Kedua orang kakek itu menerima tiga batang hio sambil tersenyum. Kakek bercambang bauk lalu bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu tiba-tiba saja meluncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel!
Barulah para murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. Akan tetapi pada saat itu, asap dari tiga batang hio di tangan kakek jembel juga sudah meluncur ke depan, menyambut tiga jalur asap pertama.
Terjadilah pemandangan yang sangat menarik, aneh serta menegangkan. Dari satu pihak terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit, saling dorong, laksana enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa! Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang hio. Tetapi anehnya, bara api pada hio-hio itu nyalanya amat besar seperti ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itu pun habis terbakar dan padam. Ular-ular asap itu pun membuyar lantas pertandingan berhenti.
"Ha-ha-ha-ha! Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi besar tertawa gembira.
"Dan engkau orang gunung liar semakin binal saja!" kakek jembel itu pun tertawa.
"Kau masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi besar.
"Tentu saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek jembel.
"Huh! Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya? Tidak ada isi, hampa belaka!" kata kakek tinggi besar.
"Itu pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."
"Ha-ha-ha, jembel mabok! Ucapanmu itu pun merupakan suatu pendapat, bukan?"
Wajah kakek jembel itu berubah merah dan sejenak dia seperti kebingungan. "Sudahlah!" Dia mengetukkan tongkat bambunya ke atas lantai. "Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin mengadu kepandaian, hayoh! Di mana pun dan kapan pun akan kulayani. Sudah lama tongkatku tak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"
Akan tetapi kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa saja. "Engkau tahu bahwa ucapanmu itu hanya gertak sambal! Aku pun tahu bahwa aku takkan mudah mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah pengecut dari orang she Cia ini!"
"Baik, bagaimana caranya?"
"Kita didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"
"Baik!"
Kedua orang kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba menahan. "Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"
"Ha-ha-ha!" Terdengar suara kakek jembel. "Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"
"Dan aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!
Cia Han Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.
"Suhu, siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.
Han Tiong menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Sungguh aku seorang yang harus malu melihat kepandaian sendiri yang tiada artinya dibandingkan mereka. Melihat sinkang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh lebih lihai dari pada Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Akan tetapi, baik kedua Lo-mo dan Lo-bo mau pun kedua kakek tadi, sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, jauh lebih pandai dari pada orang yang terkenal!"
"Apakah maksud kedatangan mereka itu, suhu?"
"Entahlah. Entah kedatangan mereka itu ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan tetapi bila orang-orang sakti seperti mereka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."
Setelah mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini telah membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.
"Kalian jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang telah kalian dapat di sini. Akan teetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang. Pek-liong-pang telah bubar sehingga segala perbuatan kalian merupakan urusan pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Jika ada yang bertemu dengan Cia Sun, beri tahukan segalanya dan suruhlah dia pulang. Selanjutnya, aku tak mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."
Tentu saja para murid menjadi sangat berduka. Akan tetapi mereka telah mengenal watak suhu mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi senyap setelah ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Untuk selanjutnya Cia Han Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa…..!
********************
Sui Cin masih menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ia merasa cocok dan senang sekali melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri.
Pada saat melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga sesudah gagal nonton pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula dia pun merasa cocok. Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, dia telah melihat bahwa keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin berani mengarah cabul.
Maka, pada malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau sendirian, bebas gembira sampai akhirnya dia bertemu dengan Hui Song.
Dan seperti yang sudah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel lalu melakukan perjalanan bersama Hui Song menuju ke kota raja. Dia mengatakan hendak mencari enci-nya!
Dan Hui Song juga pergi ke kota raja dengan alasan hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.
Di sepanjang perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba, Sui Cin tak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Dan pada saat Hui Song memprotes, Sui Cin menjawab.
"Song-twako, engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, aku pun lebih leluasa tidur di kolong jembatan dari pada di kamar hotel. Kalau engkau mau tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."
Hui Song terpaksa menurut meski pun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan jembel asli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka membagi-bagikan uang kepada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri jarang tidur di tempat kotor itu. Jika sekarang dia memilih tidur di emper adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!
Pada suatu malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu tidur meringkuk kedinginan, Hui Song lalu membesarkan api unggun. Akan tetapi agaknya api unggun itu masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam tidurnya Sui Cin nampak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel itu jatuh sakit, maka Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui Cin yang sudah tidur nyenyak.
