Sungai itu mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang. Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti apa bila sudah melewati banyak dusun dan kota. Apa lagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya terdiri dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih mengalir riang di antara batu-batu, bahkan dasarnya pun nampak.
Sudah lebih dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di pinggir sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu tengah memancing ikan seorang diri, tampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu.
Air sungai demikian jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini, ditambah akar-akar pohon, menciptakan tempat tinggal yang sangat menyenangkan bagi ikan-ikan, apa lagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni banyak ikan. Maka tidak mengherankan jika dalam waktu setengah jam saja pemuda itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya.
Wanita itu mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Dia melihat betapa pemuda itu mengeluarkan teriakan girang karena kembali dia telah berhasil mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan perut kuning.
"Ha, seekor lagi saja maka aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!" katanya. "Marilah manis, kau sambar umpanku!" Pemuda itu tersenyum-senyum dengan gembira dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi semakin kagum.
Wanita yang mengintai itu sekarang berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja dia melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pepohonan, semak belukar dan batu-batu. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan akhirnya dia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang pemuda yang tengah memancing ikan itu dengan amat jelas. Dan semakin jelas dia memandang, makin kagumlah dia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Walau pun sedang duduk seenaknya di atas rumput, nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan raut wajahnya membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di tengahnya.
Senyumnya manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda berhiaskan garis-garis kuning emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun.
Wanita yang mengintai itu pun bukan wanita sembarangan. Dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apa lagi kalau melihat gelung rambutnya yang tinggi dan dihiasi seekor burung Hong dari emas dan permata yang tentu sangat mahal harganya.
Wanita ini juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong pada belakang punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu juga seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan membawa bekal pakaian. Akan tetapi pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang kecil dan baru.
Wajahnya bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus akibat dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh semangat, juga kedua bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini biasa menggunakan kecerdikannya.
Alisnya kecil melengkung hitam, lengkung yang tak wajar, dibuat dengan cara mencabuti sebagian rambut alisnya. Kedua pipinya terlihat segar kemerahan, bukan karena pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung dan ujungnya sedikit mencuat ke atas menjadi penambah manis. Mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu agak terbuka laksana orang terengah, menimbulkan sifat menantang.
Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang mempunyai wajah yang manis sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, sedangkan pinggangnya sangat kecil seperti pinggang tawon kemit.
Pemuda yang sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki raut wajah, bentuk tubuh serta pembawaan yang sangat menarik hati bagi kaum wanita. Wajahnya yang tampan selalu cerah, dengan pandang mata yang selalu penuh semangat dan gairah, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah.
Seperti kita ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek di Kong-goan. Ketika sampai di tepi sungai itu dia melihat gerakan banyak ikan, dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti dibentuk menjadi mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi sungai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning.
Dia tak akan patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi makin gembira. Pemandangan alam di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, dan memancing ikan pun berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang mengintainya pula!
Dengan ujung matanya, tadi sekelebatan dia berhasil menangkap bayangan pengintainya dan tahu bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika dia menduga bahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang amat menarik hati itu.
Akan tetapi dia segera membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu demikian bodoh untuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu pasti akan mengetahuinya? Dan pula, apa perlunya Bi Lian harus mengintai semacam itu? Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya.
Bukan, wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Membayangkan dia akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan makhluk yang selalu menarik perhatiannya. Maklum, mata keranjang berhidung belang.
Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar dari pada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengait di mulut ikan lantas dia meneruskannya dengan sentakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar dari pada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak,
"Oh, terlepas...!" Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi!
Mendadak ada sebuah tangan yang kecil halus tapi cekatan menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul dari balik semak-semak sambil memegang setangkai pancing yang di ujungnya nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya pikat wanita itu kini melangkah maju menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.
"Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!" Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah sehingga nampak rongga mulut yang merah sekali dengan deretan gigi yang berkilauan dan putih rapi.
Hay Hay memandang dengan wajah bengong, seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.
"Ya ampun, Dewi...! Apakah paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?" Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak.
Mula-mula kedua mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian wajahnya menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan kepalang. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.
"Mengapa engkau menganggap aku sebagai Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek.
Dengan sangat terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung serta mulut itu. Anak rambut yang membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar laksana dilukis saja, nampak hitam indah dilatar belakangi kulit yang putih kuning mulus.
"Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini." Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong belaka, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya.
Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, biar pun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tak ada yang buruk, walau pun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan pada banyak bagian!
Wajah yang manis itu semakin berseri gembira, dan matanya pun menjadi semakin tajam bersinar-sinar. "Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku hanya seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."
Wanita itu kemudian menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.
"Terima kasih, Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!"
Wanita itu sudah sering kali menghadapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya demikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurang ajaran seperti mata setiap lelaki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan!
Maka dia menjadi semakin gembira, sungguh pun mulutnya pura-pura cemberut ketika dia berkata. "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja."
"Aku tidak memuji secara kosong belaka, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya."
Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun dia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapa usiamu sekarang?"
Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman!
"Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"
"Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."
"Ha, dugaanmu keliru sebab aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. "Dan berapakah usiamu, Nona?"
"Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi.
Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia pun mengangguk-angguk. "Paling banyak dua puluh tahun, Nona."
Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya taksiran itu amat menyenangkan hatinya. "Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."
"Aku tidak percaya!" Hay Hay berseru penasaran. Oleh karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu.
"Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda.
"Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan telah membantuku menangkap ikan yang tadi sempat terlepas ini, maka biar kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."
Wanita itu memandang dengan kedua mata bersinar-sinar. "Bagaimana engkau hendak memasaknya?"
Hay Hay mengangkat dada, lantas menepuk dadanya. "Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"
Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali. "Tentu saja lezat."
"Kau tunggu sebentar, Nona."
Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan kepalang menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang selalu melayani suhu-nya, setiap hari dia yang masak sehingga dia memang dapat dikata ahli masak.
Apa lagi sesudah dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian jembel yang sebetulnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, maka dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhu-nya itu. Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan lezat dan cocok sekali.
Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, bisa menikmati kehidupan ini biar pun berada dalam keadaan yang bagaimana pun juga.
Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di pinggir sungai dan dia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang matanya penuh kekaguman saat dia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, lantas menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api.
Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena dia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu.
Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering beserta anggur dikeluarkan, dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya.
"Mari silakan, Nona. Mari kita makan seadanya," Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah.
Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampak jelas tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak mau pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum.
"Ehh, sobat, apakah yang sedang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.
"Apa yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu itu, Nona! Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Ehh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."
Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu lantas duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang oleh makanan yang diletakkan di atas rumput pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera.
Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian sebab daging ikan itu memang enak sekali. Belum pernah rasanya dia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi begitu nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan.
Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya kemudian membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap.
"Hi-hik, alangkah lucunya!" Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika dia tertawa.
Hay Hay mengangkat muka dan memandang. " Apanya yang lucu, Nona…?"
"Kita sudah makan bersama."
"Apa salahnya dengan itu?"
"Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing."
"Memang wajar dalam suatu perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu..."
"Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."
Hay Hay tertawa. Tadi dia memang sengaja. Betapa pun juga keadaan wanita ini amat mencurigakan. Pada saat mengintainya, wanita itu bisa bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.
"Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita telah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?"
Gadis itu tertawa pula dan kini dia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya sehingga Hay Hay dapat melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu bila tertawa.
"Hi-hik-hik, pertanyaanmu itu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."
"Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya," Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk.
"Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.
"Namaku? Namaku Hay."
"Hay siapa…?"
"Yah, Hay saja."
"She-mu apa?"
Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi," kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, justru dia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa dia lebih tua.
"Ahh, mustahil orang tidak mengetahui she-nya sendiri! Siapa nama ayahmu?"
Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan dua lengannya.
"Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal ayah ibuku, sejak bayi aku dibawa oleh orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."
"Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"
"Ya, sebut saja Hay, atau biasanya orang memanggil aku Hay Hay."
"Hay Hay... hemmm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita sudah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan kita saling bertemu di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke mana?"
"Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Tadi sudah kukatakan bahwa aku tengah mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, juga apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ahh, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik."
"Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay," Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lengan Hay Hay.
Tangan itu terasa hangat dan halus, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang ke tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.
"Tidak perlu dikasihani. Selama ini aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara, binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, wanita yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana, Sun Bi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu sekarang menundukkan mukanya, lalu perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua pipinya. Dua butir air mata itu lalu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.
"Aihhh... Hay Hay, aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia..."
Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus. "Sun Bi, apakah yang sudah terjadi? Mengapa engkau merasa sengsara?"
Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lantas bercerita. "Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat sehingga meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku adalah orang yang membawa kesialan, karena itu aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya saja aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku...,"
Sun Bi segera menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tanganhya.
Hay Hay merasa kasihan, sekaligus penasaran sekali. "Hemm, suamimu meninggal dunia karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?"
Mendengar ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras. Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya. "Sudahlah, Sun Bi. Mati dan hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya lagi."
Sentuhan tangan Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu tiba-tiba menjadi semakin sedih dan dia pun mendadak mengguguk lantas menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay Hay.
"Hay Hay... ah, Hay Hay...!" Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu.
"Sudahlah, Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi...," hiburnya.
Sesudah tangisnya mereda, dengan kepala masih bersandar pada pundak dan dada Hay Hay, terdengar Sun Bi terisak berkata, "Selama ini... dalam perantauanku, semua laki-laki selalu menghinaku. Aku dipandang sebagai seorang janda muda yang boleh dipermainkan sesuka mereka... mereka bersikap kurang ajar, mereka menghina, akan tetapi engkau... ahhh, Hay Hay, baru sekarang aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang benar-benar baik... yang menaruh kasihan terhadap diriku..."
Hay Hay tersenyum senang, namun juga merasa terharu. Dia tahu bahwa seorang janda muda mudah merasa tersinggung, dan tentu saja membutuhkan pelindung, membutuhkan orang yang dapat menghiburnya, menyayangnya. Maka dia pun makin mesra mengelus rambut itu.
"Karena engkau cantik manis, Sun Bi, maka semua pria ingin menggodamu dan memiliki dirimu. Asal engkau pandai menjaga diri, semua itu akan berlalu."
Dengan lembut Sun Bi mengangkat kepalanya. Sesudah terlepas dari dada Hay Hay dia memandang. Dua muka itu sangat berdekatan sehingga Hay Hay dapat mencium aroma bedak harum bercampur bau air mata, juga terasa olehnya napas yang hangat menyapu leher dan pipinya.
"Dan engkau... engkau tidak ingin menggoda dan... dan memiliki diriku, Hay Hay?"
Sejenak mereka saling berpandangan dan Hay Hay mengerutkan alisnya. Darah mudanya sudah berdesir keras naik ke mukanya. Tubuh itu demikian dekatnya, bahkan terasa kehangatannya ketika menempel di tubuhnya dan dalam pandang mata itu dia melihat kemesraan dan pemasrahan diri, juga tantangan. Dia tersenyum dan berkata lirih.
"Sun Bi, engkau cantik manis dan aku adalah seorang yang suka sekali akan segala yang indah. Aku suka kepadamu, Sun Bi, akan tetapi rasa sukaku akan kecantikanmu bukan berarti bahwa aku harus menggodamu dan menghinamu atau ingin memiliki dirimu seperti mereka itu. Hubungan antara seorang pria dan seorang wanita harus didasari rasa cinta, Sun Bi, dan setiap pemerkosaan dalam bentuk apa pun juga merupakan suatu kejahatan."
Sun Bi yang semenjak tadi memandang wajah pemuda itu, menarik napas panjang dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Hay Hay. Dia mengeluh panjang lalu berbisik. "Ahh, Hay Hay... engkau seperti mendiang suamiku... engkau amat lembut, baik hati, dan engkau tampan... Hay Hay, apakah engkau cinta padaku?"
Hampir saja Hay Hay mendorong tubuh itu dari atas dadanya karena dia terkejut sekali mendengar pertanyaan itu. Namun dia masih mampu menguasai hatinya dan tersenyum menjawab. "Aku suka padamu, Sun Bi, aku suka dan kasihan, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu bagaimana cinta itu, dan pula kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin aku tahu tentang cinta?"
"Akan tetapi aku yakin, Hay Hay. Aku yakin bahwa aku... aku cinta padamu! Aku yakin, karena suara hatiku yang membisikkan padaku, dan engkau mirip suamiku, bukan hanya wajahnya, juga sikapnya dan segalanya, ohhhh... " Dan wanita itu semakin merapatkan tubuhnya.
Hay Hay mulai merasa bingung dan khawatir, juga lehernya kini mulai berkeringat, bukan hanya oleh kehangatan yang keluar dari tubuh wanita yang bersandar padanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin dia melepaskan diri, agar bisa berbicara dengan baik, agar jantungnya tak berdebar kencang karena kehangatan dan kelembutan tubuh itu demikian mengguncang perasaannya, akan tetapi dia pun tak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang haus akan perlindungan dan hiburan ini.
"Hay Hay, maafkan aku, akan tetapi engkau... engkau belum menikah, bukan?" Di dalam suara itu terkandung kekhawatiran dan Hay Hay seperti dapat merasakan betapa tubuh di pangkuannya itu agak menegang
Untuk melawan perasaannya sendiri Hay Hay tertawa dan memang ketika dia tertawa itu, lenyap ketegangan karena dekatnya tubuh wanita itu. "Ha-ha-ha, mana ada kesempatan bagiku untuk menikah? Dan pula, wanita mana yang mau bersuamikan aku, seorang yang menjadi gelandangan seperti ini, tanpa tempat tinggal tanpa keluarga?"
"Janganlah merendahkah diri, Hay Hay. Banyak wanita akan berebutan untuk memilikimu. Sementara aku sendiri... ahh, engkau seolah-olah menjadi pengganti suamiku yang telah tiada. Maafkan aku, aku... aku sudah bertahun-tahun merindukan suamiku, rindu dengan pelukannya. Ah, Hay Hay, maukah engkau memelukku? Peluklah, Hay Hay, peluklah aku seperti dulu suamiku memelukku... ahhhhh..."
Suara itu demikian memelas serta penuh permohonan sehingga Hay Hay merasa tidak tega. Apa salahnya memenuhi keinginan itu? Dia lalu merangkulkan kedua lengannya dan memeluk tubuh Sun Bi. Maklumlah, mata keranjang berhidung belang.....