Sesudah memperoleh pakaian yang rapi, maka mulailah Su Kiat dan Hui Lian melakukan penyelidikan dan mencari-cari musuh besar mereka. Tidak sukar mencari seorang seperti Lam-hai Giam-lo yang amat tersohor itu.
Pada suatu hari, pada saat Lam-hai Giam-lo berada di pondoknya yang dibangun secara darurat di tepi Laut Selatan, masih tidur karena semalam bergadang, terdengar namanya dipanggil orang dari luar. Lam-hai Giam-lo terbangun dan mendengarkan suara itu.
"Lam-hai Giam-lo, jahanam busuk, keluarlah engkau!"
Tentu saja kakek yang kini sudah berusia lima puluh tahun itu menjadi marah mendengar makian orang, apa lagi suara itu adalah suara seorang wanita! Wanita mana di dunia ini yang berani meremehkannya, bahkan memakinya? Sesudah menggosok kedua matanya dan sadar benar, dia lalu melangkah keluar dari pondoknya.
Seorang dara berusia dua puluh tahun lebih, berpakaian sutera putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping padat, berdiri di depan pondoknya bersama seorang pria berusia empat puluh tahun lebih. Gadis itu tidak dikenalnya, demikian juga pria tinggi besar yang lengan kirinya buntung ini tidak dikenalnya. Karena itu Lam-hai Giam-lo memandang dengan alis berkerut dan menduga-duga siapa adanya dua orang pengunjung yang agaknya bersikap memusuhinya itu.
Sepuluh tahun yang silam, Su Kiat adalah lawan yang amat lunak bagi Lam-hai Giam-lo, maka peristiwa itu sama sekali tidak meninggalkan kesan di hatinya dan dia benar-benar sudah lupa sama sekali terhadap pria berlengan buntung sebelah itu. Apa lagi kepada Hui Lian yang ketika itu masih merupakan seorang anak perempuan belum dewasa.
Sebaliknya Su Kiat dan Hui Lian ingat benar kepada laki-laki muka kuda ini, maka mereka sudah memandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan.
"Lam-hai Giam-lo, kami datang untuk membalas dendam atas kejahatanmu sepuluh tahun yang lalu!" kata Ciang Su Kiat.
"Siapakah kalian?!" Lam-hai Giam-lo membentak marah karena dua orang itu nampaknya memandang rendah padanya, padahal di daerah selatan ini dia dapat menamakan dirinya sebagai tokoh sesat nomor satu.
"Lam-hai Giam-lo, lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika engkau melempar seorang gadis tak berdosa ke bawah tebing yang curam, kemudian menendang aku ke bawah tebing pula?" kata Su Kiat sambil menatap tajam.
"Kemudian aku meloncat ke bawah untuk menyusul Suhu!" Hui Lian membantu suhu-nya mengingatkan kepada musuh itu.
Kini Lam-hai Giam-lo teringat dan dia pun tertawa bergelak. Suara ketawanya lebih mirip lagi dengan ringkik kuda dari pada suaranya yang sudah parau dan serak itu.
"Hieeeh-heh-heh...! Jadi kalian adalah mereka itu? Ha-ha-ha!" Tiba-tiba dia menghentikan suara tawanya lantas memandang dengan mata sipit yang coba untuk dilebarkannya itu. "Tapi... tapi kalian sudah jatuh ke bawah tebing...bagaimana sekarang bisa muncul lagi?"
"Lam-hai Giam-lo, betapa pun jahat dan kejammu, tetapi engkau bukan Giam-lo-ong yang sesungguhnya sehingga tidak berhak mencabut nyawa orang sebelum kematian orang itu dikehendaki oleh Thian! Dan kini kami datang untuk membalas kejahatanmu yang sudah melampaui takaran itu."
Kembali kakek muka kuda itu tertawa meringkik. "Heh-heh-heh, kalau sepuluh tahun yang lalu aku gagal, sekarang tentu aku tidak akan gagal mencabut nyawamu, lengan buntung. Dan anak perempuan yang dulu itu kini sudah menjadi seorang gadis yang cantik, hemm, sekarang harus melayaniku beberapa hari lamanya...!"
"Jahanam bermulut busuk!" Hui Lian memaki.
Dara ini telah mencabut pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dari punggungnya, lalu menyerang dengan satu tusukan kilat ke arah perut lawan. Melihat sinar pedang yang meluncur cepat dan sinarnya berkilauan menyambar itu, Lam-hai Giam-lo sama sekali tak berani memandang rendah, maka dia pun mengelak dengan melangkah ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi pedang yang meluncur lewat itu ternyata tahu-tahu telah membalik secara aneh dan cepat sekali, tahu-tahu telah membabat ke arah lehernya dari samping!
"Ehhh...!" Lam-hai Giam-lo terpaksa melempar tubuh ke belakang dan meloncat mundur, sambil mengirim tendangan yang dapat dielakkan pula oleh Hui Lian.
"Tahan dulu! Aku tidak ingin membunuh orang-orang yang tak bernama. Siapakah kalian?" bentak Lam-hai Giam-lo.
Hui Lian mewakili gurunya menjawab, suaranya dingin seperti pandang matanya sehingga Lam-hai Giam-lo merasa ngeri juga. "Aku bernama Kok Hui Lian dan ini adalah guruku Ciang Su Kiat." Dara itu lalu mengelebatkan pedangnya. "Lam-hai Giam-lo, kini bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!"
Pedangnya lalu menyambar dan diputar dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu, berubah menjadi segulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sementara itu, Su Kiat juga tidak tinggal diam saja. Dia melihat betapa muridnya sudah memainkan In-liong Kiam-sut, maka dia pun mengimbanginya dengan permainan silat sakti Sian-eng Sin-kun.
Melihat betapa gulungan sinar pedang itu menyambar seperti ombak hendak menggulung tubuhnya, dan gerakan tangan kanan Su Kiat mengandung hawa pukulan bagaikan badai menderu, diam-diam Lam-hai Giam-lo menjadi amat terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang yang telah jatuh ke bawah tebing curam itu masih hidup dan lebih tak disangkanya lagi bahwa dalam waktu sepuluh tahun, kedua orang ini sudah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat.
Maka dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuhnya diputar dengan cepat sekali, berpusing seperti gasing dan dari putaran itu, kedua lengannya yang dapat mulur panjang itu mencuat dan kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Beberapa kali dia berusaha menangkap sebelah tangan Su Kiat atau pergelangan tangan Hui Lian yang memegang pedang, namun tak pernah berhasil karena kedua orang itu dapat bergerak dengan cepat, dibarengi langkah-langkah kaki yang aneh.
Lam-hai Giam-lo nyaris tak percaya akan hal yang dialaminya sendiri. Dia adalah seorang tokoh besar dan dalam hal ilmu silat, dia sudah mewarisi hampir semua ilmu kepandaian gurunya, mendiang Lam-kwi-ong sehingga tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dibandingkan dengan mendiang gurunya. Tetapi sekarang, menghadapi pengeroyokan dua orang yang pada sepuluh tahun yang lampau belum apa-apa, kini dia terdesak hebat dan repot melayani sinar pedang dan tangan yang hanya sebelah kanan itu.
Yang amat berbahaya justru lengan baju kiri yang buntung itu sebab secara tak disangka-sangka sekali, kadang-kadang ujung lengan baju itu menyambar dan melakukan totokan-totokan yang ampuh. Harus diakui bahwa ilmu silat yang dimainkan lelaki buntung lengan kirinya ini hebat luar biasa, aneh dan mengandung tenaga dahsyat.
Akan tetapi, pedang yang dimainkan oleh gadis itu pun ampuh sekali. Selain pedangnya merupakan pusaka yang ampuh, juga ilmu pedang itu membingungkan Lam-hai Giam-lo. Sudah banyak dia berkelahi melawan ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah dia menghadapi ilmu pedang yang begini tangkas.
Pedang yang berubah menjadi segulungan sinar putih itu bagai seekor naga yang sedang mengamuk! Akan tetapi gerakannya juga indah sekali dan nampak begitu lembut, seperti seorang gadis cantik yang menari-nari saja, hanya tarian itu mengandung ancaman maut pada setiap gerak serangannya!
Su Kiat dan Hui Lian harus mengakui bahwa mereka sedang berhadapan dengan lawan yang amat tangguh. Su Kiat pernah menjadi murid Cin-ling-pai dan bagaimana pun juga, dia sudah memiliki pengalaman berkelahi yang cukup banyak. Sebaliknya, Hui Lian belum pernah berkelahi dan semua ilmu yang dikuasainya diperoleh dari latihan-latihannya yang amat rajin, dibantu oleh bimbingan gurunya yang sungguh-sungguh.
Oleh karena itu permainan pedang Hui Lian juga amat hebatnya. Bahkan Su Kiat sendiri harus mengakui bahwa dalam hal memainkan ilmu pedang In-liong Kiam-sut, dia sendiri masih kalah oleh muridnya sendiri. Bukan hanya karena lengan kirinya buntung sehingga kurang keseimbangan apa bila dia yang memainkan pedang dengan ilmu itu, akan tetapi terutama sekali karena Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut itu memang bersifat lembut seperti wanita, dan gerakannya halus indah, lebih tepat digerakkan oleh tubuh wanita yang lentur dan lemah gemulai.
Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang In-liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Karena penciptanya adalah wanita dan untuk dimainkan sendiri, tentu saja memiliki ciri khas permainan wanita yang halus.
Perkelahian itu makin seru dan hebat mati-matian. Makin lama Lam-hai Giam-lo menjadi semakin marah dan penasaran. Dia bukan hanya mempertahankan diri, melainkan juga merasa bahwa dia mempertahankan nama serta kedudukannya. Masih untung baginya bahwa pada saat itu, tidak ada saksi yang akan melihat betapa dia, Lam-hai Giam-lo, kini terdesak oleh seorang laki-laki buntung sebelah tangannya dan seorang gadis muda.
Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya, akan tetapi tetap saja dia terdesak terus. Sampai seratus jurus dia mampu bertahan, akan tetapi akhirnya pundaknya terkena totokan ujung lengan baju kiri yang buntung dari Su Kiat.
Lam-hai Giam-lo tidak roboh melainkan merasa kesemutan dan dalam beberapa detik dia terhuyung. Kesempatan yang sekejap saja ini sudah cukup bagi Hui Lian untuk mendesak dengan pedangnya. Pedang itu berkelebat menuju ke arah leher lawan.
Lam-hai Giam-lo terkejut bukan main. Untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia harus berlaku nekat, menggunakan tangan kirinya yang diisi tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis.
"Plakkk!"
Pedang itu berhasil ditangkis, akan tetapi kulit lengannya terobek sedikit sehingga terluka dan berdarah. Pada saat itu pula sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat tepat mengenai punggungnya.
"Bukkk!"
Lam-hai Giam-lo terpelanting terus bergulingan dan muntahkan darah segar. Maklumlah dia bahwa apa bila dilanjutkan, berarti dia bunuh diri, maka tanpa malu-malu lagi dia lalu meloncat dan melarikan diri.
"Pengecut, hendak lari ke mana kau?!" Su Kiat membentak dan mengejar.
"Ke neraka pun akan kukejar kau! Keparat jahanam, jangan lari!" Hui Lian juga berteriak mengejar.
Keringat dingin membasahi dahi serta leher Lam-hai Giam-lo, karena ketika dia menoleh, dia melihat betapa guru dan murid itu dapat berlari amat cepatnya sehingga sulit baginya untuk meloloskan diri. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua ilmu ginkang-nya untuk mempercepat larinya, akan tetapi bayangan kedua orang itu tetap saja mengejar di belakangnya, hanya dalam jarak seratus meter lebih!
Dia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, jika dilanjutkan pengerahan sinkang seperti ini, maka akhirnya dia akan roboh sendiri. Untuk berhenti dan melawan, dia tidak sanggup lagi karena maklum bahwa dia tidak akan menang.
Dengan napas terengah-engah akibat harus berlari cepat terus-menerus, akhirnya sebuah sungai yang cukup lebar menghalang di depannya. Lam-hai Giam-lo hampir saja bersorak ketika dia berhasil mencapai tepi sungai ini. Memang sungai itu yang ditujunya dan sungai itu satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan diri. Begitu tiba di tepi sungai, dia lalu meloncat ke air dan menyelam. Memang satu di antara keahlian Lam-hai Giam-lo adalah permainan di dalam air.
Melihat buruan mereka meloncat ke dalam air dan lenyap, Su Kiat dan Hui Lian tertegun berdiri di tepi sungai. Mereka hanya mampu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan akhirnya mereka melihat buruan itu sudah mendarat di seberang, akan tetapi di hulu yang agak jauh. Terpaksa guru dan murid ini cepat mencari perahu terlebih dahulu untuk digunakan menyeberang. Ketika akhirnya mereka dapat menumpang perahu nelayan dan menyeberang, buruan mereka telah lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Su Kiat dan Hui Lian merasa kecewa sekali, akan tetapi mereka tidak putus asa dan tetap melanjutkan penyelidikan dan pencarian mereka. Mereka terus menyelidiki jejak Lam-hai Giam-lo sambil bertanya-tanya. Untung bagi mereka bahwa selain tersohor, juga Lam-hai Giam-lo mempunyai wajah yang amat mengesankan sehingga semua orang yang pernah melihatnya tidak akan mudah melupakan wajah yang seperti kuda dan suara yang serak parau seperti ringkik kuda itu pula.
Mereka bisa mengikuti jejak musuh mereka dan akhirnya, kurang lebih sebulan kemudian, mereka berdua berhasil menemukan tempat persembunyian Lam-hai Giam-lo di luar kota Swat-ouw. Su Kiat dan Hui Lian cepat menyerbu rumah di luar kota itu dan memang benar Lam-hai Giam-lo berada di sana bersama lima orang kawannya yang juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Lam-hai Giam-lo sudah sembuh dari lukanya dan kini dia mengandalkan lima orang temannya yang merupakan penjahat-penjahat besar di Swat-ouw untuk mengeroyok.
Namun Su Kiat dan Hui Lian mengamuk sehingga membuat lima orang kawan Si Muka Kuda itu roboh semua oleh sinar pedang Hui Lian. Terpaksa Lam-hai Giam-lo melawan lagi sampai lebih dari seratus jurus. Akan tetapi akhirnya sebuah tendangan kaki Hui Lian mengenai perutnya dan sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat juga kembali membuatnya muntah darah. Untuk kedua kalinya kakek muka kuda itu melarikan diri, dan untuk kedua kalinya dua orang musuhnya melakukan pengejaran pula!
Akan tetapi kali ini Lam-hai Giam-lo sudah membuat persiapan. Dia memang cerdik sekali sehingga saat dia bersembunyi di luar kota Swat-ouw, dia telah memperhitungkan bahwa kalau sampai dia dapat dikejar musuh, dia sudah memiliki tempat untuk menyelamatkan diri. Dia berlari ke utara dan tidak lama kemudian tibalah dia di tepi sungai yang mengalir dari pegunungan Tai-yun-san. Sekali meloncat dia pun lenyap di bawah permukaan air.
Kembali guru dan murid itu harus mencari perahu untuk menyeberang dan untuk kedua kalinya, mereka melakukan penyelidikan dan pencarian. Lam-hai Giam-lo yang melarikan diri ke barat menjadi semakin panik melihat betapa dua orang musuhnya itu dengan nekat terus melakukan pengejaran terhadap dirinya. Diam-diam dia merasa penasaran dan juga jengkel sekali, akan tetapi untuk menghadapi mereka, dia merasa tidak akan menang.
Kini untuk kedua kalinya dia terluka, bahkan lebih parah dari pada yang pertama. Untuk minta bantuan orang lain, dia merasa malu. Mau ditaruh ke mana mukanya kalau dunia persilatan tahu bahwa dia lari ketakutan dari dua orang yang sama sekali tidak terkenal, apa lagi kalau minta bantuan orang lain?
Lima orang yang bersama dia dan membantunya itu pun tidak dia mintai bantuan. Mereka adalah penjahat-penjahat yang termasuk bawahannya sehingga bantuan mereka tak akan ada artinya bagi dua orang lawan yang amat lihai itu.
Demikianlah, kejar mengejar terjadi hingga akhirnya Lam-hai Giam-lo menggunduli rambut dan menyamar sebagai seorang hwesio. Kemudian dia menggunakan akal dan berhasil masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi seorang tukang sapu yang gagu dan tuli. Dan di tempat itulah dia berhasil bersembunyi.
Tentu saja Su Kiat dan Hui Lian sama sekali tidak berani mencari ke dalam kuil Siauw-lim-si. Apa lagi guru dan murid ini merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu tidak akan sudi menyembunyikan seorang datuk sesat seperti Lam-hai Giam-lo! Dan inilah sebabnya kenapa Lam-hai Giam-lo berhasil tinggal di kuil itu sampai selama satu tahun.
Akan tetapi memang dasar seorang jahat. Ketika dia melihat bahwa dua orang hukuman itu mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, dia ingin sekali memiliki ilmu-ilmu itu maka dia pun mulai melakukan pengintaian-pengintaian ketika dua orang hukuman itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengadakan latihan-latihan di dalam kuil pada waktu malam. Akhirnya dia bentrok dengan mereka dan dikalahkan, lantas terusir keluar dari kuil karena dia harus melarikan diri, tidak sanggup melawan dua orang hukuman yang ternyata luar biasa tangguhnya itu.
Demikianlah, Lam-hai Giam-lo berhasil lolos dari pengejaran musuh-musuhnya. Sekarang dia tidak berani lagi merajalela di daerah selatan, takut kalau-kalau dua orang yang selalu mengejarnya itu datang lagi ke sana. Dia bahkan lebih banyak menyembunyikan diri dan memperdalam ilmu-ilmunya karena di dalam hatinya dia masih merasa penasaran bahwa dia dapat dikalahkan oleh seorang yang berlengan buntung dan seorang gadis cantik…..
********************
Dahulu nama Pat-sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat sebagai nama dari delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan. Memang nama mereka tidak pernah muncul di dalam kisah Asmara Berdarah, karena pada saat itu mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah berkecimpung di dunia persilatan lagi sehingga ketika di dunia persilatan muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat-sian tidak berada di sebelah bawah tingkat Raja Iblis.
Kini, setelah usia mereka tua, yang muncul di dunia hanya Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama. keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh para pendeta Lama.
Di antara delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, agaknya hanya dua orang kakek ini yang agaknya masih hidup. Dua yang lainnya adalah In Liong Ni-nio dan Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui telah mati dan kerangka mereka, bersama ilmu-ilmu mereka, secara kebetulan ditemukan oleh Su Kiat dan Hui Lian di dalam goa yang amat sulit untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya tidak diketahui ke mana perginya, tidak ada pula yang tahu apakah mereka itu masih hidup ataukah sudah mati.
Berbeda dengan See-thian Lama yang tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet dan malah hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya, Ciu-sian Sin-kai yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri.
Ciu-sian Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang berada di lautan Po-hai, tidak kelihatan dari pantai karena pulau itu kecil saja, akan tetapi orang akan merasa kagum setelah berada di pulau itu karena pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memiliki tanah yang amat subur.
Pulau itu dikelilingi oleh batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan daerah yang amat berbahaya untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu, melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas yang berkeliaran di sekeliling pulau itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan para penghuninya karena tak pernah mengalami gangguan dari luar.
Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tak sengaja. Di dalam petualangannya, dia mendengar tentang banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu bajak.
Dengan kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan banyak perahu bajak laut serta menewaskan banyak pula kepala bajak laut, menangkapi anak buahnya lantas menyeret mereka ke darat untuk diadili.
Ketika pada suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari terus. Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau terpencil. Dengan nekat dia pun memasuki daerah berbahaya itu lalu berhasil mendarat dengan selamat dan kiranya pulau yang kemudian dinamakan Pulau Hiu itu merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan.
Dia menyerbu kemudian membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih hingga akhirnya sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Namun sebelumnya dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan untuk bertobat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih mereka yang masih muda-muda.
Sisa harta simpanan para bajak masih sangat banyak dan Ciu-sian Sin-kai mulai menjadi majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya, dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini menjadi anak buahnya. Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil di pulau Hiu.
Benar saja, para bekas bajak itu dapat merubah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang taat dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka kemudian berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan orang itu.
Anak buah Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau itu menjadi makin angker dan disegani para nelayan, bahkan kini jarang ada bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi pada bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di sekitar Pulau Hiu.
Kini anak-anak dari para bekas bajak sudah berumur belasan tahun dan mereka semua menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat serta penuh disiplin, menganggap kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati sepenuhnya. Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis itu pergi sampai lama sekali pun, dalam salah satu di antara perantauannya, mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di pulau.
Segala keperluan hidup para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan bila membutuhkan ikan, mereka hanya tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, ada pun keperluan-keperluan lain dapat mereka peroleh dengan membeli ke daratan.
Akan tetapi kepergian Ciu-sian Sin-kai sekali ini agak terlampau lama. Hampir satu tahun kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu juga diketahui oleh pihak lain yang hendak mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari keuntungan.
Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek dan perutnya gendut. Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan, membelok ke kanan kiri, lantas menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat.
Dari lima buah perahu besar itu, dengan amat sigapnya berloncatan turun masing-masing sepuluh orang sehingga jumlah mereka semua menjadi lima puluh orang. Ada pun orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu sudah menyelinap pergi di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Sambil menghunus senjata tajam, dengan dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, lima puluh orang itu segera menyerbu ke tengah pulau.
Tentu saja gerakan lima puluh orang ini langsung diketahui oleh penghuni pulau sehingga terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan segera para penghuni terlihat berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul, dan jumlah mereka yang dulunya hanya belasan orang itu kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang. Mereka lalu berlari keluar menyambut kedatangan musuh.
Tidak perlu lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut yang sengaja datang untuk membalas dendam kepada Ciu-sian Sin-kai sambil merampok harta karun yang banyak terdapat di situ pada saat kakek yang ditakuti itu tidak berada di pulau, di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam sudah menyerbu dan menyerang para penghuni pulau.
Maka terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh.
Akan tetapi kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di tangannya sulit dilawan sehingga banyak yang telah roboh olehnya. Di samping itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka menjadi terdesak.
Agaknya para penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay! Mereka baru saja sampai dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung perahu secepatnya.
Perahunya lantas meluncur seperti terbang saja, apa lagi di situ ada Hay Hay yang juga membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam.
Melihat betapa anak buahnya banyak yang telah roboh terluka dan betapa para bajak laut itu mengamuk dengan kejam, terlebih lagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas dendam dan merampok.
"Bajak-bajak tidak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu ke dalam arena pertempuran.
Melihat munculnya Ciu-sian Sin-kai, para penghuni pulau bersorak gembira dan semangat mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya telah mulai meredup, kini disiram minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas.
Hay Hay juga tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan ke mana pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu
Kepala bajak yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu amat terkejut. Maklum siapa yang muncul, dia pun cepat memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sebuah sambaran pada muka kakek bertubuh kurus itu.
Akan tetapi kakek itu tidak mengelak, namun menyambut dengan tangannya dan berhasil menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, langsung mengerahkan tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Akan tetapi rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai!
Walau pun kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tak dapat terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis.
"Hemm, siapakah kau yang berani membawa anak buah lalu mengacau ke sini?" Ciu-sian Sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa muka hitam itu.
Tadinya raksasa muka hitam itu amat terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia pun menjadi nekat. "Aku Hek-bin Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan rekanku!"
Ciu-sian sin-kai tertawa mengejek, lalu tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak) yang selalu tergantung pada pinggangnya dan minum arak dengan tangan kirinya, langsung dari guci itu. Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat.
Akan tetapi, tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut. Orangyang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya itu selagi minum dan menelan arak? Akan tetapi, meski pun sedang minum, kakek jembel itu tetap saja amat kuat.
"Menjemukan kau!" Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya.
Arak memercik ke muka yang hitam itu dan biar pun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tak urung dia menjerit, kemudian melepaskan rantai dan mempergunakan kedua tangan untuk mendekap mukanya sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus yang menusuki mukanya.
Ciu-sian Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun mereka telah dikepung oleh para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk bagai seekor harimau kecil yang galak.
Ciu-sian Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat dirobohkan dan tidak ada yang melawan lagi! Di antara mereka yang tewas, ada banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di atas tanah, tidak berani berkutik, malah ada pula yang berpura-pura mati!
Dengan pandangan matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah sekali.
"Kumpulkan mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya.
Dengan senang hati para penghuni pulau itu melaksanakan perintah ini. Biar pun ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun mereka boleh mengucap syukur bahwa guru atau majikan mereka sudah pulang tepat pada waktunya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis!
Dengan perasaan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang telah tak bernyawa, yang luka berat mau pun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan mereka yang mengaduh-aduh karena pada waktu diseret, tentu saja luka-luka mereka menjadi semakin parah.
Pada saat itu nampak dua orang anak buah pulau datang sambil menyeret seorang yang bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah salah seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran.
"Apa artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret Kai Ti, Si Gendut Pendek itu.
"Tocu, dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau."
Mendengar laporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut. Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah orang yang pernah melakukan pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di pulau. Saat itu dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang mabok keras.....