Memang waktu memiliki kekuasaan secara mutlak atas diri kita manusia. Hampir seluruh hidup ini kita isi dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan waktu, atau yang dikuasai waktu. Kita memisah-misahkan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu mendatang, dan dengan pemisahan-pemisahan inilah maka timbul segala macam persoalan di dalam kehidupan kita.
Hampir seluruh perasaan yang menguasai batin dan menimbulkan emosi, lahir dari waktu yang mengisi seluruh ingatan kita. Perasaan duka timbul dari waktu, karena pikiran kita mengingat-ingat hal yang telah lalu, kemudian membandingkannya dengan waktu kini dan membayangkan keadaan waktu mendatang.
Karena pikiran mengunyah-ngunyah hal yang telah lampau, mengingat-ingatnya kembali, timbullah duka. Karena pikiran membayang-bayangkan hal yang mungkin terjadi di masa depan, timbullah rasa takut, harapan-harapan yang kemudian menimbulkan kekecewaan-kekecewaan atau kepuasan-kepuasan sejenak.
Karena pikiran membayangkan hal-hal yang menimpa diri sendiri, yang merasa dirugikan lahir atau batin oleh orang lain, timbullah rasa marah, dendam dan kebencian. Batin kita diombang-ambingkan antara masa lampau, masa kini dan masa mendatang, setiap saat dicengkeram oleh waktu!
Melihat kenyataan-kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri betapa hal ini merupakan suatu kenyataan yang tak terpisahkan dari kehidupan kita masing-masing, timbullah satu pertanyaan yang amat penting: Dapatkah kita hidup terlepas dari cengkeraman waktu?
Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah kehidupan batiniah. Kehidupan lahiriah tentu saja tak dapat dipisahkan dari waktu. Masuk sekolah, kantor, naik kendaraan umum, dan sebagainya memang harus menurutkan jadwal waktu. Akan tetapi dapatkah batin bebas dari cengkeraman waktu, bebas dari pengenangan kembali hal-hal yang lalu, bebas dari harapan-harapan di masa mendatang, dan hidup saat demi saat, detik demi detik, hidup SEKARANG ini? Apa bila dapat, jelas bahwa kita akan bebas pula dari duka, kebencian, ketakutan.
Mungkinkah bagi kita untuk dapat memutuskan ikatan dengan masa lalu? Menghabiskan sampai di sini saja segala urusan yang telah lampau? Dan tidak membayang-bayangkan, tidak mengharapkan, hal-hal yang belum terjadi? Hidup dan menikmati hidup saat demi saat, menghadapi dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran akan segala yang terjadi saat demi saat, seperti apa adanya? Ini merupakan suatu seni hidup yang amat tinggi dan indah.
Mari kita coba saja! Bukan dihalangi oleh tanggapan-tanggapan bahwa hal itu amat sukar, tak mungkin dan sebagainya. Kita lakukan saja sekarang kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya!
Hampir seluruh perasaan yang menguasai batin dan menimbulkan emosi, lahir dari waktu yang mengisi seluruh ingatan kita. Perasaan duka timbul dari waktu, karena pikiran kita mengingat-ingat hal yang telah lalu, kemudian membandingkannya dengan waktu kini dan membayangkan keadaan waktu mendatang.
Karena pikiran mengunyah-ngunyah hal yang telah lampau, mengingat-ingatnya kembali, timbullah duka. Karena pikiran membayang-bayangkan hal yang mungkin terjadi di masa depan, timbullah rasa takut, harapan-harapan yang kemudian menimbulkan kekecewaan-kekecewaan atau kepuasan-kepuasan sejenak.
Karena pikiran membayangkan hal-hal yang menimpa diri sendiri, yang merasa dirugikan lahir atau batin oleh orang lain, timbullah rasa marah, dendam dan kebencian. Batin kita diombang-ambingkan antara masa lampau, masa kini dan masa mendatang, setiap saat dicengkeram oleh waktu!
Melihat kenyataan-kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri betapa hal ini merupakan suatu kenyataan yang tak terpisahkan dari kehidupan kita masing-masing, timbullah satu pertanyaan yang amat penting: Dapatkah kita hidup terlepas dari cengkeraman waktu?
Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah kehidupan batiniah. Kehidupan lahiriah tentu saja tak dapat dipisahkan dari waktu. Masuk sekolah, kantor, naik kendaraan umum, dan sebagainya memang harus menurutkan jadwal waktu. Akan tetapi dapatkah batin bebas dari cengkeraman waktu, bebas dari pengenangan kembali hal-hal yang lalu, bebas dari harapan-harapan di masa mendatang, dan hidup saat demi saat, detik demi detik, hidup SEKARANG ini? Apa bila dapat, jelas bahwa kita akan bebas pula dari duka, kebencian, ketakutan.
Mungkinkah bagi kita untuk dapat memutuskan ikatan dengan masa lalu? Menghabiskan sampai di sini saja segala urusan yang telah lampau? Dan tidak membayang-bayangkan, tidak mengharapkan, hal-hal yang belum terjadi? Hidup dan menikmati hidup saat demi saat, menghadapi dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran akan segala yang terjadi saat demi saat, seperti apa adanya? Ini merupakan suatu seni hidup yang amat tinggi dan indah.
Mari kita coba saja! Bukan dihalangi oleh tanggapan-tanggapan bahwa hal itu amat sukar, tak mungkin dan sebagainya. Kita lakukan saja sekarang kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya!
Kalau kita tidak memperhatikannya, maka waktu melesat melebihi anak panah cepatnya dan sebaliknya seakan merayap seperti keong kalau kita perhatikan. Tanpa disadari, telah delapan tahun lamanya semenjak Hay Hay berpisah dari See-thian Lama! Delapan tahun hanya merupakan waktu sekilat kalau tidak kita perhatikan lewatnya.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda berjalan perlahan-lahan keluar dari sebuah hutan, menuju ke sebuah dusun yang genteng-genteng rumahnya telah nampak dari atas lereng dari mana dia tadi turun di waktu pagi sekali. Dari atas lereng gunung yang penuh hutan lebat itu, pagi-pagi buta tadi dia melihat sebuah perkampungan di kaki gunung yang di pagi hari itu lampu-lampunya masih belum dipadamkan semua. Kini, setelah melewati hutan terakhir, ketika matahari pagi telah bersinar cerah, dari jauh dia sudah bisa melihat genteng-genteng rumah yang kemerahan.
Pemuda itu berwajah ganteng. Matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, bibirnya selalu tersenyum atau mengulum senyum, hidungnya mancung serta dagunya membayangkan kegagahan seorang jantan.
Pakaiannya terbuat dari kain sederhana saja, akan tetapi potongannya rapi dan nampak bersih terawat baik. Pakaian itu berwarna biru muda dengan garis-garis kuning di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terikat di punggungnya.
Tubuhnya sedang, akan tetapi tegap. Dadanya bidang dan membusung, membayangkan kekuatan yang tersembunyi. Usia pemuda ini sekitar dua puluh tahun. Walau pun masih muda, namun di dalam sinar matanya yang berkilat dan berseri itu, di dalam senyumnya yang seolah-olah penuh pengertian, pemuda ini nampak jauh lebih dewasa dari pada usia yang sebenarnya.
Dari caranya berpakaian, dia seperti seorang pelajar dari dusun yang menempuh ujian di kota dan kini sedang dalam perjalanan pulang ke dusun, seorang pemuda pelajar yang pandai, halus dan sopan, akan tetapi lemah lembut. Akan tetapi kalau melihat tubuhnya yang tegap dan dadanya yang lebar, dia lebih mirip seorang yang suka akan olah raga, atau setidaknya seorang pemuda yang telah biasa bekerja kasar di ladang di bawah sinar matahari yang sehat.
Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Kini dia tidak mau lagi menggunakan she (nama keturunan) Siangkoan karena nama keturunan itu adalah milik Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis yang sudah menculiknya dari tangan keluarga Pek itu. Dan dia pun tidak berani memakai nama keturunan keluarga Pek, karena menurut kedua orang gurunya, sangat diragukan bahwa dia adalah benar-benar putera keluarga Pek.
Bukankah putera keluarga Pek itu adalah Sin-tong seperti yang dahulu pernah diramalkan oleh para Lama dan bahwa Sin-tong memiliki ciri khas pada punggungnya, yaitu dengan tanda kulit punggung merah? Tidak, dari pada menggunakan nama keturunan yang salah, lebih baik dia tidak memakai nama keturunan apa pun dan tetap memakai nama kecilnya saja, yaitu Hay Hay!
Kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, dia meninggalkan Pulau Hiu karena waktu lima tahun telah lewat, yaitu waktu yang ditentukan baginya untuk berguru kepada Ciu-sian Sin-kai. Sesudah memperoleh bekal ilmu-ilmu yang tinggi, juga nasehat-nasehat serta sekantung uang emas dari gurunya yang mencintanya, Hay Hay mendayung sebuah perahu kecil keluar dari perairan Pulau Hiu yang berbahaya.
Dia masih bergidik ngeri kalau teringat kembali akan peristiwa penyerbuan pulau itu oleh kaum bajak laut pada waktu untuk pertama kali dia datang bersama gurunya ke pulau itu, membayangkan puluhan orang disergap ikan-ikan hiu lalu dijadikan mangsa. Maka, ketika dia mendayung perahu di antara batu-batu karang dan melihat sirip ikan-ikan hiu yang meluncur ke sana-sini, dia pun merasa ngeri juga. Betapa pun tinggi ilmu kepandaiannya, sekali dia terjatuh ke dalam perairan itu, tak mungkin dia dapat menyelamatkan diri lagi.
Akan tetapi berkat pengetahuannya akan rahasia dan lika-liku batu-batu karang di perairan itu, dia dapat keluar dengan selamat dan tidak lama kemudian mendarat di pantai lautan Po-hai. Selama tiga tahun Hay Hay merantau dan sudah banyak dia mengalami hal-hal yang memperdalam pengertiannya akan kehidupan ini dan membuat dia lebih mengenal watak manusia dan sedikit banyak tahu akan keadaan dunia kang-ouw.
Namun dia selalu mentaati pesan kedua orang gurunya, yaitu dia tidak mau menonjolkan diri dan kepandaiannya, dia tak mau membuat nama besar karena menurut pesan kedua orang gurunya, nama besar itu merupakan ikatan yang amat kuat membelenggu diri dan setiap ikatan akan selalu mendatangkan kerepotan.
Memiliki sesuatu merupakan sebuah bentuk ikatan yang amat kuat, demikian antara lain See-thian Lama pernah menasehatinya. Biasanya, kita ingin memiliki sesuatu yang dapat menimbulkan kesenangan tapi siapa yang memiliki sesuatu, dia pasti akan terancam oleh kehilangan. Ancaman inilah yang menimbulkan kekerasan di dalam batin untuk menjaga dan mempertahankan apa yang dimilikinya itu, karena kalau kehilangan, berarti dia akan kehilangan kesenangan-kesenangan yang didatangkan oleh yang dimilikinya itu. Di dalam mempertahankan inilah terjadi kekerasan, permusuhan, kebencian dan selanjutnya.
Dahulu, ketika masih berusia dua belas tahun, Hay Hay belum mengerti benar apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan melihat kenyataan serta kebenaran dalam ucapan pendeta Lama itu. Siapa yang memiliki dia akan menjaga yang dimilikinya dari kehilangan. Yang memiliki sajalah yang akan kehilangan, sedangkan yang tidak memiliki apa-apa takkan kehilangan apa-apa pula.
Dia pun melihat kenyataan bahwa hanya orang yang tak memiliki apa-apa, dalam arti kata batinnya tak terikat oleh apa pun, maka hanya dia itulah yang sebenarnya penuh dengan segala sesuatu! Sedangkan orang yang batinnya kosong, yang jiwanya kosong, memang haus untuk memiliki sesuatu atau dimiliki seseorang, sebab itu dia membutuhkan sesuatu yang disenanginya untuk memenuhi kekosongan jiwanya
Memang di dunia ini banyak kenyataan yang sangat aneh. Mengapa orang ingin memiliki benda-benda yang bisa dinikmati dengan penglihatan, pendengaran atau pun penciuman misalnya? Mengapa kita ingin memiliki bunga yang indah dan harum itu? Padahal, tanpa kita miliki sekali pun, dapat saja kita menikmati keindahan dan keharumannya! Mengapa kita ingin memiliki burung yang nyanyiannya demikian merdu? Bukankah tanpa memiliki sekali pun, kita sudah dapat menikmati kemerduan suara burung itu?
Kita ingin memiliki segala-galanya! Bukan hanya memiliki benda-benda, bahkan memiliki manusia lain. Isteri atau suami, anak-anak, keluarga menjadi milik kita yang kita kuasai, milik yang dapat menimbulkan kesenangan dan kebanggaan hati kita. Bahkan kita ingin memiliki nama besar, kedudukan, kehormatan.
Si Aku tak pernah puas, terus membesar dan berkembang. Tubuhku, namaku, hartaku, kedudukanku, keluargaku, kemudian terus membesar sampai ke bangsaku, agamaku dan selanjutnya. Karena melihat betapa si aku ini sesungguhnya bukan apa-apa, hanya seonggok daging hidup yang menanti saatnya kematian tiba dan kalau sudah mati lalu segala miliknya itu terpisah dari ‘aku’, maka si aku haus untuk mengikatkan diri dengan apa saja, untuk mengisi kekosongan serta kekecilannya, atau untuk tempat bergantung sesudah mati agar diingat terus, agar ‘hidup’ terus!
Kita ingin memiliki segala-galanya! Bukan hanya memiliki benda-benda, bahkan memiliki manusia lain. Isteri atau suami, anak-anak, keluarga menjadi milik kita yang kita kuasai, milik yang dapat menimbulkan kesenangan dan kebanggaan hati kita. Bahkan kita ingin memiliki nama besar, kedudukan, kehormatan.
Si Aku tak pernah puas, terus membesar dan berkembang. Tubuhku, namaku, hartaku, kedudukanku, keluargaku, kemudian terus membesar sampai ke bangsaku, agamaku dan selanjutnya. Karena melihat betapa si aku ini sesungguhnya bukan apa-apa, hanya seonggok daging hidup yang menanti saatnya kematian tiba dan kalau sudah mati lalu segala miliknya itu terpisah dari ‘aku’, maka si aku haus untuk mengikatkan diri dengan apa saja, untuk mengisi kekosongan serta kekecilannya, atau untuk tempat bergantung sesudah mati agar diingat terus, agar ‘hidup’ terus!
Kini Hay Hay telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berwatak gembira, jenaka, memandang kehidupan dengan sepasang mata bersinar-sinar, wajah yang cerah penuh gairah hidup. Baginya hidup selalu tampak indah dan segala hal bisa dinikmatinya sepenuhnya.
Udara yang jernih sejuk dan nyaman, air, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayur-sayur, bunga-bunga dan segala yang nampak di permukaan bumi ini sesungguhnya amat indah dan segalanya itu dapat kita nikmati sepenuhnya. Dia memang suka akan keindahan dan agaknya karena inilah maka dia peka sekali terhadap kecantikan wanita!
Ketika Hay Hay berjalan seorang diri menuju ke dusun itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara ketawa merdu sekelompok wanita. Dia tersenyum gembira. Bagi Hay Hay, suara dan ketawa wanita memasuki telinganya seperti bunyi musik yang merdu dan selalu menimbulkan perasaan yang tenang, damai dan menyenangkan sekali. Dia lalu membelok ke kiri, ke arah datangnya suara itu.
Kiranya ada tujuh orang wanita muda usia, antara lima belas sampai dua puluh tahun, sedang mencuci pakaian dan mandi di sebuah sungai kecil yang mengalir di luar dusun itu. Air sungai itu cukup jernih karena mengalir dari pegunungan yang ditinggalkannya tadi pagi.
Karena mandi di tempat umum sambil mencuci pakaian, gadis-gadis itu tidak telanjang sama sekali, akan tetapi mengenakan pakaian dalam yang tipis. Air yang membasahi tubuh dan pakaian itu membuat pakaian melekat sehingga dari tempat dia berdiri tampak tubuh-tubuh yang padat itu seperti tidak berpakaian saja. Pemandangan yang indah!
Hay Hay tersenyum dan memilih tempat duduk di bawah pohon, di atas batu besar dari mana dia dapat nonton dengan enaknya, lalu menurunkan buntalan bekalnya dan mulai makan sepotong roti kering karena sejak pagi tadi dia belum sarapan. Seguci kecil arak yang tidak keras menemani roti kering itu, juga sepotong daging kering manis.
Makin lezat rasa roti dan daging kering sederhana itu karena pemandangan yang amat menarik hatinya. Alangkah lembut dan padatnya tubuh gadis-gadis itu, dengan kulit yang berkilau mulus tertimpa matahari pagi. Dan wajah-wajah itu demikian manis. Dan suara senda gurau itu demikian riang gembira, merdu laksana tiupan suling. Dengan gigi putih kadang-kadang berkilau ketika gadis-gadis itu tersenyum gembira.
Selama tiga tahun merantau ini, dan dirinya menjadi semakin dewasa, sudah banyak Hay Hay bertemu dan bergaul dengan wanita. Akan tetapi pergaulannya itu selalu dibatasinya. Dia tidak pernah melupakan kuliah yang pernah diterimanya dari Ciu-sian Sin-kai.
Tidak, dia belum siap untuk menjadi suami dan ayah. Dia belum siap untuk menikah. Dan dia pun tak mau menjadi seorang lelaki pengecut yang tidak bertanggung jawab, setelah menghamili seorang gadis lalu meninggalkannya begitu saja.
Karena itu dia selalu berhati-hati, tidak membiarkan dirinya terseret terlalu jauh dan selalu dia menyingkir dan menjauhkan diri apa bila pergaulannya dengan seorang wanita sudah menjadi terlampau erat dan nampak bayangan bahaya terseret ke dalam pelaksanaan hal yang dipantangnya. Dan sejauh ini, dia berhasil!
Keadaan Hay Hay memang berbeda dengan keadaan pemuda pada umumnya, atau para pria apa bila melihat wanita-wanita cantik. Hay Hay secara langsung menikmati keindahan bentuk tubuh wanita-wanita itu, menikmati kecantikan wajah mereka, kelembutan mereka, keluwesan gerakan tubuh mereka, dan kemerduan suara mereka. Dia menikmati semua itu, pada saat itu juga, tanpa membiarkan pikirannya terbawa hanyut ke dalam permainan waktu.
Pada umumnya pria alim akan hanyut ke dalam alam khayal, mengenangkan kembali segala pengalaman dengan wanita-wanita cantik, lalu mengkhayal bahwa wanita-wanita itu, atau salah seorang di antaranya menjadi miliknya, menjadi kekasihnya, dicumbunya sehingga dengan demikian timbullah dan bangkitlah nafsu.
Hay Hay tidak mengkhayalkan apa-apa. Dia melihat semua keindahan itu tanpa keinginan memiliki, seperti orang menikmati keindahan bulan purnama, keindahan tamasya alam di pegunungan, keindahan gelombang air di samudra. Sedikit pun tidak timbul khayal pikiran untuk mengikatkan diri dengan yang dikaguminya, atau untuk mendapatkan kesenangan darinya. Dia menikmati semua itu secara langsung, dan akan habis di saat itu pula, tidak menjadi kenangan.
Akan tetapi karena Hay Hay enak-enak saja duduk di tempat itu tanpa menyembunyikan diri, makan roti dan daging kering sambil menikmati tontonan di bawah sana, tentu saja akhirnya salah seorang di antara gadis-gadis itu melihatnya.
"Aihhhh...!" Gadis itu menjerit lantas mendekam di dalam air sambil menggunakan kedua tangan menutupi dada yang tercetak melekat pada kain basah.
Teman-temannya terkejut kemudian bertanya, dan gadis itu cepat menunjuk ke arah Hay Hay. Semua gadis segera menoleh dan terdengarlah jerit-jerit manja ketika gadis-gadis itu melihat ada seorang pemuda tampan sedang enak-enak duduk nongkrong di atas sebuah batu besar sambil makan dan nonton mereka. Mereka semua berjongkok di dalam air dan menutupi dada dengan kedua tangan.
Hay Hay tersenyum lebar. Sikap para gadis yang malu-malu itu sungguh merupakan sikap kewanitaan yang amat lucu dan menarik. Seratus prosen wanita! Mereka mencoba untuk bersembunyi di dalam air, mencoba untuk menyembunyikan tonjolan payudara dengan kedua tangan akan tetapi kadang-kadang melirik untuk melihat apakah sikap mereka itu cukup manis dan menarik! Namanya juga perempuan!
Naluri kewanitaan selalu mendorong wanita untuk menarik perhatian orang lain, terutama sekali kalau orang lain itu pria, dan lebih-lebih lagi kalau pria muda yang tampan. Haus akan perhatian pria, haus akan kekaguman yang terbayang dalam pandangan mata pria, haus akan pujian yang keluar dari mulut pria. Itulah wanita! Asli!
Seorang di antara para gadis itu, yang paling tua, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, agaknya yang paling tabah di antara mereka. Melihat betapa pemuda tampan yang nongkrong itu masih enak-enak makan sambil terus memandangi mereka, dan ternyata pemuda itu adalah seorang asing, bukan pemuda dari dusun mereka, dia lantas berkata dengan nada suara marah.
"Kau... kau pemuda kurang ajar! Tidak sopan!"
Hay Hay membelalakkan matanya. Sebelum menjawab dia mendorong makanan di dalam mulutnya dengan seteguk arak anggur. Kemudian dia membersihkan kedua tangannya dan sambil memandang ke arah tujuh orang gadis yang berjongkok di dalam air itu, dia berkata, suaranya lantang dan tidak dibuat-buat.
"Sungguh aneh. Mengapa kalian harus marah-marah? Bukankah sudah wajar kalau yang indah-indah itu ditonton dan dikagumi? Aku melihat dan mengagumi bunga indah, burung-burung yang bersuara merdu dan manja, aku nonton mereka sepuasku, dan mereka tidak menjadi marah! Semua yang indah-indah memang baru nampak indah kalau ditonton dan dikagumi, bukan?"
"Apa yang indah?" tanya gadis itu.
"Apa yang indah?" Hay Hay bangkit berdiri di atas batu besar itu dan mengembangkan sepasang lengannya. "Kalian masih bertanya lagi? Kalian inilah yang indah! Wajah kalian begitu manis dan cerah, sinar mata begitu indah berseri-seri, senyum kalian di bibir yang segar itu, kedua pipi yang kemerahan, bentuk tubuh yang demikian sempurna. Aihhhh…, suara kalian yang demikian merdu. Demikian banyak keindahan pada diri kalian namun kalian masih bertanya apanya yang indah? Ambooiii…! Kalian adalah gadis-gadis dusun yang benar-benar polos, wajar dan tidak berpura-pura. Semakin mengagumkan, seperti sekumpulan bunga mawar hutan yang liar akan tetapi makin cerah warnanya dan makin semerbak harumnya. Wahai nona-nona cantik jelita, tadi aku terpesona dan hampir saja menyangka bahwa kalian adalah sekumpulan bidadari dari kahyangan yang turun mandi di sungai ini."
Tujuh orang gadis itu adalah gadis-gadis dusun sederhana. Melihat pemuda yang tampan itu berdiri di atas batu dan mengucapkan kata-kata yang amat indah bagi mereka itu, yang penuh dengan pujian-pujian, dengan lagak bagai seorang pemain panggung yang pandai, langsung menjadi melongo semua.
Tidak ada wanita yang perasaannya tidak menjadi nyaman mendengar orang memujinya cantik, terlebih lagi pujian seperti itu, demikian muluk dan indah kata-katanya, dikeluarkan oleh mulut seorang pemuda yang demikian tampan. Hati siapa takkan menjadi gembira? Tujuh orang gadis itu merasa girang sekali, biar pun masih mereka sembunyikan di balik senyum-senyum yang mulai timbul, bahkan terdengar suara ketawa kecil tertahan.
"Ihhh, jangan-jangan itu hanya rayuan gombal!" terdengar seorang di antara para gadis itu berkata lirih, akan tetapi telah cukup bagi pendengaran Hay Hay yang tajam terlatih untuk menangkapnya.
"Astaga, Nona manis, aku mohon janganlah engkau demikian kejam hingga menuduh aku mengeluarkan rayuan gombal. Rayuan gombal adalah rayuan yang mengandung pamrih untuk bermuka-muka dan menjilat-jilat, sedangkan aku tidak mempunyai pamrih apa-apa terhadap kalian, kecuali memang aku merasa terpesona dan kagum akan keadaan kalian yang bagaikan bunga-bunga yang bermandikan embun di waktu pagi, demikian segar dan cerah, demikian cantik dan harum!"
Tentu saja para gadis itu semakin tertarik dan gadis tertua tadi lalu bertanya. "Siapakah engkau dan mau apa engkau berada di sini sambil mengintai kami yang sedang mandi dan mencuci pakaian?"
Hay Hay tersenyum. Selama perantauannya yang tiga tahun ini, dia telah banyak bergaul dengan gadis-gadis cantik, maka dia pun tahu bahwa apa bila seorang gadis sudah mau melayani bicara, itu tanda Si Gadis tertarik dan dapat diajak berkenalan!
"Namaku Hay Hay." Dia menjura dengan sikap hormat. "Dan aku kebetulan lewat di sini. Perutku lapar dan aku lalu beristirahat di sini sambil sarapan dan mengagumi kalian."
"Apakah... apakah engkau tidak akan berbuat kurang senonoh dan kurang ajar terhadap kami?"
Hay Hay mengerutkan alisnya lantas menunjuk ke atas dan ke bawah. "Langit dan Bumi menjadi saksi dan akan menghukum aku jika aku mempunyai niat buruk dan kurang ajar terhadap kalian, Nona-nona manis. Sebagai bukti bahwa aku tidak berniat kurang ajar tapi hanya ingin sekedar berkenalan dan bersahabat, marilah kalian kuundang untuk sarapan pagi, aku masih membawa cukup banyak roti dan daging kering."
Dia mengeluarkan sebungkus roti dan sebungkus daging, lalu dibukanya dan dipamerkan kepada gadis-gadis itu. "Roti ini bukan roti biasa melainkan roti istimewa yang dicampuri kenari, dan daging ini pun lezat bukan main karena ini adalah daging dendeng manis dari daerah Kwei-lin, sedap dan gurih! Dan aku pun masih mempunyai seguci anggur yang tidak keras, wangi dan manis. Silakan, Nona-nona."
Kembali gadis-gadis itu tertawa kecil cekikikan, agak ditahan. Mereka saling berbisik dan nampak seperti kelompok yang lucu. Lalu yang tertua berkata, "Kami mau naik akan tetapi engkau berbaliklah agar kami dapat mengenakan pakaian kering yang patut."
Hay Hay maklum akan batas godaannya. Kalau terlalu didesak sehingga merasa sangat malu, gadis-gadis ini dapat mundur teratur. Dia tersenyum ramah. "Baiklah, Nona-nona, aku tak akan melihat kalian berganti pakaian!" Dan dia pun membalikkan tubuhnya, duduk di atas batu itu membelakangi sungai.
Gadis-gadis itu lalu bergegas berganti pakaian di balik batu-batu sambil kadang-kadang mengerling ke arah Hay Hay. Kalau Hay Hay menengok dan memandang, tentu mereka akan marah dan tidak percaya lagi kepadanya. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok.
Memang Hay Hay tidak mempunyai keinginan untuk mencuri pandang. Dia suka bergaul dengan gadis-gadis manis yang lincah itu, dan dia tidak menyembunyikan maksud untuk mencuri sesuatu, melainkan rasa suka yang wajar.
Karena melihat bahwa pemuda itu benar-benar tak pernah menengok, maka tujuh orang gadis itu menjadi percaya dan setelah berganti pakaian kering dan mengumpulkan cucian, sambil tertawa-tawa kecil mereka lantas membawa keranjang pakaian keluar dari sungai, mendaki tebing sungai dan menghampiri batu besar di mana Hay Hay duduk.
"Apakah aku sudah boleh memandang?" Hay Hay bertanya walau pun telinganya sudah mendengar akan gerakan mereka yang mendaki tebing.
"Boleh, kami telah berganti pakaian," kata seorang di antara mereka dan kini mereka telah tiba di dekat batu besar.
Hay Hay membalikkan tubuhnya dan dia segera terbelalak memandangi mereka dengan sinar mata penuh kagum yang tidak dibuat-buat dan tidak disembunyikan. Kemudian dia meloncat turun di depan gadis-gadis itu dan mengembangkan kedua lengannya.
"Amboiii...! Setelah kalian berpakaian dan kulihat dari dekat, kalian betul-betul merupakan sekelompok bunga yang indah dan harum semerbak! Lihat, sinar matahari pagi menjadi semakin cerah dengan adanya kalian di sini!"
Wajah tujuh orang gadis itu menjadi kemerahan biar pun jantung mereka berdebar penuh dengan rasa bangga dan gembira. Mereka pun kini memandang kagum karena pemuda yang amat menyenangkan hati mereka karena kata-kata dan sikapnya itu ternyata adalah seorang yang berwajah tampan, bertubuh tegap dan berpakaian pantas. Bukan seorang pemuda dusun, pikir mereka.
"Apakah... apakah engkau seorang kongcu dari kota?" yang tertua bertanya.
Hay Hay tersenyum lebar, nampak deretan giginya yang sehat dan putih terpelihara rapi. Dia menggelengkan kepala. "Nona, apakah bedanya antara orang kota dan orang dusun? Menurut penglihatanku, bedanya hanya bahwa kalau orang kota banyak yang sombong dan licik, maka sebaliknya orang dusun rendah hati, ramah dan jujur. Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku, bagiku dusun dan kota sama saja."
"Akan tetapi engkau tentu bukan pemuda dusun dan engkau tentu pandai baca tulis," kata gadis lain yang ada tahi lalatnya di dagu.
"Aih, Nona, tahi lalat di dagumu itu benar-benar membuat engkau nampak manis sekali!" Hay Hay memuji sehingga dara yang usianya sekitar enam belas tahun tersipu. "Memang aku bisa baca tulis. Ahhh, aku sampai lupa. Silakan mencoba roti dan daging dendengku, Nona-nona, mari, jangan kalian malu-malu. Bukankah kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat?" Hay Hay menawarkan sambil membuka bungkusan roti dan daging itu di atas batu.
Para gadis itu kelihatan ragu-ragu. Namun seorang gadis yang rambutnya terurai panjang sampai ke pinggul berkata, "Dia sudah menawarkan, tidak baik kalau kita menolak. Mari kita cicipi." Dan ia pun memelopori teman-temannya mengambil sepotong roti dan daging.
Setelah gadis berambut panjang itu mengambil sepotong roti dan dendeng, yang lain pun sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa kecil lalu mengulur lengan-lengan yang kecil mungil dan mulus untuk mengambil roti dan daging, masing-masing sepotong.
Mereka mulai makan, menggigit sedikit-sedikit akan tetapi begitu mereka merasakan roti dan dendeng yang memang enak, gigitan mereka menjadi semakin besar karena mereka tidak pernah berpura-pura dan bersopan-sopan seperti gadis-gadis kota. Melihat ini Hay Hay menjadi semakin gembira. Dengan sinar mata berseri dia memandangi gadis-gadis itu penuh kagum.
"Aduh, indahnya rambutmu, Nona, begitu panjang, hitam dan gemuk. Bukan main!" kata Hay Hay memuji Si Gadis berambut panjang. "Cantik sekali…!"
Para gadis itu tertawa lantas gadis tertua menuding ke arah gadis bertahi lalat dan gadis berambut panjang. "Hi-hik, dia memuji-muji Siauw Lan dan Siauw Cin..." dan semua gadis mentertawakan dua orang gadis itu yang tersipu malu.
Melihat ini, Hay Hay cepat-cepat berkata. "Bukan hanya mereka berdua, akan tetapi aku mengagumi kalian semua karena kalian semua masing-masing memiliki keindahan yang khas. Aku dapat memuji kalian semua, bukan rayuan gombal, tapi pujian yang setulusnya atas dasar kenyataan."
"Aihh…, tidak mungkin engkau memuji kami semua!" kata gadis tertua, menyembunyikan keinginan hatinya untuk mendengar pujian apa yang akan diberikan pemuda luar biasa itu untuknya.
Hay Hay memandang kepada lima orang gadis yang belum dipujinya itu dengan senyum manis. Dia memang suka sekali pada wanita, dan belum pernah dia melihat wanita yang tidak memiliki sesuatu yang menonjol pada dirinya, sesuatu yang menarik dan istimewa.
"Engkau sendiri, Nona, engkau memiliki kulit yang demikian putih dan mulus, bersih dan lembut tanpa cacat! Kulitmu nampak putih kemerahan, seperti sutera halus, nampak amat cemerlang setelah mandi dan basah tertimpa sinar matahari pagi. Alangkah indahnya dan aku yakin, semua pria tentu akan terpesona melihatnya. Hanya pria yang kedua matanya buta sajalah yang tidak akan dapat melihat keindahan kulitmu."
Bukan main girang rasa hati gadis itu. Memang dia memiliki kulit yang paling putih bersih dibanding teman-temannya, akan tetapi selama hidupnya, baru satu kali inilah ada orang yang memuji-muji kebersihan kulitnya seperti itu! Jantungnya berdebar-debar dan dia pun cepat menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
"Aihhh, bisa saja engkau memuji, Kongcu...!" katanya sambil tersenyum malu-malu.
"Kalau aku yang hitam seperti arang ini, apanya yang pantas dipuji?" tiba-tiba saja gadis berusia tujuh belas tahun yang memang berkulit agak kehitaman berkata, menantang dan teman-temannya memperhatikan pemuda itu. A-kiu ini memang dianggap paling buruk di antara mereka karena kulitnya memang lebih hitam dari pada yang lain.
Hay Hay memandang gadis itu, sinar matanya mencari-cari dan akhirnya dia berseru. “Ah, siapa bilang engkau buruk, Nona? Memang kulitmu agak hitam, akan tetapi hitam manis itu namanya! Dan lihat matamu! Duhai, siapa yang takkan terpesona melihat mata seperti matamu itu? Demikian jeli, demikian jernih, demikian indah bentuknya. Sepasang matamu itu saja sudah cukup untuk menundukkan hati setiap pria, Nona!" Dan kini kawan-kawan nona berkulit kehitaman itu baru melihat bahwa Si A-kiu memang mempunyai mata yang sangat indah!
"Dan engkau, Nona, keistimewaan yang ada padamu adalah bentuk wajahmu. Inilah yang dinamakan bentuk wajah bulat telur. Manis bukan kepalang, dengan dagu meruncing dan tulang pipi sedikit menonjol. Bentuk wajah seperti yang kau miliki itu membuat semua bagian mukamu menjadi nampak manis sekali!" kata Hay Hay memuji gadis berikutnya yang tersipu-sipu malu-malu senang.
"Dan jarang ada gadis yang memiliki hidung serta mulut sepertimu, Nona," katanya lagi memandang gadis berbaju hijau, gadis ke enam. "Hidungmu kecil mancung, cocok sekali dengan mulutmu yang kecil dengan bibir yang penuh dan merah membasah. Amboiiiii...! Mata pria tak akan mau berkedip memandangi mulutmu itu. Engkau seorang gadis yang hebat!" Dan tentu saja gadis itu hanya dapat mengeluarkan suara "aahhh..." yang manja dan tersipu-sipu seperti yang lain.
"Dan engkau?" Hay Hay memandang kepada gadis ke tujuh atau yang terakhir. "Bentuk tubuhmu, Nona! Sungguh laksana setangkai bunga sedang mekar! Pinggangmu ramping, tubuhmu... sungguh menggairahkan setiap orang pria yang memandangnya. Semua pria dapat tergila-gila memandang bentuk tubuh seorang wanita seperti bentuk tubuhmu ini!"
Tujuh orang gadis itu semua telah mendapat giliran dipuji-puji oleh Hay Hay dan mereka yang menerima pujian menjadi girang bukan main, akan tetapi setiap kali Hay Hay memuji seorang gadis, yang lain merasa tak senang dan iri!
"Hemm, Kongcu...," kata gadis tertua yang kulitnya putih.
"Aihh, jangan menyebut Kongcu (Tuan Muda), membikin aku malu saja. Namaku Hay Hay dan kalian boleh saja menyebut aku Kakak Hay."
"Kakak Hay Hay yang baik," kata gadis tertua. "Engkau memuji kami semua, katakanlah siapa di antara kami yang kau anggap paling menarik?"
Gadis-gadis yang lain tersenyum dan tertawa, ikut pula mendesak dan suasana menjadi gembira sekali. Mereka tertawa-tawa, merubung Hay Hay yang menjadi girang sekali.
Dirubung tujuh orang gadis cantik dan segar itu, Hay Hay merasa seperti berada di taman kahyangan dikelilingi tujuh orang bidadari jelita! Dia pun tertawa-tawa gembira. Alangkah bahagianya hidup ini! Pada setiap keadaan terdapat hal-hal yang dapat dinikmati, yang mendatangkan rasa gembira di hati.
"Aku menjadi bingung kalau disuruh mengatakan siapa yang paling menarik. Habis semua menarik sih!" jawabnya sambil tertawa-tawa dan tujuh orang gadis itu pun tertawa semua. Senang rasa hati mereka karena selama hidup belum pernah mereka berjumpa dengan seorang pemuda yang begini menyenangkan hati.
"Andai kata engkau disuruh memilih salah seorang di antara kami untuk menjadi...," gadis berambut panjang itu berhenti, mukanya merah sekali dan dia tidak berani melanjutkan karena malu.
"Menjadi apa?" Hay Hay pura-pura tidak mengerti.
"Jadi itu tuuhh...!" sambung gadis bertahi lalat.
"Jadi pacarmu...!" akhirnya gadis tertua memberanikan diri berkata. "Engkau akan memilih yang mana, Hay-ko?"
Hay Hay tertawa bergelak di tengah-tengah ketujuh gadis itu. "Wah repotnya! Pilih yang mana, ya?" Dia memandang kepada mereka satu demi satu untuk menimbulkan suasana penuh harapan yang amat menegangkan hati mereka, kemudian menyambung, "aku pilih semuanya! Ha-ha-ha!"
Gadis-gadis itu menjerit kecil lantas tertawa-tawa dengan sikap manja dan genit. Mereka pun menikmati keadaan yang luar biasa, menggembirakan dan sekaligus membangkitkan gairah hidup dan semangat muda mereka. Mereka merasa demikian bebas dekat pemuda ini, bebas akan tetapi tidak merasa terancam. Pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar, pandang matanya demikian jenaka tetapi lembut, tanpa kandungan pandang mata penuh nafsu yang kurang sopan.
Biasanya mereka merasa betapa pandang mata pria pada saat ditujukan kepada mereka seolah-olah ingin meraba-raba tubuh mereka, bahkan seolah-olah sinar mata pria hendak menelanjangi mereka. Pemuda ini berbeda. Ucapan-ucapannya yang mengandung pujian bukan rayuan belaka, melainkan pujian yang wajar dan setengah kelakar.
Baik Hay Hay mau pun ketujuh gadis itu tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di belakang semak-semak belukar, sejak tadi ada sepasang mata jeli yang mengintai dan mengikuti setiap gerakan mau pun kata-kata mereka. Sepasang mata yang sungguh tajam, yang kadang-kadang memancarkan kemarahan, tapi kadang-kadang juga kegembiraan. Pemilik sepasang mata ini adalah seorang dara yang berusia kurang lebih delapan belas tahun.....