Dengan ilmu berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang agak gelap karena di situ ditumbuhi pohon-pohon besar sekali yang usianya sudah ratusan tahun serta amat lebat dan liar. Dia langsung mencari binatang yang dikehendaki kakek itu hingga akhirnya, jauh di tengah hutan, dia melihat dua ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar.
Harimau-harimau itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata kehijauan yang bersinar-sinar. Selama ini Hay Hay belum pernah berkelahi dengan harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua ekor binatang buas itu.
Dua ekor harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka lalu bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak membuat gerakan menyerang.
Hay Hay menenangkan hatinya lalu dia pun mendekat, sikapnya amat hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya berbareng.
Dia belum tahu sampai di mana kekuatan mau pun kecepatan dua ekor harimau itu, tetapi maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun selalu waspada dan sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus bisa membunuh keduanya, karena tentu saja amat berbahaya jika melarikan diri dari seekor harimau.
Maka dia pun berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay segera mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur kekuatannya sambil mencari kesempatan baik.
"Hemmmmm...!" Hay Hay menggereng dan sekarang dua ekor harimau itu memutar tubuh menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai untuk memperlihatkan gigi mereka.
Melihat betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka segera mundur sedangkan kalau dia mundur mereka segera maju, Hay Hay lantas menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk mengusik mereka.
Pancingannya berhasil. Dua ekor harimau itu terlihat marah, lalu merendahkan tubuhnya sambil mencengkeram tanah dan tiba-tiba saja salah seekor di antara mereka mendahului penyerangan, menubruk dengan satu loncatan yang amat kuat dan cepat.
Melihat tubrukan yang begitu kuat dan cepatnya, Hay Hay yang sudah siap siaga segera menghindarkan diri dengan melompat ke kiri, namun tidak lupa untuk menyambut dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di sampingnya.
"Bukkk!"
Tendangan itu cukup keras hingga membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting. Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah menerjang dengan dahsyat, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki belakang.
Akan tetapi Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu harimau jantan sebagai penyerang pertama sudah melompat dan menubruknya lagi dari belakang!
Hay Hay maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari kaki yang amat kokoh kuat itu tak mungkin dihadapi dengan kekebalan sinkang. Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya untuk menangkis.
"Dukkk!"
Kembali tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyiakan kesempatan ini, cepat dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau itu.
"Desss...!"
Harimau itu terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, dia pun segera menubruk dari samping.
Pada waktu itu Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menyambar dari samping ke arah leher harimau, lalu disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan pukulan ke arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul.
"Dukkkk...!" Harimau itu terbanting dan berkelojotan.
Tiba-tiba saja dua buah cakar harimau sudah menubruk dan mencengkeram pundaknya dari belakang! Hay Hay terkejut sekali, tidak menyangka bahwa harimau jantan tadi sudah dapat menyerangnya demikian cepat. Dia merasa kedua pundaknya nyeri, juga ada bau amis dan apek mendekati tengkuknya. Maklum bahwa kalau harimau itu sudah menggigit tengkuknya maka dia akan celaka, cepat dia menggerakkan suling kayu hitamnya ke arah belakang tubuh sambil membalik.
"Capppp...!" Suling kayu hitam itu menusuk dada harimau dan menembus jantung.
Untung Hay Hay sudah cepat menggunakan tangan kirinya menyiku ke belakang sebagai susulan tusukannya sehingga cengkeraman pada pundaknya terlepas. Kalau tidak maka tubuhnya bisa cabik-cabik oleh kuku-kuku harimau yang kini berkelojotan dalam sekarat itu.
Hay Hay tidak mau membuang waktu lagi. Ditangkapnya ekor harimau jantan yang masih berkelojotan itu dan diseretnya keluar dari hutan sambil berlari cepat. Setelah harimau itu tidak bergerak lagi, cepat dipanggulnya tubuh binatang itu lantas dilarikannya ke tempat di mana kakek tua renta itu menantinya, yaitu di tepi sungai. Dia tidak peduli betapa bajunya menjadi kotor berlepotan darah dan dia merasa betapa tubuh yang sudah tidak bernyawa itu masih hangat.
Hampir kakek itu tak dapat percaya ketika melihat pemuda perkasa itu dalam waktu yang sangat singkat sudah datang kembali sambil memanggul bangkai binatang buas itu. Akan tetapi dia menyambutnya dengan girang bukan main.
"Luar biasa... sungguh luar biasa...!" Dia memuji kagum. "Orang muda perkasa, jangan kepalang menolongku. Belahlah kepala harimau itu dengan hati-hati, keluarkan segumpal otaknya lantas masaklah dengan obat ini, dengan air tiga mangkok sampai mendidih dan airnya menguap tinggal sedikit."
Kakek itu mengeluarkan sebuah bungkusan kertas lantas menyerahkan kepada Hay Hay. Hay Hay menerimanya. Untung bahwa perabot masak yang dibawanya tidak rusak ketika tadi terjadi perkelahian.
Dengan sebilah pisau Hay Hay membuka kepala harimau itu, mengeluarkan otaknya yang masih mengandung darah, memasukkannya ke dalam panci bersama obat yang ternyata berupa akar-akar dan daun-daun kering itu, mengisi panci dengan air lalu memasaknya di atas api unggun yang dibuatnya. Kakek itu sendiri masih duduk bersila dan memejamkan mata, seperti orang bersemedhi.
Sambil menanti dan menjaga obat yang dimasaknya itu, Hay Hay lalu memotong daging harimau, memilih bagian yang gemuk, mengumpulkannya, mencuci dan menggaraminya, memberi bumbu dan menusuk daging-daging itu dengan potongan-potongan bambu, lalu memanggangnya. Bau sedap membuat kakek itu membuka kedua matanya, menoleh dan dia tersenyum.
"Daging harimau hitam itu panas, akan tetapi justru amat baik untuk memulihkan tenaga."
Tak lama kemudian obat itu pun masak sudah, airnya tinggal sedikit dan otak harimau itu tampak merah kecoklatan bercampur dengan sari obat rempah-rempah tadi. Setelah agak dingin, kakek itu langsung mengganyangnya sampai habis! Dan mukanya nampak merah, matanya berseri.
"Orang muda, engkau sudah menolongku. Obat ini melenyapkan penyakitku dan mungkin akan menambah usiaku beberapa tahun lagi. Aku ingin mengisi sisa hidupku yang tidak lama ini untuk membalas budimu..."
"Ahh, Locianpwe, harap jangan bicara tentang budi. Locianpwe tadi menyelamatkan saya dari ancaman maut yang lebih mengerikan, kalau sekarang saya mencarikan obat untuk Locianpwe, apalah artinya itu? Harap dianggap saja bahwa kita berdua sama-sama telah melaksanakan kewajiban sebagai orang-orang yang tahu bahwa selagi hidup harus saling bantu. Bukankah begitu, Locianpwe?"
Kakek itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Engkau gagah perkasa dan bijaksana, anak baik. Sebab itu timbul keinginanku untuk mewariskan kepandaianku kepadamu. Biar pun engkau ahli silat yang pandai, ternyata tadi menghadapi serangan sihir dari Min-san Mo-ko saja, engkau hampir celaka. Maukah engkau belajar ilmu sihir dariku?"
Tentu saja Hay Hay merasa girang bukan main! Memang harus diakuinya bahwa ketika dia berhadapan dengan Min-san Mo-ko tadi, hampir dia celaka akibat serangan ilmu hitam dari kakek kurus pucat itu. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek tua renta itu.
"Kalau Suhu ingin mengajarkan ilmu kepada teecu, tentu saja teecu menerimanya dengan rasa sukur dan terima kasih."
"Bangkitlah, anak baik. Lihat, daging yang kau panggang bisa hangus," kata kakek itu.
Hay Hay bangkit lantas kembali ke api unggun karena dia sedang memanggang daging harimau tadi. Sesudah daging itu matang, mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput sambil makan daging yang masih panas itu, gurih dan manis rasanya, juga lunak. Mereka makan sambil bercakap-cakap.
"Siapakah namamu?"
"Nama teecu Hay dan biasa disebut Hay Hay. Teecu tidak tahu siapakah nama keturunan teecu karena sejak kecil sudah terpisah dari orang tua kandung. Teecu kini sedang dalam perjalanan mencari tahu mengenai orang tua teecu. Teecu hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap," Hay Hay langsung saja memberi keterangan yang sejelasnya sebelum kakek itu bertanya.
Kakek itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya, di dalam hatinya merasa kasihan. "Dan dari siapakah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi itu sehingga engkau menjadi seorang pemuda yang amat lihai?"
Kakek yang duduk di hadapannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, maka Hay Hay tidak mau merahasiakan keadaannya lagi. "Sejak kecil teecu dirawat dan dididik oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-sian Sin-kai..."
"Ya Tuhan...!" Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. "See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai...? Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa...?
Hay Hay mengangguk. "Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih hidup."
"Hebat… hebat...! Berbahagialah engkau yang dapat menjadi murid mereka dan aku juga bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang…"
"Suhu, bolehkan teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?"
Kakek itu lantas menghela napas panjang. "Aku sendiri sudah lupa siapa namaku, karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia lain sehingga namaku sudah tidak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi untukmu, tentu saja aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?"
Hay Hay tidak mendesak lagi dan mulai hari itu dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam goa-goa yang paling sunyi untuk belajar ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan semedhi di tempat yang amat hening.
Dengan tekunnya kakek itu melatih muridnya, dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum mulai dengan pelajaran ilmu sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya.
"Hay Hay, ingat baik-baik. Biar pun segala macam ilmu kalau dipergunakan secara sesat akhirnya akan menjadi kutukan bagi diri sendiri, namun ilmu sihir ini mendatangkan akibat yang langsung. Semenjak ribuan tahun turun-temurun, yang mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak bisa terlepas dari pada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi, yaitu ilmu ini harus dipergunakan untuk kebaikan saja dan dilarang keras untuk digunakan secara sesat, tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan orang lain, lahir mau pun batin. Apa bila larangan ini sampai dilanggar, maka akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami dan besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Malah ilmu itu sendiri akan dapat membunuh jika sampai melakukan kejahatan yang besar. Karena itu ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini sekali-kali tak boleh digunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas dari pada hukumannya."
Hay Hay mengangguk-angguk, sedikit pun dia tidak merasa khawatir. "Akan selalu teecu ingat, Suhu."
Demikianlah, mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi dia hanya sempat belajar selama satu tahun saja dari Pek Mau San-jin, karena setelah kurang lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal dunia karena usia tua.
Hay Hay mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya pada saat masih hidup, yaitu di bawah sebatang pohon di dekat goa tempat gurunya bertapa, lantas meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam. Sesudah melakukan sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Kini, dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang sungguh pun belum dipelajari sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, tapi kiranya cukup untuk memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri…..
********************
Sungai Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, lalu masuk ke Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, hingga akhirnya Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha lantas membelok ke timur dan menjadi Sungai Yang-ce yang sangat terkenal itu. Sungai Yalong mengalir melalui Pegunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, pada tepi Sungai Yalong, terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang.
Keluarga Pek yang belasan tahun yang lampau meninggalkan Tibet akibat dimusuhi para pendeta Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa para anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi Secuan yang merupakan tempat asal keluarga Pek. Dan akhirnya, bersama para anggota Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, keluarga itu menetap di tepi Sungai Yalong itu.
Tempat itu amat indah, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san. Daerah itu mempunyai tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar, keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani, berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan. Juga dari dalam hutan mereka bisa mendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah mereka.
Sekarang keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempah-rempah, selain terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang sangat disegani dan ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu, daerah itu sampai berpuluh li luasnya menjadi aman sekali. Para penjahat terpaksa pergi mengungsi, hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar jangkauan kekuasaan serta pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang.
Sesudah keluarga Pek tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi semakin terkenal. Anggota atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu kini bertambah karena di antara mereka ada yang sudah berkeluarga lalu tinggal dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng perkumpulan Pek-sim-pang itu. Sekarang perkampungan itu memiliki hampir dua ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara para murid Pek-sim-pang bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan atau penjaga-penjaga keamanan dan sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi banyak kota besar di Propinsi Secuan.
Perkampungan itu cukup luas, berada pada lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan belakang dibuka lebar-lebar pada waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang menaruh dendam, setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara bergilir.
Rumah keluarga Pek terletak di tengah perkampungan, dikelilingi oleh rumah-rumah para anggota. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas. Di sebelah timur rumah terdapat sebuah taman bunga yang mungil.
Pada waktu itu yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang sekarang telah berusia empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang merupakan keturunan keluarga Pek, turun temurun.
Pek Kong beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai. Meski pun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu termasuk seorang wanita perkasa.
Ayah dari Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, seorang bekas ketua Pek-sim-pang pula, telah mengundurkan diri dan sekarang hanya menjadi penasehat saja dari puteranya yang menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu telah menjadi seorang duda karena isterinya sudah meninggal dunia karena penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang menjadi penghibur hatinya.
Seperti diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib), calon Dalai Lama, yang kemudian menjadi sebab keributan hingga keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet. Sejak puteranya dibawa pergi oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk diselamatkan serta disembunyikan dari kejaran para pendeta Lama dan para tokoh sesat dari dunia hitam yang memperebutkan anak itu, maka kehidupan keluarga Pek menjadi muram dan sunyi.
Akan tetapi empat tahun kemudian semenjak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee atau Nyonya Pek Kong kemudian melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang.
Sekarang Pek Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis sekali. Dia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak dan manja sebab semenjak kecil dimanjakan oleh kakeknya. Tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena Pek Eng seorang anak yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, dia telah menjadi seorang dara yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid Pek-sim-pang yang dapat menandinginya.
Pek Eng seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang kecil, namun di dalam usia enam belas tahun bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat berisi dengan lekuk lekung yang sempurna. Kecepatan dewasanya ini adalah karena dia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat. Pendeknya dia sudah biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit.
Karena di daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi, maka kehidupan Pek Eng pun sedikit banyak dipengaruhi oleh kebiasaan suku bangsa Yi. Apa lagi karena kakeknya, sesudah kini mengundurkan diri, tertarik dengan kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber kepada Agama Hindu kuno. Kakek Pek Ki Bu sekarang tekun membaca kitab-kitab kuno itu dan membiarkan saja cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi.
Pakaian dari suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang sejak jaman dahulu terkenal sebagai prajurit-prajurit yang gagah perkasa. Selain terkenal sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani, suku bangsa Yi juga terkenal sebagai orang-orang yang tetap mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain.
Maka tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walau pun yang tergolong kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari orang-orang yang pernah mereka taklukkan, dari suku-suku lain yang dianggap lebih rendah martabat dan derajat mereka.
Suku bangsa Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias serta menutupi kepala mereka dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang di bagian ujung sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung.
Pek Eng juga sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, sungguh pun ada kalanya dia mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yakni suku bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng juga pandai berbahasa Yi. Dia pandai pula menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang dari ilmu silat keluarganya.
Keluarga Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai putera Pek Kong itu, yang memang sejak dahulu dirahasiakan oleh kakek tua itu.
Sebelum kakek itu wafat, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong, selalu dijawabnya bahwa anak yang diperebutkan itu berada di dalam tangan yang dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan bahwa apa bila anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari keluarganya di Secuan!
Kini Pek Ki Bu berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar dapat bersemedhi dan mempelajari kitab dengan tenteram. Pada suatu sore, ketika kakek ini datang ke gedung utama menengok keluarga puteranya, Souw Bwee isteri Pek Kong kembali teringat akan puteranya maka nyonya ini pun menangis dengan sedihnya. Suaminya, juga puterinya, berada di situ menghiburnya.
"Sudahlah, apa gunanya disusahkan dan ditangisi?" demikian Kakek Pek Ki Bu berkata untuk menghibur mantunya. "Persoalan apa pun yang timbul dalam kehidupan merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi kemudian diatasi dengan usaha yang didasari akal budi kita, dan tangis tak ada gunanya sama sekali untuk dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan menumpulkan akal budi."
Mendengar ucapan ayah mertuanya itu, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah tangisnya terhenti dia pun lalu berkata, "Harap Ayah memaafkan saya. Akan tetapi saya merasa heran sekali, kenapa mendiang kakek menyembunyikan keadaan Han Siong dari kita?"
"Tentu mendiang ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat bahwa rahasia mengenai keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih ada banyak ancaman. Lagi pula, bukankah mendiang kakek kalian itu sudah berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri keluarganya di sini?"
Pek Kong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangat kasihan kepada isterinya yang sudah menderita bertahun-tahun, selalu berduka bila mana teringat akan putera mereka. "Ayah, memang tidak seharusnya kita membenamkan diri di dalam duka dan tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong telah berusia lebih dari dua puluh tahun, sudah cukup dewasa. Kenapa dia belum juga pulang? Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, sebab bagaimana pun juga dia adalah putera kami satu-satunya, dan dialah satu-satunya penyambung keturunan keluarga Pek!"
Mendengar puteranya menyinggung mengenai keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam dan dia pun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena andai kata cucunya itu benar-benar sudah tiada, bukankah hal itu berarti bahwa keluarga Pek akan terputus keturunannya? Dan hal ini tentu saja akan merupakan hal yang amat menyedihkan.
Sejak tadi Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Dia duduk bersimpuh merangkul ibunyauntuk menghibur saat ibunya menangis, sementara dia mendengarkan percakapan mereka. Pada saat ayahnya menyinggung tentang keturunan keluarga Pek, kerut alisnya makin mendalam, sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar penasaran, dan mukanya yang manis itu menjadi merah gelap. Hatinya tidak pernah dapat menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu lebih mementingkan anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Keturunan! Hanya nama keturunan, hanya she. Dia tahu bahwa dia tidak akan melahirkan keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan hal ini sangat menyakitkan hatinya! Dia merasa seakan-akan didorong ke samping sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek!
Mendadak dia melepaskan rangkulan dari pundak ibunya lantas bangkit berdiri. Sikapnya gagah saat dia berkata. "Kakek, Ayah dan Ibu, biarlah aku berangkat pergi mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!"
Tiga orang tua itu terkejut, seolah-olah baru teringat akan adanya Pek Eng di sana. "Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan...!" Seru ibunya.
Seruan ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora. "Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu? Aku tak kalah oleh seorang anak laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Dari pada Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Koko sampai dapat!"
"Eng-ji, jangan bicara tidak karuan!" bentak ayahnya. "Kami saja tidak tahu di mana Han Siong berada, apa lagi engkau. Kemana engkau hendak mencarinya?"
"Ke mana saja, Ayah. Apa bila Koko memang masih hidup, pasti akan dapat kucari dan kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san di mana kakek buyut bertapa dan mencari keterangan di sana."
"Jangan, Eng-ji, engkau jangan pergi!" Ibunya berseru penuh kekhawatiran.
"Pek Eng, apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang durhaka? Ibumu kini sedang berduka akibat memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau malah hendak pergi meninggalkannya?" Terdengar Pek Ki Bu berkata halus menegur cucunya yang amat disayangnya.
Pek Eng cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan setiap kali ditegur, dia merasa kecewa dan marah. "Kongkong, aku hendak mencari Koko justru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja. Huh!" Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu.
Dengan uring-uringan Pek Eng lantas keluar dari rumahnya, lalu berjalan-jalan menuju ke pintu gerbang di depan perkampungan mereka. Hatinya masih terasa jengkel dan kesal. Diam-diam dia merasa tak suka kepada kakaknya, rasa tidak suka yang timbul pada saat itu karena dia merasa iri hati.
Biasanya dia sendiri merasa sangat rindu kepada kakak yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu. Sudah sering kali ibu dan ayahnya berbicara tentang kakak yang sejak bayi dibawa pergi kakek buyutnya. Ia ingin sekali melihat bagaimana wajah kakak kandungnya itu. Seperti ayahnyakah? Atau seperti ibunya? Orang bilang dia sendiri mirip ibunya dan dia merasa bangga karena ibunya amat cantik.
Sesudah tiba di pintu gerbang, dia hanya menjawab sambil lalu saja ketika para penjaga pintu gerbang menyapanya. Walau pun sebenarnya seluruh anggota Pek-sim-pang masih terhitung saudara-saudara seperguruannya, karena mereka adalah murid-murid ayahnya atau kakeknya, tapi mereka menyebutnya Pek-siocia (Nona Pek), panggilan menghormat karena biar pun saudara seperguruan, gadis remaja ini adalah puteri ketua mereka.
"Pek-siocia, senja sudah mendatang, engkau hendak ke manakah? Sebentar lagi pintu gerbang akan ditutup," kata seorang di antara mereka. Semua penjaga memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum karena siapakah yang tak merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang amat manis itu?
Biasanya Pek Eng bersikap manis terhadap semua anggota Pek-sim-pang. Dia memang seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. Tetapi ketika itu hatinya sedang murung, maka pertanyaan orang itu diterimanya sebagai suatu gangguan.
"Aku mau pergi jalan-jalan. Biar sudah kau tutup, apa disangka aku tidak dapat masuk?" Setelah berkata demikian, dia lantas meloncat dan berlari cepat sekali sehingga sebentar saja bayangannya sudah menghilang.
Penjaga-penjaga itu hanya menggelengkan kepala, kagum akan kelihaian gadis itu. Tentu saja mereka akan selalu berjaga di sana, walau pun nanti pintu gerbang telah ditutup, dan besiap-siap untuk cepat membuka pintu gerbang bila mana gadis itu pulang. Tentu saja mereka maklum bahwa walau pun pintu gerbang ditutup, tanpa dibuka sekali pun, dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis itu akan mampu meloncat dah masuk melalui atas pagar tembok.
Dengan hati masih kesal Pek Eng segera berlari menuju ke kaki bukit di mana dia tahu merupakan tempat tinggal sekelompok suku bangsa Yi yang menjadi sahabatnya. Dusun suku Yi itu telah nampak dari situ dan dia mempunyai banyak kawan baik di situ. Senang mendengar cerita orang-orang tua suku bangsa Yi pada waktu menceritakan pengalaman mereka yang menegangkan saat terjadi perang, menceritakan kegagahan nenek moyang mereka.
Akan tetapi, pada waktu dia sampai di pintu gerbang dusun Yi, dia melihat belasan orang Yi sedang mengepung seorang pemuda yang menggendong buntalan, dan seorang gadis Yi tampak duduk bersimpuh di atas tanah sambil menangis, juga terlihat seorang pemuda Yi yang marah-marah ada pun orang-orang Yi lainnya mendengarkan, tangan memegang gagang senjata dan semua mata ditujukan kepada pemuda itu.
Karena tak ingin mengganggu dan ingin sekali tahu apa yang tengah terjadi, Pek Eng lalu menyelinap dan mengintai sambil mendengarkan. Juga dia memperhatikan pemuda yang kelihatannya tenang-tenang saja dikepung oleh orang-orang Yi yang kelihatannya marah-marah.
Seorang pemuda yang bertubuh sedang tetapi tegap, dengan dada bidang. Yang menarik adalah wajahnya yang berseri dan sikapnya yang tenang, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum-senyum, seakan-akan dia sedang menghadapi sekumpulan sahabat baik yang menyambutnya, bukan sekumpulan orang Yi yang sedang marah kepadanya. Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay!
Seperti yang kita ketahui, selama satu tahun Hay Hay berguru kepada Pek Mau San-jin dan setelah gurunya itu meninggal dunia dan dikuburnya sebagaimana mestinya, Hay Hay lalu melanjutkan perjalanannya, yaitu mencari keluarga Pek di Secuan.
Sore hari itu, tibalah dia di sebuah hutan, tidak jauh dari dusun Yi itu. Karena hari sudah sore, dia bergegas hendak menuju ke dusun yang sudah dilihatnya dari jauh tadi, agar dia dapat melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menjerit.
Cepat dia berlari ke arah datangnya suara dan betapa marahnya melihat seorang gadis suku Yi sedang dipegangi dua orang laki-laki suku Miau yang agaknya hendak menyeret dan menculik gadis itu. Dia mengenal mereka dari pakaian-pakaian mereka dan memang di dalam perjalanannya dia sudah mendengar bahwa ada permusuhan antara kedua suku bangsa itu. Tidak salah lagi, dua orang suku Miau itu tentu hendak menculik gadis Yi yang cukup cantik itu.
"Lepaskan gadis itu!" Hay Hay lalu membentak dalam bahasa Han karena dia tidak dapat berbahasa Yi atau pun Miau.
Dua orang lelaki itu terkejut sekali dan ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah seorang pemuda Han yang kelihatan biasa saja, keduanya lantas menjadi marah. Seorang di antara mereka mencabut parang, sedangkan orang ke dua masih memegangi kedua lengan gadis yang meronta-ronta itu.
Si pemegang parang yang tinggi besar itu segera menerjang Hay Hay dengan parangnya, menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi Hay Hay melihat bahwa orang ini hanya memiliki tenaga besar saja, maka dengan mudah dia mengelak dan sekali kakinya bergerak, lutut kanan orang itu telah tercium ujung sepatu Hay Hay dan dia pun terpelanting.
Melihat ini, orang ke dua segera melepaskan gadis Yi dan ikut mengeroyok. Akan tetapi, dengan kedua kakinya saja, tanpa mempergunakan tangan, Hay Hay menghajar mereka, menendangi mereka sampai akhirnya mereka lari tunggang-langgang meninggalkan gadis yang masih menangis terisak-isak. Hay Hay tidak mengejar, hanya tersenyum kemudian dia menghampiri gadis itu. Maklumlah, mata keranjang berhidung belang.....