Kini dia bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan dia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Walau pun belum memiliki pengalaman tentang cinta, tapi perasaan wanitanya membuat dia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Namun tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah dia pun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.
"Kek, karena waktunya masih cukup lama, maka aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlampau lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."
"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu adalah orang-orang hebat, jadi alangkah baiknya jika mereka dapat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu!"
"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit Ong itu masih paman dari ibu."
Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san, kemudian melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teratai Merah. Dara yang kini melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai.
Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Dia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi dalam sikapnya terdapat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang amat tinggi, Sui Cin melakukan perjalanan cepat dan tanpa sesuatu halangan, tibalah dia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi betapa kecewa hatinya setelah dia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Dia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.
"Aihhh, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah dan ibu nona selalu bingung dan entah telah berapa kali pergi meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi sebulan yang lalu, entah kapan pulangnya."
Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah bundanya. Mereka hanya mempunyai anak dia seorang dan dia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Ayah ibunya kebingungan, kemudian mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukan dirinya karena dia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu untuk mencarinya lagi, entah ke mana.
Padahal dia pun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah sebab dia mempunyai tugas berat untuk membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka ia pun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya dan menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan.
Kemudian di dalam surat itu dia menceritakan kepada ayah ibunya bahwa dia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama pendekar-pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan dalam surat itu ia tidak lupa menulis bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit Ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su Ong!
Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan pulau itu lagi dan mulailah dia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang sangat jauh, namun dia memiliki banyak waktu dan dia pun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat…..
********************
Ruangan itu sangat luas dan terhias indah, juga hiasannya menggambarkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang ada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik.
Pada dinding ruangan itu nampak tergantung lukisan-lukisan yang amat indah pula, yaitu lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah juga menghiasi dinding ruangan itu. Sungguh sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar.
Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang lelaki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak sedang berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap ketiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa dia sedang berkabung!
Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, begitu pula jenggotnya yang pendek itu pun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, alisnya tebal, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa.
Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang.
Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianya pun sudah hampir lima puluh tahun, namun masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput. Tubuhnya sedkit pendek dan dari dandanannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang keturunan Jepang.
Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya sedang berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya.
Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang juga berlutut di luar ruangan itu dan mereka semua memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.
"Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, sekarang ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.
Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu sudah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."
"Hemmm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu lalu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.
"Ciang Su Kiat suheng sedikit pun tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua bisa menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilan suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walau pun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."
Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"
"Benar, suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah sungguh pun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu juga siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."
"Ceritakan semua yang terjadi!"
"Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja semenjak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi Coan Ti-hu terkenal sangat pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dibentak dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lantas dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu bisa menerimanya karena bagaimana pun juga alasannya, ayah teecu telah mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Tetapi ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan setelah ayah pulang, dalam waktu tiga hari kemudian ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.
"Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian terhadap Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.
"Mungkin saja ayah menegur karena semenjak muda ayah telah menghambakan diri akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimana pun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Karena itu, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar yang sewenang-wenang itu."
"Dan sekarang engkau menjadi buronan pemerintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, akan tetapi juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami sebab engkau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau kami tidak dapat menangkapmu, maka kami akan diadukan dan dianggap sebagai pemberontak karena anak murid perguruan Cin-ling-pai sudah berani menyerang seorang pembesar pemerintah! Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang?"
"Suhu, bagaimana pun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepada teecu. Tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."
"Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"
"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan kenapa perbuatan pelanggaran itu dilakukan. Akan tetapi bukan berarti bahwa teecu akan mengingkari sumpah, teecu siap menerima hukuman."
"Kesalahanmu pada Cin-ling-pai sudah sangat jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu amat jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."
"Tidak...! Teecu... teecu bersedia menerima hukuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu tidak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran dari peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.
"Crakkk...!"
Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sute-nya yang berlutut di sebelah kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikit pun tidak mengeluh walau pun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.
Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikit pun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimana pun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepada Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"
"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan wajah dingin ketua Cin-ling-pai itu menganggukkan kepala seperti hendak menegaskan pendiriannya.
"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat menggunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.
"Wuuuttt…! Plakkk...! Trangggg...!"
Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk tiba-tiba meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.
Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.
"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak peduli apa pun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.
Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, apa bila saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi saya!" Berkata demikian, laki-laki yang sudah putus asa dan marah ini lalu menggerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!
"Jangan...!"
Berbareng dengan seruan ini, mendadak nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap hendak membunuh diri itu.
"Hui Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Dia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini dia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.
Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut."
Dia segera menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, lalu mengobati luka itu dan membalutnya.
"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat juga harus berani bertanggung jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya, lantas sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat itu bersama suheng-nya yang sudah buntung lengannya.
"Hui Song, apa yang hendak kau lakukan?" Ayahnya membentak, cepat meloncat untuk mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah berada jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.
"Ayah, aku akan membantu Ciang-suheng untuk menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."
Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya sudah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah demikian hebat, terdengar lirih akan tetapi jelas sekali di dekat telinganya, tanda bahwa sekarang Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat dari pada kalau dia sendiri yang melakukannya.
Lagi pula dia pun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan bahwa dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Jika memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bukan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi merupakan tanggung jawab Cin-ling-pai. Bagaimana pun juga, pihak Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.
Secara diam-diam dia pun merasa kagum melihat sikap tegas puteranya yang hendak membantu Su Kiat menyelesaikan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia kemudian membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan diri ke dalam kamar bersama isterinya, dengan hati tak sabar menunggu kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu…..
********************
Sore sudah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Sekeliling gedung itu dijaga ketat oleh pasukan penjaga, tetapi mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang sangat cepat bagaikan burung malam beterbangan itu.
Suasana sunyi di gedung besar itu tiba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan suara nyaring dari atas genteng.
"Coan Ti-hu, buka telingamu dan dengar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"
Tentu saja para pengawal segera berlarian datang, namun mereka menjadi panik sendiri. Sesudah ada pengawal yang melihat dua bayangan yang berdiri tegak di atas wuwungan rumah, mereka lalu berteriak-teriak sehingga sebentar saja bangunan itu telah dikurung.
Tentu saja Coan Ti-hu sendiri juga mendengar teriakan-teriakan itu, akan tetapi dia tidak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya tetap menjaganya di dalam kamar, lalu dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.
"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengarkan kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau sudah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam sudah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanku ini adalah urusan sendiri, sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pihak Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!" Sesudah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan perasaan jijik dan ngeri.
"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamanan dan belasan orang prajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suheng-nya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia lalu meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suheng-nya kemudian dilarikannya suheng-nya keluar kota Han-cung.
Di simpang jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suheng-nya. "Ciang-suheng, di sini kita harus berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, tak seharusnya engkau naik ke Cin-ling-san lagi, juga jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."
Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Sekarang aku pun mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu silat hingga tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itu pun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song.
Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa, suheng-nya itu, Ciang Su Kiat. Dia takkan merasa heran jika suheng-nya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.
"Kasihan Ciang-suheng...!" Tanpa terasa lagi kata-kata ini meluncur keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.
"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"
Mendengar suara orang yang secara tiba-tiba menyambut ucapannya itu, Hui Song cepat membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.
"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang setelah mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya.
Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoi-nya itu dalam perantauannya, yaitu pada waktu dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat pesta itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat.
Ternyata kini Siang Wi telah berada di hadapannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah cahaya bulan yang baru saja muncul, wajahnya tampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.
"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.
"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.
"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ahhh... alangkah hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."
Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu memuji, sumoi. Engkau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa sekarang engkau bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."
"Habis, di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.
Hui Song tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."
Di bawah sinar bulan remang-remang pemuda itu tidak dapat melihat betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.
"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"
Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song merasa heran. "Aihh, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, maka sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"
"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."
Hui Song terbelalak, terkejut dan langsung mundur tiga langkah ketika melihat sumoi-nya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia lalu teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali.
Dahulu, ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada saat itu tentu saja dia tidak pernah bermimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoi-nya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoi-nya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.
"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."
"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"
Hui Song terkejut sekali. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap hanya permainan kanak-kanak itu. Selama ini, mungkin semenjak anak-anak, sumoi-nya mencintanya dan merasa yakin bahwa dia pun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Hal ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!
"Sumoi, sekarang kita jangan bicarakan hal itu di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Marilah kita pulang!" Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ.
Siang Wi juga meloncat dan segera mengejar, akan tetapi dia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu ginkang-nya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa ketika dia tadi membayangi Hui Song, dia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu belum mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat dia menjadi semakin kagum.
Ketika sampai di rumahnya, Hui Song langsung disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira akibat melihat putera tunggal mereka itu pulang sesudah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.
"Apa yang kau lakukan bersama Su Kiat?" ketua Cin-ling-pai bertanya kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.
"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song, menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Sambil terus memegangi tangan puteranya dan sepasang matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"
"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu dengan seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."
"Hui Song," potong ayahnya, "tentang perantauanmu itu dapat kau ceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kau lakukan bersama Su Kiat."
"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."
"Hemmm, engkau mencampurinya dan turut mengacau gedung pembesar itu?" ayahnya bertanya dengan alis berkerut.
"Tidak, ayah. Aku hanya mengantarkan dan melindungi Ciang-suheng sampai di situ. Dan sesudah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami pun segera pergi."
Pada saat itu masuklah Siang Wi. Dia baru saja dapat menyusul Hui Song dan dia masih dapat mendengar keterangan pemuda itu.
"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat saat dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan mengebutkan dua tangannya, dan pada saat dia mengerahkan ginkang-nya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"
Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga sekali. Akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata, "Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan setiap hari kusuruh bersihkan."
Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang sangat dikenalnya itu, secara diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung ketika berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa bermimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.
Hari itu, setelah mereka semua makan pagi, ketua Cin-ling-pai serta isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang telah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Di dalam kesempatan ini, Hui Song menuturkan semua pengalamannya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoi-nya.
Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa suka dan kagum. Dia merasa tidak suka terhadap Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluarga itu.
Memang sebelumnya ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis. Pada waktu itu mereka sudah merasa tidak senang, tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.
Ketika Hui Song bercerita mengenai kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, ayahnya segera merasa tertarik sekali. Dia belum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dia merasa gembira sekali mendengar bahwa puteranya telah mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga tahun dari kakek sakti Dewa Kipas.
Akan tetapi, ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk untuk kelak melakukan pemberontakan, dan mendengar pula betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pendekar menentang gerakan para calon pemberontak, ketua Cin-ling-pai lantas mengerutkan alisnya.
"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Semenjak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biar urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."
"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri apa bila melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.
"Hemm, mana kita tahu siapa sebenarnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi oleh pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak perlu kita mencampuri urusan ini dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat mau pun mereka yang tak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas serta kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tenteram?"
"Benar, oleh karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."
"Akan tetapi, mana mungkin ada ketenteraman kalau terjadi pemberontakan?"
"Pemerintah sudah memiliki pasukan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Apa bila terjadi pemberontakan, pemerintah tentu akan menumpasnya dengan kekuatan tentaranya."
"Justru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik kalau para pendekar turun tangan menentang komplotan yang hendak memberontak itu?"
"Hemmm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau pemerintahnya yang ternyata tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, kita jangan mencampuri urusan pemerintah, itu bukan tugas kita sebagai pendekar!"
"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah yang tidak benar. Kalau kita selalu membela pemerirtah, berarti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.
"Ayah dan ibu, harap maafkan apa bila aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-manusia biasa yang tidak akan bebas dari pada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa ada warga negara, tak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang sudah dipilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang akan menanggung, sebaliknya jika pemerintahan dipegang oleh orang-orang bijaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur. Jika pemerintahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikan jalannya pemerintahan menyeleweng, maka hal itu menjadi tugas para warga negara pula untuk mengawasi, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa adanya pengawasan dan kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik pula untuk menimbulkan pemberontakan dan merebut kekuasaan, karena yang merebut kekuasaan itu pun belum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau pun buruk keadaan pemerintah, tetap saja kita, terutama para pendekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."
Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas mengenai kepatriotan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan tangan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja.
"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masih seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa peduli akan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"
"Tidak ayah, aku tidak setuju! Pemerintah dalam bahaya, terancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dulu, barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku juga pernah membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau kelak pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan jalan menentang para pembesar korup. Apa lagi kalau diingat bahwa pemberontakan sekali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang sudah mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."
"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya lantas menyuruh murid yang mengetuk pintu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.
"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.
Mendengar bahwa ayahnya datang berkunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu lalu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereka semua cepat menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam.
Keluarga ketua Cin-ling-pai itu kembali berkumpul di dalam ruangan, dengan ditemani oleh Tan Siang Wi dan kali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua.....