Akan tetapi, baru saja empat orang itu pergi beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar suara melengking yang mengandung getaran amat kuat sehingga seolah-olah menusuk telinga dan menggetarkan jantung.
Hay Hay yang mula-mula roboh tidak sadarkan diri, sedangkan wajah empat orang yang mengepungnya itu pun tiba-tiba menjadi pucat dan mereka berempat itu maklum bahwa suara itu merupakan serangan melalui tenaga khikang yang amat dahsyat. Mereka cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang mereka untuk melindungi diri mereka.
Karena adanya serangan tiba-tiba melalui suara itu, sejenak keempat orang ini lupa akan pengamatan mereka terhadap Hay Hay. Dan pada beberapa detik itu, mendadak nampak sesosok bayangan seperti seekor burung raksasa menyambar ke arah mereka.
Tadi keempat orang itu hanya melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi saja, dan mereka pun sedang mengalami kekagetan karena datangnya serangan suara yang bukan datang dari dua orang kakek sakti itu. Oleh karena itu, begitu ada bayangan yang seperti burung raksasa menyambar ke arah mereka ini, empat orang itu terkejut bukan main.
Mereka sedang melawan pengaruh suara melengking, namun kini disambar oleh burung raksasa yang mendatangkan angin sambaran sangat dahsyat, Tentu saja mereka terkejut bukan kepalang dan berusaha untuk membela diri. Akan tetapi sambaran angin dari sayap ‘burung raksasa’ itu sedemikian kuatnya sehingga mereka itu terdorong ke belakang dan pada saat itu pula makhluk itu telah menyambar turun dan tahu-tahu tubuh Hay Hay telah dipondongnya dan dibawa melompat agak jauh dari situ.
Ketika empat orang yang hendak melarikan Hay Hay itu kini terbebas dari pengaruh suara melengking yang tiba-tiba sudah terhenti dan mereka memandang, ternyata di sana telah muncul dua orang aneh lainnya.
Salah seorang di antara mereka ialah kakek berpakaian pengemis dengan baju kembang-kembang dan bertambal-tambal akan tetapi bersih. Tubuhnya kurus dan tingginya sedang saja, kakinya memakai sepatu butut, rambutnya kusut dan awut-awutan, demikian pula kumis dan jenggotnya, akan tetapi sepasang matanya tajam bukan main.
Di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak) yang berpinggang, dan di tangannya tampak sebatang suling yang panjangnya ada tiga kaki, terbuat dari kayu hitam. Kakek ini muncul seperti dari dalam bumi saja, dan begitu muncul dia tersenyum menyeringai, dan wajahnya selalu berseri-seri gembira seperti orang yang selalu merasa geli akan keadaan sekelilingnya.
Dan tidak jauh dari sana, sudah muncul pula seorang kakek tinggi besar yang berkepala gundul. Kakek inilah yang tadi disangka burung raksasa oleh Siangkoan Leng dan Kwee Siong serta isteri mereka. Kakek yang memakai jubah seorang pendeta Lama, jubahnya lebar berkotak-kotak merah dan kuning dan tadi saat kakek itu meloncat seperti terbang, jubahnya ini berkembang seperti sepasang sayap.
Kakek pendeta Lama ini berwajah alim. Alisnya tebal namun pandangan matanya lembut, mukanya bulat dan sepasang telinganya amat panjang. Kini tangan kirinya menggandeng tangan Hay Hay sedangkan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh, mulutnya terus berkemak-kemik seperti orang membaca doa.
Tentu saja Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki terkejut dan merasa gentar bukan main. Baru saja mereka bertemu dengan dua orang kakek yang luar biasa lihainya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dan sekarang muncul lagi dua orang kakek yang juga mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian mereka sendiri.
Dengan suara sulingnya kakek berpakaian pengemis itu telah membuat mereka kerepotan dan mereka segera maklum betapa saktinya kakek yang dapat mengeluarkan suara yang memiliki daya serang demikian kuatnya. Juga pendeta raksasa itu jelas mempunyai ilmu kepandaian luar biasa, karena sekali gebrakan saja sudah dapat merampas Hay Hay dari tangan mereka. Kini anak itu yang sudah terbebas pula dari pengaruh suara suling, sudah berdiri digandeng kakek pendeta Lama itu, memandang kagum kepada penolongnya.
Karena maklum bahwa berdiam di tempat itu lebih lama merupakan bahaya besar bagi mereka, sepasang suami isteri Goa Iblis dan sepasang suami isteri Laut Selatan segera menggerakkan tubuh mereka berlompatan dan melarikan diri turun dari atas puncak itu.
Empat orang kakek aneh yang berkumpul di puncak bukit itu kini agaknya sudah tidak mempedulikan lagi kepada mereka yang melarikan diri. Walau pun Siangkoan Leng dan Kwee Siong beserta isteri mereka itu merupakan tokoh-tokoh besar di antara kaum sesat, namun agaknya bagi empat kakek sakti itu mereka tidak lebih hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tak ada artinya dan karena itu, begitu mereka melarikan diri, mereka pun tidak mempedulikan sama sekali, bahkan telah melupakan mereka karena mereka lebih tertarik akan pertemuan antara mereka berempat itu.
Sungguh aneh bukan main. Siangkoan Leng bersama isterinya dan Kwee Siong bersama isterinya, empat orang yang tadinya saling bermusuhan itu, kini bersama-sama melarikan diri turun dari bukit secepatnya bagaikan orang-orang yang dikejar setan saja. Dan ketika mereka sudah berada jauh dari bukit itu, mereka berhenti di sebuah hutan dan lenyaplah semua permusuhan yang tadinya berada di dalam batin mereka.
Agaknya peristiwa di puncak bukit tadi, bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih lihai, membuka mata mereka bahwa mereka itu sebenarnya bukan apa-apa. Apa lagi karena Hay Hay yang menjadi perebutan di antara mereka itu kini terjatuh ke tangan orang yang jauh lebih lihai, maka mereka kini agaknya telah melupakan semua permusuhan di antara mereka!
"Bukan main... sungguh gila mereka itu! Belum pernah aku bertemu dengan orang-orang selihai mereka!" Kwee Siong berkata sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, menggunakan sehelai sapu tangan hitam. Wajah isterinya yang biasanya memang sudah amat pucat seperti mayat itu, kini nampak kehijauan.
"Tentu mereka itu bukan manusia lagi...," kata pula isterinya yang masih merasa tegang dan gentar.
Siangkoan Leng menarik napas panjang. "Ahh, setelah bertemu dengan mereka, baru aku tahu bahwa apa yang kita miliki ini tidak ada artinya sama sekali. Kita masih harus belajar banyak! Dan kita saling gempur sendiri...hemm, betapa bodohnya..."
"Engkau benar, Siangkoan Leng. Sekarang tidak ada artinya lagi bagi kita apa bila saling bermusuhan. Bahkan dengan bersatu pun kita masih tak mampu menandingi mereka, apa lagi kalau kita saling bermusuhan sendiri. Lalu apa yang mampu kita lakukan supaya bisa merampas kembali Sin-tong?"
Siangkoan Leng menggerakkan kedua pundaknya. "Apa lagi yang bisa kita lakukan? Kita tidak mengenal mereka, kecuali dua orang kakek pertama yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Entah siapakah jembel tua yang amat lihai dengan suara sulingnya itu. Dan aku pun tidak mengenal siapa adanya pendeta yang merampas Hay Hay itu."
"Pendeta itu terang seorang pendeta Lama dari Tibet. Entah dia mewakili para pimpinan Dalai Lama atau tidak, kita tidak tahu. Dan pengemis Jembel itu... hemmm, jangan-jangan dia itulah yang dikenal seperti tokoh dongeng dari Pulau Hiu!" kata Kwee Siong.
"Apa?! Majikan Pulau Hiu yang berjuluk Ciu-sian Sin-kai (Pengemis Sakti Dewa Arak)? Benarkah tokoh dongeng itu masih hidup?" kata Ma Kim Li dengan mata terbelalak.
"Wah, jika benar dia, berarti tokoh-tokoh dongeng yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti dewa itu, kini bermunculan di dunia ramai!" kata Tong Ci Ki. "Bukankah Pengemis Sakti itu termasuk kelompok tokoh yang dinamakan Pat Sian (Delapan Dewa)?"
"Kabarnya begitu." jawab suaminya. "Akan tetapi karena mereka disebut sebagai tokoh dongeng karena tidak pernah keluar sejak puluhan tahun, tidak ada yang memperhatikan lagi. Dan sekarang agaknya salah seorang di antara mereka muncul, dan mungkin yang tiga orang itu pun termasuk kelompok Delapan Dewa. Kalau benar demikian, benar-benar kita berempat ini mengalami kesialan luar biasa. Ahh, semua gagal. Apa yang dapat kita lakukan sekarang?"
"Satu-satunya jalan bagi kita agar bisa membalas semua penghinaan ini adalah mengadu domba di antara mereka. Sebaiknya kita kabarkan kepada para pimpinan Dalai Lama di Tibet tentang Hay Hay... maksudku Sin-tong. Mereka tentu tidak akan tinggal diam kalau menemukan jejak Sin-tong. Juga kita kabarkan kepada keluarga pendekar Pek. Mereka pun tentu tidak akan tinggal diam. Harus kita ketahui bahwa keluarga Pek yang menjadi pendiri dan pimpinan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) tak boleh dibuat main-main. Kita adu dombakan mereka." kata Siangkoan Leng.
"Baik sekali itu. Mari kita membagi-bagi tugas," kata Kwee Siong.
Dan mereka pun segera berunding seperti empat orang sahabat baik. Sungguh lucu dan aneh sekali. Baru beberapa waktu yang lalu, dengan segala senang hati mereka hendak saling serang dan saling membunuh, dengan kebencian luar biasa. Akan tetapi sekarang mereka berunding seperti empat orang sahabat baik.
Memang demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang menimbulkan permusuhan.
Dan sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, maka orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, berharap bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu…..
Dan sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, maka orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, berharap bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu…..
********************
Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahayanya yang keemasan. Masih jelas terlihat sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan aroma daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau yang khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, akan tetapi kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah.
Di bawah puncak nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur malam tadi, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa nampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dengan latar belakang langit biru yang makin lama warnanya menjadi makin muda menuju keputihan.
Keindahan terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya bisa dinikmati, hanya dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan atau dipenuhi kebisingan pikiran yang resah. Di dalam batin yang terbebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati akan terbuka sehingga dapat menampung cahaya cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang. Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih sehingga dapat menikmati keindahan yang nampak di mana pun juga!
Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga. Keindahan terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri oleh segala kecondongan dan seleranya. Keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat.
Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.
Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih akan melihat keindahan, keindahan itu yang berada di mana pun juga. Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin semacam itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanya yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini.
Tidak ada cara-cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin.
Hal ini mengurangi beban batin, walau pun tidak dapat dikatakan bahwa dengan demikian batin ini telah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagai mana adanya, sebagai suatu kewajaran saja, tanpa keluhan, dengan penuh perhatian dan penuh pengamatan, kemudian menghabiskannya pada waktu itu juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita?
Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga. Keindahan terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri oleh segala kecondongan dan seleranya. Keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat.
Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri.
Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih akan melihat keindahan, keindahan itu yang berada di mana pun juga. Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin semacam itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanya yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini.
Tidak ada cara-cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin.
Hal ini mengurangi beban batin, walau pun tidak dapat dikatakan bahwa dengan demikian batin ini telah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagai mana adanya, sebagai suatu kewajaran saja, tanpa keluhan, dengan penuh perhatian dan penuh pengamatan, kemudian menghabiskannya pada waktu itu juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita?
Orang yang berada di atas puncak bukit itu, andai kata dia sendirian dan tidak sedang menghadapi persoalan, sedikit banyak tentu akan terbawa oleh suasana yang hening dan penuh damai. Akan tetapi sayang, mereka yang kini berada di puncak itu, tidak mampu menikmati segala keindahan itu karena mereka saling berhadapan, bahkan dengan sinar mata saling menentang.
"He-he-heh-heh, Tung-hek-kwi, apakah engkau yang mengundang jembel tua ini datang ke sini untuk menjadi saksi, ataukah malah untuk membantumu?" terdengar Pak-kwi-ong berkata dengan nada suara mengejek kepada Si Raksasa Hitam ketika Siangkoan Leng dan isterinya, serta Kwee Siong dan isterinya, sudah melarikan diri meninggalkan puncak bukit itu.
"Huh, siapa mengundang jembel tua yang usilan ini? Aku tidak butuh bantuannya untuk menandingimu, Pak-kwi-ong! Sebaliknya, engkau malah mengajak pendeta Lama gundul ini ke sini untuk membantumu!" jawab Tung-hek-kwi.
"Siapa sudi mengekor kepada seorang pendeta palsu?" Pak-kwi-ong mengejek.
"Ha-ha-ha-ha, See-thian Lama, lihatlah dua orang ini. Ternyata mereka ini yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Setan Empat Penjuru Dunia! Dan memang mereka ini kurang ajar, berani mati, dan sombong seperti nama mereka. Kiranya masih ada sisa mereka, tadinya kukira bahwa Empat Setan itu sudah kembali ke neraka semua, ha-ha-ha!"
Pendeta Lama yang tinggi besar itu, yang lebih tinggi besar dibandingkan Tung-hek-kwi, menarik napas panjang dan jari-jari tangan kanannya memutar-mutar biji tasbeh, ada pun tangan kiri mengelus kepala Hay Hay.
"Omitohud...! Tak pernah pinceng mengira bahwa mereka ini masih ada, seperti juga tidak pernah pinceng bermimpi akan bertemu denganmu di sini, Ciu-sian Sin-kai!"
Kini dua orang datuk sesat itulah yang terkejut bukan main. Akan tetapi mereka itu sama sekali tidak kelihatan kaget. biar pun jantung mereka mengalami guncangan. Pak-kwi-ong malah terkekeh gembira.
"He-he-heh-heh! Mimpikah aku?" Dia mencubit lengannya sendiri. "Hayaaa, bukan mimpi akan tetapi bahkan lebih aneh dari pada mimpi! Tung-hek-kwi, kita berdua berjanji akan mengadakan pertemuan di sini, dan siapa tahu di sini kita bertemu dengan Sin-tong, dan juga bertemu dengan dua orang dari Delapan Dewa! Heh-heh-heh, aku tidak tahu apakah ini merupakan suatu keberuntungan ataukah kesialan."
"Omitohud... semoga diberkahi seluruh umat di dunia ini!" See-thian Lama berkata dengan kaget dan gembira. "Ji-wi tadi bicara tentang Sin-tong? Siancai... apakah anak ini adalah Sin-tong, putera pendekar Pek?"
"Wah? Sin-tong yang dahulu pernah diributkan dan pernah menggegerkan para Lama di Tibet itu? Beberapa tahun yang lalu aku juga pernah mendengar tentang itu!" kata pula Ciu-sian Sin-kai.
Pak-kwi-ong terkekeh. "Begitulah menurut keterangan empat ekor tikus tadi. Akan tetapi benar tidaknya, mana aku tahu? Kalian adalah dua di antara Delapan Dewa, dan kabarnya menurut dongeng, para dewa itu tahu segala, kenapa tanya aku?"
Tentu saja maksud kakek gendut ini bukan untuk berkelakar saja seperti memang sudah menjadi wataknya yang suka berkelakar, akan tetapi juga untuk mengejek, menunjukkan sikap tidak takut dan tidak tunduk biar pun dia pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Delapan Dewa amatlah hebatnya.
"Omitohud, tidak ada yang lebih tahu dari pada anak ini sendiri. Anak baik…," katanya sambil mengelus kepala Hay Hay, "benarkah engkau ini anak pendekar Pek yang pernah melarikan diri dari Tibet ketika engkau masih dalam kandungan ibumu?"
Hay Hay mengerutkan alisnya. Baru saja dia terlepas dari tangan empat orang jahat yang memperebutkannya, dan sekarang agaknya dia kembali jatuh ke tangan orang-orang yang lebih sakti lagi, akan tetapi yang juga agaknya tertarik oleh keturunannya dan kini hendak menyelidiki asal-usulnya. Hal ini membuatnya merasa sebal.
"Tak tahulah, Lo-suhu. Aku ini entah anak pendekar Pek ataukah anak setan. Yang jelas, aku mengenal namaku sebagai Hay Hay dan semenjak kecil aku ikut Siangkoan Leng dan isterinya yang ternyata adalah Lam-hai Siang-mo. Menurut keterangan empat orang yang memperebutkan diriku tadi, memang katanya aku ini anak pendekar Pek, akan tetapi aku sendiri mana tahu?"
Kembali pendeta Lama itu mengelus-elus kepala Hay Hay, dan sekarang Hay Hay tahu bahwa kakek itu bukan mengelus sembarangan saja, melainkan meraba-raba kepalanya seperti ingin mengukur atau melihat bentuk kepala itu.
"Pinceng dapat menentukan apakah engkau memang Sin-tong atau bukan."
Tiba-tiba saja Hay Hay merasa betapa seluruh pakaiannya terlepas dari tubuhnya. Dia tak melihat bagaimana pendeta itu melakukannya, akan tetapi tiba-tiba saja, dengan sangat cepat sehingga tidak ada waktu baginya untuk menolak atau menegur, semua pakaiannya itu terlepas dari tubuhnya.
Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang bulat di tengah-tengah, ada pun empat orang kakek itu berdiri di sekelilingnya. Mereka mengamati seluruh tubuhnya, menaksir-naksir seperti empat orang pedagang sapi di pasar sedang menaksir seekor sapi sebelum menentukan harganya.
"Omitohud, pinceng tidak melihat tanda merah di punggungnya yang telah ditentukan oleh ramalan di Tibet bahwa Sin-tong itu ada tanda merah pada bagian punggungnya. Anak ini bukan Sin-tong!" Akhirnya See-thian Lama berkata.
Tiga orang sakti itu mengangguk-angguk percaya. Nama See-thian Lama sebagai seorang di antara Delapan Dewa tentu saja menjadi jaminan akan kebenaran keterangannya itu.
"Biar pun demikian, aku melihat bakat yang baik bersinar dari matanya! See-thian Lama, berikan saja dia kepadaku untuk menjadi muridku. Sudah lama aku mencari seorang anak yang cocok untuk kuberikan peninggalan semua ilmuku, he-he-he!" kata Ciu-sian Sin-kai dengan girang.
"Omitohud, penglihatanmu masih awas sekali, Sin-kai!" See-thian Lama memuji. "Akan tetapi sebelum engkau melihatnya, sejak tadi pinceng telah mengetahui bakat terpendam anak ini dari bentuk kepalanya sehingga sejak tadi pinceng sudah mengambil keputusan bahwa apa bila anak ini bukan Sin-tong yang harus diserahkan kepada para Dalai Lama, maka pinceng akan mengambilnya sebagai murid pinceng."'
"Wah-wah-wah, engkau telah menjadi pendeta harus mau mengalah kepadaku, See-thian Lama. Apakah engkau tidak merasa kasihan kepadaku kalau aku membawa mati ilmuku tanpa kusalurkan kepada murid yang berbakat?"
"Heiii, nanti dulu!" Mendadak Tunghek-kwi membentak marah. "Kalian ini enak saja bicara tentang anak itu seakan-akan kami tidak mempunyai hak. Sebelum kalian datang, kami yang berhak atas diri anak ini dan bicara tentang murid, kami juga belum punya murid dan merasa bahwa kami yang mempunyai hak pertama untuk menjadi gurunya." Sebenarnya Tung-hek-kwi atau pun Pak-kwi-ong tidak ingin mengambil murid Hay Hay, hanya karena merasa dikesampingkan, maka Tung-hek-kwi menegur dan merasa penasaran.
"Benar! Sejak dahulu kami sudah mendengar nama Delapan Dewa sebagai orang-orang yang tinggi hati dan tidak memandang sebelah mata kepada golongan lain," Pak-kwi-ong menyambung. "Aku pun ingin mengambil anak ini sebagai murid!"
"Wah-wah-wah, berabe sekarang!" Ciu-sian Sin-kai berkata sambil tertawa gembira. Bagi dia keadaan yang berabe itu malah menggelikan dan menggembirakan. "See-thian Lama, bagaimana sekarang? Dua orang dari Empat Setan ini pun ternyata menghendaki anak itu. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau rela menyerahkan anak ini agar kelak menjadi calon datuk sesat yang hanya akan mengeruhkan dunia? Dosamu besar sekali kalau kau berikan dia kepada mereka, ha-ha-ha!"
"Omitohud, segala bentuk kekerasan tiada gunanya dan hanya merusak. Memaksa anak ini menjadi muridku pun akan merusaknya. Karena anak ini yang akan menjadi murid dan begini banyaknya orang yang ingin mengambilnya sebagai murid, maka biarlah pinceng serahkan kepada anak itu sendiri, siapa yang akan diangkat menjadi gurunya. Anak baik, kau tentukanlah pilihanmu."
Semenjak tadi Hay Hay telah mendengarkan semua perkataan mereka itu dan diam-diam dia pun merasa gembira bukan main. Agaknya empat orang ini, yang dia tahu merupakan orang-orang yang luar biasa, memiliki niat yang berbeda kalau dibandingkan dengan dua pasang suami isteri tadi. Mereka ini agaknya memperebutkan dia untuk diambil murid!
Ketika melihat sepak terjang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tadi, Hay Hay merasa kagum bukan main karena mendapat kenyataan bahwa mereka itu jauh lebih lihai dibandingkan dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Akan tetapi kemudian muncul pengemis itu dan pendeta yang luar biasa ini, maka tentu saja hatinya menjadi bimbang.
"Biarkan aku mengenakan pakaianku dulu," katanya.
Pendeta Lama itu tersenyum ramah, lalu menyerahkan pakaiannya, malah membantunya memakai bajunya. Sesudah selesai berpakaian, Hay Hay lalu menuju ke tengah lapangan itu, memandang empat orang itu satu demi satu. Masih sukar dia menentukan sehingga dia memandang ragu-ragu.
Dia suka menjadi murid seorang di antara mereka, mempelajari ilmu yang tinggi supaya kelak dia dapat melakukan penyelidikan sendiri mengenai dirinya. Dia harus mencari ayah bundanya yang asli, dan dia yang akan memberi hajaran kepada orang-orang seperti dua pasang suami isteri tadi. Dia harus mendapatkan guru yang paling pandai. Paling pandai! Itulah ukurannya untuk memilih!
"Aku ingin berguru kepada orang yang paling pandai di antara Locianpwe berempat. Kini silakan para Locianpwe mengadu kepandaian dan siapa yang paling tinggi kepandaiannya dan menang dalam pertandingan ini, nah, dialah guruku."
"Anak setan...!" Tung-hek-kwi menyumpah.
"Omitohud...!" Se-thian Lama berseru.
Dua orang kakek lainnya, yaitu Pak-kwi-ong dan Ciu-sian Sin-kai tertawa bergelak-gelak mendengar kata-kata Hay Hay itu.
"Ha-ha-ha-ha, anak baik, ketahuilah bahwa di antara Delapan Dewa tidak ada yang saling bertanding. Aku suka mengalah kepada See-thian Lama dan dia pun pasti suka mengalah kepadaku. Akan tetapi entah dengan dua orang dari Empat Setan ini. Nah, bagaimana Pak-kwi-ong? Engkau hanya tertawa saja. Apakah engkau ingin memasuki... ha-ha-ha-ha, sayembara ini?" Kata Ciu-sian Sin-kai sambil tertawa geli.
"Heh-heh, aku sungguh tidak tahu diri kalau berani menandingi Pat Sian! Akan tetapi, kini muncul kesempatan bagiku untuk menguji satu jurus pukulanku yang paling akhir. Begini saja, Ciu-sian Sin-kai, karena di antara Pat Sian hanya engkau yang paling cocok dengan aku, karena kita sama-sama suka bergembira, bagaimana kalau engkau membantu aku dan menguji jurusku itu?' Satu jurus saja dan aku akan mengerti sudah, apakah aku harus melangkah terus ataukah mundur.”
Ciu-sian Sin-kai mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dia menyukai ketegasan sikap salah seorang di antara Empat Setan yang memang paling suka berkelakar ini walau pun hatinya amat kejam.
"Boleh, boleh, hanya aku khawatir tulang-tulangku yang sudah tua ini akan menjadi remuk nanti dan berarti dalam usia setua ini engkau akan menjadi pembunuh lagi. Ha-ha-ha, itu namanya menambah dosa saja!"
"Heh-heh, usia kita sebaya, Sin-kai. Jika sampai engkau mati berarti aku tidak keterlaluan dan tidak menjadi buah tertawaan orang sedunia. Nah, mari kita bersiap."
"Anak baik, kau minggirlah dulu," kata Sin-kai sambil mendorong pundak Hay Hay dengan lembut.
Anak ini melangkah minggir untuk memberi tempat kepada dua orang kakek yang hendak mengadu ilmu. Diam-diam anak ini merasa girang bukan main. Kalau dia berhasil menjadi murid orang terpandai di antara mereka ini, sungguh hal itu amat menyenangkan.
"Pak-kwi-ong, aku sudah siap," kata Ciu-sian Sin-kai.
Kakek ini sama sekali tidak berani memandang rendah kepada lawannya. Dia tahu siapa adanya Empat Setan yang beberapa puluh tahun yang lalu sudah amat terkenal di dunia persilatan kalangan atas. Orang semacam Empat Setan, apa lagi yang sikapnya gembira seperti Pak-kwi-ong, harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan.
Oleh karena itu, biar pun nampaknya dia berdiri santai saja, namun tubuh tua itu berada dalam keadaan siap siaga, seluruh tubuhnya dialiri hawa sinkang yang sukar dapat diukur kekuatannya. Bahkan tangan kanannya sudah memegang senjata yang juga menjadi alat musiknya, yaitu suling yang terbuat dari kayu berwarna hitam.
Pak-kwi-ong juga tidak mau membuang waktu lagi. Dia bersikap cerdik ketika satu jurus ilmunya minta diuji oleh Ciu-sian Sin-kai. Kalau dia menantang berkelahi, dia meragukan apakah dia akan mampu keluar dengan nyawa masih menempel di tubuhnya.
Ujian hanya satu jurus ini, andai kata dia gagal dan kalah sekali pun, maka dia masih bisa keluar dengan selamat dan satu jurus saja telah cukup baginya untuk menguji. Jurus yang akan dikeluarkan ini adalah jurus terampuh dan kalau jurus ini tidak mampu mengalahkan Sin-kai, maka jurus-jurus lainnya tidak akan ada artinya lagi.
Dengan kedua kakinya yang nampak pendek karena berbentuk bulat, dia melangkah maju sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian tampak uap tebal mengepul dari telapak tangannya.
Dapat dibayangkan kehebatan tenaga sinkang kakek ini. Ketika muncul di sana, tenaga saktinya telah datang menerpa bagai badai yang membuat daun-daun kering beterbangan dan kini dia mengumpulkan seluruh kekuatannya pada kedua telapak tangannya, maka dapat dibayangkan betapa berbahaya kedua telapak tangan yang telah diisi tenaga sakti itu.
"Sin-kai, terimalah seranganku ini!" Kakek gendut botak itu berseru dengan suara nyaring seperti bentakan.
Kakek ini adalah seorang datuk sesat yang kejam, akan tetapi juga cerdik sekali. Selain mengerahkan seluruh kekuatan dan menggunakan jurus terampuh dalam serangan yang hanya satu kali ini, juga dia memakai sopan-santun memberi peringatan terlebih dulu. Hal ini dilakukan karena dia belum yakin benar akan dapat mengalahkan lawan ini dalam satu serangan itu. Andai kata yang diserangnya itu adalah orang yang tingkatnya lebih rendah dan dia yakin akan sanggup merobohkannya, tentu dia akan turun tangan tanpa banyak aturan lagi.
"Wuuuuttt...!"
Angin dari hawa pukulan itu menyambar dahsyat ketika Pak-kwi-ong menerjang ke arah Ciu-sian Sin-kai. Ternyata jurus pukulan itu hanya sederhana saja, tangan kiri menampar dari atas ke arah kepala sedangkan tangan kanan menghantam lurus dari depan ke arah dada. Biar pun sederhana, jangan harap pukulan ini akan dapat dihindarkan oleh ahli-ahli silat kebanyakan saja karena pada kedua lengan itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali.
Dan hebatnya, meski pun nampaknya tidak begitu cepat, namun Ciu-sian Sin-kai, seorang di antara Delapan Dewa, melihat bahwa pukulan dari Si Gendut itu tidak mungkin dapat dielakkan karena hawa pukulan itu sudah membuat semua jalan keluar tertutup. Apa bila orang memaksa diri untuk mengelak, tentu akan terkena pukulan, betapa pun cepatnya dia mengelak. Satu-satunya jalan untuk menghadapi pukulan kedua tangan itu hanyalah menyambutnya dengan tangkisan.
Dan inilah yang dikehendaki oleh Pak-kwi-ong. Dia hendak memaksa lawan menggunakan tenaga menyambutnya untuk mengadu tenaga! Dan karena ini pula maka dia langsung mengerahkan seluruh tenaganya pada kedua tangan.
Akan tetapi Ciu-sian Sin-kai tidak merasa gentar. Juga sebagai seorang datuk persilatan yang sudah memiliki tingkat tinggi sekali, dia tidak kekurangan akal. Dengan tenang saja dia lalu menyalurkan tenaga sinkang dari pusarnya ke arah kedua tangan, lebih banyak ke tangan kiri dari pada tangan kanan.
Tangan kanan yang memegang suling hitam itu lantas bergerak, menggunakan sulingnya untuk menyambut dan menotok ke arah telapak tangan kiri Pak-kwi-ong yang menampar dari atas ke arah kepalanya. Karena dia menyambut tamparan itu dengan totokan, bukan tangkisan, maka dia tak perlu mengerahkan terlampau banyak tenaga. Ujung tongkatnya menyambar ke arah jalan darah yang menjadi pusat, yaitu di antara pangkal telunjuk dan ibu jari. Ada pun tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka, menyambut hantaman lawan dari depan. Dia menerima tantangan adu tenaga itu.
Melihat sambaran ujung suling, Pak-kwi-ong maklum bahwa besar kemungkinan tangan kirinya akan tertotok dan hal itu dapat mengakibatkan kelumpuhan. Oleh karena itu, dia terpaksa miringkan sedikit tangan kirinya yang menampar agar ujung suling itu mengenai bagian lain dari telapak tangannya, lantas dengan nekat dia pun mengadu tenaga dengan tangan kanannya yang terbuka, menghantam dahsyat ke arah telapak tangan kiri lawan yang berani menyambutnya.
"Plakk...! Dessss...!"
Hebat bukan main pertemuan tenaga dua kali itu, terutama yang terakhir ketika tangan kanan Pak-kwi-ong bertemu dengan tangan kiri Ciu-sian Sin-kai. Tubuh Hay Hay sampai terpelanting dan para tokoh lain dapat merasakan getaran yang hebat ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu.
Tubuh Ciu-sian Sin-kai yang kurus itu masih berdiri tegak dengan mulut tetap tersenyum, akan tetapi tubuh Pak-kwi-ong yang gendut itu terdorong mundur sampai lima langkah! Jelaslah bahwa Pak-kwi-ong kalah dalam adu tenaga itu dan dia pun terkejut bukan main, merasa untung bahwa dia tadi hanya menantang untuk satu kali atau satu jurus serangan saja.
Jurus itu pun tidak dilanjutkannya karena lengkapnya masih ada susulan tendangan. Dari pertemuan tenaga tadi saja dia maklum alangkah hebatnya tokoh dari Delapan Dewa ini. Bukan nama kosong belaka. Isi dadanya sampai terguncang dan dia pun cepat menahan napas untuk menghimpun hawa murni. Kemudian, sambil tersenyum menyeringai dia pun mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Memang kepandaian Ciu-sian Sin-kai amat hebat. Aku tak merasa malu untuk mengakui kekalahanku."
Berbeda dengan dua orang kakek dari Empat Setan itu, para tokoh Delapan Dewa adalah datuk-datuk persilatan yang berwatak gagah perkasa. Biar pun mereka juga tidak pernah mengaku sebagai golongan putih atau golongan pendekar, dan tidak langsung memusuhi golongan hitam seperti kaum pendekar, akan tetapi mereka juga tidak pernah melakukan perbuatan jahat sehingga terkenal sebagai tokoh-tokoh aneh yang selalu bersikap adil dan gagah perkasa.....