Pendekar Mata Keranjang Jilid 05

Ciu-sian Sin-kai merasa kasihan ketika melihat betapa Pak-kwi-ong, seorang tokoh besar yang tingkatnya telah tinggi sekali, kini bersedia mengakui kekalahannya begitu saja. Tadi ketika bertemu dengan telapak tangan kiri Pak-kwi-ong, suling hitamnya yang terbuat dari kayu cendana itu sudah mengalami keretakan. Hal ini dia tahu dan rasakan benar. Suling itu sudah rusak dan tidak ada gunanya dipakai lagi, maka kini melihat lawannya mengaku kalah, dia pun tertawa.

"He-heh-heh-heh, Pak-kwi-ong, kau ini merendahkan diri ataukah mengejek orang? Lihat, dalam adu tenaga tadi engkau telah merusak sulingku."

Dia melemparkan suling itu ke atas tanah dan ternyata benda itu telah patah menjadi dua potong. Tadinya memang hanya retak saja, akan tetapi dengan bantuan tenaga sinkang Ciu-sian Sin-kai, kini suling itu patah menjadi dua tanpa ada yang melihatnya.

Pak-kwi-ong bukan orang bodoh. Meski pun andai kata benar dia berhasil merusak suling lawan, namun bagaimana pun juga jika perkelahian dilanjutkan, dia akan kalah. Maka dia pun tertawa.

"Sudahlah, kini aku memang kalah. Mudah-mudahan lain kali aku akan dapat membalas kekalahanku. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, kakek gendut itu lalu melompat kemudian tubuhnya seperti menggelundung saja dari puncak bukit itu, dan sebentar saja dia sudah menghilang.

"Omitohud... Pak-kwi-ong sungguh tahu diri, semoga dia memperoleh kebahagiaan dan kedamaian hidup…," kata Seng-thian Lama, merasa lega bahwa seorang di antara Empat Setan itu tidak membuat onar selanjutnya dan mau mengalah. "Dan bagaimana dengan engkau, Tung-hek-kwi?"

Semenjak tadi Tung-hek-kwi sudah memutar otak. Dia seorang yang pendiam, akan tetapi juga cerdik. Melihat betapa Pak-kwi-ong tidak mampu mengalahkan Ciu-sian Sin-kai, dia mengerti bahwa dia pun tidak akan menang menghadapi dua orang dari Delapan Dewa itu. Hatinya merasa mengkal sekali.

Dia pun tidak terlalu ingin mengambil anak itu sebagai muridnya. Akan tetapi melihat ada orang datang kemudian mengambil alih begitu saja anak yang tadinya berada di dalam lindungannya, dia merasa dipandang rendah sekali. Apa lagi anak itu telah mengadakan semacam sayembara, yang berarti mengadu domba dan apa bila dituruti berarti dia akan membuktikan kekurangan serta kekalahannya terhadap dua orang kakek Delapan Dewa itu. Maka timbullah kemarahan dan kemendongkolan hatinya terhadap Hay Hay.

"Dari pada diperebutkan, biarlah tak seorang di antara kita memperolehnya!" bentaknya.

"Omitohud...!" See-thian Lama berseru dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap.

Ternyata tubuh yang tinggi besar itu telah melayang ke atas seperti seekor burung garuda terbang saja. Gerakan pendeta Lama ini begitu cepat sehingga dia mampu menghadang di hadapan Hay Hay ketika Tung-hek-kwi datang menghantam anak itu. See-thian Lama menyambut pukulan itu dengan tangkisan tangannya selagi tubuhnya masih menyambar turun.

"Dessss...!"

Demikian hebatnya tangkisan itu dan tak terduga-duga oleh Tung-hek-kwi sehingga tubuh kakek hitam yang tinggi besar itu pun terjengkang dan bergulingan di atas tanah! Melihat betapa kakek hitam itu tadi nyaris saja membunuh anak kecil itu, kakek pendeta ini telah mengerahkan seluruh tenaganya dan mana mungkin Tung-hek-kwi mampu menahannya? Tubuhnya yang terjengkang dan bergulingan itu membuktikan betapa dahsyatnya tenaga tangkisan See-thian Lama!

Tung-hek-kwi segera meloncat bangun dengan muka berubah pucat, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. Tetapi kini Ciu-sian Sin-kai juga sudah berdiri menghadang di depan anak itu.

"Ha-ha-ha, Tung-hek-kwi, apa bila engkau mau bermain curang dan hendak mengganggu anak ini, maka terpaksa aku akan menghajarmu!"

Tung-hek-kwi adalah orang yang berwatak keras. Akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan dia maklum bahwa menghadapi dua orang kakek itu sama sekali dia tidak akan dapat menandinginya. Baru melawan seorang di antara mereka saja dia akan sulit menang, apa lagi mereka berdua kini melindungi anak itu.

"Huh!" dengusnya. "Tidak sekarang, namun kelak dia akan mampus di tanganku!" Setelah berkata demikian, dia pun membalikkan tubuhnya lantas sekali meloncat, dia pun lenyap dari situ.

Ciu-sian Sin-kai hanya tertawa dan See-thian Lama berkata, "Omitohud... mereka berdua itu kelak akan menjadi ancaman bagi anak ini."

"Siangkoan Hay... "

"Locianpwe, aku tidak mau lagi memakai nama keluarga Siangkoan. Akan tetapi karena nama Hay Hay adalah namaku semenjak kecil, biarlah aku menggunakan nama Hay Hay saja," Hay Hay memotong ucapan Ciu-sian Sin-kai.

Kakek berpakaian pengemis itu terkekeh, "He-he-he, baiklah. Akan tetapi karena engkau dari keluarga Pek, namamu menjadi Pek Hay."

"Omitohud, pinceng sangsikan apakah dia ini benar-benar putera pendekar Pek. Menurut perhitungan dan ramalan para pimpinan Dalai Lama, putera dari pendekar Pek itu adalah Sin-tong dan pada punggungnya terdapat tanda merah. Akan tetapi di punggung anak ini tidak ada tandanya, berarti dia bukan Sin-tong dan bukan pula anak pendekar Pek."

"Pendapatmu itu memang benar, See-thian Lama, tetapi sekarang kita hanya tahu bahwa dahulu Lam-hai Siang-mo menculiknya dari keluarga Pek. Oleh karena itu, sebelum ada keterangan lebih lanjut dari keluarga Pek, biarlah dia bernama Pek Hay. Bagaimana Hay Hay, maukah engkau memakai nama keluarga Pek? Tidak baik orang tidak memiliki nama keluarga sama sekali."

Hay Hay menarik napas panjang. Dia sendiri bingung dengan keadaannya, akan tetapi dia tidak peduli dengan segala macam nama keturunan atau nama keluarga, maka dia pun hanya mengangguk saja.

"Nah, sekarang kepada siapa engkau hendak berguru? Kepadaku atau kepada See-thian Lama? Ingat, antara kami berdua terdapat ikatan persaudaraan maka kami tidak mungkin mau mengadu ilmu untuk memperebutkan dirimu. Kalau engkau ikut dengan aku, engkau akan menjadi murid seorang pengemis jembel yang kadang-kadang makan sisa makanan dan tidur di emperan toko atau di kuil rusak, tak tentu tempat tinggalnya, tak tentu makan dan pakaiannya. Kalau engkau ikut dengan See-thian Lama, engkau akan hidup sebagai seorang murid pendeta dan menjadi penghuni kuil. Nah, engkau pilih yang mana?"

Anak itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian, menimbang-nimbang. Dia sudah kehilangan segala-galanya dan kini hidupnya tergantung kepada dua orang kakek ini. Dia belum mengenal mereka dan tidak tahu pula siapa di antara mereka yang paling baik, paling pandai dan paling dapat diharapkan.

"Aku memilih... keduanya!" Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di hadapan dua orang kakek itu. "Harap Ji-wi Locianpwe sudi menerimaku sebagai murid dan aku berjanji akan mentaati segala perintah Ji-wi."

Dua orang kakek itu saling pandang dan kemudian mereka berdua pun tertawa terbahak. "Omitohud, anak ini memang lihai sekali. Ciu-sian Sin-kai, pinceng merasa kasihan kalau melihat anak yang masih kecil ini kau ajak berkeliaran dan hidup terlantar. Biarlah selama lima tahun dia ikut bersama pinceng dahulu, kemudian setelah lima tahun, engkau boleh menjemputnya dan mengajaknya pergi. Bagaimana?"

"Ha-ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu, See-thian Lama. Tentunya engkau takut anak ini menjadi tersesat seperti aku, maka engkau hendak menanamkan dasar-dasar semua ilmu kepadanya, mengajarkan ilmu membaca, menulis dan keagamaan. Baik, aku setuju saja. Nah kalau tidak ada sesuatu, lima tahun kemudian aku mengunjungimu untuk menjemput Hay Hay. Dan kau, Hay Hay, engkaulah satu di antara jutaan anak-anak di dunia ini yang paling beruntung, dapat menjadi murid See-thian Lama. Belajarlah baik-baik." Dan setelah berkata demikian, Ciu-sian Sin-kai segera berkelebat lalu lenyap dari tempat itu.

