Pendekar Mata Keranjang Jilid 08

Ceng Hok Hwesio segera mengerahkan sinkang dan tidak lama kemudian keluarlah suara melengking tinggi dari dalam dada kakek ketua kuil Siauw-lim-si ini. Suara itu makin lama semakin tinggi, menggetarkan hingga lima orang murid kepala yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun terpaksa harus memejamkan mata dan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk melindungi telinga dan jantung mereka. Han Siong yang sudah berada di kebun, biar pun sudah menutupi kedua telinga dengan tangan, masih merasakan getaran hebat.

Akan tetapi kakek gagu tuli itu hanya duduk bersila diam saja, menundukkan muka dan sama sekali tak terpengaruh oleh suara yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu! Dari sikap ini saja tahulah ketua kuil itu bahwa kakek tukang sapu yang berada di depannya memang benar-benar tuli! Hanya orang tuli yang akan mampu duduk diam tak terpengaruh sama sekali oleh lengkingannya. Maka kemudian dia pun menghentikan ujian itu dan lima orang murid kepala kini baru berani membuka mata.

"Ternyata Aekau Hwesio ini betul-betul gagu dan tuli. Apa yang pinceng dengar hanyalah berita bohong belaka. Sudahlah, ajak dia keluar lagi agar dia bekerja seperti biasa, akan tetapi amat-amati gerak-geriknya," pesannya kepada para murid. Mereka semua keluar dan memberi isyarat kepada hwesio gagu itu untuk keluar pula.

Sesudah hwesio gagu itu keluar. Ceng Hok Hwesio lalu memanggil Han Siong kembali ke dalam ruangan itu. "Han Siong, mulai sekarang engkau tidak perlu mendengarkan fitnah yang diucapkan oleh dua orang hukuman itu. Kau melihat sendiri, hwesio tukang sapu itu memang tuli dan gagu, pinceng yakin akan hal ini, karena kalau tidak tuli, tentu dia tadi sudah roboh pingsan. Nah, sekarang terbukti bahwa dua orang hukuman itu sama sekali tidak boleh dipercaya. Dasar orang-orang berdosa, mana mungkin ucapan mereka dapat dipercaya?"

Han Siong diam saja. Dia hanya menundukkan mukanya dan tidak menjawab, melainkan mengangguk-angguk saja. Kemudian dia pun pergi keluar dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Hatinya merasa penasaran sekali.

Benarkah dua orang itu sudah berbohong? Akan tetapi, kalau melihat wajah mereka yang menimbulkan rasa suka dan iba di dalam hatinya, Han Siong tidak percaya bahwa mereka itu tukang fitnah dan pembohong yang jahat. Sebaliknya, tentu kakek gagu itu yang pintar membohong dan bersandiwara.

Dan melihat betapa gerakannya amat cepat ketika malam itu dia melihatnya membayangi dua orang yang berkelebat lenyap di dalam pondok hukuman, bukan tak mungkin Si Gagu yang palsu itu mampu pula bertahan terhadap ujian suara melengking ketua kuil.

Karena merasa sangat penasaran, malam itu Han Siong tidak tidur melainkan keluar dari tempat tidur dan kamarnya, kemudian bersembunyi tak jauh dari kamar hwesio gagu yang berada di samping kanan bangunan, di kamar yang sunyi menyendiri karena dia belum diterima sebagai anggota kuil, melainkan seorang pembantu.

Sesudah lewat tengah malam, kesabaran Han Siong baru mendapatkan hasil. Mula-mula dia mendengar suara mendengkur dari dalam kamar itu. Tahu bahwa penghuninya sudah tidur nyenyak, diam-diam dia lalu menyelinap dan sambil berindap-indap mendekati kamar itu. Tidak lama kemudian barulah dia mendengar suara orang mengigau, suaranya parau, pecah seperti ringkik kuda! Akan tetapi jelas bahwa igauan itu mengandung kata-kata.

Han Siong cepat meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke kamar suhu-nya. Hatinya lega karena melihat hwesio itu masih belum tidur, masih duduk bersila sambil membaca kitab agama.

"Suhu...! Suhu… !" katanya dengan napas agak memburu dan suara berbisik.

Ceng Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya, merasa terganggu dengan kemunculan Han Siong. "Ada apa lagi engkau sekali ini?" tanyanya tidak sabar.

"Suhu... Si Gagu itu mengigau lagi..."

"Han Siong! Jangan bicara sembarangan saja!"

"Tidak, Suhu. Teecu tidak berbohong, silakan Suhu membuktikannya sendiri."

Ceng Hok Hwesio menatap wajah anak itu dengan pandangan tajam penuh selidik. Wajah anak itu serius dan tegang. Hatinya tertarik dan dia menarik napas panjang. "Omitohud... engkau ini ada-ada saja. Han Siong, hanya mengganggu ketenteraman pinceng..." Akan tetapi karena hatinya merasa amat tertarik, dia pun turun dari tempat dia bersila kemudian bergegas mengikuti Han Siong menuju ke bagian belakang.

Sesudah mereka tiba di luar kamar kakek gagu, benar saja di dalam kamar itu terdengar suara bergumam orang ngelindur! Ceng Hok Hwesio merasa penasaran sekali dan cepat dia menempelkan telinganya pada daun jendela. Terdengar suara parau, pecah dan serak yang menginggatkan orang akan ringkik kuda! Dan memang benar suara itu merupakan igauan yang mengandung kata-kata!

"...kalau tidak diberikan kepadaku… kubunuh kalian..."

Ceng Hok Hwesio terkejut sekali mendengar suara yang mengerikan itu. Sekarang mau tidak mau dia harus percaya karena telinganya sudah mendengar sendiri ucapan kakek itu. Jelaslah bahwa Si Gagu itu sebenarnya dapat bicara!

Hati Ceng Hok Hwesio yang memang keras sekali itu menjadi marah. Dia telah ditipu dan dikelabui oleh hwesio tukang sapu itu. Kalau begini, maka jelaslah bahwa dulu dia hanya pura-pura saja sakit dan kelaparan, supaya memperoleh kesempatan masuk ke kuil tanpa dicurigai. Akan tetapi mengapa hal itu dilakukannya? Apa pun niatnya, tentu niat itu tidak baik dan jahat sekali!

"Manusia palsu, penipu yang jahat!" Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah daun pintu kamar itu.

"Braaakkk...!"

Daun pintu itu pecah dan jebol dan Ceng Hok Hwesio langsung meloncat ke dalam.

Kaget oleh suara itu, hwesio tua tukang sapu sudah terbangun dan kini nampak dia duduk di atas pembaringannya. Dua matanya yang sipit memandang dengan marah dan tampak mencorong di bawah sinar lampu gantung yang menyorot masuk dari pintu yang kini tidak berdaun lagi itu. Ceng Hok Hwesio semakin terkejut melihat sinar mata itu, sungguh jauh bedanya dengan sinar mata yang biasa dilihatnya pada sepasang mata sipit itu.

"Penipu jahat! Berlutut dan menyerahlah!" kata Ceng Hok Hwesio dengan suara kereng berwibawa.

Akan tetapi, orang yang dibentak itu tiba-tiba tertawa dan Han Siong yang berada di luar bergidik mendengar suara ketawa yang tidak patut menjadi suara manusia itu.

"Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio, engkau jangan berlagak di depanku!"

Ketua kuil itu sampai terbelalak saking terkejut dan herannya. Kini sikap orang bermuka kuda itu benar-benar berubah sama sekali. Biasanya, sebagai seorang gagu dia selalu tunduk dan taat, akan tetapi sekarang, begitu bicara berani bersikap demikian angkuhnya sehingga memandang rendah kepadanya!

"Siapakah engkau?!" bentak Ceng Hok Hwesio, kemudian laporan yang disampaikan oleh Han Siong beberapa hari yang lalu teringat olehnya. "Benarkah engkau berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong?"

Kembali kakek itu tertawa hingga kamar itu seolah-olah hendak runtuh oleh getaran suara ketawanya, "Hah-hah-hah, Ceng Hok Hwesio! Kalau sudah tahu, mengapa engkau tidak lekas berlutut di depan kakiku?"

Dapat dibayangkan betapa marahnya Ceng Hok Hwesio mendengar kata-kata yang amat menghinanya itu. "Omitohud, manusia jahat seperti engkau patut dihajar!"

Dia pun segera menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau menyerang kakek yang masih duduk di atas pembaringan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan kakek itu berkelebat lantas terdengar bunyi kain robek dan kapuk berhamburan pada saat kedua cakar tangan Ceng Hok Hwesio mengenai kasur yang tadi diduduki kakek muka kuda itu!

Mendengar suara ketawa di belakangnya, Ceng Hok Hwesio cepat memutar tubuh sambil menyerang kembali, kali ini serangannya lebih hebat. Ketua kuil ini memang seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang selain memiliki tenaga kuat, juga menguasai ilmu-ilmu silat yang sifatnya keras dari Siauw-lim-pai.

Membalik sambil menggunakan kedua tangan untuk menyerang dengan bentuk cakar ini luar biasa kuatnya dan kalau mengenai tubuh lawan, tentu kulit dan daging akan terkoyak oleh jari-jari tangan yang seperti berubah menjadi kaitan baja itu, tulang pun akan remuk.

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara laksana kuda meringkik, kakek gundul bermuka kuda itu sama sekali tidak kelihatan jeri, bahkan menggunakan lengan kirinya menangkis dari samping dengan memutar siku.

"Desss...!"

Pertemuan antara kedua lengan Ceng Hok Hwesio yang ditangkis oleh lengan kiri kakek yang di kuil itu dikenal sebagai Aekau Hwesio itu hebat bukan main karena begitu beradu, tubuh Ceng Hok Hwesio langsung terpental seperti terdorong oleh angin yang amat kuat! Padahal, gerakan kakek gagu itu nampak lambat dan tidak bertenaga.

"Aihhh…!" Ceng Hok Hwesio berseru kaget dan sudah berjungkir balik sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting.

Dia kaget sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka dia bersikap hati-hati dan maju perlahan-lahan sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Karena maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan tangguh, Ceng Hok Hwesio lalu berkata dengan sikap kereng.

"Lam-hai Giam-lo, selamanya pinceng dan Siauw-lim-pai tak pernah ada urusan dengan dirimu, maka apa maksudmu menyamar dan menyelundup ke kuil kami?"

"Ha-ha-hah-hah, Ceng Hok Hwesio. Sudah setahun aku berada di sini. Apa sebabnya aku berada di sini adalah urusanku sendiri. Tidakkah selama ini aku selalu bekerja baik-baik dan tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai? Jangan campuri urusanku dan aku pun tak akan mengganggumu!"

"Omitohud, kuil kami bukanlah tempat persembunyian segala macam penjahat! Engkau pergilah dengan aman dari sini dan jangan kembali lagi!" Kini nada suara kakek ketua kuil itu tidak tinggi hati seperti tadi, tidak minta agar Lam-hai Giam-lo berlutut dan menyerah, melainkan minta kepadanya agar pergi dengan aman!

"Ha-ha-ha, engkaulah yang harus pergi dari sini! Aku datang atau pergi sesuka hatiku."

"Keparat! Engkau memang jahat!" Dan Ceng Hok Hwesio sudah menyerang lagi dengan lebih dahsyat karena merasa bahwa wewenang dan kekuasaannya dilanggar.

Tapi dengan mudah pukulan dengan tangan terbuka itu ditangkis oleh lawannya sehingga dia kembali terhuyung. Pada saat itu pula lima orang murid kepala Siauw-lim-pai bersama belasan murid lain sudah tiba di tempat itu dan Lam-hai Giam-lo lalu dikepung.

"Dia ini Lam-hai Giam-lo, penjahat besar yang hendak mengacaukan kuil kita. Lekas usir dia!" teriak Ceng Hok Hwesio yang dari dua gebrakan tadi saja langsung maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main dan untuk mengusirnya dibutuhkan bantuan para muridnya.

Para hwesio itu tua muda lalu bergerak mengepung dengan sikap mengancam, biar pun dengan pandang mata penuh keheranan sebab mereka sama sekali tak mengira sehingga hampir tidak dapat percaya bahwa hwesio gagu tukang sapu tua ini kini disebut Lam-hai Giam-Io, seorang penjahat besar!

"Ha-ha-ha-hiyeehhhh...!" Suara tawa yang makin mirip dengan ringkik kuda itu terdengar berbareng dengan penyerbuan para hwesio Siauw-lim-si, disusul pekik kesakitan.

Dua orang murid Siauw-lim-pai segera roboh saat Lam-hai Giam-lo menggerakkan kedua tangannya. Lengannya dipentang lebar dan tubuhnya bagai berputar. Dengan gerakan ini dia sudah menangkis semua pukulan yang datang dari empat penjuru sambil merobohkan dua orang pengeroyok dengan amat mudahnya

Melihat kehebatan kakek itu, Han Siong yang menonton dari luar diam-diam menyelinap pergi. Tak lama kemudian dia telah mengetuk daun pintu Kamar Renungan Dosa di mana ditahan laki-laki berlengan buntung itu.

"Paman...! Paman...! Bukalah pintu!" teriaknya, lupa akan larangan ketua kuil bahwa dia tidak boleh berhubungan dengan orang hukuman itu.

"Anak baik, apakah yang terjadi?" terdengar suara pria itu dan daun pintu pun terbuka.

"Paman... terjadi keributan. Kakek gagu palsu itu kini mengamuk, dikeroyok para suheng dan suhu, tapi... agaknya dia lihai sekali."

"Ahhh! Sudah kuduga akan begini jadinya!" laki-laki itu segera berkelebat.

Han Siong terbelalak karena laki-laki itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya. Dia menjadi bingung, tidak tahu ke mana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita cantik yang berada di sana.

Akan tetapi, ketika dia sampai di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan tiba-tiba saja berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu. Begitu cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung bersama wanita cantik yang sudah dikenalnya itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat terjadinya pertempuran tadi.

Ternyata Ceng Hok Hwesio bersama para muridnya amat kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, makin lama semakin beringas dan ganas sekali. Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang langsung diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

Akan tetapi lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu hanya dengan dua tangan kosong saja. Dengan dua lengan tangannya dia berani menangkis hantaman toya kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu.

"Dukk! Wuuuttt...!"

Ceng Hok Hwesio kaget bukan kapalang dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya, bahkan tak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang menyambar. Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tak mengenal bahaya sehingga dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut.

Kembali yang diserang hanya tertawa dan sekali ini sama sekali tak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan perutnya.

"Cusss!"

Ujung toya kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sesungguhnya bukan menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja mengempis. Ketika ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo telah bergerak, yang satu menotok pundak dan yang lain mencengkeram jubah di tengkuk Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena dicengkeram!

Melihat betapa guru mereka sudah tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan marah. Kini mereka sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok.

"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!" tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa, diikuti berkelebatnya dua sosok bayangan dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang.

Semua hwesio mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri buntung dan seorang wanita cantik. Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang datang belum ada sepuluh tahun, tak pernah melihat dua orang itu dan kini mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua berbisik-bisik memberi tahu bahwa lelaki dan perempuan itu adalah dua orang hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi.

Laki-laki berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio. "Lam-hai Giam-lo, lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!"

Sambil berkata demikian, tiba-tiba lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu bergerak lantas ujung lengan baju itu menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah yang menyambar itu adalah sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas!

Lam-hai Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut dan tak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik kepala ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan lain berkelebat dan wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya amat hebat sebab sepasang tangan wanita itu secara bertubi-tubi mengirim totokan-totokan ke arah sembilan jalan darah yang ada pada bagian depan tubuhnya.

Lam-hai Giam-lo dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa harus melepaskan cengkeraman di tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya sangat kuat sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke arah laki-laki itu.

Akan tetapi, Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia pun sudah bisa mencengkeram punggung jubah hwesio itu sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya, Ceng Hok Hwesio sudah dapat bergerak lagi kemudian diturunkan.

Dengan muka merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang di antara para penonton. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya menonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya.

Diam-diam hatinya merasa heran sekali sebab selama ini dia memandang rendah kepada dua orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di Kamar Renungan Dosa. Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu sangat lihai, karena kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari cengkeraman Si Muka Kuda dengan sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang saja!

Kini Lam-hai Giam-lo sudah menjadi marah sekali. "Baiklah, kalian sudah mengenal aku. Memang aku adalah Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi karena di sini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman. Siapa sebenarnya kalian berdua ini?" tanyanya dan mata yang sipit itu menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu.

Laki-laki yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, kemudian menjawab singkat, "Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang dan dia adalah Toan Hui Cu."

Para pembaca cerita Asmara Berdarah tentu masih ingat dengan kedua nama ini. Seperti yang sudah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk sesat yang lihai sekali.

Akan tetapi puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya malah sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tak disukanya. Kemudian, secara beruntung dia bisa menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang.

Akan tetapi, dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang sudah mencinta pria lain, yaitu Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai. Bahkan dia masih bersikap amat bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum ayahnya sendiri karena fitnah.

Dengan jantan Ci Kang melindungi, bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku. Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin!

Pada malam hari itu, sesudah Hui Song menikah dengan Sui Cin, Ci Kang yang hatinya merasa duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih di kebun. Dia tahu mengapa Hui Cu menangis, sebab keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia. Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih dari Ketua Cin-ling-pai.

Dia dan Hui Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu saja, akan tetapi juga asal-usul mereka hampir sama. Dia sendiri adalah putera seorang datuk sesat yang amat tersohor, dan Toan Hui Cu bahkan lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah Raja Iblis dan Ratu Iblis, raja dan ratunya para datuk sesat!

Karena persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, sesudah mereka saling berjumpa dan mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan mereka pun bergandengan tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Sebagai puteri Raja dan Ratu Iblis yang sangat sakti, tentu saja Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat!

Akan tetapi agaknya Lam-hai Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua orang ini masih sangat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi mereka yang patah hati itu lalu masuk menjadi hwesio dan nikouw, kemudian mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua orang muda yang amat lihai!

"Bagus, kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, sesudah aku berada di sini dan melihat kalian berdua berlatih, hatiku merasa tertarik sekali. Sekarang berikan kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu kalian lagi!" kata Lam-hai Giam-lo.

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, lalu keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk memenuhi permintaan Si Muka Kuda.

"Enak saja kau bicara!" Hui Cu berseru marah. "Lebih baik engkau segera pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!"

Lam-hai Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, tetapi karena matanya memang sipit sekali, biar sudah dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak menakutkan, melainkan merubah muka itu semakin buruk dan lucu. Akan tetapi tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu.

Jarak antara kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu tak cepat menangkis dengan sinar putih. Sinar putih itu mengeluarkan bunyi mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah dilolos dari pinggangnya.

Ujung sabuk sutera putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit nyaring itu bukan menangkis lengan, namun menyambut lengan yang meluncur dan hendak mencengkeram ke arah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di pergelangan tangan. Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dahulu mengenai jalan darah pada pergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu sempat mencengkeram dadanya.

"Uhhhhh...!" Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur dan dilepas, kini cepat sekali telah kembali menjadi normal sehingga totokan sabuk sutera itu pun luput.

"Heh-heh-heh, baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini dan merampas semua kitab yang ada!" berkata demikian, Lam-hai Giam-lo lantas menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat.

Tubuh itu kini hanya nampak bagai bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu!

Ci Kang telah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya seperti orang bermain pedang, tapi kadang-kadang dipegang di bagian tengah kemudian diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam.

Ayah Ci Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga biar pun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. Setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli dalam permainan tongkat, tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat.

Menghadapi permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, dan ditambah lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun masih terasa kurang kuat untuk menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu!

Memang ilmu silat kedua orang hukuman itu amat hebat. Jika gerakan Siangkoan Ci Kang amat tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main, bagai seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang dengan cepatnya dari atas seperti burung garuda menyambar-nyambar, ada pun Ci Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat, seperti serangan seekor ular.

Betapa pun hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, salah seorang di antara Empat Setan yang memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari mendiang gurunya. Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya.

Maka, biar pun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi kecepatan dua orang pengeroyoknya dan setelah diputar-putar sehingga mengeluarkan bunyi berkerotokan dan kini menjadi kebal, kedua lengan itu mampu menahan tongkat dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang mengenai dua lengannya tidak berpengaruh apa-apa!

Semenjak tadi Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua mata terbelalak dan hwesio ketua kuil ini lantas tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh. Ternyata kakek itu memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan tentu dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang yang menyerangnya.

Ceng Hok Hwesio juga merasa kagum. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri! Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang ke situ.

Seorang pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang berlutut menangis dan memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus semua dosa mereka yang lalu. Nampaknya mereka berdua begitu lembut dan biar pun mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini hingga mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo?

Diam-diam Ci Kang dan Hui Cu juga amat kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka. Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali inilah mereka berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian lihainya.

Biar pun mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu mendesak lawan, malah beberapa kali tubuh mereka terdorong mundur oleh angin pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu.

"Kwan Im Hud-couw...!"

Mendengar teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur lalu mereka berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian mereka berdiri tegak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang hanya dapat memiringkan tangan kanan saja di depan dada. Mereka mengambil sikap seperti sedang menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im.

Lam-hai Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa kedua lawannya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun langsung dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri.

"Ha-ha-ha, akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!"

Tetapi kedua orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki secara lembut dan halus sekali, laksana seorang puteri yang melangkahkan kakinya, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan. Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena sejak tadi dia pun sudah tahu bahwa betapa pun lihainya dua orang pengeroyoknya, tetapi dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat mengalahkan mereka.

"Biarlah aku yang akan memaksa kalian bergerak!" teriaknya dan dia pun menerjang ke arah Hui Cu.

Seperti tadi, serangannya ini mengandung keceriwisan sebab dia sengaja mencengkeram dengan dua tangan, satu ke dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya dan melangkah aneh sekali sambil memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput!

Kakek muka kuda terkejut bukan main. Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak, langkahnya demikian aneh, gerakannya pun lembut, namun nyatanya, cengkeraman kedua tangannya yang dahsyat itu luput!

Dan tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah ‘mengusap’ ke arah leher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan halus itu!

"Celaka!" teriaknya.

Cepat Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke belakang sehingga leher itu luput dari totokan jari-jari yang amat lihai. Dengan marah kakek ini segera memutar lagi tubuhnya sehingga berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang sekaligus.

"Jurus ke tiga dan ke sebelas!" tiba-tiba Ci Kang berseru.

Secara otomatis Hui Cu bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang amat aneh itu. Ci Kang merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan gerakan seperti orang memetik sesuatu.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar