Pendekar Mata Keranjang Jilid 12

"Hui Lian, kita harus berterima kasih kepada Thian yang telah menyelamatkan kita secara ajaib!" Dan dia pun mengajak muridnya berlutut untuk menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit.

Setelah bersembahyang keduanya bangkit berdiri dan mulai memeriksa keadaan goa itu. Sebuah goa yang besar dan dalam, dan di sana terdapat terowongan menuju ke dalam. Mereka belum memasuki terowongan itu, karena hati mereka masih tegang dan mereka perlu beristirahat.

Laki-laki itu mengajak muridnya duduk bersila di bagian depan goa itu yang merupakan ruangan yang panjangnya tak kurang dari sepuluh meter dan lebarnya lima meter, dengan pintu lubang bergaris tengah satu meter tadi. Lantainya rata dan licin, seperti lantai rumah saja.

"Suhu, bagaimana kita dapat naik lagi?"

"Hui Lian, kini belum saatnya kita memikirkan hal itu. Sekarang bergembiralah karena kita telah mendapatkan sebuah tempat yang untuk sementara dapat kita tinggali."

"Tapi... tapi... bagaimana kita dapat minum, makan dan keluar dari tempat ini...?"

Gurunya memegang kepalanya dengan tangan kanan, mengelus rambutnya dan berkata, suaranya amat halus. "Hui Lian, baru saja kita terlepas dari cengkeraman maut, perlu apa kehilangan akal untuk urusan lain? Semua itu nanti dapat kita selidiki perlahan-lahan, dan sekarang, yang terpenting kita semedhi untuk memulihkan tenaga dan ketenangan batin. Marilah." Hui Lian mengangguk, tidak membantah lagi dan tidak lama kemudian, guru dan murid itu sudah duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, tenggelam ke dalam semedhi.

Siapakah guru dan murid ini? Laki-laki berlengan kiri buntung itu bernama Ciang Su Kiat dan muridnya, yaitu gadis cilik itu, bernama Kok Hui Lian. Para pembaca kisah Asmara Berdarah mungkin belum lupa akan nama Ciang Su Kiat.

Dia adalah bekas murid Cin-ling-pai yang dulu membuntungi lengan kirinya sendiri karena dianggap bersalah terhadap Cin-ling-pai oleh Ketua Cin-ling-pai yang ketika itu menjadi gurunya, ialah Cia Kong Liang yang berwatak keras dan tegas itu. Setelah membuntungi lengan kirinya sendiri, Ciang Su Kiat keluar dari Cin-ling-pai, tidak lagi menjadi anggota Cin-ling-pai dan selanjutnya orang tidak tahu ke mana dia pergi menyembunyikan dirinya.

Akan tetapi, dengan hati yang prihatin Ciang Su Kiat bukan bersembunyi untuk merenungi nasibnya, melainkan dengan mati-matian dia lalu menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu silat yang lebih mendalam sehingga meski pun dia kehilangan lengan kiri sebatas siku, di lain pihak dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat.

Beberapa tahun kemudian, ketika San-hai-koan dilanda perang, secara tiba-tiba barulah dia muncul. Dengan kepandaiannya yang sudah maju pesat, dia berhasil menyelamatkan puteri tunggal keluarga Kok-taijin, yaitu gubernur San-hai-koan yang anggota keluarganya habis terbasmi, lalu membawa puteri yang baru berumur sepuluh tahun itu meninggalkan San-hai-koan. Puteri itu bukan lain adalah Kok Hui Lian yang kemudian menjadi muridnya, sekaligus juga anak angkatnya karena Hui Lian telah kehilangan ayah bunda dan seluruh keluarganya.

Sebenarnya, yang tadinya menyelamatkan Hui Lian dari rumah Gubernur Kok adalah Cia Hui Song, putera dari ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena ketika itu dia dikeroyok oleh banyak orang pandai, terpaksa dia melepaskan Hui Lian dan hampir saja Hui Lian celaka tertawan musuh bila saja tidak muncul Ciang Su Kiat yang kemudian menyelamatkannya dan membawanya lari.

Sampai dua jam lamanya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian duduk bersemedhi di ruangan depan goa itu. Setelah mereka merasa bahwa kekuatan mereka pulih kembali dan batin mereka menjadi tenang, barulah mereka bangkit dan Ciang Su Kiat mengajak muridnya untuk melakukan pemeriksaan ke dalam goa.