Walau pun hatinya agak kecewa ditinggalkan oleh kakek jembel yang ramah dan lucu itu, karena dia sudah berjanji akan mentaati kedua orang itu, Hay Hay diam saja dan masih berlutut di depan See-thian Lama.

"Bangkitlah, Hay Hay, dan mari ikut dengan pinceng." Setelah berkata demikian, kakek itu tanpa menanti Hay Hay bangkit, lalu turun dari puncak bukit itu.

Hay Hay cepat bangkit berdiri lantas mengikuti pendeta itu dari belakang. Karena pendeta itu berjalan perlahan-lahan, maka Hay Hay mampu mengimbangi kecepatannya. Mulailah Hay Hay memasuki suatu keadaan hidup yang baru, yang sama sekali berbeda dengan keadaan hidupnya sebagai putera Siangkoan Leng di Nan-king.

Memang kehidupan ini sangat mudah berubah. Peristiwa-peristiwa yang kebetulan, yang tidak terduga-duga, dapat merubah keadaan hidup seseorang. Apa yang terjadi pada diri Hay Hay juga kebetulan saja.

Kwee Siong dan Tong Ci Ki, suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan itu, selain ingin membalas dendam atas kekalahan-kekalahan mereka dari Siangkoan Leng, juga memiliki niat untuk menculik Hay Hay demi keuntungan mereka sendiri. Akan tetapi, tanpa mereka sengaja suami isteri ini membawa Hay Hay ke puncak bukit itu, dibayangi dan diintai oleh Siangkoan Leng dan isterinya.

Akan tetapi sungguh terjadi hal yang tidak sengaja dan kebetulan sekali bahwa di puncak bukit itu muncul Pak-kwi-ong bersama Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat, tokoh-tokoh Empat Setan yang sakti! Di antara Empat Setan, memang hanya tinggal dua orang tokoh ini yang masih hidup, dan puncak bukit itu memang merupakan tempat pertemuan antara mereka selama puluhan tahun.

Kebetulan sekali, pada pagi hari itu adalah tepat merupakan pertemuan antara dua orang datuk ini. Munculnya dua orang datuk ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hay Hay, hanya kebetulan saja, akan tetapi sudah merubah semua jalan kehidupan Hay Hay. Seandainya mereka tidak muncul dan Hay Hay dibawa pergi oleh suami isteri Goa Iblis, atau mungkin berhasil terampas kembali oleh Lam-hai Siang-mo, tentu keadaan hidupnya akan menjadi berlainan sama sekali.

Di dalam peristiwa yang kebetulan itu, terjadi lagi peristiwa kebetulan lain yang menimpa dirinya, yakni kemunculan Ciu-sian Sin-kai serta See-thian Lama. Dua orang kakek yang jarang sekali muncul di dunia ramai ini adalah dua di antara Pat-sian atau Delapan Dewa, julukan yang diberikan kepada delapan orang tokoh besar dunia persilatan.

Kemunculan mereka di tempat itu pun hanya suatu kebetulan saja. Ciu-sian Sin-kai dalam perantauannya sebagai seorang pengemis selalu memilih jalan sunyi dan tempat-tempat rawan dan gawat, jarang mau menemui orang lain. Sedangkan See-thian Lama, seorang tokoh besar di daerah Pegunungan Himalaya, walau pun dia penganut Agama Buddha seperti para Lama di Tibet, namun dia tidak tergabung dalam golongan Lama di Tibet, juga sedang merantau ke timur dengan dua maksud.

Pertama, untuk turut pula menyelidiki mengenai hilangnya Sin-tong yang menghebohkan para pendeta itu, dan ke dua, untuk mencari murid karena dia merasa sudah tua dan ingin menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang baik. Dan sungguh dia memperoleh berkah, mungkin disebabkan cara hidupnya yang selalu bersih sehingga terjadi hal yang demikian kebetulan. Dia menemukan anak yang diributkan sebagai Sin-tong, bahkan juga menemukan seorang murid yang baik.

Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini adalah fakta-fakta yang tidak dapat diubah lagi oleh apa dan siapa pun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik mau pun buruk. Yang terjadi pun terjadilah!

Kitalah yang menempelkan sebutan baik atau buruk pada peristiwa yang terjadi, sesuai dengan penilaian kita yang didasari oleh kepentingan diri pribadi. Dan sekali kita menilai, sekali kita memberi sebutan baik atau buruk, maka muncullah sebutan baik buruk. Kita senang kalau peristiwa itu baik (menguntungkan) sebaliknya kita kecewa kalau peristiwa itu buruk (merugikan).

Kecewa, marah, duka dan sebagainya berada di dalam CARA MENERIMA KENYATAAN yang berupa peristiwa itu dan bukan terletak pada kenyataan itu sendiri. Dan oleh karena penilaian kita didasari kepentingan diri, maka apa yang kita anggap baik hari ini, belum tentu kita anggap baik pada keesokan harinya, dan sebaliknya. Apa yang kita tangisi hari ini, mungkin besok akan kita tertawakan, dan apa yang mendatangkan tawa kepada kita hari ini, mungkin akan mendatangkan tangis di keesokan harinya. Semua itu tergantung dari keadaan hati kita ketika menghadapi kenyataan itu.

Apa bila kita mau menghadapi segala macam peristiwa di dalam hidup ini sebagai suatu kenyataan, sebagai fakta yang wajar, maka kita akan menerimanya dengan hati lapang, dengan penuh kewaspadaan tanpa menilai baik buruknya. Dengan begitu batin kita akan tetap tenang dan jernih, dan tindakan kita sebagai tanggapan terhadap peristiwa itu tidak lagi dikuasai oleh emosi, oleh nafsu, melainkan didasari kecerdasan dan akal budi yang sehat.

Kewaspadaanlah yang akan membuka mata kita bahwa sesungguhnya, segala peristiwa yang terjadi hanyalah merupakan suatu akibat dari suatu sebab. Sebab-sebab itu dapat berantai panjang, namun pusatnya atau sebab utama dan pertamanya, akan selalu kita dapatkan di dalam diri sendiri!

Kalau sudah begini, tidak mungkin akan ada lagi keluhan, apa pun yang terjadi menimpa diri. Jangankan hanya urusan yang tidak langsung mengenai diri kita, bahkan datangnya penyakit dan kematian sekali pun merupakan suatu kewajaran yang tidak dinilai sebagai baik atau pun buruk.

Dan kalau sudah begini, apakah masih ada masalah dalam kehidupan? Kalau batin telah bebas dari ikatan apa pun juga, kematian pun hanya merupakan suatu kewajaran yang tidak mendatangkan perasaan was-was atau takut sama sekali…..

********************

Kita tinggalkan dulu Hay Hay yang sedang mengikuti See-thian Lama menuju ke barat, ke Pegunungan Himalaya dan mari kita menengok keadaan keluarga lain yang hubungannya dekat dengan Hay Hay.

Di kota Nam-co, di daerah Tibet, sebelah utara kota Lha-sa yang menjadi ibu kota Tibet di mana para Dalai Lama menjadi penguasa-penguasa mutlak, terdapat banyak pendatang dari timur, jadi bukan penduduk asli Tibet. Mereka ini sebagian besar menjadi pedagang, membuka toko dan melakukan perdagangan dengan mendatangkan barang-barang dari Propinsi-propinsi Yu-nan, Secuan, atau Cing-hai.

Karena banyak pula keluarga bangsa Han (Cina) yang berada di Tibet, maka terdapat pula kelompok-kelompok atau golongan-golongan di kota Nam-co. Akan tetapi yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih).

Perkumpulan ini adalah perkumpulan silat, merupakan sebuah perguruan akan tetapi juga perkumpulan sosial yang sering kali bertindak membantu masyarakat yang tertimpa mala petaka atau ketidak adilan. Penjahat-penjahat di daerah Tibet merasa gentar menghadapi perkumpulan Pek-sim-pang, karena keluarga Pek, yaitu pendiri dari Pek-sim-pang, adalah ahli-ahli silat yang amat lihai.

Sejak berdiri kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, Pek-sim-pang sudah memperoleh kemajuan besar. Banyak orang muda yang gagah perkasa menjadi murid atau anggota perkumpulan itu. Karena sepak terjang mereka itu gagah perkasa dan seperti pendekar-pendekar sejati, maka nama Pek-sim-pang makin terkenal dan anggotanya pun semakin banyak sampai berjumlah kurang lebih seratus orang.

Selama bertahun-tahun keadaan perkumpulan itu jaya dan tenteram, bahkan nama besar Pek-sim-pang membuat kota Nam-co menjadi tenteram pula. Hal ini juga diakui oleh para pendeta Lama di Lha-sa sehingga mereka amat menghargai Pek-sim-pang yang mereka anggap sebagai perkumpulan sahabat yang dikagumi.

Apa lagi mengingat bahwa pendirinya pada empat puluh tahun yang lalu adalah seorang pendekar besar, murid dari Siauw-lim-pai. Para guru besar Siauw-lim-pai masih memiliki hubungan baik, bahkan hubungan persaudaraan dalam perguruan dengan para pimpinan Lama di Tibet, maka tentu saja keluarga Pek diterima sebagai keluarga seperguruan pula.

Akan tetapi, tidak ada sesuatu yang abadi dan tidak berubah di dunia ini. Ketenteraman Pek-sim-pang dan keluarga Pek pada khususnya, mengalami perubahan hebat pada tujuh tahun yang lalu.

Pada waktu itu, Pek Khun, pendiri Pek-sim-pang yang sudah berusia enam puluh tahun, telah mengundurkan diri lalu pergi bertapa di sebuah puncak di Pegunungan Kun-lun-san. Yang menggantikannya menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Ki Bu, puteranya yang pada waktu itu sudah berusia empat puluh lima tahun.

Pek Ki Bu telah mewarisi ilmu-ilmu silat ayahnya dan dia pun amat lihai dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang sangat banyak ragamnya itu. Pek Ki Bu hanya mempunyai seorang putera yang bernama Pek Kong. Melalui diri Pek Kong inilah peristiwa yang menimbulkan perubahan hebat pada Pek-sim-pang itu terjadi.

Baru setahun Pek Kong menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang obat di Nam-co, dan ketika isterinya mengandung tua, tiba-tiba saja datang utusan dari Lha-sa, dari para pendeta Dalai Lama yang menyatakan bahwa anak dalam kandungan isteri Pek Kong itu adalah calon Dalai Lama! Sebagai cirinya, pada punggung anak itu akan nampak tanda merah selebar telapak tangan dan karena anak itu merupakan calon orang suci atau guru besar, maka diminta kerelaan orang tuanya untuk menyerahkan anak itu bila mana terlahir kelak!

Keluarga Pek adalah keluarga yang sudah dua keturunan tinggal di daerah Tibet sehingga mereka maklum apa artinya itu. Anak itu kelak akan menjadi seorang calon Dalai Lama dan sama sekali terputus hubungannya dengan keluarga Pek!

Tentu saja keluarga itu tidak rela dengan bayangan ini. Pek Kong merupakan keturunan terakhir dan tunggal dari keluarga Pek. Kalau kelak anak itu terlahir laki-laki, maka anak itulah yang merupakan keturunan terakhir. Bagaimana mungkin mereka bisa menyerahkan keturunan terakhir itu untuk menjadi calon Dalai Lama dan terputus hubungannya dengan keluarga mereka?

Bagaimana kalau Pek Kong, seperti kakeknya dan juga ayahnya, hanya memiliki seorang saja anak laki-laki? Bukankah dengan demikian berarti keturunan keluarga mereka akan putus dan lenyap? Di mana pun, bagi bangsa Han keturunan laki-laki yang menyambung nama keluarga mereka merupakan hal yang teramat penting.

Di dalam kebingungan itu, keluarga Pek tentu saja tidak berani menolak permintaan para pendeta Lama yang amat berpengaruh di Tibet. Pek Ki Bu sebagai ketua Pek-sim-pang menjadi bingung, maka dia cepat pergi menghadap ayahnya yang bertapa di Kun-lun-san untuk minta nasehat.

"Aihh, mengapa keluarga kita ditimpa urusan yang sesulit itu?" Kakek Pek Khun menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang panjang. "Walau pun andai kata ada aku sendiri di sana dan semua puncak pimpinan para Lama menjadi sahabat-sahabat baikku yang amat menghormatiku, namun urusan pemilihan calon Lama itu sungguh merupakan urusan yang tak boleh dipandang ringan. Para Lama itu sangat percaya dengan ramalan, dan menganggap hal itu seperti perintah dari Sang Buddha sendiri. Biar pun sahabat baik, kalau menentang tentu akan dimusuhi! Sebaiknya begini saja. Sebelum anak itu terlahir, Pek Kong dan isterinya harus mengungsi jauh ke timur. Dan kelak, kalau anaknya terlahir, kita harus menukar anaknya itu dengan anak lain, jika memang di punggungnya ternyata ada tanda merah. Ada pun anak itu, cucu buyutku, biarlah aku yang akan membawa dan menyembunyikannya."

Demikianlah, keluarga Pek lantas mentaati kakek Pek Khun itu dan diam-diam Pek Kong bersama isterinya melarikan diri ke timur, memasuki Propinsi Yu-nan kemudian mereka terus melanjutkan perjalanan sampai ke pantai selatan di daerah Propinsi Kuangsi.

Sesudah merasa cukup jauh dan sudah hampir tiba waktunya bagi kandungan isterinya untuk melahirkan, suami isteri Pek ini lantas menyembunyikan diri dan mondok di sebuah kuil. Tetapi, tanpa mereka ketahui, diam-diam mereka dibayangi oleh seorang kakek yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, yaitu kakek mereka sendiri, pertapa Pek Khun yang secara diam-diam melindungi pelarian cucunya itu.

Sesudah mereka mendapatkan tempat pondokan di kuil itu, barulah Pek Khun menemui mereka sehingga girang dan legalah hati Pek Kong bersama isterinya. Saat yang dinanti-nantikan telah tiba dan isteri Pek Kong lalu melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati Pek Kong dan isterinya pada saat melihat bahwa di punggung anak mereka memang terdapat tanda merah sebesar telapak tangan! Kulit di bagian itu seperti bekas terbakar atau ada kelainan sehingga warnanya kemerahan.

Bila tidak ada kakek Pek Khun di situ, tentu suami isteri yang masih amat muda itu, baru berusia dua puluh tahun lebih, menjadi panik dan khawatir sekali. Kakek Pek Khun yang membuat mereka tenang. Mula-mula, kakek pertapa ini mencoba untuk mempergunakan ilmu kepandaiannya supaya tanda kemerahan pada punggung itu dapat lenyap. Namun, semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya dia harus mengambil jalan terakhir seperti yang direncanakannya.

"Cucuku, agaknya memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa anak ini harus terlahir dengan tanda ini yang tak dapat dihilangkan dengan obat. Maka, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keturunan kita ini adalah menyembunyikan dan menukar anak ini dengan seorang anak lain yang tidak memiliki tanda merah pada punggungnya. Dengan demikian, anak kalian itu dapat kita ajak pulang dan kalau para pendeta Lama tidak melihat tanda merah di punggungnya, tentu mereka tidak akan mengganggunya."

Pek Kong dan isterinya yang merasa bingung hingga tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa menyelamatkan putera mereka tanpa menjadi keluarga pelarian, lalu menyetujui saja siasat yang akan diatur oleh kakek Pek Khun itu.

Maka mulailah kakek yang sakti itu melakukan penyelidikan di sepanjang pantai selatan, ke dusun-dusun yang sunyi. Namun dia tak berhasil menemukan anak yang keadaannya dianggap amat cocok dengan cucu buyutnya. Dia harus cepat menemukan keluarga yang mempunyai anak bayi yang sebaya, dan keluarga itu harus bersedia menerima penukaran anak dan mau merawat cucu buyutnya, namun tentu saja tidak mudah mencari keluarga seperti ini.

Pada hari ke tiga, pada saat dia berjalan menyusuri pantai yang sunyi, pandang matanya tertarik oleh sesosok tubuh yang berdiri di atas tebing yang curam. Walau pun waktu itu sudah menjelang senja dan cuaca sudah remang-remang, namun penglihatan kakek yang masih tajam ini dapat melihat bahwa tubuh yang berdiri di tepi tebing itu adalah seorang perempuan yang agaknya memondong sesuatu.

Dia merasa khawatir melihat wanita itu berdiri demikian dekat di bibir tebing yang begitu curam. Ingin dia berteriak memperingatkan wanita itu, akan tetapi dapatlah dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat wanita itu tiba-tiba malah meloncat ke bawah, ke air laut yang bergelombang! Dan lebih ngeri lagi rasa hatinya ketika dia melihat bahwa benda yang dipondong oleh wanita itu adalah seorang anak kecil yang terdengar menangis pada saat wanita itu meloncat ke bawah.

Tanpa pikir panjang lagi kakek Pek Khun kemudian cepat berlari ke pinggir pantai itu dan meloncat ke air bergelombang saat wanita dan anak kecil itu sudah terbanting ke air. Hati kakek itu tergerak melihat tubuh kecil bayi itu diombang-ambingkan ombak dan tangisnya masih terdengar. Maka dia pun cepat berenang ke arah anak itu dan akhirnya berhasil menyambar tubuh kecil itu.

Dengan cepat diikatnya tubuh anak itu pada punggungnya menggunakan robekan bajunya yang lebar, kemudian barulah dia berenang lagi hendak menolong wanita tadi yang sudah timbul tenggelam. Apa bila dia tidak bergerak cepat, tentu wanita itu akan dihempaskan ombak ke batu karang di bawah tebing. Untung bahwa semenjak muda kakek Pek Khun memang ahli renang yang terlatih sehingga dia dapat bergerak dengan cepat dan lincah di dalam air, walau pun air laut itu bergelombang dengan amat kuatnya.

Sesudah berhasil mencengkeram rambut wanita itu yang terurai panjang karena terlepas dari sanggulnya, dia cepat berenang ke tepi, memanggul anak kecil di punggungnya yang masih terus menangis sambil menyeret wanita yang sudah pingsan itu. Berhasillah kakek yang gagah perkasa ini membawa tubuh wanita itu ke darat, menjauhi jangkauan air.

Anak itu ternyata seorang bayi laki-laki yang bertubuh sehat dan montok, juga tangisnya amat nyaring. Tangis inilah yang agaknya menolong bayi itu. Dengan amat hati-hati kakek Pek Khun merebahkan bayi itu di atas pasir kemudian dia pun cepat menolong wanita itu, mengeluarkan air dari dalam perutnya.

Akan tetapi wanita itu ternyata telah terluka parah pada dahinya. Pada saat meloncat ke bawah dan dipermainkan ombak, agaknya kepalanya sempat terbentur pada batu karang. Napasnya sudah empas-empis dan banyak darah keluar dari luka di dahinya.

Melihat keadaan dahi itu, kakek Pek Khun mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang ahli silat yang juga pandai ilmu pengobatan, terutama dalam mengobati luka-luka. Melihat luka di dahi yang demikian dalam, dia tidak melihat harapan untuk dapat bertahan hidup pada wanita itu.

Setelah ditotok sana-sini untuk menghentikan darah keluar, mengurangi rasa nyeri sambil menyadarkannya, wanita itu lalu membuka matanya. Dia menengok ke kanan kiri dengan lemah, lalu bertanya,

"Mana... mana anakku...?"

Anak itu sudah berhenti menangis dan kakek itu berkata, "Jangan khawatir, anakmu telah selamat." Dia menunjuk ke arah anak itu yang kini rebah dan diam saja.

Melihat anaknya, wanita itu lalu menitikkan air mata yang bercampur dengan air laut yang menetes-netes dari rambutnya membasahi mukanya. " Anakku... ahh, dia tidak berdosa... biarlah dia mati bersamaku..."

Kakek itu mengerutkan sepasang alisnya. Betapa menyedihkan melihat seorang manusia mengalami penderitaan batin sehingga putus asa dan memilih jalan membunuh diri seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, pikirnya. Seorang perempuan yang masih amat muda, belum dua puluh tahun agaknya, dan memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang sehat. Dan dia tahu bahwa perempuan muda ini sekarang menghadapi maut yang agaknya sukar untuk dapat dielakkan lagi.

"Anak baik, mengapa engkau melakukan ini? Mengapa engkau berusaha membunuh diri bersama anakmu yang masih bayi itu?"

Mendengar pertanyaan ini, wanita itu lalu memandang wajah kakek Pek Khun, mengamat-amatinya penuh perhatian dan air matanya bercucuran semakin banyak. Kemudian ia pun mulai bercerita, suaranya tersendat-sendat, ada kalanya hanya berbisik-bisik lemah dan napasnya semakin empas-empis. Namun agaknya dia memiliki semangat terakhir untuk menceritakan keadaan dirinya, cerita yang mengandung penuh penasaran baginya.

Wanita muda itu puteri guru silat Coa-kauwsu, seorang guru silat yang tinggal di dusun dekat pantai. Kurang lebih setahun yang lampau, di dusun itu datang seorang pengacau, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang mengganggu wanita-wanita muda di dusun itu, malah telah melakukan penculikan-penculikan dan pemerkosaan-pemerkosaan. Hal ini membuat keluarga Coa yang menjadi jagoan-jagoan di dusun itu merasa sangat marah dan penasaran.

Pada suatu malam, Coa-kauwsu bersama puterinya, yaitu satu-satunya murid yang paling pandai dan boleh diandalkan, melakukan penyelidikan dan pengintaian secara berpencar. Akan tetapi malang bagi Coa Si, anak guru silat itu. Dia bertemu dengan penjahat itu, lalu berkelahi dan dia kalah. Dia yang tadinya hendak menangkap penjahat, sebaliknya malah tertawan dan kemudian diperkosa!

Anehnya, dia malah jatuh cinta kepada jai-hwa-cat yang di samping tampan dan lihai, juga pandai merayu itu sehingga dia merahasiakan peristiwa itu dari orang tuanya. Dia malah kemudian menjadi pacar Sang Penjahat, berkali-kali mengadakan pertemuan. Setiap kali jai-hwa-cat itu lewat di dusun itu, tentu mereka mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi untuk memadu cinta. Dan Sang Jai-hwa-cat juga membebaskan dusun itu dari gangguannya setelah Coa Si menjadi kekasihnya. Akan tetapi, saat Coa Si mengandung, jai-hwa-cat itu pun tidak pernah mau singgah lagi ke dusun itu!

Orang tua Coa Si marah bukan main melihat keadaan puteri mereka yang mengandung dan kemarahan itu semakin memuncak ketika Coa-kauwsu mendengar pengakuan puteri mereka bahwa ayah dari anak yang dikandungnya adalah Sang Jai-hwa-cat! Hampir saja Coa-kauwsu membunuh puterinya itu. Akan tetapi, isterinya yang amat menyayang anak tunggal itu, berhasil meredakan kemarahannya sehingga Coa Si tidak dibunuh melainkan diusir dari rumah keluarga Coa!

Mulailah Coa Si hidup terlunta-lunta, hidup terasing di tepi laut. Akan tetapi ia masih terus mengharapkan kedatangan kekasihnya. Dia tidak dapat mencari kekasihnya itu karena memang tidak tahu di mana tempat tinggal jai-hwa-cat yang merupakan seorang petualang dan perantau itu. Dan akhirnya dia pun melahirkan seorang anak laki-laki, hanya dibantu seorang bidan yang dikirim oleh ibunya yang diam-diam masih suka membantu anaknya.

Kakek Pek Khun mendengarkan cerita itu dengan sabar, cerita yang dituturkan dengan suara lirih dan tersendat-sendat. "...begitulah... ketika anakku terlahir... ayahnya datang... tapi melihat aku melahirkan anak... dia malah marah-marah lantas pergi lagi. Aku... putus asa... lebih baik anakku kubawa mati... ohhh..." Wanita itu terkulai.

Kakek Pek Khun cepat menekan pundak wanita muda itu. "Katakan siapa ayah anak ini, dan siapa pula nama anak ini..."

Wanita muda itu membuka mata, kini bibirnya membentuk senyuman lemah. "Aku... titip anakku... belum kuberi nama... ayahnya... ayahnya... Tang... Tang…" Wanita itu meraba ke balik bajunya dan mencabut sebuah benda yang tadinya menempel di bajunya dengan bantuan peniti, menyerahkan benda itu kepada kakek Pek Khun, sambil berbisik. "...ini... ini dari ayahnya " Dan dia pun terkulai dan napasnya terhenti.

Kakek Pek Khun berusaha untuk menahan kematiannya, namun tidak berhasil. Pada saat itu terdengar suara anak kecil itu menangis, seakan-akan dia merasa bahwa saat itu ibu kandungnya telah meninggalkannya untuk selamanya.

Kakek Pek Khun menarik napas panjang, merebahkan tubuh wanita yang tadi kepalanya diangkat lalu dia pun segera memondong anak bayi itu dan diayun-ayunnya sampai anak itu terdiam kembali. lalu kakek Pek Khun cepat membuat lubang yang cukup dalam dan menguburkan jenazah ibu muda yang malang itu.

Niatnya untuk memberi tahu kepada keluarga wanita itu ke dusun diurungkannya. Malah dia tergesa-gesa mengubur jenazah itu, lalu dengan cepat membawa pergi bayi laki-laki itu, pulang ke kuil di mana Pek Kong dan isterinya sedang menunggu dengan hati penuh ketegangan.

Demikianlah, anak kandung Coa Si itu lantas diserahkan kepada Pek Kong dan isterinya sebagai pengganti anak kandung mereka yang akan dibawa pergi oleh kakek Pek Khun. Semua ini terjadi tanpa ada yang mengetahui kecuali mereka bertiga.

"Ibu anak ini sudah meninggal dunia, namanya Coa Si, dan ayahnya she Tang. Ibunya hanya menyerahkan benda ini kepadaku. Nah, simpanlah benda ini kemudian rawat anak ini baik-baik."

Pek Kong serta isterinya menerima anak laki-laki yang sehat itu bersama sebuah benda yang ternyata berupa sebuah perhiasan terbuat dari logam dan batu permata berwarna merah berbentuk seekor tawon. Seekor tawon merah.....!
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar