Berita kematian Siangkoan Sinshe dan isterinya amat menggemparkan seluruh penduduk kota Nan-king. Banyak sekali orang yang berdatangan untuk melayat. Menurut penuturan empat orang pelayan laki-laki yang baru beberapa hari bekerja di sana, karena kabarnya pelayan-pelayan lama keluar dan pulang kampung, mereka mendapatkan majikan mereka itu kedua-duanya telah mati di dalam kamar tidur mereka.
Memang agak aneh. Apa lagi sesudah para tetangga itu mendapatkan bahwa dua mayat Siangkoan Leng serta isterinya itu telah dimasukkan ke dalam dua buah peti yang sudah tertutup. Akan tetapi tidak ada yang meributkan soal ini. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali melayat dan ikut berkabung karena bagaimana pun juga, suami isteri itu dikenal sebagai pedagang obat yang pandai mengobati orang sakit dan sudah banyak orang sakit yang sembuh oleh pengobatan mereka.
Kepala daerah yang sudah mengenal baik Siangkoan Leng dan isterinya, datang melayat pula begitu mendengar berita itu, tetapi dia merasa curiga, maka dia pun memaksa empat orang pelayan itu, dibantu oleh orang-orangnya kepala daerah itu sendiri, untuk membuka sedikit peti-peti mati itu supaya dia dapat melihat wajah suami isteri yang dikabarkan mati mendadak itu.
Dua buah peti mati itu lalu dibuka sedikit dan digeser penutupnya. Nampaklah wajah dua orang suami isteri itu, wajah yang pucat tak mengandung darah lagi, wajah jenazah yang sudah tak bernyawa lagi! Si Kepala Daerah baru percaya dan peti itu pun ditutup kembali lalu dipaku. Dan para tetangga juga kini percaya bahwa suami isteri itu benar-benar telah mati. Hanya, tidak ada yang tahu bagaimana dua orang yang tadinya sehat-sehat saja itu tiba-tiba bisa meninggal dunia.
Selama dua hari banyak tamu berdatangan dan bersembahyang di depan dua buah peti mati itu. Asap hio mengepul dan bau dupa wangi yang dibakar memenuhi ruangan. Pada hari ke tiga, anak tunggal suami isteri yang baru mati itu, yang selama beberapa hari ini menjadi pertanyaan para tetangga dan kenalan Siangkoan Leng sekeluarga, tiba-tiba saja muncul, dan berlari-lari sambil menangis dan memanggil ayah ibunya!
Keadaan segera menjadi gempar dan mengharukan ketika Siangkoan Hay, yang menjadi buah bibir dan pertanyaan para tetangga karena tak terlihat di situ, apa lagi karena empat orang pelayan baru itu mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat putera majikan mereka itu karena sejak mereka dipekerjakan, tuan muda itu sudah tak berada di rumah, menangis tersedu-sedu di depan dua peti mati itu.
"Ayah..., Ibu... kenapa kalian mati? Kenapa... ? Apa yang telah terjadi...?" Dia menangis dan bertanya, akan tetapi tak seorang pun mampu menjawabnya.
Dari luar terdengar suara ketawa. Tentu saja semua tamu menjadi terkejut dan menengok dengan pandang mata mereka membayangkan kemarahan. Sungguh tak sopan sekali di dalam ruangan berkabung itu ada orang tertawa! Akan tetapi pandang mata mereka yang tadinya mengandung kemarahan segera berubah menjadi ketakutan dan kengerian ketika mereka melihat siapa yang tertawa tadi.
Mereka adalah seorang lelaki dan seorang wanita. Yang lelaki bertubuh jangkung kurus, wajahnya tampan akan tetapi mengerikan, dingin dan kaku bagaikan kedok saja, hanya sepasang matanya yang hidup dan mencorong menakutkan.
Yang wanita bertubuh kecil ramping. Wajahnya berbentuk bagus dan cantik, akan tetapi muka itu pucat sekali laksana muka mayat dan bibir yang pucat membiru itu tersenyum, akan tetapi senyum yang mengandung kekejaman, sedangkan sepasang matanya juga mencorong seperti mata laki-laki jangkung di sampingnya.
Ternyata yang mengeluarkan suara ketawa tadi adalah wanita itu, dan sekarang mereka berdua melangkah memasuki ruangan di mana terdapat dua buah peti mati yang berjajar. Sejenak dua orang itu memandang ke sekeliling, ke arah para tamu yang nampak terkejut dan bengong memandang kedua orang yang baru datang itu.
Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang mengenal suami isteri ini. Akan tetapi di selatan, di sepanjang pantai selatan, semua orang di dunia kang-ouw, terutama di dunia hitam, mengenal sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai selatan.
Laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu bernama Kwee Siong akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Si Tangan Maut. Sedangkan wanita yang sedikit lebih muda dari pada dia itu adalah isterinya bernama Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukannya Si Jarum sakti. Mereka adalah pasangan suami isteri yang terkenal ganas, kejam dan lihai seperti sepasang iblis, penghuni Goa Iblis di pantai selatan, ditakuti oleh semua orang.
Kini suami isteri yang sikapnya amat dingin dan mengerikan itu memandang ke arah anak laki-laki yang sedang menangis di antara dua buah peti mati. Si Jarum Sakti Tong Ci Ki menghampiri anak ini, kemudian bibirnya yang pucat kebiruan itu bergerak-gerak.
"Apakah engkau anak dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?"
Anak itu memang Siangkoan Hay dan sambil mengusap air matanya, dia kini memandang kepada dua orang itu. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika mereka menyebut nama ayah ibunya, dia mengangguk.
"Benar, aku adalah anak mereka, namaku Siangkoan Hay."
"Sin-tong...!" kata Tong Ci Ki lantas dia pun melangkah maju mendekati Siangkoan Hay sambil mengulurkan tangannya.
"Apa... ?" Hay Hay bertanya heran, akan tetapi pada saat itu tubuhnya seperti ditarik oleh tenaga yang luar biasa dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah ditangkap oleh tangan wanita itu yang berkulit halus namun dingin.
Tubuh Hay Hay menggigil kedinginan. Ia hendak menarik kembali tangannya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan yang lain dari wanita itu mengelus kepalanya dan dia pun tak mampu menggerakkan tangannya itu, bahkan ketika hendak mengeluarkan suara, tidak ada suara keluar dari tenggorokannya. Hay Hay terkejut sekali sehingga hanya berdiri bengong, tak mampu bersuara atau bergerak, dan masih bergantungan pada tangan wanita itu yang memegang pergelangan tangannya.
Sementara itu, dengan senyum yang lebih pantas dinamakan senyum iblis karena hanya menyeringai dengan mulut saja tapi bagian lain dari mukanya sama sekali tidak bergerak, Si Tangan Maut Kwee Siong menghampiri dua buah peti mati itu.
"Heii! Siapa kalian dan mau apa?" seorang di antara para tamu, yang merasa tak senang melihat sikap suami isteri itu, menegur.
Si Tangan Maut menoleh kepada orang itu, kemudian menyeringai. "Kami adalah sahabat-sahabat baik dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, sungguh tidak disangka bahwa hari ini kami melihat mereka telah berada di dalam peti mati."
Mendengar ini, semua orang tertegun. Betapa anehnya dua orang yang berpakaian serba hitam itu, pikir mereka. Sementara itu, Si Tangan Maut Kwee Siong sudah menghampiri kedua peti mati itu lantas kedua tangannya menekan dan menepuk-nepuk kedua peti itu seperti orang menepuk-nepuk bahu sahabat baiknya
"Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, semoga kalian bisa senang di alam baka." Dan setelah menepuk beberapa kali, dia pun mundur dan menoleh kepada isterinya. "Apakah engkau tidak ingin membekali sesuatu kepada mereka melalui lubang-lubang kecil di samping peti itu?"
Wanita itu pun tersenyum. Andai kata mukanya tidak seperti mayat, tentu wajahnya yang belum tampak keriputan itu akan terlihat cantik. Ia masih menggandeng tangan Siangkoan Hay dan sekarang dia menggerakkan sebelah tangannya ke arah peti. Sinar hitam lembut menyambar ke arah kedua peti itu dan tepat sekali sinar-sinar kecil itu memasuki lubang-lubang di samping peti.
Memang aneh peti mati itu karena ada lubang-lubang kecil di kanan kiri peti, seolah-olah dua peti mati itu diberi lubang hawa! Hal ini tidak nampak oleh para tamu lainnya karena tertutup bunga-bunga, akan tetapi ternyata kelihatan oleh suami isteri luar biasa itu.
Semua orang tidak mengerti akan sikap mereka dan tidak tahu apa yang mereka lakukan tadi. Akan tetapi tiba-tiba semua orang yang berada di dekat kedua peti itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan mata terbelalak mereka menuding ke arah bawah peti karena kini dari dua peti itu keluar darah menetes-netes dan tergenang di bawah peti!
Melihat ini, Si Tangan Maut Kwee Siong dan isterinya, Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, tertawa bergelak dan mereka lantas pergi dari ruangan itu sambil membawa Siangkoan Hay yang masih digandeng oleh Tong Ci Ki.
"Hai, apa yang telah kalian lakukan?"
"Tunggu dulu...!"
Beberapa orang tamu sudah menghadang mereka. Mereka adalah orang-orang yang ahli ilmu silat, yang mulai curiga dan menduga bahwa tentu telah terjadi peristiwa mengerikan sekali, ada pun dua orang laki-laki dan wanita pakaian hitam ini tentu bukan sahabat baik keluarga Siangkoan, apa lagi melihat mereka hendak pergi membawa Siangkoan Hay.
Akan tetapi suami isteri iblis itu dengan tenang melanjutkan langkahnya dan ketika tiba di dekat mereka yang berani menghadang, dua orang suami isteri itu hanya berseru,
"Minggir kalian!"
Keduanya menggerakkan tangan seperti orang mengusir lalat saja akan tetapi akibatnya, empat orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti diamuk gajah! Padahal, empat orang itu termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu silat cukup tangguh dan merupakan jagoan-jagoan di Nan-king!
Melihat betapa empat orang lihai itu sedemikian mudah dirobohkan oleh suami isteri yang berpakaian hitam ini, semua orang segera menjadi jeri sehingga tak ada lagi yang berani menghalangi mereka. Apa lagi ketika semua orang melihat betapa pria jangkung bermuka laksana topeng itu tiba-tiba saja menarik tangan Siangkoan Hay sehingga tubuh anak itu terpental ke atas lalu dipondongnya dan bersama wanita muka mayat itu kini mereka lari dengan kecepatan yang membuat mereka terbelalak. Tak seorang pun berani melakukan pengejaran.
Dalam sekejap mata saja kedua orang itu telah lenyap dan barulah semua orang menjadi panik dan bising. Mereka berlari mendekati dua peti mati dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan ngeri hati mereka sesudah melihat bahwa selain dari dua buah peti itu masih menetes-netes darah melalui lubang-Iubang kecil yang tersembunyi itu, juga empat orang pelayan laki-Iaki yang tadi duduk di belakang peti-peti itu sekarang sudah terkapar dan tak bernyawa lagi, dengan muka berubah kehitaman!
Padahal mereka sama sekali tak melihat dua orang tamu aneh tadi turun tangan terhadap empat orang pelayan itu dan tidak salah lagi, mereka berempat itu tewas pada saat terjadi ribut-ribut penghadangan terhadap dua orang tamu yang melarikan Siangkoan Hay. Tidak ada seorang pun melihat bagaimana empat orang pelayan itu bisa tewas dan siapa yang membunuhnya.
Gegerlah tempat itu! Terlebih lagi kepala daerah Nan-king yang pernah diobati oleh suami isteri Siangkoan, yang tadinya memang telah menaruh curiga sehingga pernah menyuruh membuka tutup peti mati di hari pertama, menjadi marah sekali mendengar berita itu. Dia bersama orang-orangnya segera datang ke sana dan memerintahkan para pengawalnya untuk membuka tutup peti dengan paksa.
Kembali dua buah peti itu dibuka tutupnya dan semua orang terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan pekik keheranan dan kengerian. Kiranya yang berada di dalam peti mati itu bukan Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, bukan suami isteri pedagang obat itu, melainkan dua orang laki-laki dan perempuan lain lagi, yang usianya sekitar empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah petani-petani sederhana!
Kemana perginya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, atau lebih tepat lagi, kemana hilangnya jenazah-jenazah mereka yang tadinya telah berada di dalam peti mati? Kenapa tubuh dua orang petani itu tahu-tahu sudah berada di dalam peti dan agaknya mereka belum mati ketika berada dalam peti?
Jelas bahwa mereka mati karena serangan gelap dari kedua orang tamu aneh itu karena di sebelah dalam peti nampak bekas jari-jari tangan dan juga di lambung mereka nampak luka-luka menghitam yang kecil-kecil dan sesudah dibedah, ternyata di dalamnya terdapat jarum-jarum hitam kecil. Dan siapa pula yang membunuh empat orang pelayan itu?
Semuanya itu terjadi karena ulah suami isteri Siangkoan sediri! Seperti kita ketahui, suami isteri itu mengatur siasat untuk meloloskan diri dari pengamatan dua orang musuh mereka yang amat lihai agar mereka dapat leluasa bergerak dan berbalik melakukan pengintaian dan pengamatan. Diam-diam mereka lalu minta bantuan empat orang yang pernah belajar silat kepada Siangkoan Leng untuk menjadi pengganti pelayan, dan memberi tahu kepada mereka bahwa para pelayan di rumah itu sudah pulang ke kampung karena takut dengan ancaman musuh.
Kemudian, dibantu oleh empat orang pelayan yang juga murid mereka itu, suami isteri ini lalu menggali lubang terowongan yang menembus ke luar pagar tembok sehingga suami isteri itu dapat keluar dengan leluasa pada waktu malam. Hal ini mereka lakukan supaya tidak sampai ketahuan pihak musuh yang tentu selalu melakukan pengintaian.
Sesudah melakukan perundingan dengan keempat orang pelayan itu bahwa mereka akan melakukan siasat untuk mengelabui musuh, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li berpura-pura mati bunuh diri dengan minum racun. Pada saat kepala daerah melakukan pemeriksaan, tubuh mereka memang berada di dalam peti mati itu.
Dengan ilmu kepandaian mereka yang sangat tinggi, suami isteri itu dapat menghentikan pernapasan mereka, bahkan jalan darah mereka menjadi sedemikian lemahnya sehingga tidak dapat dilihat orang begitu saja, dan wajah mereka menjadi pucat seperti mayat, juga mereka sanggup menahan napas sampai beberapa lamanya.
Dengan kepandaian itu, mereka berhasil mengelabui kepala daerah dan orang-orangnya. Untuk keperluan pernapasan pada saat peti itu tertutup, mereka sengaja membuat lubang-lubang kecil di kanan kiri peti yang agak tersembunyi di antara bunga hiasan peti.
Malam hari sebelum terjadi kunjungan dua orang suami isteri iblis itu, secara diam-diam Siangkoan Leng bersama Ma Kim Li keluar dari peti mati dan melalui jalan terowongan di bawah tanah, mereka kemudian pergi ke dusun di luar kota. Tak sukar bagi mereka untuk menemukan sebuah rumah terpencil di pinggir dusun.
Sesudah melakukan pengintaian, mereka merasa girang sekali karena menemukan suami isteri yang mereka cari-cari, yakni sepasang suami isteri yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun. Dan yang lebih cocok lagi dengan siasat mereka adalah bahwa mereka itu hanya tinggal berdua saja di rumah kecil miskin yang sunyi terpencil itu.
Suami isteri petani itu belum tidur, dan tentu saja mereka merasa sangat terkejut melihat munculnya Siangkoan Leng beserta isterinya yang begitu saja mendorong daun pintu dari luar sampai jebol.
"Ehh...apa... siapa...?" teriak petani itu. Akan tetapi Siangkoan Leng sudah menotoknya sehingga dia tak mampu lagi bergerak atau pun berteriak, ada pun Ma Kim Li melakukan hal yang sama terhadap isteri petani.
"Itu ada pakaian anak-anak," bisik Ma Kim Li kepada suaminya.
Mereka mencari dan menggeledah rumah kecil itu, akan tetapi tidak menemukan orang lain. Walau pun mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perbuatan jahat, akan tetapi sekali ini mereka bekerja secara rahasia dan bersembunyi dari pengintaian musuh, maka keduanya tidak berani mencari lebih jauh dan cepat memanggul tubuh suami isteri petani yang sudah lemas itu, kembaIi ke kota Nan-king.
MelaIui jalan terowongan itu mereka menyeret dua tubuh petani memasuki rumah mereka kemudian cepat memasukkan tubuh suami isteri petani itu ke dalam peti-peti mati untuk menggantikan tubuh mereka sendiri. Sebelum itu, mereka menggunakan obat bius untuk membuat suami isteri petani itu pingsan selama sehari semalam.
Setelah melakukan perbuatan yang hanya disaksikan oleh empat orang pembantu mereka itu, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li lantas keluar dari pekarangan rumah mereka melalui jalan rahasia dan mulailah mereka melakukan pengintaian dari tempat tersembunyi di luar pekarangan. Kini mereka melakukan pengintaian terhadap rumah mereka sendiri!
Mereka dapat melihat kesibukan yang terjadi di pekarangan dan juga di ruangan pendapa di mana dua buah peti mati diletakkan, juga melihat orang-orang yang datang melayat dan bersembahyang untuk memberi penghormatan terakhir kepada ‘jenazah’ mereka.
Tentu saja mereka terkejut setengah mati melihat seorang anak laki-laki berpakaian kotor dan berambut kusut memasuki pekarangan itu, anak yang bukan lain adalah Siangkoan Hay yang mereka cari-cari. Hampir saja Ma Kim Li berteriak saat melihat puteranya, akan tetapi suaminya sudah memegang lengannya dan cepat memberi isyarat supaya jangan mengeluarkan suara atau pun bergerak. Sekali mereka keluar dan kelihatan orang, berarti terbukalah semua rahasia mereka!
Boleh jadi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li merupakan dua orang yang sudah kehilangan peri kemanusiaan. Perasaan mereka telah membeku terhadap kehalusan. Keadaan hidup mereka yang lampau sebagai dua orang sesat yang berkecimpung di dalam dunia hitam dan bergelimang dengan kejahatan membuat hati mereka mengeras dan tidak mengenal keharuan.
Akan tetapi ketika melihat Siangkoan Hay menangis di antara dua buah peti itu, menangis sambil memanggil-manggil ayah ibunya, dua orang ini nampak bengong dan termenung. Bahkan Ma Kim Li sampai mengusap kedua matanya dan Siangkoan Leng beberapa kali menelan ludah.
Bagaimana pun juga, mereka berdua telah menganggap Hay Hay sebagai anak kandung sendiri. Walau pun anak itu bukanlah anak kandung, akan tetapi mereka memeliharanya, membesarkan serta mendidiknya, sejak bayi berusia dua bulan sampai anak itu sekarang berusia tujuh tahun. Dan anak itu sangat cerdas, tabah dan lincah, selalu bergembira dan merupakan cahaya terang dalam kehidupan mereka.
Karena watak yang baik dari Siangkoan Hay itulah yang banyak mendorong suami isteri ini untuk memaksa diri melalui jalan benar, tidak pernah lagi mengulangi perbuatan jahat mereka. Demi untuk kehidupan anak mereka itu di kemudian hari maka mereka memaksa diri untuk menjadi ‘orang baik-baik’. Karena paksaan dan bukan sewajarnya, maka semua kebaikan yang mereka pertahankan itu pun mudah luntur sehingga begitu ada ancaman bahaya kepada mereka, maka timbul kembali watak jahat mereka!
Hidup baik atau pun kebaikan tidak mungkin bisa dilatih! Kebaikan bukanlah suatu hasil usaha atau hasil latihan, tidak mungkin juga dilakukan karena ketaatan atau karena ingin memperoleh balas jasa. Bukanlah suatu kebaikan kalau dilakukan dengan kesengajaan untuk menjadi baik, bukan pula kebaikan kalau dilakukan dengan pamrih apa pun juga, bahkan bukan suatu kebaikan namanya bila pelakunya menyadari bahwa yang dilakukan itu adalah suatu ‘kebaikan’!
Kesadaran melakukan kebaikan ini pun jelas menyembunyikan pamrih, betapa pun halus pamrih itu, tapi sedikitnya tentu merupakan kesadaran akan kebaikan dirinya yang akan membentuk suatu gambaran mengenai diri sendiri yang penuh dengan kebaikan! Menjadi suatu kesombongan yang terselubung, dan pamrihnya ingin mengulang rasa nikmat yang timbul dalam hati karena telah ‘berbuat baik’!
Kebaikan adalah suatu keadaan seseorang yang batinnya dipenuhi dengan cahaya cinta kasih. Perbuatan yang didasari cinta kasih pasti benar dan baik, dan bukan ‘kebaikan’ lagi namanya, tetapi suatu perbuatan wajar penuh peri kemanusiaan yang berlandaskan cinta kasih.
Ada pun kebaikan yang dilakukan orang tanpa dasar cinta kasih, namun kebaikan yang dilakukan karena kesadaran bahwa dia ‘harus’ berbuat baik, maka perbuatan seperti itu, bagaimana pun baik nampaknya, tiada lain hanyalah kemunafikan, atau kepalsuan yang menyembunyikan pamrih untuk diri sendiri, betapa halus pun pamrih itu.
Kebaikan seperti ini akan mudah luntur. Sekali pamrihnya tidak didapat, maka perbuatan baiknya pun akan berhenti. Kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran seperti itu hanya merupakan suatu jalan atau cara untuk memperoleh suatu tujuan tertentu, dan kebaikan seperti itu tidak ada artinya, baik untuk diri sendiri mau pun untuk orang lain.
Kesadaran melakukan kebaikan ini pun jelas menyembunyikan pamrih, betapa pun halus pamrih itu, tapi sedikitnya tentu merupakan kesadaran akan kebaikan dirinya yang akan membentuk suatu gambaran mengenai diri sendiri yang penuh dengan kebaikan! Menjadi suatu kesombongan yang terselubung, dan pamrihnya ingin mengulang rasa nikmat yang timbul dalam hati karena telah ‘berbuat baik’!
Kebaikan adalah suatu keadaan seseorang yang batinnya dipenuhi dengan cahaya cinta kasih. Perbuatan yang didasari cinta kasih pasti benar dan baik, dan bukan ‘kebaikan’ lagi namanya, tetapi suatu perbuatan wajar penuh peri kemanusiaan yang berlandaskan cinta kasih.
Ada pun kebaikan yang dilakukan orang tanpa dasar cinta kasih, namun kebaikan yang dilakukan karena kesadaran bahwa dia ‘harus’ berbuat baik, maka perbuatan seperti itu, bagaimana pun baik nampaknya, tiada lain hanyalah kemunafikan, atau kepalsuan yang menyembunyikan pamrih untuk diri sendiri, betapa halus pun pamrih itu.
Kebaikan seperti ini akan mudah luntur. Sekali pamrihnya tidak didapat, maka perbuatan baiknya pun akan berhenti. Kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran seperti itu hanya merupakan suatu jalan atau cara untuk memperoleh suatu tujuan tertentu, dan kebaikan seperti itu tidak ada artinya, baik untuk diri sendiri mau pun untuk orang lain.
Tidak anehlah kalau orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, setelah selama tujuh tahun menjadi ‘orang-orang baik’ lantas tiba-tiba saja dapat kembali menjadi kejam. Kekejaman dalam batin mereka belum lenyap, hanya ditekan-tekan saja selama itu, ‘demi sesuatu’ yang mereka harapkan dalam hal ini, mungkin demi anak mereka!
Kebaikan itu seperti harum bunga. Bunganya adalah cinta kasih dan keharumannya itulah kebaikan. Cinta kasih selalu akan menyebarkan kebaikan, tanpa disengaja, karena cinta kasih itu kebaikan, keduanya tak terpisahkan, seperti matahari dengan cahayanya.
Keharuan yang menyentuh hati Siangkoan Leng dan Ma Kim Li segera buyar pada saat mereka melihat munculnya Si Tangan Maut Kwee Siong dan Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, dua musuh yang ditunggu-tunggu itu! Kembali Ma Kim Li hendak bergerak ketika melihat betapa anaknya ditotok dan ditangkap oleh Tong Ci Ki. Akan tetapi suaminya memegang tangannya.
"Jangan bergerak...," bisik Siangkoan Leng kepada isterinya.
"Tapi... bagaimana kalau mereka mencelakakan Hay Hay...?"
"Tidak. Mereka hendak merampas Hay Hay, bukan hendak membunuhnya! Apa bila kita muncul dan rahasia kita terbuka, tentu lebih repot lagi bagi kita. Biarkan saja mereka, kita dapat membayangi dan setiap waktu dapat berusaha menyelamatkan anak itu."
Mereka berdua terus mengintai dan ngeri juga rasa hati mereka pada saat melihat betapa dengan kekuatan sinkang-nya yang sangat dahsyat, iblis dari Goa Iblis Pantai Selatan itu menyerang ke dalam peti, sedangkan isterinya menyerang pula dengan jarumnya melalui lubang-lubang angin. Andai kata tubuh mereka yang berada di dalam peti, agaknya sukar bagi mereka untuk dapat menyelamatkan diri.
Ketika keadaan menjadi kacau karena suami isteri iblis itu membawa Hay Hay keluar dan merobohkan orang-orang yang berani menghadang mereka, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li cepat menggerakkan tangan dan menyerang empat orang pembantu yang juga pernah menjadi murid mereka dari jarak jauh.
Tentu saja keempat orang itu tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum maut Ma Kim Li yang dalam hal penggunaan senjata rahasia beracun ini tidak kalah oleh Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Empat orang itu lalu roboh dan tewas seketika, dan peristiwa pembunuhan ini tidak nampak oleh orang lain karena suasana sedang kacau dan bising.
Tentu saja para tamu yang melayat di rumah keluarga Siangkoan itu menjadi geger ketika memperoleh kenyataan bahwa mayat-mayat yang berada di dalam dua buah peti mati itu bukanlah Siangkoan Leng dan isterinya dan betapa empat orang pelayan itu tiba-tiba saja mati seperti tanpa sebab. Bahkan ada yang bisik-bisik dengan muka pucat bahwa semua ini tentulah perbuatan setan.
Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak mau peduli lagi akan keributan yang terjadi di rumah mereka. Mereka sudah cepat membayangi dua orang musuh mereka yang kini membawa pergi Hay Hay dengan melakukan perjalanan cepat sekali keluar dari kota Nan-king.
Akan tetapi suami isteri iblis ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa jauh di belakang mereka ada sepasang suami isteri yang tidak kalah kejamnya melakukan pengejaran dan selalu membayangi mereka sejak mereka melarikan diri dari Nan-king sambil membawa anak laki-laki itu. Mereka ini adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.
Sesudah tiba di atas bukit kecil itu, Kwee Siong dan Tong Ci Ki menghentikan lari mereka dan membawa Hay Hay menuju ke bawah sebatang pohon besar yang berada di puncak bukit. Di bawah pohon itu nampak bersih dan agaknya mereka sudah pernah ke tempat itu, dan tempat itu memang menjadi tempat mengaso bagi mereka yang berani melewati daerah rawan ini. Tempat itu yang paling tinggi, bersih terlindung oleh pohon besar, dan rumput yang tebal itu masih bertilamkan daun-daun kering yang lunak, enak untuk duduk mau pun untuk tidur.
Kwee Siong menurunkan tubuh Hay Hay yang semenjak tadi dipondongnya, dan cara dia menurunkan tubuh itu, dengan hati-hati dan lembut sekali, menunjukkan bahwa dia tidak bersikap keras terhadap anak itu. Hal ini pun dirasakan oleh Hay Hay, apa lagi ketika pria jangkung kurus itu tiba-tiba saja mengusap tengkuknya sehingga seketika dia pun dapat bergerak mau pun mengeluarkan suara kembali, maka Hay Hay menjadi berani dan dia pun segera bangkit berdiri dari keadaan rebah miring.
Semenjak dia diculik dari dekat peti-peti jenazah itu, dia merasa terkejut dan juga secara diam-diam marah sekali. Apa lagi ketika dia melihat betapa dua buah peti mati itu setelah diraba oleh Si Jangkung lantas mengeluarkan darah. Dia merasa ngeri dan tak mengerti. Jika ayah ibunya memang sudah mati, kenapa dari kedua petinya keluar darah menetes-netes?
Ketika dia dilarikan dalam keadaan tidak mampu bergerak mau pun bersuara. Hay Hay membayangkan semua peristiwa yang dialaminya, sejak malam yang sangat mengerikan itu. Ketika ayah ibunya menjenguknya malam-malam itu, dia merasa curiga dan menduga bahwa melihat wajah ayah bundanya yang tegang, tentu sudah terjadi sesuatu yang luar biasa.
Dia seorang anak pemberani. Maka, sesudah ayah ibunya keluar lagi, diam-diam dia pun lalu cepat meninggalkan kamarnya dan berindap-indap menuju ke belakang rumah. Dan dia pun melihat apa yang sudah ditemukan ayah ibunya, bangkai-bangkai binatang serta mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah keluarganya!
Dia lalu berlari pula mencari-cari sehingga akhirnya dia melihat ayah ibunya berhadapan dengan laki-laki dan perempuan yang keadaannya mengerikan, laksana dua sosok mayat hidup. Akan tetapi yang sangat menarik perhatiannya adalah percakapan yang terjadi di antara ayah ibunya dan dua orang aneh itu. Dua orang itu agaknya memperebutkan dia!
Walau pun dia tidak dapat mengerti sepenuhnya akan maksud perbantahan empat orang itu, akan tetapi dia mendengar betapa laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam itu mengaku dia sebagai anak mereka! Seminggu lagi mereka akan datang untuk mengambil dirinya dan sebulan kemudian akan membunuh ayah ibunya!
Melihat bangkai-bangkai dan mayat-mayat tadi sudah mengguncang perasaan Hay Hay, kini mendengar perbantahan itu, dia menjadi semakin bingung. Benarkah dia bukan anak kandung ayah ibunya, melainkan anak kandung sepasang manusia seperti mayat hidup ini? Dia merasa semakin ngeri dan bingung. Mereka datang untuk mengambilnya! Ingatan ini saja yang mengejarnya dan anak ini pun lari meninggalkan rumahnya.
Sebagai seorang anak laki-laki yang lincah dan senang berkeliaran. Hay Hay mengenal tempat-tempat yang sangat tersembunyi dan ketika ayah ibunya mencari-carinya, dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil.
Dia sering kali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, maka orang takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena tertutup dengan semak-semak.
Maka tidak mengherankan apa bila orang-orang lihai seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak berhasil menemukan putera mereka itu. Siapa yang menyangka bahwa anak itu akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati oleh katak dan belut-belut? Lagi pula Siangkoan Leng dan isterinya menduga bahwa anak mereka diculik orang, bukan melarikan diri.
Hay Hay tinggal di bawah jembatan sampai tiga hari. Hanya kalau perutnya merasa amat lapar saja dia keluar pada waktu malam gelap lantas mendatangi kawan-kawannya untuk meminta makanan. Dan teman-teman itu pun, seperti biasanya anak-anak kecil yang suka akan petualangan, merahasiakan tempat sembunyinya dan setia kawan padanya.
Pada hari ke empat, pada saat dia masih tidur nyenyak, salah seorang kawannya datang menjenguknya dan mengguncang-guncang tubuhnya, membangunkannya dengan berita, bahwa ayah ibunya sudah meninggal dunia dan kini telah dilayat orang! Mendengar berita hebat itu, Hay Hay lupa akan segala kengerian dan dia pun berlari pulang.
Dapat dibayangkan betapa sedih dan bingungnya ketika dia melihat dua buah peti mati di ruangan depan. Apa lagi ketika ada seorang tetangga yang mengenalnya ketika dia baru memasuki pekarangan. Tetangga itu segera merangkulnya dan mengeluh.
"Kasihan kau, Hay Hay. Masih begini kecil ditinggal mati ayah ibu secara mendadak..."
Hay Hay tidak ragu-ragu lagi. Ayah ibunya telah mati dan telah dimasukkan peti mati! Dia lantas menghampiri, berlutut di depan kedua peti dan menangislah dia dengan hati sedih dan bingung. Diam-diam dia merasa menyesal bukan main kenapa dia telah melarikan diri sehingga dia tidak tahu mengapa ayah ibunya mati dan apa yang menyebabkan kematian mereka.
Kemudian muncul dua orang yang membuatnya merasa seram itu dan dia pun dibuat tak dapat bergerak mau pun bersuara sehingga ketika dia dipondong dan dibawa pergi, dia tidak mampu melawan sama sekali. Sehari semalam dia dibawa pergi dan mereka hanya berhenti untuk makan minum. Akan tetapi Hay Hay tidak pernah mau makan dan minum.
Tiap kali dibebaskan dari totokan, dia segera bertanya apa yang telah terjadi dengan ayah ibunya kepada orang-orang itu. Akan tetapi mereka tak pernah mau bicara dan memaksa kalau dia tidak mau makan. Dia hanya ditotok lagi dan dibawa pergi lagi.
Betapa pun juga, suami isteri yang seperti mayat hidup atau iblis itu tak pernah bertindak kasar terhadap dirinya. Sebaliknya malah, mereka selalu mencoba membujuknya dengan kata-kata manis agar dia mau makan atau minum. Namun selalu ditolaknya.
Ketika pagi hari itu mereka berhenti di puncak bukit dan dia diturunkan lantas dibebaskan dari totokan, Hay Hay langsung bangkit berdiri kemudian memandang kepada suami isteri itu dengan mata terbelalak penuh penasaran, kemarahan dan keberanian.
"Sebetulnya, apakah yang telah kalian lakukan? Di mana ayah ibuku, dan apa yang telah terjadi dengan mereka?"
Dua orang itu saling memandang dan agaknya dalam bertukar pandang itu mereka juga bertukar pikiran karena Kwee Siong segera mengangguk dan membiarkan isterinya yang bicara dengan anak itu.
"Sin-tong..."
"Namaku bukan Sin-tong, namaku Siangkoan Hay dan biasa disebut Hay Hay!" kata Hay Hay dengan sikap angkuh karena hatinya penuh kemengkalan terhadap mereka.
Wanita itu tersenyum. Memang wajahnya manis sekali bila sedang tersenyum walau pun usianya telah mendekati setengah abad. Akan tetapi karena muka itu pucat seperti mayat dan hanya kedua matanya saja yang nampak hidup dan indah, maka kemanisan wajah itu mengandung keseraman.....