Mula-mula mereka menjenguk ke luar dan sekali lagi mereka mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka keluar dari tempat itu. Tidaklah mungkin untuk merayap turun atau naik. Jarak naik atau pun turun sejauh lima ratus kaki, sementara dinding tebing itu amat terjal, tegak lurus dan licin sekali. Bahkan seekor monyet sekali pun kiranya tak mungkin mampu merayap sampai ke permukaan laut di bawah atau naik sampai ke atas. Hanya burung-burung walet itulah yang mampu keluar dari tempat itu.

Setelah merasa yakin bahwa mereka tidak mungkin keluar dari situ melalui dinding di luar goa, mereka lalu masuk kembali dan memeriksa keadaan ruangan dalam. Goa itu adalah goa alam, semua lantai dan dindingnya dari batu karang yang amat kuat. Hanya anehnya, lantainya begitu rata dan licin seolah-olah ada orang yang melicinkannya. Ketika meraba dinding dan merasa betapa dinding itu lembab dan basah, Su Kiat berkata girang,

"Ahh, setidaknya, kebutuhan kita akan air dapat terpenuhi!"

"Di mana ada air, Suhu?"

"Di dalam dinding ini. Lihatlah, dinding ini basah dan lembab, dan di sana-sini nampak air menetes. Kalau kita melubangi dinding ini membentuk mangkok, sebentar saja tentu akan penuh dengan air jernih dan segar!"

Keduanya lalu menggunakan pecahan-pecahan batu untuk memukuli bagian dinding yang paling basah dan karena Ciang Su Kiat memiliki tenaga yang besar, tidak lama kemudian dia berhasil membuat lubang sebesar kepala orang yang mencekung seperti mangkok di dinding itu. Benar saja, nampak air menetes-netes dan walau pun hanya satu tetes demi satu tetes, karena deras dan tiada hentinya, tempat itu pun penuh dengan air jernih yang ketika mereka minum, terasa manis dan segar.

Mereka memeriksa terus dan mulai memasuki terowongan. Baiknya sinar matahari yang memasuki tempat itu melalui lubang goa, amat terang sehingga cahayanya sempat pula masuk ke terowongan. Biar pun keadaannya remang-remang, mereka masih bisa melihat dengan jelas keadaan terowongan.

Terowongan itu setinggi manusia. Su Kiat harus agak menunduk dan panjangnya hanya sepuluh meter. Burung-burung walet menyambar-nyambar dan ternyata burung-burung itu membuat sarang mereka di atas atap terowongan, juga di bagian belakang terowongan yang tingginya dua meter setengah. Akan tetapi, yang mengherankan hati mereka adalah ketika mereka menemukan dua buah ruangan di kanan kiri terowongan, seperti dua buah kamar saja walau pun tanpa daun pintu.

"Iihhhh...!"

Su Kiat terkejut sekali dan cepat melompat ke dekat muridnya yang menjerit tadi. Dia tadi memeriksa kamar di kiri sedangkan muridnya agaknya masuk ke kamar sebelah kanan. Kini dia pun dapat melihat apa yang menyebabkan muridnya menjerit tadi.

Di dalam kamar sebelah kanan itu terdapat dua rangka manusia yang masih lengkap dan utuh, keduanya duduk bersila sambil bersandar pada dinding. Di hadapan dua rangka itu terdapat dua buah kitab yang masih terbuka! Mereka segera memeriksanya. Agaknya dua orang yang kini telah menjadi rangka itu, dahulunya mati dalam keadaan bersila di kamar itu.

Ketika Su Kiat memeriksa dua buah kitab yang berada di depan rangka, ternyata bahwa dua kitab itu adalah kitab-kitab pelajaran ilmu silat, lengkap dengan gambar-gambar serta huruf-hurufnya. Jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dua buah kitab itu sama sekali tidak dijamahnya dan setelah memeriksa keadaan kamar itu lebih teliti, dia lalu mengajak muridnya memeriksa kamar di sebelah kiri.

Di dalam kamar ini Su Kiat menemukan sebatang pedang pendek dengan sarung pedang berukirkan kembang seruni. Ketika dia mencabutnya, dia terkejut sekali karena pedang itu ternyata bukan sebatang pedang biasa, namun sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya, dengan sinar putih kebiruan! Dia meletakkan kembali pedang pusaka itu di tempatnya semula.

Penemuan-penemuan itu hanya mendatangkan sedikit kegembiraan saja sebab pada saat itu yang terpenting adalah mempertahankan hidup sambil mencari jalan keluar. Tanpa ada makanan mereka tak mungkin hidup dari air saja, dan tanpa dapat keluar dari tempat itu, apa gunanya kitab pelajaran ilmu silat dan pusaka?

Akan tetapi, setelah tinggal di situ tiga hari lamanya, setelah mereka kehilangan harapan untuk dapat keluar dari situ, sesudah mereka tidak mengharapkan lagi untuk dapat keluar, batin mereka bahkan menjadi tenang. Mereka dapat menerima kenyataan yang ada dan hal ini menenangkan batin, dan kalau batin tenang, kecerdasan pun timbul.

Mereka mulai menemukan banyak hal baru. Telur-telur dan sarang burung dapat menjadi makanan mereka setiap hari, bahkan kalau perlu mereka dapat pula menangkap burung kecil-kecil itu untuk dijadikan makanan tanpa mengurangi jumlah burung yang banyaknya ribuan itu. Juga di bagian belakang terowongan mereka menemukan semacam lumut atau jamur-jamur kecil berwarna putih yang ternyata enak dimakan, sesudah dimasak rasanya seperti daging ayam saja.

Untuk membuat api bukan merupakan hal yang sulit karena di tempat itu terdapat banyak batu-batu keras yang jika digosokkan akan keluar bunga api dan mencari daun kering dan kayu kering juga banyak terdapat di luar goa. Pohon yang tumbuh di dalam mulut goa itu mungkin dahulunya merupakan biji yang dibawa burung dan terjatuh ke mulut goa. Karena di situ lembab banyak air dan mendapat sinar matahari biji itu lalu tumbuh menjadi pohon besar yang keluar dari dalam melalui mulut goa.

Hal yang amat aneh akan tetapi juga menggirangkan hati didapatkan oleh guru dan murid itu. Sesudah setiap hari makan telur dan sarang burung walet, ditambah jamur kecil atau lumut itu, mereka merasa betapa tubuh mereka menjadi lebih segar seperti memperoleh kekuatan baru! Giranglah hati Su Kiat yang dapat menduga bahwa di dalam makanan itu tentu terkandung gizi yang luar biasa, terkandung obat yang menguatkan tubuh.

Karena merasa sehat dan segar, mulailah Su Kiat memperhatikan dua buah kitab itu dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa dua buah kitab itu merupakan kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa anehnya, juga di dalam kitab itu terdapat pelajaran untuk menghimpun tenaga sakti, pelajaran untuk memperkuat sinkang mereka.

Tentu saja mereka berdua semakin bersemangat mempelajari isi kitab itu dan di bawah bimbingan Su Kiat, mulailah Hui Lian mempelajari serta melatih diri dengan ilmu silat dari dua buah kitab itu. Kitab yang pertama berisi pelajaran ilmu silat tangan kosong dan pada kulitnya tertulis nama kitab itu, yaitu Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), ada pun kitab yang ke dua bernama In-Iiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan).

Su Kiat sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia dan muridnya telah menerima warisan ilmu yang sangat dahsyat, merupakan ilmu inti dari dua orang tokoh besar, yaitu In Liong Nio-nio dan Sian-eng-cu The Kok, dua di antara Delapan Dewa! Dua kerangka manusia itu adalah kerangka dua orang sakti itulah, yang meninggal dunia di dalam goa itu dengan meninggalkan kitab pelalaran inti ilmu silat mereka.

Sungguh sukar mencapai tempat itu dan kalau bukan ‘jodoh’, sudah pasti tidak akan ada yang dapat menemukan dua buah kitab itu. Dan kalau dibiarkan terus, tentu dalam waktu puluhan tahun kitab itu akan hancur dan lenyap pula.

Dua macam ilmu itu ternyata amat rumit dan sulit sekali dipelajari, bahkan tidak mungkin dapat dikuasai sebelum orang yang mempelajarinya melatih diri dengan ilmu-ilmu sinkang yang khas untuk kedua ilmu itu seperti yang dijelaskan pada lembaran-lembaran pertama. Oleh karena itu Su Kiat memimpin muridnya untuk lebih dulu mempelajari penghimpunan tenaga sakti menurut petunjuk dua kitab itu.

Karena pada saat masuk ke dalam goa itu usia Hui Lian baru dua belas tahun, sedangkan untuk berlatih menghimpun tenaga sakti itu saja membutuhkan waktu empat tahun, maka dara ini baru melatih diri dengan ilmu itu bersama-sama gurunya setelah dia berusia enam belas tahun!

Ada satu hal yang aneh lagi terjadi pada diri Hui Lian. Setelah dia mulai dewasa dan dari anak-anak berubah menjadi seorang gadis, bau keringat tubuhnya menjadi harum! Hal ini tidak terjadi pada diri Su Kiat dan pria gagah itu pun dapat menduga bahwa keharuman keringat ini tentu timbul karena terjadinya proses di dalam tubuh muridnya sebagai akibat makanan yang hanya terdiri dari telur burung, sarang burung, dan jamur-jamur kecil putih itu! Jika dia sendiri tidak mendapatkan keharuman pada keringatnya, hal itu tentu karena ada perbedaan antara dia dan muridnya. Dia seorang pria dan muridnya seorang wanita.

Di waktu malam kadang-kadang Su Kiat bersembahyang dan merasa bersyukur kepada Tuhan bahwa di dalam hatinya telah tumbuh rasa sayang pada Hui Lian sebagai seorang ayah terhadap anak kandungnya sendiri! Tanpa rasa sayang seperti ini, dia tahu amatlah berbahaya bagi dia sebagai seorang pria yang hidup berdua saja dengan seorang wanita seperti Hui Lian, apa lagi setelah Hui Lian kini bukan kanak-kanak lagi namun makin lama semakin nampak menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya.

Mereka hanya hidup berdua di tempat terkurung seperti itu, dengan pakaian yang makin lama semakin tidak lengkap. Mereka sudah berusaha untuk menghemat pakaian, dengan memotong pakaian mereka agar menjadi beberapa potong baju dan celana pendek. Akan tetapi tahun demi tahun, pakaian itu semakin tua dan rusak sehingga setiap hari dia harus melihat muridnya itu hanya mengenakan pakaian sekedar penutup dada dan bawah pusar saja. Dia sendiri hanya memakai celana pendek tanpa baju! Untung Hui Lian mendapat akal, menggunakan kulit batang pohon untuk dijadikan semacam penutup tubuh yang biar pun kasar sekali akan tetapi awet.

Cintanya terhadap Hui Lian seperti cinta seorang ayah, yang ada hanya rasa sayang dan iba. Perasaan cinta seperti ini meniadakan nafsu birahi, akan tetapi kalau malam tiba, dia harus banyak melakukan siu-lian (semedhi) sehingga dapat juga dia selalu memadamkan api birahi yang kadang-kadang timbul juga sebagai suatu kewajaran.

Dengan daya tahan yang luar biasa, kedua orang itu dapat melewati waktu sepuluh tahun! Sekarang Su Kiat telah menjadi seorang lelaki berusia empat puluh tahun, sedangkan Hui Lian menjadi seorang gadis yang cantik jelita berusia dua puluh dua tahun. Dan mereka sudah menamatkan seluruh isi kedua kitab itu.

Pagi itu Hui Lian keluar dari goa lantas nongkrong di atas dahan pohon. Seekor burung yang agak besar melayang dan hendak hinggap di pohon itu. Melihat burung yang besar ini Hui Lian merasa gembira sekali. Ingin dia menangkapnya. Daging burung ini tentu enak sekali. Tak seperti burung walet yang kecil-kecil dan lebih banyak tulangnya dan bulunya dari pada dagingnya.

Begitu burung itu hinggap, cepat Hui Lian menyambar. Kini gadis itu tak boleh disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Berkat latihan ilmu-ilmu yang luar biasa itu, dia memiliki kecepatan seperti kilat dan angin. Burung itu hanya sempat terkejut, akan tetapi tahu-tahu lehernya sudah ditangkap.

Akan tetapi, karena gembiranya, Hui Lian sampai lupa diri, lupa bahwa dia berada di atas pohon, bukan di atas tanah. Gerakannya tadi menggunakan tenaga terlalu besar.

"Krekkkk...!"

Dahan itu patah lantas tubuhnya terjatuh ke bawah! Hui Lian melepaskan burung itu dan cepat dia menggunakan tenaga dalam pada tubuhnya untuk meraih ke samping. Kedua tangannya secara otomatis mencengkeram dan mengenai dinding tebing.

"Crepp!" Jari-jari kedua tangannya menancap pada dinding itu seperti dua cakar harimau mencengkeram daging kijang saja! Dan tubuhnya terhenti.

"Hui Lian...!" Gurunya menjenguk dari atas dan guru ini terheran-heran dan khawatir sekali melihat muridnya bergantung di dinding tebing yang demikian curamnya.

"Suhu, kedua tanganku dapat mencengkeram dinding tebing!" teriak Hui Lian dari bawah, kurang lebih sepuluh meter dari goa. "Teecu akan merayap ke atas!"

Kini dengan kedua tangannya, dibantu oleh kakinya yang menekan tebing, kedua tangan itu bergantian mencengkeram ke atas, Hui Lian perlahan-lahan merayap naik hingga dia akhirnya dapat mencapai goa dengan selamat. Begitu meloncat ke dalam goa, Hui Lian langsung merangkul gurunya dan menangis.

"Ehh...! Anak gila, kenapa kau malah menangis? Engkau sudah selamat, sepatutnya kau bersyukur..."

"Suhu, apakah Suhu tidak melihatnya? Aku dapat merayap naik dengan kedua tanganku!"

Suhu-nya tersenyum. "Habis mau apa? Apakah aku harus bertepuk tangan memuji? Nah, aku bertepuk tangan." Dia pun bertepuk tangan seperti orang memuji dan mengagumi.

"Ihhh…, Suhu ini bagaimana sih? Makin tua malah semakin bodoh!" Hui Lian mengomel.

Selama tinggal di dalam goa memang Su Kiat bergaul dengan muridnya seperti dua orang sahabat saja, tidak pernah menekankan sikap hormat bagi muridnya sehingga pergaulan mereka akrab dan hanya kalau teringat saja maka Hui Lian lalu bersikap hormat.

"Wah, engkau ini murid macam apa? Berani memaki gurunya bodoh!" Su Kiat menegur, akan tetapi dengan sikap berkelakar.

"Maaf, Suhu. Saking gembira hatiku maka aku sampai lupa diri. Suhu, kalau aku mampu merayap dengan kedua tangan, berarti Suhu juga akan mampu melakukannya!"

"Untuk apa? Jangan-jangan kuku jari-jari tanganku akan copot!"

"Untuk apa? Bagaimana sih Suhu ini? Tentu saja untuk merayap naik keluar dari neraka ini!"

Sepasang mata itu terbelalak. "Keluar dari sini...? Ahh... ahh, mungkinkah itu...?"

"Suhu, tentu saja mungkin! Mari kita coba!"

Bagaikan baru sadar dari mimpi, Su Kiat segera melompat keluar dari dalam mulut goa, menginjak batang pohon lantas mencoba dengan kedua tangannya untuk mencengkeram dinding tebing. Ternyata kelima jari tangannya juga dapat menancap dan mencengkeram batu padas itu dan tanpa banyak kesukaran dia kemudian merayap naik sampai beberapa meter tingginya.

"Suhu, tunggu dulu! Kita harus berpamit dan berterima kasih kepada dua orang Locianpwe di dalam!" kembali Hui Lian memperingatkan gurunya, biar pun dia gembira bukan main.

Su Kiat teringat akan hal ini dan dia pun merayap turun lagi, meloncat ke dalam goa dan merangkul muridnya, seperti yang dilakukan oleh Hui Lian tadi. Gadis itu merasa terharu melihat betapa kedua mata suhu-nya basah oleh air mata.

Suhu-nya juga menangis saking haru dan girangnya! Baru dara ini sadar betapa secara diam-diam suhu-nya, biar pun sama sekali tidak memperlihatkannya tapi ternyata teramat rindu untuk dapat keluar dari tempat itu. Keduanya lalu masuk ke dalam, menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kerangka manusia itu.

"Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas warisan ilmu-ilmu dan pedang. Tanpa petunjuk Ji-wi, tidak mungkin kami akan dapat keluar dari tempat ini."

Mereka kemudian membawa dua buah kitab yang oleh Su Kiat diikatkan di punggungnya, dibungkus oleh sisa kain dan diikat dengan tali terbuat dari kulit batang pohon, sedangkan pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) yang oleh Su Kiat sudah diberikan kepada muridnya, tergantung pula di punggung Hui Lian.

Keduanya lalu mulai merayap naik, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, Su Kiat di sebelah atas dan Hui Lian mengikutinya dari bawah. Dengan tenaga sinkang mereka yang sudah amat tinggi, jari-jari tangan mereka yang mencengkeram itu menjadi keras laksana cakar baja dan dengan hati berdebar penuh ketegangan, harapan disertai kegembiraan, mereka merayap terus pada dinding tebing yang tingginya tidak kurang dari seratus lima puluh meter itu!

Akhirnya, sesudah merayap perlahan-lahan selama hampir setengah jam, tibalah mereka di daratan atas. Saking girangnya, Su Kiat lalu berlutut diikuti oleh Hui Lian yang berlutut di sebelahnya. Sampai lama sekali kedua orang guru dan murid itu hanya mendekam di situ, tanpa kata, dengan hati penuh rasa bersyukur dan terima kasih karena mereka sama sekali tak pernah menyangka bahwa mereka akan dapat keluar dari tempat kurungan itu! Setelah sepuluh tahun!

Maka tidaklah mengherankan kalau Su Kiat dan Hui Lian merasa penuh dendam terhadap Lam-hai Giam-lo. Orang bermuka kuda itulah yang membuat mereka menderita selama sepuluh tahun di tempat terasing itu.

"Suhu, jika aku tidak bisa membekuk jahanam itu, hatiku akan selalu merasa penasaran. Aku ingin membekuknya, menyeretnya ke sini lantas melemparkannya ke bawah tebing!" demikian Hui Lian berkata dengan suara yang membuat gurunya merasa bulu tengkuknya meremang karena dalam suara itu terkandung kedinginan dari hati yang penuh dendam. "Setelah itu aku hendak pergi mengunjungi Cin-ling-pai, aku ingin melihat sampai di mana kelihaian Cin-ling-pai maka mereka berani menghina Suhu!"

Selama sepuluh tahun hidup berdua dengan suhu-nya di dalam goa itu, Hui Lian banyak mendengar tentang riwayat gurunya dan tentang Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya yang berwatak keras dan angkuh, tentang para pendekar di dunia kang-ouw yang pernah dikenal oleh suhu-nya. Juga dara ini mendengar tentang dirinya yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Sebab itu, di samping mendendam kepada Lam-hai Giam-lo yang membuat mereka berdua sangat menderita, diam-diam dia pun merasa penasaran terhadap ketua Cin-ling-pai.

Ciang Su Kiat menarik napas panjang. "Muridku yang baik, tenangkan hatimu. Menentang orang-orang jahat memang sudah menjadi tugasmu karena aku juga ingin melihat engkau menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa. Tetapi ingatlah baik-baik bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku sendiri pun harus membalas atas kejahatan Lam-hai Giam-lo dulu, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari itu."

"Apakah hal yang lebih penting itu, Suhu?"

"Pertama-tama kita harus mencari pakaian yang pantas untukmu!" Ciang Su Kiat berkata sambil tersenyum melihat keadaan muridnya.

Kini muridnya itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, dengan wajah yang sangat cantik manis, tubuh yang padat berisi dan sudah masak sehingga tentu akan menggegerkan orang kalau muncul di hadapan umum dengan pakaian seperti itu! Hanya sebuah celana sebatas lutut dan baju yang hanya menutupi dadanya saja. Mana mungkin mampu menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya dengan tonjolan-tonjolan yang sangat menggairahkan itu!

"Pakaian?" Hui Lian menundukkan muka memandang ke arah pakaiannya dan wajahnya menjadi kemerahan, akan tetapi hanya sebentar saja. Dia sudah tidak merasa canggung sama sekali berpakaian seperti itu di depan suhu-nya, karena sudah terbiasa, dan karena memang tak ada tatapan mata yang menimbulkan rasa canggung atau malu dari gurunya. "Ahh, ke mana kita harus mencari pakaian, Suhu?"

Suhu-nya bangkit berdiri lantas memandang ke kanan kiri. Dia mengingat-ingat kemudian teringatlah dia bahwa tidak jauh dari situ, kurang lebih sepuluh li saja, terdapat sebuah dusun nelayan di tepi pantai.

"Kita pergi ke dusun sana dan mencuri pakaian untukmu."

"Mencuri...?" Hui Lian menatap wajah gurunya dengan mata terbelalak.

Su Kiat memandang dengan kagum. Muridnya ini cantik bukan main, memiliki sepasang mata yang demikian lebar, jeli dan indah.

"Suhu sendiri yang berkali-kali mengatakan bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik dan hanya dilakukan oleh orang-orang jahat."

"Memang benar, muridku. Apa bila kita mencuri karena kita menginginkan barang-barang mahal dan indah, apa bila mencuri karena keinginan, hal itu amatlah jahat, apa lagi kalau perbuatan kita itu mendatangkan duka dan kesengsaraan pada yang kita curi. Akan tetapi dalam hal keadaan kita ini, kita mencuri karena terpaksa, dan kita hanya akan mencuri pakaian di rumah seorang yang kaya sehingga tidak ada artinya bagi yang kecurian. Apa artinya beberapa potong pakaian bagi keluarga kaya? Mari kita pergi."

Hui Lian mengikuti gurunya melangkah pergi, setelah mereka untuk yang terakhir kalinya menjenguk ke bawah tebing. "Akan tetapi, Suhu, aku tetap tidak ingin mencuri. Aku mau terang-terangan mendatangi orang kaya dan minta pakaian untuk aku dan untuk Suhu."

Hampir saja Su Kiat tidak dapat menahan ketawanya. Hui Lian hendak mendatangi orang kemudian minta pakaian dalam keadaan setengah telanjang seperti itu? Akan tetapi dia menahan kegelian hatinya. Bagaimana pun juga, belum tentu yang dimintai oleh muridnya itu orang-orang tidak sopan, mungkin saja orang budiman yang mau menolong. Andai kata Hui Lian akan menemui kekurang ajaran seperti yang disangkanya, biarlah gadis itu belajar tentang hidup dan watak manusia pada umumnya, dari pengalaman langsung.

Dia merasa kasihan kepada muridnya. Semenjak berusia dua belas tahun sudah terasing, hanya berdua saja dengan dia selama sepuluh tahun, tak pernah mengenal manusia lain sehingga mungkin saja gadis itu menganggap bahwa semua orang seperti dia, tidak akan bersikap kurang ajar.

Memang Hui Lian masih merasa dirinya seperti kanak-kanak, tak tahu bahwa dirinya telah menjadi seorang gadis yang masak, yang mempunyai wajah dan tubuh menggiurkan, apa lagi dengan pakaian setengah telanjang seperti itu.

"Baiklah, engkau boleh mencobanya dan aku akan menanti di luar dusun," katanya.

Pada waktu mereka tiba di luar dusun yang dimaksudkan, hari sudah menjelang sore dan matahari mulai condong ke barat, sinarnya mulai redup. Seorang diri Hui Lian melangkah dan memasuki dusun itu. Tentu saja kemunculannya membuat semua orang terbelalak.

Mula-mula orang mengira bahwa dia adalah seorang perempuan gila. Akan tetapi ketika mata mereka, terutama mata laki-laki, melihat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tubuh yang berkulit kuning halus dan mulus, hampir tidak tertutup pakaian, semua orang memandang kagum dan terheran-heran.

Tanpa mempedulikan sikap orang-orang itu, juga beberapa orang laki-laki yang mengikuti di belakangnya. Hui Lian melangkah terus hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah yang paling besar dan megah di dusun itu. Inilah rumah orang kaya, pikirnya.

Pada masa kecilnya dia sendiri adalah puteri gubernur. Sudah banyak rumah-rumah besar dan indah dilihatnya di kota. Rumah yang kini dipandangnya itu, kalau di kota tentu belum termasuk rumah orang kaya. Akan tetapi di dusun ini, rumah itu amat menonjol di antara rumah-rumah gubuk yang sederhana.

Kebetulan sekali pada saat itu nampak keluar dari rumah itu seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang melihat pakaiannya tentu seorang yang kaya, diiringi oleh empat orang pengawalnya. Tentu saja dia bersama empat orang kawannya, yang rata-rata berusia tiga puluh tahun dan berpakaian seperti tukang-tukang pukul, menjadi tertegun ketika melihat seorang gadis hampir telanjang masuk dari pintu pekarangan. Gadis yang sangat cantik, dengan bentuk tubuh yang aduhai!

Hui Lian sudah melangkah mendekat lantas menjura, "Apakah engkau pemilik rumah ini?" tanyanya, cara bicaranya sederhana sekali.

Pria itu masih melongo karena dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang gadis seperti ini. Gadis itu hampir telanjang, sepasang bukit payudaranya kelihatan, perutnya juga kelihatan, kulitnya begitu putih mulus, akan tetapi gadis itu sama sekali tak nampak malu-malu atau canggung!

"Benar, Lui-kongcu ini adalah tuan rumah," salah seorang di antara pengawalnya yang menjawab sambil menyeringai.

Melihat pandang mata lima orang laki-laki itu, Hui Lian sudah mengerutkan kedua alisnya. Pandang mata mereka itu bukan hanya mengandung keheranan, melainkan mengandung sesuatu yang kurang ajar. Pandang mata itu seperti dapat dia rasakan meraba-raba ke seluruh kulit tubuhnya.

"Aku datang untuk minta pertolongan," katanya pula.

"Ahh, tentu saja, Nona. Aku akan senang sekali menolong Nona. Silakan masuk, Nona," laki-laki yang disebut Lui-kongcu itu mempersilakannya dengan sikap manis.

Hui Lian menggelengkan kepala. "Aku hanya datang untuk minta agar diberi satu pasang pakaian untuk aku dan untuk guruku. Kami kehabisan pakaian dan membutuhkannya."

Lui-kongcu tersenyum dan kembali matanya menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan penuh kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Dia mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat bahwa engkau memang membutuhkan pakaian, Nona. Marilah, mari masuk dan engkau boleh tinggal di sini dan akan kuberi pakaian sebanyak-banyaknya. Pakaian yang indah-indah, perhiasan dan apa saja yang kau butuhkan."

"Berilah sepasang saja untukku dan sepasang untuk guruku, dan aku akan pergi dengan berterima kasih."

"Aihhh, mengapa tergesa-gesa, Nona? Seorang gadis cantik seperti engkau tidak pantas berkeliaran dalam keadaan setengah telanjang. Masuklah, aku akan memberi segalanya asal saja engkau mau..."

