Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan yang sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu di samping untuk berunding di mana kedua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblis untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis pada suatu tempat tersembunyi tidak jauh dari San-hai-koan!
Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, lantas memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis.
Sebenarnya tadinya Moghul juga diundang. Akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu sedang dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, maka yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.
Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti pada sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu kemudian memberi isyarat kepada Ji-ciangkun supaya menghentikan kuda masing-masing, lantas menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.
"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.
"Lihat saja isyarat tangan kami. Kalau berbicara sebelum ditanya, dapat mengakibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.
Mendengar ucapan kedua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti orang yang sangat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis adalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit Ong dan bahwa tokoh ini mempunyai ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sendiri!
Sesudah mereka berjalan kurang lebih setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka sampai di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun memandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.
"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.
"Sssstt!" Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi, berjalan perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.
Pada saat mereka tiba di luar tanah pekuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan memberi isyarat agar diam dan tak mengeluarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu lalu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berubah pucat.
Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biar pun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di tengah kuburan itu.
Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang sangat luar biasa. Seorang di antara mereka adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin bagaikan muka mayat.
Sepasang matanya yang kehijauan mencorong laksana mata harimau. Pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar sehingga kedodoran. Usianya sukar ditaksir berapa karena biar pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih.
Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima puluh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersila di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan tengkorak itu saja sudah merupakan hal yang sukar dilakukan, karena tengkorak yang hanya bertumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh apa bila di puncaknya diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan tegak, bersila dan matanya memandang tajam ke depan.
Di hadapannya, terpisah kurang lebih tiga tombak, terdapat tumpukan tengkorak lain mirip seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas!
Wanita ini pun rambutnya putih riap-riapan. Pakaian serta wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku. Dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena dia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.
"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.
"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.
"Mulai...!" kata pula yang pria.
Dua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.
"Tarrrr...!"
Terdengar suara ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini berulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seolah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.
"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.
"Tarr...! Brukkkkk...!"
Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga yang luar biasa dahsyatnya!
"Tenagaku masih kurang kuat...!" Wanita itu menarik napas sesudah dia turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.
"Siapa bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!"
Dia pun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!
Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi amat terkejut, ngeri dan juga gentar hatinya. Apa lagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.
"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.
Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah sepasang iblis itu, hanya menjura dengan hormat.
"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis. Seperti biasa, dialah yang menjadi juru bicara suaminya, ada pun Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.
"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."
Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka semua untuk duduk di atas tanah, ada pun dia sendiri duduk di atas tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedangkan dua orang kakek pembantu mereka itu pun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk. Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.
"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang sekali dia bicara, akan tetapi agaknya sekarang dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai menyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kuasai?"
Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar.
"Semuanya sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu prajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh para perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu prajurit saja yang akan mudah diatasi. Akan tetapi Kok-taijin sulit diajak berdamai dan tak mungkin mau bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."
"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.
"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apa lagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..." Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.
"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu sudah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
Raja Iblis mengerutkan kedua alisnya sambil mengelus jenggotnya yang pendek. "Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga menantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula apa bila waktunya sudah tiba? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"
"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apa lagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."
"Pemuda itu harus dibunuh dulu, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah untuk mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu sulit membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi saya kira tidak bijaksana kalau membunuh Kok-taijin, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."
"Mengapa?"
"Seperti yang telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan. Kalau sampai terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biar pun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Jauh lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."
"Caranya? Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.
Ji-ciangkun menggeleng kepala. "Biar pun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andai kata dia ditangkap dan disiksa sekali pun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan tetapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."
"Bagus! Lakukanlah hal itu, Ji-ciangkun. Ingat, kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau secara resmi akan menjadi panglima besar seluruh pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."
Wajah Ji-ciangkun berseri gembira, membayangkan kedudukan yang kelak diperolehnya jika gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambil alihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun segera kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis…..
********************
Sementara itu, Hui Song yang keluar dari kota San-hai-koan dengan berkuda, ketika baru meninggalkan benteng itu kurang lebih sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini bisa menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya?
Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya. Maka dia pun segera berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu pada punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusan, bukan ke jurusan Ceng-tek, melainkan ke timur.
Kuda itu ketakutan dan berlari cepat. Dia masih mengejarnya dengan lemparan-lemparan batu kecil sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.
Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sulit juga bila dia harus melawan orang sedemikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor lalu akhirnya mereka membelok ke kiri dan mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.
Setelah pasukan itu membalapkan kuda ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu mempergunakan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek…..
********************
Kota Ceng-tek adalah kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini terdapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal bernama Lui Siong Tek, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa, berusia empat puluh lima tahun.
Dia menguasai selaksa pasukan tetap, namun dengan mudah dia akan melipat gandakan pasukannya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang berupa mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsa-bangsa liar di utara.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang pembesar yang mempunyai kekuasaan penuh pada suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seakan-akan menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pembesar itu akan lupa bahwa dia hanya seorang petugas yang bekerja untuk atasan di kota raja. Dan seorang pembesar militer seperti Lui-goanswe ini, pada waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan-kesenangan yang mudah saja didapatkan karena kekuasaan dan kekayaannya.
Demikian pula dengan Lui Siong Tek. Karena wilayahnya dalam keadaan aman tenteram, dia pun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang sudah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.
Pada waktu Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, namun juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini memiliki seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu.
Sesudah mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song segera memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak dijaga terlalu ketat. Kalau pemimpinnya malas, anak buahnya pun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnya pun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itu pun tidak ketat.
Para penjaga hanya bergerombol di sekitar pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudahnya Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di dalam benteng itu lalu dengan mudah saja dia bisa memasuki sebuah gedung terbesar di tengah benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa penjagaan di sekitar gedung, dan agaknya semua penghuninya telah tidur.
Hui Song cepat menyelinap masuk ke dalam gedung itu. Tidak lama kemudlan dia sudah mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang di mana dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya dihias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan minum dilayani oleh dua orang pelayan wanita muda. Di depannya duduk pula seorang wanita cantik.
Saat melihat wanita itu, jantung Hui Song segera berdebar keras. Dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, murid dari Raja Iblis itu!
Dan ternyata bahwa pada waktu dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita, "Bersihkan meja!" lalu dia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya.
Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong.
Kamar itu adalah tempat yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia sedang bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia sudah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan dia pun cepat menyusup ke bawah tempat tidur.
Tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur! Tempat tidur itu berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria dan ditariknya duduk di sampingnya.
"Aihh, manis, mengapa engkau begini tergesa-gesa? Baru saja kita habis makan...!" pria yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek itu berkata sambil tertawa saat menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.
"Hemm, siapa sih yang kepingin? Apa kau kira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur? Tak tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.
"Ha-ha-ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apa lagi kalau bukan..."
"Pikiranmu memang penuh dengan urusan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau berbicara di hadapan para pelayan, sebab itu aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."
"Bicara apakah, Siang Hwa? Engkau minta apakah?"
"Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"
Jenderal itu merangkul dan menciumnya. "Aihhh, Siang Hwa, apakah engkau masih tidak yakin akan cintaku? Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta kepadamu."
"Ciangkun, sudah satu pekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepenuh hati, tetapi kenapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"
"Aaahh... urusan itu...?" Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur.
Hui Song cepat-cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dia keluarkan agar dia dapat mendengar dan melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.
"Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada permintaan lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku sudah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk itu..."
Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka. "Sayangku, mengapa justru itu yang kau minta? Mintalah yang lain. Apa pun pasti akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang semenjak jaman nenek moyangku selalu menjunjung tinggi nama serta kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"
Hui Song kaget bukan main mendengar ini. Ahh, dia mengerti sekarang. Tentu gadis iblis ini sedang melakukan tugasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan para pemberontak!
Kiranya Raja Iblis sudah mendengar akan kelemahan jenderal ini terhadap wanita cantik, maka menyuruh muridnya sendiri yang selain lihai juga cantik manis itu untuk menjebak sang jenderal dan kini Siang Hwa sedang menjalankan peranannya dengan amat baik.
Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi. "Ciangkun, di dalam hidupku ini tiada hal lain lagi yang kuinginkan kecuali membalas dendam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semuanya tewas oleh pemerintah, sekeluargaku difitnah dan dihukum mati! Aku harus membalas dendam, dan satu-satunya jalan hanya memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."
"Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Apa bila bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya? Apa artinya bala tentara puluhan ribu kalau menghadapi bala tentara pemerintah yang ratusan ribu? Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja mala petaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."
"Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam terhadap pemerintah. Di dalam hal ini engkau bisa mencari kawan-kawan, dan aku sanggup mencarikan teman-teman sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati apa bila engkau mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu menghardik.
"Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kau dengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat dari pada dirimu, bahkan leblh berat dari pada nyawaku sendiri, mengerti?!"
Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia mempunyai kelemahan terhadap wanita, mata keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang laki-laki yang gagah dan teguh pendiriannya.
"Bagus! Begitukah, ciangkun? Setelah selama satu pekan ini kuserahkan segala-galanya kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka? Jika begitu, ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Pangeran Toan Jit Ong yang akan memimpin pemberontakan, dan karena penampikanmu, engkau tidak boleh hidup lebih lama lagi!"
Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jenderal itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu lalu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pelipisnya!
Gui Siang Hwa sudah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan tetapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apa lagi ketika di bawah sinar lampu dia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.
"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berubah pucat.
"Perempuan jahat!" Hui Song memaki marah karena melihat betapa dia muncul terlambat sehingga jenderal itu tidak dapat ditolong lagi. Maka dia pun segera langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apa lagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan serta kelihaian wanita itu, maka dia pun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempatan itu dipergunakan oleh Siang Hwa untuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan masih mengenakan pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.
"Mau lari ke mana kau?!" bentak Hui Song sambil mengejar.
Akan tetapi suara ribut-ribut itu sudah memancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"
Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song dengan senjata mereka!
"Perempuan itulah pembunuhnya! Dia siluman jahat...!" Hui Song berseru.
Akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu sudah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya.
Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan dia pun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadaan sudah sangat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimana pun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.
Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring,
"Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi kebetulan sekali kedatanganku tepat melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"
"Bohang! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."
"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang dia orang baik-baik, mengapa dia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku pun tak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah dibunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"
Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walau pun ada di antara mereka yang kemudian mencari-cari tetapi tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.
"Sebaliknya kalian bawa aku menghadap wakil Lui-ciangkun. Biar dia yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"
Usul ini bisa diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng untuk dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah sangat berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia bisa menduga bahwa yang dibawa menghadap kepadanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak terbayang watak yang jahat.
Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di kota San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung memasuki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Dia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun para datuk sesat dan hendak memberontak, karena itu kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saat saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe, tanpa saya sangka-sangka iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe saat rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu supaya ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dia lalu pergi sambil membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga dia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."
Dengan tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa ternyata wanita bernama Gui Siang Hwa itu memang telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.
Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat itu, wajahnya berubah dan dia segera mengajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap.
Sementara itu, sesudah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun lantas berkata, "Ahh, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"
Hui Song mengangguk. "Malah dia dengan para pemberontak telah merencanakan untuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka hendak menguasai kota San-hai-koan untuk dijadikan basis gerakan pemberontakan mereka. Sebab itu Kok-taijin mengharapkan bantuan pasukan dari sini, ciangkun." Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan betapa dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.
"Hemm, agaknya para tokoh pemberontak itu berusaha keras untuk mempengaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk sewaktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau ternyata dia benar-benar berani memberontak."
"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya amat mengkhawatirkan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke kota San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang diminta oleh Hui Song sekedar untuk penjagaan diri karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu lalu menyiapkan teman-temannya untuk menghadangnya bila dia kembali ke San-hai-koan.
Kekhawatiran Hui Song itu sama sekali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa beserta kawan-kawannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar dugaan dan perhitungan Hui Song. Tidak disangkanya bahwa Ji-ciangkun akan bergerak secepat itu untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.
Pengambil alihan benteng San-hai-koan dipercepat oleh para pemberontak karena hal ini ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dia menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya, maka Raja Iblis segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga!
Raja Iblis telah dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!
Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, sekarang mau tidak mau dia harus mempergunakan kekerasan.
Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.
Ji-ciangkun masih hendak mempergunakan bujukan. Setelah gedung dikepung, lebih dulu dia mengirimkan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja dari pada harus diserbu dengan kekerasan. Namun Gubernur Kok malah membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk melindunginya.
Maka terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal cepat melakukan perlawanan dengan gagah perkasa sehingga jatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai seharian lamanya gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal meski pun jumlah mereka telah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.
Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun dengan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka dia pun membalapkan kudanya dan pada saat dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau.
Hui Song tidak peduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua prajurit yang berani menghalanginya. Ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka lalu membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.
Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah kedua pasukan, jelas bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Dia cepat menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu telah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walau pun wajahnya juga pucat sekali.
"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"
Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya, bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di kota Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak sedemikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.
Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita semakin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.
"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku sendiri akan memimpin semua pengawalku dan melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"
"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari kota San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."
Gubernur itu menggelengkan kepalanya. "Hal itu tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamatkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Lagi pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama keluargaku di sini, akan kuhadapi semuanya dengan tabah. Masih jauh lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir dari pada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kau selamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubernur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.
Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka dia pun tahu bahwa berbantahan tidak akan ada gunanya. Selain itu, dia pun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil jika hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya sebab pihak musuh terlalu banyak. Jika kereta yang membawa gubernur itu dihujani anak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka?
Berbeda halnya bila hanya menyelamatkan satu orang saja, apa lagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan dia pun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat dari pada dirinya sendiri.
"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu.
Anak itu tak nampak ketakutan karena agaknya dia belum mengerti benar apa sebetulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan dia memakai pita merah. Dia tersenyum saat tangannya digandeng Hui Song yang biar pun belum dikenalnya benar, akan tetapi agaknya dia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya.....