Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya telahberwarna putih semua. Inilah tokoh persilatan yang dahulu pernah merajai lautan timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur), yaitu seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berubah menjadi Bin Mo To.
Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi sesudah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Pada saat itu dia sudah cukup kaya sehingga walau pun meninggalkan segala macam pekerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung.
Begitu melihat Hui Song, kakek itu merangkulnya, lalu memegang kedua pundak pemuda itu, mendorongnya supaya dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa bergelak dengan gembira sekali.
"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, bagus, aku bangga bukan main. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"
"Dua puluh empat tahun, kek."
Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih. "Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau belum kawin?" Dia menoleh kepada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"
Wajah Hui Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."
"Aihh, bagaimana ini?" Kakek itu menoleh kepada anaknya dan menantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."
"Mana ada waktu lagi untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Waktunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Kemarin dia baru saja pulang dari perantauannya yang memakan waktu hampir empat tahun!"
"Ha-ha-ha, merantau dan bertualang sangat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturunan," kata kakek itu.
"Aku juga berpikir begitu, ayah, bahkan muridku ini merupakan calon mantu yang sangat baik."
Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih...," katanya.
"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suaranya jengkel.
"Nah, itulah ayah, cucumu ini yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, dia selalu terlihat tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.
"Pemberontakan? Apa yang kau maksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.
"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menentang komplotan itu."
Kakek itu menarik napas panjang. "Ah... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada menantunya dengan mata penuh tanda tanya.
"Saya sudah melarangnya, ayah. Selama ini Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang masih diam saja. "Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menentang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"
Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya. "Kongkong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri bahwa para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis sedang mengatur dan merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"
"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan seorang pendekar memang sepatutnya kalau berjiwa pahlawan, membela negara nusa dan bangsa. Akan tetapi hal ini harus pula memperhitungkan dan melihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintahan yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang sedang memegang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi penindas rakyat, apakah sebagai pendekar dan pahlawan kita juga harus membela kelaliman?"
"Nah, kau dengarkan ucapan kongkong-mu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"
"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk sesat yang amat jahat, kongkong!" Hui Song membantah.
Kakek itu tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus bisa membagi-bagi antara pejuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, agar dapat membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan para pahlawan berbeda lagi. Dalam perjuangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."
"Jadi... dengan kata lain, kongkong membenarkan tindakan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"
Kakek itu tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi bahwa dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita harus melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku, meski pun sekarang Liu-thaikam sudah tertangkap dan tewas, namun keadaan kerajaan masih penuh dengan kotoran. Hanya terdapat beberapa orang menteri serta beberapa orang jenderal saja yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tak peduli dengan pemerintahan. Bila keadaan ini dibiarkan terus berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, apa bila terjadi pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan sikap para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut mendapat bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"
"Akan tetapi, kongkong, bukankah semenjak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang selalu setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"
"Hui Song, engkau belum mengerti!" ayahnya membentak. "Seorang patriot adalah orang gagah yang membela rakyat, membela nusa dan bangsa! Apa bila pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah secara mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, apa bila pemerintahnya lalim tetapi dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-antek pembesar lalim!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah semenjak dulu yang namanya pemberontak itu dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"
"Belum tentu! Tidak semua pemberontak itu jahat. Jika ada orang memberontak terhadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya hanya hendak mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, maka dia tidak dapat dinamakan jahat."
"Tetapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"
"Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu memerlukan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, tadinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."
Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kongkong-nya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak memberontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi bukan tidak mungkin jika pemberontakannya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tak pernah mempedulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri di dalam kamarnya.
Pahlawan! Patriot! Dari mana lahirnya sebutan ini dan apakah sebenarnya arti sebutan itu? Pada umumnya pengertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walau pun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja.
Namun benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Atau hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya?
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Lalu bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa dan bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka ini sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai ‘pengkhianat’! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka.
Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya dianggap pahlawan dan patriot terbesar sekali pun, kalau sekali waktu yang memegang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang kala ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya!
Dan ini bukan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara satu bangsa yang berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya. Yang tadinya oleh satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, akan dicap pengkhianat dan jahat oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan dari golongan pertama. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak, akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan sebagainya setelah golongan orang itu menang.
Jelaslah bahwa manusia sudah menjadi boneka dari permainan gagasan mereka sendiri, saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semuanya itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang sedang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat.
Para pejuang dari golongan mana pun, jika sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, begitu semboyan usang yang selalu diulang-ulang sepanjang sejarah. Rakyat pun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya membantu para ‘patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat’ itu.
Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa dan membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka.
Lalu bagaimana dengan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji, sedangkan yang gugur akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit saja.
Tapi apa yang bisa dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tak mau kalah, apa lagi mengalah. Yang menentang, biar pun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.
Rakyat tertekan lagi. Lantas muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang sekarang berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, akan kembali terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Namun benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Atau hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya?
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Lalu bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa dan bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka ini sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai ‘pengkhianat’! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka.
Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya dianggap pahlawan dan patriot terbesar sekali pun, kalau sekali waktu yang memegang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang kala ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya!
Dan ini bukan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara satu bangsa yang berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya. Yang tadinya oleh satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, akan dicap pengkhianat dan jahat oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan dari golongan pertama. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak, akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan sebagainya setelah golongan orang itu menang.
Jelaslah bahwa manusia sudah menjadi boneka dari permainan gagasan mereka sendiri, saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semuanya itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang sedang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat.
Para pejuang dari golongan mana pun, jika sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, begitu semboyan usang yang selalu diulang-ulang sepanjang sejarah. Rakyat pun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya membantu para ‘patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat’ itu.
Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama! Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa dan membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka.
Lalu bagaimana dengan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji, sedangkan yang gugur akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit saja.
Tapi apa yang bisa dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tak mau kalah, apa lagi mengalah. Yang menentang, biar pun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.
Rakyat tertekan lagi. Lantas muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang sekarang berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, akan kembali terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan hendak menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan satu sampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu.
‘Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu.’ Demikian Hui Song mengakhiri suratnya.
"Anak bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, ada pun isterinya langsung menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi selama bertahun-tahun, hanya satu malam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.
"Ah, sudahlah. Tidak ada yang aneh jika putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.
"Tetapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dahulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa semenjak pagi mereka tak pernah melihat Hui Song mau pun Siang Wi.
"Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.
"Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali bila mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.
Selanjutnya, dalam percakapan di antara mereka, dengan perlahan-lahan kakek Bin Mo To membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.
"Setiap usaha untuk menentang pemerintah yang buruk patut didukung oleh orang-orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapa pun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.
Mendengar ucapan ayahnya, juga melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan kedua alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.
"Ayah, ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah mencuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia? Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan ingin mendukungnya?"
Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik bukan main dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan oleh Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu.
Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, sesudah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu.
Biar pun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Dan bekas teman-teman kakek itu lalu datang berkunjung, kemudian urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan.
Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin oleh Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit Ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui serta sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua, akan tetapi dia ingat akan mantunya.
Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan atas dasar bujukan atau karena paksaan, namun ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah merasa muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan.
Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat turut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.
"Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk turut berjuang? Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung di dalam batin. Dan siapa yang takkan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.
"Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan hanya membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap saja rakyatlah yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya."
Bin Mo To terus membujuk menantunya, dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya. Akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan membantu kelak kalau saatnya telah tiba…..
********************
Hati Hui Song masih diliputi oleh rasa penasaran sehingga dia nampak termenung ketika berjalan seorang diri melalui jalan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan dusun di depan sudah nampak genteng-gentengnya.
Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan sekarang Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa sangat penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya, dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas?
Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ahh, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu jahat bukan main dan perjuangan murni bagaimana pun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan dia pun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu.
Bagaimana pun juga dia tak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi oleh pembesar-pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlampau banyak pejabat yang menggunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri.
Pada jaman itu sulit ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang telah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang semua kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pemberontakan para datuk sesat, walau pun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia membayangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik apa bila kekuasaan itu berada di tangan para datuk sesat!
Dia sudah mendekati dusun di depan ketika dari arah belakangnya terdengar derap kaki kuda. Hui Song cepat minggir karena jalan itu amat sempit, memberi kesempatan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik.
Hui Song dapat mengenal kuda yang baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang potongannya sederhana namun bersih dan masih baru, dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum.
Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggungnya dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan menambah manis.
Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan selain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nampak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebelah kiri, agak di bawah mulut. Dan ketika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar.
Lirikan itu sungguh tajam dan mengandung banyak arti, lirikan yang dapat dikatakan genit memikat! Lirikan yang dihiasi senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu memiliki pinggang yang sangat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.
Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Jika melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, dia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan tetapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa dia seorang gadis kota.
Dia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara dia menguasai kudanya, menunjukkan bahwa dia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa dia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik. Kuda beserta penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda, kemudian akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Hui Song sudah melupakan gadis itu pada saat dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat rumah penginapan dan juga ada sebuah restoran yang cukup besar. Sesudah memesan sebuah kamar di rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu.
Ada belasan meja di sana dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas itu, mudahlah diduga bahwa mereka adalah langganan-langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga dia pun memilih meja yang tidak berjauhan dari dua orang tamu itu, hanya terpisah oleh dua meja kosong.
Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu terlihat menjadi semakin jangkung sebab dia memakai sebuah topi hitam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh para tosu atau kepala agama atau pertapa.
Jubahnya juga lebar dan kedodoran hingga menutupi semua tubuhnya mulai leher sampai kaki yang mengenakan sepatu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan belakang, mencapai dadanya. Tubuh yang kurus itu laksana tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak yang berkulit, dengan sepasang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya.
Orang ke dua juga tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dan perutnya itu dibiarkan terlihat karena bajunya terbuka tanpa kancing, atau kancingnya agaknya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang lebar untuk dapat menutupi perutnya. Perut gendut dan dadanya terbuka. Jubahnya juga lebar dan panjang pada bagian belakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung pada pinggang kanannya.
Kepalanya yang bundar itu dicukur gundul, kecuali di tengah-tengah. Di atas ubun-ubun terdapat segumpal rambut yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini nampak seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio, sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itu pun tidak menimbulkan perhatian orang.
Namun tidak demikian bagi Hui Song. Pemuda ini sangat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Tiba-tiba percakapan di sebelah kirinya, di antara empat orang muda yang telah setengah mabok, menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanannya telah dihidangkan dan sambil makan dia pun memasang telinga untuk mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal sebagai suara orang setengah mabok.
"Huh, pada jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara lantang seorang pemuda yang bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut yang menyeringai tanda kemabokannya, dia lantas melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang seharusnya dilindungi sendiri. Sekarang ini tidak ada orang dapat dipercaya!"
"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, dan sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"
Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya sudah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itu pun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya.
Diam-diam Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan yang tidak tahu diri ini, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Maka dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah.
Akan tetapi dari kerling matanya dia dapat melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikit pun juga tak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.
Agaknya sekarang mereka telah selesai makan. Keduanya bangkit berdiri dan membayar harga hidangan kemudian melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song.
Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang sangat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song merasakan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan dua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut menyeringai penuh ejekan.
Tidak terjadi sesuatu dan kedua orang kakek itu pun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan lantas mereka pun terguling roboh, bahkan kursi-kursi mereka juga terbawa roboh.
Dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa empat orang muda itu berkelojotan dengan mata mendelik. Dari mata, hidung, mulut serta telinga mereka keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorang pun di antara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa kedua kakek itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melangkah lebar keluar dari rumah makan itu.
Hui Song cepat bangkit dari kursinya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Pada saat melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu, tanpa memeriksa tahulah dia bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata gelap beracun, maka dia pun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia dapat melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Dia pun cepat melakukan pengejaran.
Tepat seperti yang sudah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Begitu tiba di luar dusun, mereka berdua segera berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja! Akan tetapi Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang sudah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat.
Apa lagi selama tiga tahun dilatih oleh Si Dewa Kipas, dia sudah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini sudah membuat ginkang-nya juga memperoleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya sangat ringan dan dia pun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.
Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua orang yang merasa tidak akan dapat melepaskan diri dari pengejarannya itu, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupakan padang rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga sinar mata mereka membayangkan kemarahan.
Begitu Hui Song tiba di depan mereka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jangkung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur,
"Orang muda, siapakah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"
Hui Song maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan dua orang pandai. Dia tak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka dia pun menjura dengan hormat.
"Harap ji-wi locianpwe suka memaafkan jika aku bersikap kurang hormat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."
"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gendut.
"Pembunuhan itu dilakukan dengan serangan beracun dan kiranya hanya ji-wi yang dapat melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"
Kedua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata dengan nada suara menantang,
"Baik, memang kami yang membunuh mereka. Habis, kau mau apa? Siapa engkau?"
Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban dua orang ini sungguh merupakan sebuah tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melakukan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"
"Ha-ha-ha, engkau sudah tahu akan tetapi masih juga bertanya. Telingamu sendiri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," kata si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hidup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song terkejut. Si gendut ini memiliki sinkang yang amat kuat, pikirnya.
"Jika karena ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ringan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah dua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali.
Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.
"Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membunuh empat orang lancang mulut dan kurang ajar itu. Nah, jika engkau tak dapat menerimanya, habis engkau mau apa?" si jangkung menantang lagi sambil bertolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui Song yang bermata tajam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap siaga.
"Sebagai pembunuh-pembunuh ji-wi harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."
Dua orang itu saling pandang kemudian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami hukum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"
Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menentang kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang yang tidak berdosa, tidak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."
Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak. Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga cahaya menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali. Dari bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun.....