Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Nenek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya begitu tabah dan tegas, sekarang menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka dalam menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan dia pun memegang kedua lengan nenek itu.
“Subo, ada apakah? Kenapa subo menangis?”
Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak sambil kadang-kadang mengusap air matanya yang bercucuran. Akhirnya dapat juga dia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai sapu tangan, lalu memandang wajah dara itu dengan mata yang merah bekas tangis.
“Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku mendapat kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walau pun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis dari pada tidak.”
“Akan tetapi, mengapa demikian subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, malah kini telah berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi mengapa subo berduka?”
“Karena aku takut!”
Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin. “Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?”
“Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian...”
“Ehh? Takut akan kematian?”
“Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena bagaimana kalau aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ahh, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi sesudah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil memperoleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut...”
Sui Cin duduk diam termenung, alisnya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat ini pun dia tidak pernah peduli akan hal itu. Akan tetapi dia tidak pernah merasa takut sungguh pun dia sendiri juga tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi dia tidak takut!
Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, akan tetapi oleh kebanyakan dari kita, tidak peduli tua atau pun muda, kaya atau pun miskin, tinggi atau pun rendah kedudukannya. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja.
Sesungguhnya, kenapa bisa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang apa bila kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka!
Bagaimana bisa kita takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang sudah kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sebenarnya merupakan akibat dari permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum terjadi, pikiran yang mengada-ada.
Rasa takut muncul karena kita tidak mau kehilangan hal-hal yang dapat menyenangkan kita, hal-hal yang telah mengikat batin kita, seperti keluarga, kekayaan, kedudukan atau nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, kita takut kelak akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita cinta itu, cinta yang mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.
Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andai kata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itu pun tidak akan pernah ada!
Karena itu, dapatkah kita terbebas dari pada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam oleh rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?
Kita semua tahu bahwa kematian tidak akan dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapa pun juga tidak mungkin dapat dielakkan pula. Sekali waktu pasti perpisahan itu akan terjadi, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut sebelum terjadi perpisahan adalah kebebasan. Bebas dari ikatan.
Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.
Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga serta harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke pinggir laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung apa bila hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!
Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita mempunyai isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apa pun juga. Bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak mencinta.
Justru cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, tentu saja kesenangan untuk diri sendiri. Karena ingin senang, maka segala yang dapat menyenangkan diri sendiri hendak dimiliki selamanya, sehingga timbullah ikatan.
Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apa pun.
Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apa pun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga barang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apa pun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.
Sesungguhnya, kenapa bisa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang apa bila kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka!
Bagaimana bisa kita takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang sudah kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sebenarnya merupakan akibat dari permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum terjadi, pikiran yang mengada-ada.
Rasa takut muncul karena kita tidak mau kehilangan hal-hal yang dapat menyenangkan kita, hal-hal yang telah mengikat batin kita, seperti keluarga, kekayaan, kedudukan atau nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, kita takut kelak akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita cinta itu, cinta yang mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.
Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andai kata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itu pun tidak akan pernah ada!
Karena itu, dapatkah kita terbebas dari pada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam oleh rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?
Kita semua tahu bahwa kematian tidak akan dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapa pun juga tidak mungkin dapat dielakkan pula. Sekali waktu pasti perpisahan itu akan terjadi, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut sebelum terjadi perpisahan adalah kebebasan. Bebas dari ikatan.
Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.
Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga serta harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke pinggir laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung apa bila hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!
Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita mempunyai isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apa pun juga. Bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak mencinta.
Justru cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, tentu saja kesenangan untuk diri sendiri. Karena ingin senang, maka segala yang dapat menyenangkan diri sendiri hendak dimiliki selamanya, sehingga timbullah ikatan.
Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apa pun.
Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apa pun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga barang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apa pun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.
Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, walau pun dia pandai dan berkedudukan tinggi, namun dia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbullah rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.
Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi agak pucat dan membayangkan kedukaan. “Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa aku takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa.”
Nenek itu kini dapat tersenyum, lantas mengangguk. “Aku pun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal aku sudah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya...”
Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada nyawa, yaitu ketika dia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.
Nenek itu tersenyum. “Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya.”
Giranglah hati Sui Cin dan dia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tidak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya!
“Campur bubukan ini dengan secawan arak lalu minumkan padanya, maka dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali.”
Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin segera menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan bertanya, “Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?”
Yelu Kim tersenyum lebar. “Anak bodoh, apa sukarnya hal itu? Ingat, aku sudah menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau bawalah ini dan perlihatkan apa bila ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bahwa aku yang mengutusmu untuk mengobati pemuda itu.”
Sui Cin lalu menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terbang dari nenek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah mengetahui bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Herimau Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Dia mengantongi obat-obat berikut lambang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.
“Terima kasih atas bantuan subo sehingga aku mendapat kesempatan untuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah melukainya.”
“Berangkatlah sekarang, perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat. Malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi, jadi engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan.”
Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perkemahan suku Khin, begitu dia dikenal sebagai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, dia pun diterima dengan gembira dan penuh hormat. Apalagi ketika dia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk mengobati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkannya ke dalam kamar Ci Kang.
Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu sedang rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, hanya memakai sepatu dan celananya saja. Tubuh atasnya telanjang, tapi tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.
“Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?” tanya kepala suku itu dengan khawatir.
Sui Cin tersenyum. “Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya.”
Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan suara ragu-ragu. “Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?”
Sui Cin tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk.
“Ahhh...!” Seru Moghu Khali dengan takjub.
Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali dia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang tadi telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini.
“Sungguh beruntung hari ini aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona,” katanya sambil memberi hormat.
Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.
“Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya.”
“Baiklah, silakan nona,” Moghu Khali memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu.
Kepada pelayan yang dapat pula berbahasa Han biar pun tidak lancar itu, Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Sesudah semua ini tersedia, dia pun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamar menjadi segar.
Sui Cin memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah, tanpa disadarinya dia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam.
Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, lalu dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati dia menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan sesudah mulut terbuka, perlahan-lahan dia menuangkan arak obat itu ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.
Sesudah semua arak obat di dalam cawan itu pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sinkang untuk menyedot racun. Lambat laun dia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga dia hampir tidak tahan.
Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sinkang-nya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada di Ci Kang itu menjadi basah dan ketika dia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah sudah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan dia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sinkang-nya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang kini mulai bekerja dengan cepatnya.
“Uhhhh...!” Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-gerak dan pemuda ini mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.
Sepasang mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandangan matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apa lagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu.
Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri pada dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu!
Dan sekarang gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari sepasang telapak tangan itu dia pun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dia pun lantas teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.
“Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?” tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.
“Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!”
Sui Cin melepaskan sepasang tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua telapak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin lalu mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan dia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.
“Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?” Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.
“Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah dahulu engkau pernah pula menolongku? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali sudah berhasil. Racun jarum itu sungguh berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu.”
“Engkau benar-benar lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih mempunyai keahlian mengobati luka beracun.”
“Ahh, tak perlu kau memuji,” kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan mempergunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. “Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri.”
Pemuda itu terkejut sekali. “Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka sama sekali. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!”
“Aku sendiri pun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Dahulul aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Pada waktu melihat engkau juga menjadi jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu.”
“Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona.”
“Sudahlah, pujianmu bahkan membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka.”
Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka. “Ahhh, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini.” Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.
“Ahh, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?” Sui Cin bertanya heran.
Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran kenapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.
“Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, dan celakanya lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu bahkan membuat ayahku marah sehingga menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk turut menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku lalu berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin hingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam lagi. Apa bila kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah kematian terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!”
“Sudahlah, Ci Kang. Tidak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apa lagi bagaimana pun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang sekali bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis...”
“Apa...?” Sepasang mata Ci Kang terbelalak. “Kematian ayahku karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?”
Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walau pun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi sudah meninggalkan kesan baik di dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang tadi diceritakan Ci Kang bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.
“Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lantas diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam dia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas.”
“Ayah!” Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. “Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka, malah mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!” Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya lalu terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan sekarang mukanya menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.
“Ehh, Ci Kang, engkau kenapakah...?”
Sui Cin bertanya kaget setelah tadi dia terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.
“Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing...”
Tiba-tiba saja Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang bila tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh dari obat penawar tadi, pikirnya.
“Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu.” Ia memasang bantal pada punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak.
Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang telah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.
“Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali,” katanya.
Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena kedua tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.
“Ahh, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang.” Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.
“Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali...,” kata Ci Kang yang merasa sungkan.
“Aihh, engkau sedang sakit, sudahlah, jangan banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu. Makanlah ini.” kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.
Ci Kang sedang menderita sakit, ada pun Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang memiliki ilmu tinggi dan biasanya sangat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela ada sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela.
Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam sangat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya.
Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia juga tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut.
Akan tetapi, justru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?
Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti oleh warna kemerahan. Akan tetapi, semakin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi makin merah pula dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia mengenal gadis itu!
Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, secara diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah?
Dan yang sangat menggelisahkan hatinya adalah pandangan mata Ci Kang itu. Pandang mata itu seperti merayap-rayap dan seakan-akan terasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam dia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.
Hui Song yang diam-diam mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja.
Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong secara diam-diam sudah pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim, akan tetapi juga tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga.
Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya sudah mencuri serta melarikan harta pusaka di Goa Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim.
Akan tetapi dia tak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia pun melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini sehubungan dengan tugas yang telah diberikan gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.
Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu, lantas melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas.
Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya makin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan.
Sui Cin lalu meraba dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah dia merasa betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu mulai dari kepala sampai ke dada nampak merah!
Semenjak tadi Ci Kang sendiri gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, namun bersama kembalinya tenaganya, datang pula suatu perasaan yang sangat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama semakin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin.
Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang terus mempertahankan diri, tidak mau tunduk kepada rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan birahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.
Pada waktu Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar yang disiramkan kepada nafsu birahi yang sedang bernyala sehingga menjadi makin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.
“Nona...!” serunya.
Tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu birahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali.....