"Mau apa ?" tanya Hui Lian yang tidak mengerti maksud orang.

"Heh-heh-heh…!" Lui-kongcu tertawa dan empat orang pengawalnya ikut pula tertawa.

"Masa engkau tidak tahu, Nona. Asal engkau mau menjadi kekasihku tentu saja. Engkau cantik dan aku suka sekali..."

"Plakkk!" Tiba-tiba saja tangan Hui Lian sudah menamparnya.

"Aughh...!" Lui-kongcu langsung terpelanting. Beberapa buah giginya copot dan mulutnya berdarah, bibirnya pecah dan pipinya membengkak hitam. Dia pun mengaduh-aduh sambil mengusap pipinya yang ditampar tadi.

Melihat ini, tentu saja empat orang pengawal atau tukang pukulnya menjadi marah sekali. Tanpa dikomando lagi mereka berempat sudah menubruk maju, bermaksud menangkap gadis itu dan menyerahkannya kepada Lui-kongcu.

Akan tetapi Hui Lian yang sudah marah menyambut terkaman mereka itu dengan gerakan kaki tangannya. Empat orang itu tidak tahu apa yang telah terjadi atas diri mereka, tetapi tiba-tiba saja mereka terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pening dan tidak mampu bangun kembali. Ketika mereka mulai sadar dan mampu bangkit, ternyata gadis setengah telanjang itu telah lenyap dari situ.

Dengan muka merah Hui Lian menghadap suhu-nya. Dara ini masih marah dan mulutnya cemberut. Su Kiat yang melihat keadaan muridnya segera bertanya apa yang terjadi. Hui Lian menceritakan pengalamannya dan gurunya itu tertawa.

"Ha-ha-ha, sudah kuduga akan terjadi demikian, muridku. Tadi memang aku membiarkan engkau menghadapinya agar engkau tahu sendiri dari pengalaman. Bukankah aku sudah menyarankan agar kita mencuri saja?"

"Suhu, apakah semua laki-laki seperti mereka itu?" Dia teringat akan sikap gurunya lalu menambahkan. "Apakah tidak ada laki-laki lain yang sikapnya seperti Suhu?"

"Tentu saja ada dan banyak, muridku. Akan tetapi, sebagian besar laki-laki memang mata keranjang dan kurang ajar terhadap wanita. Mereka itu sudah terlanjur menganggap kaum perempuan sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang bisa mereka permainkan, sesuatu untuk menghibur dan menyenangkan hati mereka. Karena itu, melihat keadaanmu seperti ini, setengah telanjang, tentu saja kekurang ajaran mereka timbul secara menyolok."

Hui Lian mengepal tinju. "Hemmm, lain kali kalau ada yang kurang ajar seperti itu, pasti akan kubunuh dia!"

Su Kiat mengerutkan alis. "Sabarlah, muridku. Tidak baik sembarangan membunuh orang hanya karena kesalahan yang sedikit saja. Laki-laki memang suka menggoda wanita dan belum dapat dinamakan jahat kalau dia hanya sekedar menggoda dengan pandang mata dan kata-kata saja. Laki-laki menggoda wanita itu biasanya karena dia menyukainya atau mengaguminya. Tidak ada laki-laki yang menggoda wanita yang dianggapnya buruk dan tak menarik. Karena tertarik, seorang laki-laki lalu menggoda untuk menarik perhatian dan kalau wanita yang digodanya menanggapinya, maka mereka pun tentu saja akan menjadi akrab. Jadi, mereka itu tidak dapat dinamakan jahat, walau pun tidak sopan atau kurang ajar, karena sikap itu sudah menjadi melemahkan semua pria, tentu saja ada kecualinya. Jika seorang laki-laki sudah melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita, barulah dia itu seorang jai-hwa-cat yang berbahaya dan jahat sehingga perlu diberantas."

Pada malam itu juga dua bayangan berkelebat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah hartawan Lui. Pada keesokan harinya, keluarga itu menjadi gempar lagi ketika mendapat kenyataan bahwa ada beberapa potong pakaian berikut sepatu yang lenyap, bahkan juga sejumlah uang.

Biar pun tak seorang pun yang melihat bayangan Su Kiat dan Hui Lian, namun Lui-kongcu bisa menduga bahwa kehilangan barang-barang itu tentu ada hubungannya dengan gadis manis setengah telanjang yang menghajar dia dan empat orang tukang pukulnya. Karena itu dia pun tak mau membuat ribut, takut kalau-kalau gadis yang lihai dan galak itu datang kembali…..

********************
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar