Secara diam-diam Hay Hay memperhatikan gerakan pemuda itu. Memang nampak indah, cukup cepat dan kuat, namun gerakan pemuda itu masih belum matang dan tenaga yang dikandung gerakan itu pun tidak cukup kokoh. Hal ini nampak jelas olehnya. Akan tetapi harus diakui pula bahwa pemuda itu memang gagah sekali dan kalau saja tidak angkuh dan mau belajar dengan tekun, tentu ilmu pedangnya itu akan menjadi ilmu yang ampuh.
Karena ingin memamerkan kepandaiannya, Bu Hok bersilat dengan cepat dan setiap kali menusuk atau membabat, selalu dibarengi dengan bentakannya yang nyaring. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking, lantas pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mendekati sebuah pohon di taman itu, pohon yang setinggi orang akan tetapi daunnya lebat.
Gulungan sinar pedang itu kini menyambar di sekeliling pohon, cepat sekali hingga tubuh Bu Hok sendiri tertutup sinar pedang, hanya nampak kedua kakinya berloncatan mengitari pohon kembang itu. Nampak daun-daun pohon itu berhamburan dan ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya lantas berdiri tegak dengan pedang di belakang lengan, pohon itu sudah berubah. Kini daun-daun yang tumbuh pada pohon itu terbabat rata dan seperti dicukur bulat dan rapi!
"Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!" Hay Hay memuji, sekedar untuk mengisi kekosongan.
Akan tetapi Pek Eng mengerutkan sepasang alisnya. Hatinya tidak senang. Pohon bunga itu merupakan salah satu di antara pohon kesayangannya, dan pada waktu itu telah dekat masanya pohon itu berbunga, tapi kini dibabat oleh pedang Bu Hok. Alangkah lancangnya orang ini, pikirnya. Kenapa menggunakan pohon itu sebagai sasaran tanpa terlebih dulu minta perkenan pemiliknya?
Maka, pada saat mendengar pujian yang keluar dari mulut Hay Hay, untuk melampiaskan kedongkolan hatinya terhadap Bu Hok yang merusak pohonnya, dia pun berkata ditujukan kepada Hay Hay.
"Ah, tidak perlu pura-pura memuji!" Kemudian dia menoleh kepada Bu Hok, "Song-toako, dia memuji dengan mulutnya akan tetapi hatinya tentu mengejek karena aku tahu benar bahwa betapa pun indah dan kuatnya ilmu pedangmu, apa bila dipakai melawan dia maka tidak ada artiya sama sekali!"
"Nona Pek Eng...!" Hay Hay berseru kaget.
Wajah Song Bu Hok berubah menjadi merah saking marahnya, lalu dengan langkah lebar dia segera menghampiri Hay Hay. "Kalau begitu, Saudara Tang, mari kau beri aku sedikit pelajaran dan hadapilah ilmu pedangku yang jelek!"
"Tidak, Song-kongcu, aku..."
"Apakah aku harus mengatakan bahwa engkau adalah seorang pengecut yang tak berani terang-terangan menyatakan dengan mulut, melainkan hanya berani melontarkan celaan di dalam hati saja? Benarkah engkau seorang pengecut?"
"Song Bu Hok...!" Hay Hay kini menjadi marah. "Engkau tidak layak memaki aku sebagai pengecut!"
"Jika bukan pengecut, hayo kau hadapi pedangku!" teriak Song Bu Hok yang juga marah sekali mendengar betapa tadi Pek Eng memuji-muji Hay Hay dan mencelanya.
"Aku tidak ingin berkelahi, biar pun aku tidak takut menghadapi pedangmu sama sekali!" kata Hay Hay.
Ucapan ini merupakan minyak yang menambah berkobarnya api di dalam dada Bu Hok. Kata-kata bahwa Hay Hay tidak takut menghadapi ilmu pedangnya dianggapnya sebagai sebuah tantangan.
"Kalau begitu, sambutlah pedangku!" Song Bu Hok berteriak dan teriakan ini segera diikuti serangannya. Dengan pedangnya dia menusuk ke arah dada, tusukannya cepat dan kuat. Hay Hay mengelak dengan mudah.
"Song-toako, aku berani bertaruh bahwa sampai seratus jurus sekali pun engkau tak akan mungkin dapat mengenai tubuhnya dengan pedangmu!"
Ucapan Pek Eng ini bukan sekedar memanaskan hati, melainkan karena dia tadi sudah melihat betapa dengan langkah-langkah ajaib, pemuda itu mampu mengelak dari semua serangan tiga orang pendeta Lama yang jauh lebih lihai dari pada Bu Hok! Akan tetapi teriakan ini membuat hati Bu Hok menjadi semakin panas dan penasaran.
"Hendak kulihat sampai di mana hebatnya pengecut ini!" bentaknya marah kemudian dia memperhebat serangannya.
Tadinya Hay Hay ingin meloncat keluar dan tak mau melayani putera Ketua Kang-jiu-pang itu, akan tetapi mendengar betapa dia dimaki pengecut lagi, hatinya menjadi panas juga. Pemuda ini terlalu tinggi hati sehingga perlu diberi pelajaran, pikirnya.
Maka dia pun segera menggerakkan kedua kakinya, menggunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangkaian serangan yang bertubi-tubl itu. Dengan mudah saja dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, menggeser kaki ke kanan kiri, depan dan belakang, akan tetapi senjata pedang di tangan Bu Hok sama sekali tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya! Setiap kali Bu Hok menyerang dengan cepat sehingga pedangnya nampak berubah menjadi gulungan sinar, tubuh Hay Hay juga cepat menyelinap di antara gulungan sinar itu dan selalu saja serangan Bu Hok mengenai angin kosong!
Bu Hok yang wataknya keras dan angkuh itu tidak menyadari kebenaran kata-kata Pek Eng tadi tentang kelihaian Hay Hay. Dia tidak sadar bahwa ilmu kepandaian lawannya itu jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya, bahkan dia merasa penasaran sekali. Serangannya segera diperhebat hingga akhirnya dia terengah-engah dan tubuhnya basah oleh keringat, sedangkan Hay Hay masih enak-enak saja melangkah dan menggeser kaki ke sana-sini.
"Bu Hok, apa yang kau lakukan itu? Hentikan!" tiba-tiba terdengar bentakan suara Song Un Tek.
Kiranya Song Un Tek dan adiknya, Song Un Sui, bersama pihak tuan rumah, telah keluar dari rumah memasuki taman, dan melihat betapa puteranya menyerang Hay Hay kalang kabut dengan pedangnya, ketua Kang-jiu-pang itu sangat terkejut dan cepat membentak menyuruh puteranya menghentikan serangan.
Namun, Bu Hok yang sudah mabok karena penasaran dan marah masih terus mengirim beberapa tusukan dan sabetan pedang. Hay Hay menggunakan jari tangannya menyentil ke arah pedang pada dekat gagang. Terdengar suara nyaring lalu Bu Hok merasa betapa tangan kanan yang memegang pedang seperti lumpuh.
Hampir saja dia melepaskan pedangnya yang tergetar hebat. Dia tidak melihat apa yang terjadi, tidak tahu bahwa pedangnya telah disentil jari tangan lawan. Akan tetapi Hay Hay melompat keluar petak rumput, menjura ke arah Song Bu Hok dan meraba baju di bagian dadanya yang terobek, agaknya terkena ujung pedang. Akan tetapi hanya robek saja dan kulitnya tidak terluka.
"Kiam-hoat-mu hebat, Song-kongcu, aku mengaku kalah."
Apa bila tadinya dia terkejut dan heran, sekarang Song Bu Hok membusungkan dadanya. Bagaimana pun juga pedangnya mampu merobek baju pada bagian dada lawan, bahkan Tang Hay mengakui keunggulannya! Dia menoleh kepada Pek Eng dan berkata,
"Eng-moi, sungguh pun dia boleh juga, akan tetapi tidak dapat menghindarkan kehebatan pedangku." Berkata demikian, dia hendak menyarungkan pedangnya kembali, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdetak dan pedangnya patah di dekat gagangnya, lantas jatuh keluar dari sarung.
"Eehhhh...!" Song Bu Hok memandang gagang pedang yang masih dipegangnya dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu memandang pada pedang yang sudah buntung dan kini menggeletak di dekat kakinya. "Pedang... pusakaku…?"
Melihat betapa pedang pusaka itu patah, sekali loncat Song Un Sui yang berperut gendut itu telah berada di dekat keponakannya. Mengagumkan sekali gerakan laki-laki gendut ini karena kalau melihat perutnya yang gendut dan tubuhnya yang gemuk bulat, agaknya tak mungkin dia dapat bergerak seringan dan secepat itu.
Kini dia telah membungkuk dan mengambil pedang yang buntung, lalu memeriksa bagian dekat gagang yang patah. Nampak jelas betapa pedang itu memang patah, agaknya telah terpukul oleh benda yang sangat kuat, lebih kuat dari pada pedang itu sendiri. Padahal dia tahu benar bahwa pedang itu bukan pedang murahan, melainkan sebuah pedang pusaka terbuat dari baja pilihan. Dia tadi juga sempat melihat keponakannya menyerang pemuda sederhana yang bertangan kosong itu, bagaimana kini tahu-tahu pedang itu bisa menjadi patah?
Tadi ketika bercakap-cakap bersama kakaknya dan pihak tuan rumah di sebelah dalam, selain pembicaraan mengenai mematangkan ikatan jodoh antara Song Bu Hok dan Pek Eng, juga pihak tuan rumah menceritakan tentang kedatangan tiga orang pendeta Lama yang mengungkit kembali persoalan Sin-tong, juga menuturkan bahwa pemuda bernama Tang Hay itu muncul membantu keluarga Pek dan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi.
Akan tetapi Song Un Sui ini memiliki watak yang tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, watak yang ditiru oleh keponakannya. Walau pun kini dia melihat bahwa pedang keponakannya patah dan menduga bahwa tentu pemuda she Tang itu yang mematahkan, dia justru menjadi marah. Dia tidak mau melihat kenyataan bahwa patahnya pedang itu membuktikan kebenaran cerita keluarga Pek bahwa pemuda she Tang itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Bocah she Tang, berani engkau mematahkan pedang pusaka keponakanku?" bentaknya dan sikapnya ini terdorong pula oleh pengetahuan bahwa pemuda itu bukan keluarga dari Pek-sim-pang, bukan murid dan bukan keluarga, hanya tamu saja, maka dia pun berani menentangnya.
"Aku hanya membela diri...," Hay Hay menjawab.
"Bocah sombong, engkau hendak memamerkan kepandaianmu dengan menghina kami? sambutlah seranganku!" Si Gendut itu kini langsung menerjang ke depan dengan pukulan tangan terbuka ke arah dada Hay Hay.
Melihat serangan yang hebat, dengan tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga Bu Hok tadi, Hay Hay cepat mengelak. Lawannya terus mendesak dengan serangan bertubi-tubi, tetapi Hay Hay cepat mainkan langkah-langkah ajaib dan dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangan.
Melihat pamannya sudah maju menyerang, tanpa berkata sepatah kata lagi Bu Hok yang merasa sangat penasaran juga meloncat dan membantu pamannya menyerang Hay Hay. Akan tetapi Hay Hay masih terus mengelak dengan Jiauw-pouw Poan-soan dan serangan kedua orang itu selalu mengenai tempat kosong. Secara aneh tubuhnya selalu berhasil menghindar, padahal nampaknya dia hanya bergerak dengan tenang dan lambat saja!
Keluarga Pek merasa bingung sekali melihat perkelahian ini. Mereka menjadi serba salah. Mau melerai, Pek Kong khawatir kalau dia disangka memihak Hay Hay, kalau tidak dilerai, dia khawatir sekali karena dia maklum bahwa tiga orang Kang-jiu-pang ini pun tidak akan menang melawan Hay Hay yang bukan saja mempunyai ilmu silat tinggi, akan tetapi juga pandai ilmu sihir.
Para murid Pek-sim-pang yang tertarik oleh keributan itu dan sudah berkumpul nonton di situ, diam-diam berpihak kepada Hay Hay yang mereka kagumi, pemuda yang tadi sudah mengusir musuh-musuh mereka, yaitu para pendeta Lama. Apa lagi para murid muda dari Pek-sim-pang. Mereka mendengar bahwa kunjungan keluarga Song itu untuk meminang Pek Eng, maka timbullah rasa iri hati, apa lagi melihat sikap Song Bu Hok yang tinggi hati, mereka merasa tidak senang. Kini mereka menonton perkelahian sambil mengharap agar Hay Hay mau menghajar keluarga Song itu!
Akan tetapi Hay Hay juga merasa serba salah. Dia tidak ingin membikin malu keluarga Song yang menjadi tamu terhormat dan sahabat baik keluarga Pek. Jika tadi dia sengaja mematahkan pedang dengan sentilan jarinya adalah karena dia amat mendongkol melihat sikap sombong Bu Hok dan ingin memberi pelajaran kepadanya. Tak disangkanya bahwa perbuatannya itu menimbulkan kemarahan laki-laki perut gendut yang menjadi paman Bu Hok.
Sekarang dia memainkan Jiauw-pouw Poan-soan untuk menghindarkan diri dari serangan dua orang lawannya. Melihat tingkat kepandaian dua orang penyerangnya ini, dia merasa yakin bahwa biar pun dia menghadapi mereka tanpa membalas, mereka tetap tidak akan mampu memukulnya.
Maka dia pun hanya mengelak ke sana-sini dengan gerakan lincah dan indah, tak seperti ketika dia menghadapi para pendeta Lama di mana dia membuat gerakan kaku dan lucu untuk mempermainkan mereka. Secara diam-diam kini dla merasa menyesal kenapa tadi dia menuruti emosi hatinya dan mematahkan pedang Bu Hok.
Sementara itu, ketua Pek-sim-pang, yaitu Pek Kong dan Pek Ki Bu kini dapat mengikuti dengan baik gerakan Hay Hay yang tidak dibuat-buat lagi dan diam-diam mereka terkejut sekali sesudah mengenal bahwa langkah-langkah ajaib yang dimainkan Hay Hay itu mirip dengan langkah-langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-soan yang dahulu pernah mereka lihat, yaitu ilmu kesaktian yang dimiliki oleh seorang tokoh besar di Tibet!
Song Un Tek, ketua Kang-jiu-pang tidak tinggi hati seperti adiknya dan puteranya. Dia tadi telah mendengar bahwa Hay Hay merupakan seorang tamu terhormat dari keluarga Pek, bahkan pemuda itu pun telah membantu keluarga Pek mengusir para pendeta Lama yang datang mengacau.
Biar pun patahnya pedang puteranya merupakan hal yang memalukan, namun dia harus mendengar dahulu perkaranya, apa yang telah terjadi antara dua orang muda itu sebelum turun tangan seperti adiknya. Maka dia pun segera melangkah maju dan berseru kepada adiknya dan puteranya untuk menghentikan serangan mereka.
"Tak baik urusan kecil dibikin besar," katanya setelah adiknya dan anaknya mundur saat mendengar perintah Song Un Tek. "Apa bila ada urusan, sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bu Hok, sebenarnya apa yang sudah terjadi? Kenapa tadi engkau berkelahi dengan Saudara Tang Hay?"
Bu Hok adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan mengagulkan diri sendiri, akan tetapi dia pun seorang pemuda yang gagah dan jujur. Mendengar pertanyaan ayahnya, mukanya berubah merah. Tidak perlu dia berbohong karena di situ terdapat pula Pek Eng yang tadi menjadi saksi.
"Aku hanya ingin mencoba kepandaiannya, Ayah," katanya.
Song Un Tek mengerutkan alisnya dan menegur adiknya. "Sui-te, engkau tadi mendengar sendiri. Keponakanmu itu yang mencari gara-gara dengan mencoba kepandaian Saudara Tang, kenapa tanpa penyelidikan lebih dulu engkau telah lancang turun tangan menyerang orang yang tidak bersalah?"
Song Un Sui menundukkan mukanya. Tidak disangkanya bahwa keponakannya itu hanya menguji kepandaian saja. "Aku melihat pedang itu patah, maka..."
"Nah, lain kali harap suka lebih bersabar," tegur kakaknya, kemudian dia memandang lagi kepada puteranya, "Bu Hok, sikapmu itu sangat memalukan. Engkau menguji kepandaian orang secara persahabatan, hal itu biasa saja. Akan tetapi engkau menggunakan pedang, menyerang Saudara Tang yang bertangan kosong. Patutkah perbuatan itu? Masih untung bagimu bahwa pedangmu yang dipatahkan, bukan kaki, tangan atau lehermu. Hayo kau sadari kesalahanmu dan minta maaf."
Dengan muka merah Bu Hok lalu menghadapi Hay Hay dan menjura. Suaranya terdengar lantang dan jujur pada saat dia berkata, "Saudara Tang Hay, harap kau suka memaafkan kebodohanku tadi."
Song Un Sui juga buru-buru berkata, "Dan aku pun minta maaf atas kecerobohanku tadi, Saudara Tang."
"Aku sendiri ingin mintakan maaf atas kelancangan mereka, Saudara Tang yang gagah perkasa," kata Ketua Kang-jiu-pang.
Melihat sikap dan mendengar ucapan tiga orang ini, Hay Hay merasa kagum bukan main dan sekaligus perasaannya terhadap mereka menjadi lain. Dengan cepat dia pun menjura untuk memberi hormat kepada mereka. "Harap Sam-wi tidak berkata demikian! Sayalah yang mohon maaf, dan sikap Sam-wi ini membuktikan bahwa Kang-jiu-pang dipimpin oleh keluarga yang amat gagah perkasa sehingga patut menjadi teladan bagi orang-orang yang mengaku dirinya gagah! Saya merasa kagum sekali!"
Dengan adanya kata-kata ini, tentu saja lenyaplah semua sikap bermusuhan tadi, bahkan diam-diam Song Bu Hok kagum sekali kepada Hay Hay. Dia mendekat lantas memegang lengan Hay Hay dengan sikap yang bersahabat dan akrab.
"Saudara Tang Hay, sungguh aku kagum bukan main. Ilmu kepandaianmu memang hebat sekali, dan sekarang aku tak merasa ragu atau heran lagi untuk mempercayai kebenaran keterangan Eng-moi tadi bahwa engkau memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada kami."
"Ahh, jangan memuji terlalu tinggi, Song-kongcu..."
"Sudahlah, siapa yang ingin disebut kongcu? Namaku Song Bu Hok, sebut saja namaku, dan aku menyebut namamu. Bukankah kita telah menjadi sahabat? Malah sahabat akrab, karena sudah saling beradu lengan memuji ilmu. Bagaimana, Hay Hay? Maukah engkau menjadi sahabatku?"
Bukan main girang rasa hati Hay Hay. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tadi nampak demikian sombong itu ternyata adalah seorang lelaki yang amat jujur dan gagah perkasa, seorang sahabat yang menyenangkan.
"Baiklah, Bu Hok."
Semua orang menjadi girang melihat kerukunan itu, dan tiba-tiba saja Pek Ki Bu berkata kepada Hay Hay, "Tang-taihiap..."
"Ya Tuhan... Pek-locianpwe, harap jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada saya! Pek-locianpwe, bukankah saya pernah berada di antara keluarga Pek ketika masih bayi? Apakah Cu-wi (Anda Sekalian) tidak sudi menerima saya sebagai Hay Hay saja, tanpa sebutan sungkan-sungkan seperti itu?"
Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee saling pandang, lalu Pek Ki Bu tertawa. "Ha-ha-ha, baiklah, Hay Hay. Bagaimana pun juga engkau sebaya dengan cucuku, maka engkau pun pantas menjadi cucuku. Nah, kini aku ingin bertanya. Bukankah ketika menghindarkan serangan tadi engkau telah memainkan ilmu langkah ajaib, dan kalau aku tidak salah ilmu itu adalah ilmu sakti Jiauw-pouw Poan-soan?"
Hay Hay amat terkejut dan cepat memberi hormat. "Pek-locianpwe benar-benar bermata tajam sekali. Memang benar, saya tadi mainkan Jiauw-pouw Poan-soan."
"Kalau begitu, apakah hubunganmu dengan See-thian Lama? Bukankah ilmu itu adalah miliknya?"
"See-thian Lama adalah guru saya."
"Ahhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Pek Ki Bu, Pek Kong, dan Souw Bwee. "Ha-ha-ha, pantas saja engkau begini lihai, ternyata murid dari seorang di antara Delapan Dewa itu! Ketahuilah bahwa kami keluarga Pek menjunjung tinggi dan menghormat See-thian Lama sebagai seorang suci yang selain sakti, juga bijaksana. Ketika keluarga kami diserbu para pendeta Lama di Tibet, Locianpwe See-thian Lama itulah yang melerai sambil melindungi kami, bahkan beliau pula yang menganjurkan kepada kami supaya meninggalkan daerah Tibet dan pindah ke sini. Ahh, kiranya engkau adalah muridnya..."
"Benar-benar merupakan kenyataan yang amat menggembirakan. Hay Hay, engkau tidak boleh pergi dulu. Engkau harus tinggal di sini beberapa hari lamanya karena kami ingin mendengar segala ceritamu tentang pengalamanmu dahulu, tentang See-thian Lama dan lain-lain," kata pula Pek Kong sambil memegang pundak Hay Hay.
Melihat keramahan semua orang terhadap dirinya, Hay Hay yang baru saja mengalami guncangan batin dan tekanan yang membuatnya menderita duka di dalam hatinya, kini menjadi terharu dan dia hanya mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih.
"Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Kalian orang-orang muda juga turut masuk karena kami hendak membicarakan urusan penting," kata Pek Kong sambil menggandeng tangan Hay Hay.
Setelah mereka duduk menghadapi meja di ruangan besar itu, Pek Kong lantas berkata, "Karena kami sekeluarga menganggap Hay Hay bukan sebagai orang luar, maka biarlah dia ikut pula mendengarkan urusan keluarga yang akan kita bicarakan. Setujukah engkau, Song-pangcu?"
Song Un Tek yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, mengangguk dan tertawa. "Apa yang kita bicarakan bukan suatu rahasia, melainkan berita yang menggembirakan, makin banyak yang ikut mendengarkan, semakin baik."
"Pertama-tama, kutujukan kepadamu, Eng-ji. Tahukah engkau betapa usiamu sekarang?"
Ditanya usianya, Pek Eng memandang ayahnya dengan dua mata terbelalak, akan tetapi mukanya langsung berubah merah. "Apa-apaan sih Ayah ini menanyakan usia di hadapan orang banyak? Pula, tanpa bertanya pun Ayah dan Ibu tentu tahu berapa usiaku," katanya manja.
Ibunya menolong puterinya yang berada dalam keadaan malu itu. "Usianya sudah hampir tujuh belas tahun, kurang dua bulan lagi."
“Aku dan Ibumu sudah semenjak dahulu sama-sama setuju dengan keluarga Song untuk menjodohkan engkau dengan Bu Hok, dan hari ini mereka datang untuk meminang secara resmi..."
"Ayah...!" Tiba-tiba Pek Eng bangkit berdiri dan lari menuju ke kamarnya.
Ayahnya tertawa dan memandang kepada tiga orang tamunya yang nampak kebingungan melihat sikap Pek Eng itu.
"Anakku itu memang manja dan pemalu, dia tentu lari ke kamarnya karena malu, akan tetapi aku yakin bahwa dia setuju pula. Bukankah sikapnya selama ini terhadap Bu Hok menunjukkan bahwa dia tidak akan keberatan? Eng-ji pasti setuju, maka kuharap Sam-wi tidak merasa ragu dan khawatir."
"Biarlah aku yang akan bicara dengan Eng-ji," kata Souw Bwee yang kemudian banglit meninggalkan ruangan itu menyusul puterinya ke kamar Pek Eng.
"Ha-ha-ha-ha, pinangan itu sudah kami terima, sudah pula kami sampaikan ke pada anak kami. Marilah kita minum arak untuk keselamatan kedua orang anak kita, Song-pangcu!" kata Pek Kong.
Mereka mengangkat cawan dan melihat betapa Hay Hay diam saja, Pek Ki Bu kemudian berkata kepadanya. "Hay Hay, engkau pun kami ajak minum arak untuk memberi selamat kepada Bu Hok dan Pek Eng dalam pertunangan mereka hari ini."
Hay Hay mengangkat cawannya, dan pada saat itu pula Pek Kong bertanya, "Hay Hay, bagaimana pendapatmu dengan pasangan ini, antara Bu Hok dan adikmu Pek Eng?"
Sambil memegang cawan araknya, Hay Hay berkata dengan sejujurnya. "Pasangan yang sangat serasi, Bu Hok seorang pemuda yang gagah perkasa sedangkan Adik Eng adalah seorang gadis yang cantik dan lihai pula, Pek-pangcu."
"Hushh, jangan sebut pangcu kepadaku. Engkau seperti keponakanku sendiri, sebut saja Paman padaku."
"Baik, Paman. Nah, selamat bagi sepasang orang muda yang pada hari ini bertunangan!" katanya sambil meneguk arak dari cawannya, diikuti oleh semua orang.
Malam itu pihak tuan rumah mengadakan pesta. Mereka semua, kecuali Pek Eng, makan minum dengan gembira di satu meja besar. Pek Eng tidak mau keluar walau pun sudah dibujuk ibunya.
"Dia tentu malu, maklumlah dia tidak punya saudara yang pernah menikah. Pengalaman dilamar orang tentu amat menegangkan hatinya sehingga membuatnya merasa canggung dan malu," katanya sebagai permintaan maaf kepada para tamunya.
Dua orang pangcu itu makan minum dengan sangat gembira. Betapa mereka tidak akan gembira. Semenjak belasan tahun mereka telah menjadi sahabat baik, keduanya merasa cocok dan sepaham, pada satu pihak mereka adalah pejuang dan pendekar, dan di pihak lain juga pendekar yang terkenal, ada pun kedua orang anak mereka memang merupakan seorang pemuda dari seorang gadis pilihan. Kalau kini mereka berbesan, tentu saja hati mereka merasa puas sekali.
"Mengenai penentuan hari pernikahan, biarlah kelak aku akan memberi kabar kepadamu, Song-pangcu," kata Pek Kong. "Bagaimana pun juga hati kami tak akan merasa tenteram dan puas kalau putera kami, Pek Han Siong, belum pulang. Dia harus turut menyaksikan adiknya menikah dan harus memberi persetujuan bahwa adiknya akan menikah lebih dulu dari pada dia sendiri."
Song Un Tek dapat mengerti alasan ini dan dia pun tak merasa keberatan. Mereka makan minum sambil mengobrol sampai jauh malam sebelum akhirnya para tamu itu dipersilakan mengaso di dalam kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan.
Hay Hay juga dipersilakan masuk ke kamarnya yang berada di ujung belakang, karena kamar-kamar besar di dalam diperuntukkan tamu-tamu agung keluarga Song itu…..!
********************
Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram hanya merupakan akibat dari sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap.
Jadi yang paling penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang terpenting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan niat mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan.
Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Sejak kecil sampai tua atau mati, kehidupan kita sekan-akan dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri dan menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu berselang-seling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari.
Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak dapat terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya.
Perang atau konflik terjadi dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik di dalam diri setiap manusia ini lantas menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa hingga menjadi perang yang mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena kepentingan pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan biar pun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani meski jarang sekali mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri dan kebenaran yang diperebutkan itu pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan.
Tradisi usang dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan jika selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja pada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana merupakan suatu kebodohan.
Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat satu anggapan yang telah berakar di dalam hati setiap keluarga, menjadi tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh dua keadaan.
Pertama, seorang anak laki-laki dianggap akan bisa membantu keluarga orang tuanya di sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan bahwa bila mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti bisa meringankan beban keluarga. Hal ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melanjutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.
Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat meneruskan silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Tetapi sebaliknya anak perempuan sejak kecil hanya menjadi beban, merupakan makhluk lemah yang tenaganya tidak bisa banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan hanya akan mengundang datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, hingga akhirnya anak itu hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang dianggap lebih celaka lagi, begitu menikah seorang anak perempuan segera berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggota keluarga marga baru itu, dan marganya sendiri telah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan sebuah pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, di dalam hal ini adalah kepentingan si orang tua sendiri.
Pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu akan mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Begitu pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat pada kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial bila mana mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, lantas memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, malah ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi
Tentu saja segala sesuatu ada kecualinya, tidak semua demikian, akan tetapi pada masa cerita ini terjadi, mungkin sembilan dari sepuluh keluarga bersikap seperti itulah…..
Jadi yang paling penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang terpenting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan niat mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan.
Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Sejak kecil sampai tua atau mati, kehidupan kita sekan-akan dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri dan menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu berselang-seling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari.
Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak dapat terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya.
Perang atau konflik terjadi dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik di dalam diri setiap manusia ini lantas menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa hingga menjadi perang yang mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena kepentingan pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan biar pun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani meski jarang sekali mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri dan kebenaran yang diperebutkan itu pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan.
Tradisi usang dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan jika selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja pada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana merupakan suatu kebodohan.
Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat satu anggapan yang telah berakar di dalam hati setiap keluarga, menjadi tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh dua keadaan.
Pertama, seorang anak laki-laki dianggap akan bisa membantu keluarga orang tuanya di sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan bahwa bila mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti bisa meringankan beban keluarga. Hal ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melanjutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.
Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat meneruskan silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Tetapi sebaliknya anak perempuan sejak kecil hanya menjadi beban, merupakan makhluk lemah yang tenaganya tidak bisa banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan hanya akan mengundang datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, hingga akhirnya anak itu hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang dianggap lebih celaka lagi, begitu menikah seorang anak perempuan segera berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggota keluarga marga baru itu, dan marganya sendiri telah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan sebuah pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, di dalam hal ini adalah kepentingan si orang tua sendiri.
Pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu akan mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Begitu pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat pada kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial bila mana mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, lantas memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, malah ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi
Tentu saja segala sesuatu ada kecualinya, tidak semua demikian, akan tetapi pada masa cerita ini terjadi, mungkin sembilan dari sepuluh keluarga bersikap seperti itulah…..
********************