Asmara Berdarah Jilid 25

Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan serta seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biar pun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itu tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan yang nikmat.

"Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?" Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melempar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Tanpa diperintah lagi Hui Song segera mencari kayu bakar lantas membuat api unggun.

Kakek itu memandang terbelalak sesudah mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menelan ludah dan bertanya, "Anak baik, bagaimana mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hong-nya?"

Sui Cin tersenyum, lalu mengambil bangkai ayam dan kadal. "Inilah burung Hong dan ini naganya!"

"Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"

Sui Cin cemberut dan melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek, "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"

"Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.

"Biar kau kelaparan, siapa peduli?"

"Aih, anak baik, jangan marah dulu. Masaklah, masaklah apa saja, hendak kulihat apakah engkau benar-benar pandai masak."

"Baik, akan tetapi engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang saat ini kuperlukan."

"Boleh, boleh! Apa saja?"

Sui Cin menghitung-hitung dengan jarinya sambil mengerutkan kedua alisnya. "Pertama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari jahe, kulit jeruk serta bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, aku pun ingin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."

"Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema namun kakek itu sudah lenyap dari situ!

Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.

"Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"

"Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kau minta darinya?"

Sui Cin tertawa. "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa sejak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari ginkang-nya itu!"

Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.

"Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"

"Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... sejak dia muncul… aku seperti merasa tak enak hati..."

Pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu terhadap kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cemburu.

Pemuda ini tidak sadar bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walau pun orang lain itu adalah seorang kakek tua renta! Dan hatinya merasa lebih tidak enak lagi mendengar bahwa Sui Cin akan minta diajari ginkang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dirinya akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia khawatir bahwa kalau sampai terjadi demikian, gadis itu akan memandang rendah kepadanya.

Terdengar suara kakek itu. "Hah-hah, sudah dapat semua yang kau butuhkan!"

Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh sangat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.

Dengan girang Sui Cin menerima semua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah dara itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Ada pun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut goa, memejamkan mata dan sebentar saja telah terdengar suara mendengkur!

Dari pernapasannya, kedua orang muda yang juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat tidur pulas secara seketika hanyalah orang yang batinnya sudah amat kuat, yang begitu mengosongkan batin segera tenggelam dalam kepulasan. Kepandaian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu semedhi.

Sui Cin memang seorang dara yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya telah mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang dara ini gemar memasak sehingga selama dalam perantauan, dia selalu mempelajari ilmu ini dan terus memperdalamnya. Tiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di dalam sebuah restoran, dia tentu segera menghubungi kokinya dan dia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya.

Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya dia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, biar pun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Dia tahu betul bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, melenyapkan rasa pahit pada beberapa macam sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.

Dengan dibantu Hui Song yang memandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, maka tak lama kemudian terciumlah bau sedap ketika masakan-masakan itu matang. Dan sungguh luar biasa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara!

"Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!"

Dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tadinya tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang lantas menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.

"Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku ini dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak dari pada masakanku!"

Wu-yi Lo-jin segera duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari dalam jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mangkok yang masih baru dan mengkilap serta sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu.

Tidak lama kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tidak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar, maka melihat orang makan dengan sedemikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.

"Bagaimana, kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?" Sui Cin bertanya tak sabar lagi sesudah kedua macam masakan itu habis lenyap ke dalam perut kakek katai itu.

Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menunggu sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar jika masakanmu lebih enak dari pada masakanku. Mana... masih ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.

"Hi-hi-hik, kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis sehingga engkau lupa akan sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan engkau masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat lezat?"

Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia pun menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh. "He-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau hidangkan!" Kakek itu mengusap bibirnya dengan sapu tangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok.

Sui Cin tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"

"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"

"Nanti dulu, kek. Kalau engkau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

"He-heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kau minta setelah araknya habis kuminum nanti!"

"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"

"Apa...?!" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"

"Biar pun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."

"Hemm, lalu apa yang kau minta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aihh…, kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"

"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan ginkang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"

Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.

"Ahh, tidak bisa... tidak bisa...!"

"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sesudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa dengan janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apa lagi kalau janji-janji penting!"

"Wahh... berabe... sstttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."

"Aku tidak peduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu ginkang-mu."

"Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."

"Kami sendiri pun belum makan, kek."

"Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, lalu mulai mengeluarkan roti kering dari buntalannya.

Sui Cin pun terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikit pun kepada dua orang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.

Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu tampak amat kekenyangan, menutup gucinya dan menggantung kembali guci itu di punggungnya, mengusap bibir dengan sapu tangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.

"Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik sekali."

"Wu-yi Lo-jin, kau telah berjanji akan mengajarkan ginkang kepadaku." Sui Cin masih saja memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa yang dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.

Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan dan ke kiri. Hal ini sangat mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.

"Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kau takuti?"

"Ssttt... mari kita keluar dari goa dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan goa itu. Sui Cin yang takut kakek itu kabur segera mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin sudah duduk di atas batu depan goa, sedang menanti mereka.

"Nah, di sini kita bicara agar tidak ada orang yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang amat hebat, mau apa tua bangka seperti aku ini keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apa lagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi sesuatu yang sangat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Maka, bagaimana pun juga, terpaksa aku harus keluar dari tempat partapaanku hingga akhirnya di sini aku bertemu dengan kalian."

Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main. Keduanya saling pandang, kemudian kembali memandang kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang baru saja dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.

"Apakah yang sudah terjadi, kek? Siapa yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia?"

Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Kalau diingat memang memalukan sekali. Terjadinya sudah puluhan tahun yang lalu. Kami, sekelompok delapan jagoan yang dulu menjadi datuk-datuk dunia persilatan, sebelum kemunculan datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Pak-san-kui sebagai datuk utara dan Lam-sin sebagai datuk selatan, kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Pada waktu itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"

Kembali kakek katai itu kelihatan gelisah dan memandang ke kanan kiri. Kalau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa seram di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.

"Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.

"Raja Iblis itu seorang pangeran asli yang melarikan diri dari istana. Dia bersama isterinya lalu terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahkan secara mutlak, termasuk juga aku. Kepandaian mereka memang hebat bukan main, mirip iblis-iblis saja mereka itu. Kami delapan orang datuk lalu bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk kami kepada mereka. Dengan tanda itu, selama hidup kami tidak akan berani melawan mereka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murld kami secara otomatis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah jalan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mereka."

Bukan main dahsyatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Peristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua mereka masih kecil, akan tetapi kenapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya semua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang dalam dunia persilatan terdapat banyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.

"Jadi selama puluhan tahun ini locianpwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.

"Benar, aku tak pernah melihat dunia ramai lagi, bahkan jarang bertemu dengan manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."

"Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."

"Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, mereka pun turut bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah amat hebat itu. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu akan mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan hal ini berbahaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga mereka merasa benci kepada semua pendekar. Jadi tentu dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, aku pun lalu meninggalkan pertapaanku. Biarlah, jika perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhirku, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."

"Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"

"Sudah tiga bulan. Selama ini aku menyelidiki jejak mereka, lalu mendengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk golongan sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"

"Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Di mana mereka itu, kek?"

"Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada? Akan tetapi aku telah mendengar bahwa para datuk itu, juga termasuk Cap-sha-kui, pada akhir bulan depan akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku sebab kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerimamu sebagai murid walau pun aku akan mengajarkan ginkang kepadamu, Sui Cin. Apa bila aku menerimamu sebagai murid, berarti engkau akan terikat pula oleh sumpah kami kepada kedua iblis itu."

"Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.

"Benar, aku pun siap membantumu, kek. Sudah sepatutnya bila iblis-iblis itu dihadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apa lagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."

Wu-yi Lo-jin tersenyum geli. "Meski pun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-anak ayam mencoba untuk menantang serigala! Namun semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimana pun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian memang sudah siap membantu, marilah kita pergi untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."

Maka berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.

********************

Dusun di kaki Pegunungan Ta-pie-san itu dinamakan dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempah-rempah yang ditanam oleh para penghuni dusun sekitarnya dan di dusun itulah semua hasil rempah-rempah itu dikumpulkan. Banyak orang-orang kota yang datang ke situ dan membeli rempah-rempah itu, kemudian dimuatkan gerobak untuk dibawa ke kota.

Sebuah kedai makan baru saja dibuka orang. Tak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja dengan beberapa buah bangku saja. Akan tetapi sesudah melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini.

Pelayannya hanya seorang saja, yaitu seorang pemuda yang berwajah tampan, biar pun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Dia seorang gadis yang amat manis, meski pun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang hingga ke perut. Tidak sukar menduga siapa adanya mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi tukang masaknya.

"Jangan kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin. "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Biar masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."

Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin menyewa sebuah rumah pondok kecil untuk dijadikan warung nasi. Semuanya ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara waktu saja menjelang datangnya hari di mana para datuk sesat akan menghadap Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.

Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempah-rempah. Terpaksa mereka harus melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok setelah mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis.

Mereka membuka warung bukannya hendak mencari keuntungan, maka semakin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka karena semakin lelah mereka melayani. Bahkan saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, kakek nakal itu sengaja mencampurkan keringat pada masakannya, bahkan kadang kala dia memasak sembarangan saja. Akan tetapi anehnya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!

"Wah, kek, kalau begini terus aku tidak kuat!" Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Apa bila aku tahu hanya akan dijadikan bahan sikap dan ucapan jorok melayani orang-orang kasar itu, aku tak sudi. Pula, katanya engkau hendak melatih ginkang kepadaku. Kalau setiap hari harus bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan sehingga ingin mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"

"Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara saja dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan cara begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mendengar mengenai mereka, tunggulah saja."

Benarlah apa yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung masih sepi dan tiga orang itu baru membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu telah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya yang pada kakek ini nampak besar dan bulat.

Kepalanya besar bulat, botak licin di bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tersisa di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut pada kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Dua telinganya mirip seperti telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah.

Bajunya yang berwarna biru dan kedodoran itu tak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan.

Ketika memasuki warung, kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini mempunyai tugas ganda. Dapat dipergunakan untuk mengipas bila kegerahan, dan gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat atau mungkin saja benda itu dapat digunakan sebagai semacam senjata toya.

Begitu memasuki warung, hidung kakek itu kembang kempis mencium-cium seperti lagak seekor anjing mencari jejak. "He-he-heh, sedap! Perutku lapar, bisakah aku mendapatkan sarapan di warung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya.

Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang di antara para datuk yang hendak menghadap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.

"Bisa, bisa...!" kata Hui Song sambil cepat menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."

"Bubur ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!" Dan melihat beberapa buah perabot dapur di atas meja karena baru saja dicuci, di antaranya ada sepasang sumpit besar yang biasa dipergunakan untuk masak, kakek gendut itu mengambil sepasang sumpit besar itu. "Heh-heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan tentu lebih enak!"

Wu-yi Lo-jin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu kepada tamunya. Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di atas lantai. Mangkok berisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan, dan segera terdengarlah suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.

"Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Dan bawa saja sekaligus dua mangkok agar makanku tidak tertunda!" Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut.

Satu mangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Dengan bergegas Hui Song menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin, lalu mengantarnya kepada tamu aneh itu.

Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok ini pun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut telah berteriak-teriak minta tambah lagi. Maka sibuklah Hui Song berlari hilir mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Walau pun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu sangat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu.

Setelah menghabiskan belasan mangkok bubur dan kakek gendut itu masih minta tambah lagi, maka mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh ketiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.

"Masih ada buburnya? Bung pelayan, tambah lagi buburnya lima mangkok, sekalian juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"

Mendengar pesanan ini, tentu saja tiga orang itu menjadi terkejut dan semakin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau!

"Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika pemuda ini masuk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bisa bangkrut kita!"

Akan tetapi, Hui Song yang merasa semakin yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya dia lantas berseru,

"Kakek yang baik, pesananmu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"

Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itu pun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa, "Hah-hah-hah! Nona, apakah aku terlihat seperti orang yang biasa menyikat makanan tanpa membayar?"

"Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."

"Ya… ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?" Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makanan, berapa pun banyaknya.

Karena kehabisan air jernih, Hui Song lantas membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ketika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerrakkan dan mengembang kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing mencium sesuatu.

Dia menghentikan makannya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih ber-kelebat memasuki dapur.

"Prokk! Prakk!"

Dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu sekarang tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tong-tong air itu. Airnya tentu saja tumpah dan mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

"Apa artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.

Kakek gendut itu kini telah menghampiri mereka di dalam dapur dan berdiri tegak, sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang pada air yang menggenang di lantai dapur. Kemudian dia memandang kepada Wu-yi Lo-jin, dan tiba-tiba saja menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berkata,

"Bukankah guci itu guci emas dari Wu-yi-san? Coba kau kakek katai, pergunakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"

Wu-yi Lo-jin kaget buka main mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak terlalu memperhatikan betapa si gendut itu mengenal gucinya. Dia membuka tutup gucinya, akan tetapi nampak ragu-ragu.

"Wah, arakku masih setengah guci..."

Kakek gendut itu menyodorkan sebuah panci kosong dan tanpa banyak cakap lagi Wu-yi Lo-jin segera menuangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan sesudah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar saja, air itu berubah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar ada racunnya!

"Ihhh, air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya. Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.

"Lho, siapa yang minum arakku, hah?" Dia tak perlu terlalu sibuk menyelidiki sebab kakek gendut itu masih kelihatan mengusap bibirnya yang berlepotan arak dengan ujung lengan bajunya.

"Heh-heh, arak baik... arak baik...!"

"Kurang ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?" Wu-yi Lo-jin marah sekali dan mengambil sikap menyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan.

Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata, "Air beracun itu tentu ada yang membuat!"

"Benar!" kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang yang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"

Dua orang muda itu segera berlari keluar dan dua orang kakek itu pun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka sampai di luar warung, mereka lantas mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu.

Dan tampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada pula di antara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.

Hui Song cepat-cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras, "Saudara-saudara sekalian, dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Maka sebaiknya jangan minum dahulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apa pun jangan diminum dulu!"

Suaranya yang amat lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang telah mengangkat cangkir hendak minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, jumlah yang telah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya!

Gegerlah dusun itu. Tanpa dapat dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda mala petaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan ke air itu amat jahat sehingga biar pun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, namun percuma saja.

"Huh, tanda-tanda ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek gendut itu setelah memeriksa seorang korban.

"Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.

"Seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gendut.

"Kalau begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."

"Heh-heh-heh, tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu bertindak ceroboh!" kata si kakek gendut.

Kini Wu-yi Lo-jin memandang pada kakek gendut dengan alisnya yang panjang berkerut, wajahnya membayangkan kemarahan. "Heh, gendut! Engkau licik! Agaknya engkau telah mengenalku, telah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana pula kau bisa mengenalku, dan juga apa kehendakmu datang ke tempat ini?"

"Ha-ha-ha-ha, setan pendek, apa benar engkau tak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut? Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), apakah engkau sudah lupa kepada kipasku?”

Wu-yi Lo-jin terbelalak, lantas menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan dia pun terkekeh.

"Heh-heh-heh-heh, kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan di antara Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau menjadi seperti kerbau bengkak sedang hamil! Ha-ha--ha-ha!"

Si Dewa kipas juga tertawa bergelak. "Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"

"Mari kita bicara di dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua orang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa."

Mereka lalu menasehatkan kepada belasan orang yang masih tinggal di sana untuk pergi mengungsi pula, sebab mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan kejam. Agaknya tempat itu memang telah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka mereka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar