcu putera jaksa kota ini yang berwatak mata keranjang dan hampir setiap tiga hari sekali pelesir di sini. Dia tidak dapat membedakan mana wanita yang mau dibegitukan dan mana yang tidak, karena terlalu mengandalkan kedudukan dan uangnya. Gadis penyanyi tadi bukan seorang pelacur, namun dia hendak memaksa gadis itu ikut bersamanya dan melayaninya. Gadis itu tak mau dan menangis, lantas muncul pemuda peniup suling tadi. Terjadi perkelahian dan seperti Ji-wi lihat, enam orang tukang pukul kongcu itu dihajar sampai babak belur dan kongcu itu sendiri dipaksa membayar seratus tael perak. Hemmm, memang menyenangkan sekali kalau kami kaum kecil ada yang membela."
"Lopek, siapakah sebenarnya pemuda peniup suling itu tadi?" Sui Cin kembali bertanya.
"Jangan bertanya kepadaku. Bagaimana kami bisa tahu? Tempo hari dia juga muncul lalu menggulingkan perahu kongcu hidung belang yang kurang ajar dan kini dia muncul begitu saja menolong gadis penyanyi lalu menghilang begitu saja. Aku tidak akan merasa heran kalau dia...," kakek itu tidak melanjutkan ceritanya, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah telaga dengan pandang mata penuh arti.
"Kau maksudkan... makhluk halus penunggu telaga?" tanya Sui Cin.
"Ssttt...," kakek itu berbisik, "Nyonya sudah tahu, tak perlu dibicarakan lagi..." Dan dia pun pergi dengan tergesa-gesa.
Hampir Sui Cin tertawa bergelak melihat sikap dan mendengar bicaranya kakek itu. Akan tetapi karena Kui Hong nampak ketakutan dan gadis itu sudah memandang ke kanan kiri, dia pun diam saja.
"Mari kita kembali ke penginapan," katanya dan Kui Hong hanya mengangguk. Di dalam perjalanan menuju ke penginapan yang berada tak jauh dari telaga, di tepi sebelah sana, Sui Cin berkata, "Tidak kusangka, kiranya pemuda itu adalah seorang pendekar pembela kaum lemah. Sungguh mengagumkan sekali."
"Hemm, belum tentu, Ibu."
"Belum tentu bagaimana?"
"Siapa tahu dia itu... dia itu...," Kui Hong tidak melanjutkan melainkan menuding ke telaga seperti yang dilakukan oleh kakek yang menceritakan kepada mereka tentang perkelahian tadi sehingga Sui Cin tertawa.
Setelah mereka tiba di dalam kamar penginapan, Kui Hong masih tampak takut dan ngeri. "Ibu, katakanlah, sebetulnya setan dan siluman itu ada ataukah tidak?"
"Bagaimana aku tahu?" jawab ibunya dengan suara wajar, bukan bergurau lagi.
"Kenapa Ibu tidak tahu?"
"Anakku yang baik, kalau Ibumu mengatakan tidak tahu, itu berarti Ibumu jujur dan tidak mengada-ada. Memang Ibu tidak tahu, karena Ibu sendiri belum pernah bertemu dengan setan, walau pun sejak muda dahulu, Ibu ingin sekali dapat bertemu dengan setan."
"Ihh! Ibu ini aneh-aneh saja! Ingin bertemu dengan setan?"
"Benar, kalau dapat bertemu kan dapat kita ajak dia bercakap-cakap menceritakan hal-hal yang belum pernah kita ketahui, tentang dunia setan, tentang kehidupannya dan lain-lain. Menarik sekali, bukan? Dan jika Ibu sudah bercakap-cakap dengan setan sendiri, barulah Ibu dapat menjawab pertanyaan setan itu ada ataukah tidak. Selama ini yang kuketahui tentang setan hanyalah melalui dongeng di dalam buku atau mendengarkan cerita orang. Dan yang mendongeng kepadaku itu pun tentu mendengar pula dari lain orang, dari mulut ke mulut. Belum tentu di antara seribu orang yang mendongeng tentang setan itu pernah melihat atau bertemu sendiri dengan setan yang sesungguhnya."
"Kalau begitu, apakah ada setan yang palsu? Dan mengapa banyak orang mengatakan mereka pernah melihat setan, bahkan tempat ini angker tempat itu gawat menjadi tempat yang dihuni makhluk halus?"
"Tentu saja, karena yang biasa dilihat orang-orang itu adalah penglihatan khayal sendiri yang timbul dari rasa takut. Orang yang takut tentu akan dapat melihat benda-benda aneh dan menakutkan, yang sebetulnya hanyalah benda biasa saja. Di waktu malam, sebatang pohon akan nampak seperti setan raksasa bagi orang yang sudah ketakutan akan setan. Kalau batin sudah takut, sudah kacau balau, tentu saja panca indera juga menjadi lemah dan kacau. Setan-setan yang nampak karena khayalan inilah yang kumaksudkan bukan makhluk halus yang sebenarnya, tapi hanya pantulan dari setan yang sudah digambarkan di dalam benak sendiri. Rasa takut seperti itu merupakan suatu kebodohan, bukan? Takut akan sesuatu yang sama sekali tidak kita ketahui! Kenapa mesti takut? Kepercayaan akan setan membuat orang menjadi takut dan takhyul!"
"Tapi, apakah Ibu sendiri tidak percaya akan adanya setan?"
Ceng Sui Cin tersenyum. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak tahu apakah setan itu ada ataukah tidak. Kalau kukatakan ada, buktinya aku belum pernah bertemu dengannya. Kalau kukatakan tidak ada, bagaimana mungkin kalau aku tidak tahu akan keadaannya? Siapa tahu dia ada namun tidak nampak? Jadi lebih tepat jika kukatakan tidak tahu saja."
"Tapi Ibu tidak takut?" .
Ibunya menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak. Kenapa mesti takut kepada setan yang belum pernah kutemui?"
"Kabarnya setan itu amat jahat. Bukankah orang-orang jahat dinamakan setan, iblis dan siluman?"
"Yang jahat adalah manusianya, ini jelas. Apakah setan itu jahat atau tidak, aku pun tidak tahu. Mungkin saja orang jahat itu digerakkan oleh setan, akan tetapi yang tampak adalah orang itu sendiri. Orang yang jahat inilah yang harus kita hadapi dengan hati-hati, mereka inilah yang berbahaya, bukan setan-setan yang tidak nampak. Sudahlah, Kui Hong, perlu apa kita membicarakan tentang setan-setan? Yang lebih menarik bagiku bukan cerita dan dongeng tukang perahu tentang setan, melainkan pemuda itu sendiri. Dia amat menarik hati. Sudah kusangka bahwa dia bukan orang biasa. Kepandaiannya memainkan musik, membuat sajak yang indah, juga cerita mengenai dia menggulingkan perahu para kongcu kurang ajar. Ternyata memang benar dan kita melihat sendiri betapa dia membela gadis penyanyi itu dari tekanan seorang kongcu hidung belang."
"Sayang dia tidak mau menanggapi ketika kutantang. Aku ingin mencoba sampai di mana kelihaiannya," kata Kui Hong penasaran.
"Hush, jangan begitu, Kui Hong! Kita harus selalu melihat dan mempertimbangkan secara baik-baik dengan siapa kita berhadapan. Bukan asal ada orang pandai ilmu silat lalu kita tantang untuk mengadu ilmu! Bukan itu tujuan mempelajari ilmu silat, anakku. Kalau kita berhadapan dengan orang jahat dan kuat yang melakukan penindasan terhadap kaum lemah, bolehlah kita turun tangan menentangnya seperti yang dilakukan pemuda peniup suling itu. Akan tetapi kalau bertemu dengan seorang pendekar, tidak sepantasnya kalau kita menantangnya. Kecuali tentu saja kalau kita ditantang untuk mengadakan pi-bu (adu silat) yang berdasarkan persahabatan, bukan perkelahian."
"Aku juga tidak memusuhinya, Ibu, sesudah tahu bahwa dia adalah seorang pendekar. Hanya ingin menguji sampai di mana kepandaiannya."
Tanpa terasa mereka tiba di kamar dan malam itu Kui Hong agak gelisah tak dapat tidur akibat pikirannya masih membayangkan setan-setan, juga kadang-kadang nampak wajah pemuda peniup suling itu yang membuatnya penasaran.....