Akan tetapi pemuda jembel itu masih nampak meringkuk kedinginan sedangkan Hui Song sendiri juga merasa dingin sekali setelah menanggalkan jubahnya. Maka pemuda ini lalu merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin dan merapatkan diri. Benar saja, dia merasa hangat dan nyaman. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta kemudian siku lengannya menyodok ke belakang.
"Hekkk...!"
Hui Song merasa dadanya sesak karena tersodok siku lantas dia memandang terbelalak kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang sambil memandang kepadanya dengan marah sekali.
"Apa... apa yang kau lakukan tadi?" bentaknya.
Hui Song bangkit duduk termangu-mangu, merasa keheranan. "Apa...? Mengapa...? Aku tidak melakukan apa-apa...," jawabnya bingung.
"Kenapa engkau... memelukku tadi?"
Hui Song mengangkat alis dan pundaknya. "Supaya kita berdua tidak kedinginan. Cin-te. Engkau sungguh aneh, apa salahnya kalau aku memelukmu?"
Barulah Sui Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Dia pun duduk dekat api unggun. "Maaf, Song-twako. Engkau tadi mengagetkan aku yang sedang tidur dan... dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu ketika tadi engkau merangkul aku."
"Pengalaman apakah, Cin-te? Kurasa tidak ada salahnya kalau dua orang laki-laki yang sudah bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya masih terasa memar.
"Ada seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri membayangkan perbuatannya itu!"
"Aihh…, engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkulmu kalau memang dia sahabatmu?"
"Dia bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... hendak mencium dan mengajakku melakukan... hal yang tidak senonoh..." Sui Cin tidak membohong ketika menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda jembel, dahulu pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu kepadanya sehingga dia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur dan pingsan baru meninggalkannya.
"Ahh...!" Sekarang Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui Cin melirik dengan hati mendongkol.
"Kenapa kau mentertawakan aku?" bentaknya.
"Aku tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merasa geli sendiri. Aku sudah pernah mendengar tentang pria yang suka berjinah dengan pria lain, juga mengenai wanita yang lebih suka bercinta dengan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan benar! Apakah kau hendak menyamakan aku dengan pria itu?"
"Bukan begitu, akan tetapi pengalaman itu membuat aku merasa jijik setiap kali ada pria memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."
"Maaf... maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."
"Sudahlah, asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan itu."
"Aku tidak berani...!" Hui Song tertawa.
"Awas kalau hal itu kau ulangi lagi, aku akan bilang kepada enci-ku bahwa engkau adalah soorang pemuda kurang ajar yang sukanya kepada sesama pria."
"Wah, gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Ehh, Cin-te, siapakah nama enci-mu itu?"
Sui Cin tidak segera menjawab, membesarkan nyala api unggun. "Enci akan marah kalau aku lancang memperkenalkan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah bertemu dengannya."
Pada keesokan harinya mereka berdua sudah memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika Hui Song bertanya di mana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab, "Soal enci-ku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."
Terpaksa Hui Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat keterangan di mana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, mereka segera menuju ke sana.
Gedung itu besar dan megah, sungguh tidak pantas jika menjadi pusat perkumpulan para pengemis. Di pintu gerbang terlihat pengemis-pengemis muda bertampang seram sedang melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.
Sui Cin sudah tak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya. "Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."
Malam itu sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song bersama Sui Cin berangkat menuju ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah dan besar, dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk pekarangan hanya pintu gerbang yang terjaga ketat siang malam itu. Akan tetapi tak sukar bagi Hui Song dan Sui Cin untuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok bagian belakang.
Agaknya Hwa-i Kai-pang demikian percaya akan kebesaran nama serta pengaruh mereka sehingga menganggap mustahil ada orang yang bosan hidup berani memasuki halaman gedung mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga. Bagaikan dua ekor kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap lantas naik ke atas genteng bangunan dan bersembunyi di balik wuwungan. Tidak lama kemudian mereka sudah membuka genteng dan mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung itu.
Ruangan itu luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudahlah diduga bahwa ruangan itu tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek itu menyeramkan.
Keempatnya mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis akan tetapi kainnya masih baru. Yang sangat menyeramkan adalah wajah serta sikap mereka.
Orang pertama duduk hampir rebah karena tubuhnya gendut sekali dengan perut seperti gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar.
Orang kedua di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang berambut panjang riap-riapan, kepalanya memakai kopiah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau berbentuk ular. Dia tampak kurus sekali ketika bersanding kakek pertama yang kegerahan lantas membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlampau gendut sehingga kancing bajunya tak dapat ditutup.
Orang ketiga lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutnya sangat sedikit, bahkan hampir gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam.
Orang keempat berwajah buruk, dengan mulut yang bentuknya monyong, punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka berempat sedang bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang utuh berada di antara mereka.
Hui Song dan Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu, agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!
"Kurang ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang kita!" si perut gendut berkata sambil mengembangkan lengan kanan.
"Kalau mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi, akan kupatahkan kaki tangan mereka lantas kukeluarkan isi perut mereka!" kata si mata satu dengan suara penuh geram.
Kakek tinggi kurus mengisap huncwe-nya sehingga mengepulkan asap, dan tercium bau harum yang memuakkan. "Hemm, sebaiknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."
"Kalian tak perlu khawatir," sekarang kakek buruk rupa yang memegang tongkat berkata. "Kewajiban kita hanya menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerja sama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda. Peristiwa di kota Cin-an itu telah membuktikan adanya kerja sama yang baik antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan kita. Rakyat juga melihatnya dan kita tentu akan semakin ditaati sebagai pembantu pemerintah."
"Akan tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan kesulitan saja," kata si gendut.
Mendengar percakapan itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin sekali dia turun dan mengamuk menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song telah dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik, "Hati-hati, ada orang datang!"
Tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song sudah mengetahui kedaaan mereka terlebih dahulu sehingga dia tak jadi turun tangan.
Bagaikan dua ekor burung, bayangan dua orang itu telah melayang turun dan memasuki ruangan itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu amat terkejut dan berlompatan bardiri, siap menggempur musuh. Sepasang orang muda yang mengintai di atas melihat betapa gerakan mereka amat hebat, membayangkan kepandaian tinggi.
Akan tetapi ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul laksana iblis itu, wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.
"Aihhh…, ternyata Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya memberi hormat.
Kakek dan nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang suami isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung rekan dan sudah saling mengenal.
Melihat betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk. "Ji-wi, silakan duduk."
"Nanti dulu, Kai-pang-cu, kami masih menunggu munculnya tamu lain!" Kemudian Kui-kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau masih juga belum mau turun?"
Sui Cin terkejut sekali, mengira bahwa dialah yang disuruh turun karena nenek bermuka pucat itu memandang ke arah tempat dia bersembunyi. Tentu saja dia tidak takut sedikit pun dan hendak turun. Akan tetapi kembali Hui Song mencegahnya dengan memegang lengannya.
Dan pada saat itu pula terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, salah satu di antara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!
"Hi-hik, matamu masih tajam sekali Lo-bo!" kata Kui-bwe Coa-li dengan nada mengejek.
"Coa-li, tidak perlu ketajaman mata untuk mengetahui kehadiranmu, cukup mencium bau yang amis seperti ular itu pun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.
"Huh! Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!" Nenek iblis itu balas memaki. Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka adalah datuk-datuk sesat yang kasar.
Akan tetapi Hwa-i Lo-eng gembira sekali kedatangan tamu-tamu lihai ini. Dengan hormat dia lalu mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap bersih, maka mereka lantas duduk di lantai begitu saja. Ketua pengemis itu membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik menyuguhkan arak dan daging.
"Ha-ha-ha! Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek pinggul seorang di antara mereka.
Hui Song dan Sui Cin memandang dengan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja! Akan tetapi sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati sekali karena mereka kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata sudah bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh pemerintah! Betapa pun aneh kedengarannya, namun agaknya memang demikianlah kenyataannya karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya kerja sama antara mereka dengan pemerintah?
Sambil makan minum Kui-kok Lo-mo lalu menuturkan maksud kedatangannya. "Sebagai sesama rekan, kini kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh Jenderal Ciang."
"Ahh...! Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya, apa lagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.
Hui Song dan Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat ini bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat malah mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan? Sungguh sulit untuk dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.
"Kami mengerti akan beratnya tugas kami ini, karena itulah sekarang kami datang ke sini mengharapkan bantuan kawan-kawan yang tentu lebih tahu tentang kebiasaan-kebiasaan panglima itu sehingga kami bisa turun tangan pada saat yang tepat," kata Kui-kok Lo-bo.
"Sebaiknya kalau kita bekerja sama!" Tiba-tiba Kui-bwe Coa-li berseru. "Kalian membantu aku membunuh Menteri Kebudayaan Liang, barulah kemudian aku akan membantu kalian menyingkirkan Ciang-goanswe. Dengan majunya kita bertiga, mustahil kita takkan mampu membunuh jenderal itu!"
Suami isteri itu saling pandang, kemudian mengangguk setuju. Membunuh Menteri Liang merupakan pekerjaan amat mudah kalau dibandingkan dengan tugas mereka membunuh Jenderal Ciang. Dan bantuan Kiu-bwe Coa-li tentu saja amat berharga.
"Bagus, kami setuju dengan kerja sama itu," kata Kui-kok Lo-mo.
"Nah, kini kita minta bantuan sahabat-sahabat dari Hwa-i Kai-pang bagaimana sebaiknya untuk dapat menyerang Menteri Liang!" kata Kui-bwe Coa-li.
"Mencari kesempatan baik untuk menyerang Menteri Liang memang jauh lebih mudah dari pada Jenderal Ciang!" kata Hwa-i Lo-eng yang tentu saja lebih banyak mengenal keadaan para pembesar di kota raja. Apa lagi dia sudah banyak menerima tugas mengamati dan memata-matai para pembesar yang menjadi lawan Liu-thaikam termasuk Jenderal Ciang dan Menteri Liang.
"Ceritakan yang jelas, pangcu," kata Kiu-bwe Coa-li dengan girang karena merasa betapa tugasnya akan menjadi ringan setelah mendapat bantuan rekan-rekannya.
"Begini, Menteri Liang mempunyai suatu kegemaran, yaitu berlayar dan memancing ikan di Telaga Emas di sebelah selatan kota raja. Sebulan dua tiga kali dia pergi ke telaga itu dan itulah saat yang terbaik untuk turun tangan. Pertama, dia berada di luar kota raja dan kedua, biasanya dia tidak disertai banyak pengawal. Nah, cu-wi tinggal bersiap-siap saja, kalau dia pergi ke telaga itu, cu-wi turun tangan. Kami sendiri sudah banyak dikenal, tentu saja tidak mungkin dapat membantu turun tangan sendiri. Akan tetapi di sini ada saudara Bhe Hok ini yang merupakan tokoh baru dan belum banyak dikenal di daerah telaga itu, maka dialah yang akan membantu cu-wi untuk mengamati dan memata-matai lebih dulu sehingga akan tahu keadaan pembesar itu begitu sampai di telaga." Ketua perkumpulan pengemis itu menunjuk kepada kakek berperut gendut yang turut hadir di sana dan kakek gendut ini mengangguk-angguk sambil terkekeh girang menerima tugas penting ini.
Ketua Hwa-i Kai-pang itu berbicara lirih ketika mengatur siasatnya, sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapan itu didengarkan oleh Hui Song dan Sui Cin…..!
********************
Pagi itu sangat indahnya di tepi telaga. Masih sunyi karena hari masih amat pagi, belum ada orang datang ke tempat itu. Sui Cin sejak tadi sudah berada di tepi telaga seorang diri dan dia terpesona oleh keindahan pemandangan pagi hari itu.
Pagi yang cerah sekali. Sinar matahari masih lemah, kuning emas membentuk garis-garis mengkilap pada permukaan air telaga yang tenang dan halus bagaikan sutera kehijauan berkeriput. Kicau burung-burung di antara daun-daun pepohonan menambah meriahnya suasana.
Langit bersih, hanya ada awan putih yang berkelompok-kelompok membentuk beraneka macam makhluk khayali. Indah sekali awan-awan itu, tidak pernah diam mati melainkan setiap detik berubah secara halus, seperti juga permukaan air telaga yang selalu bergerak menimbulkan perubahan-perubahan. Seperti mengalirnya air kehidupan yang setiap saat selalu berubah.
Suasana hening sekali. Keheningan agung yang menyelimuti seluruh permukaan telaga dan sekitarnya, keheningan total di mana Sui Cin juga termasuk. Keheningan yang terasa benar pada saat itu oleh Sui Cin. Keheningan yang menenteramkan, sama sekali bukan rasa kesepian yang menggelisahkan.
Semenjak tadi dara itu berdiri tanpa bergerak bagai patung, memiliki keindahan tersendiri walau pun dia juga menjadi bagian dari keindahan total itu. Seorang dara yang menjelang dewasa, cantik jelita dan sangat manis dalam kesederhanaannya. Pakaiannya sederhana, bersahaja dan lebih diutamakan sebagai pelindung tubuh dari pada sebagai hiasan seperti kebanyakan wanita.
Rambutnya yang hitam panjang itu terurai ke belakang, hanya diikat dengan sutera hijau dan agak awut-awutan karena tak diminyaki dan kurang sisiran, juga karena dipermainkan angin pagi sejak tadi. Anak rambut terjuntai di dahi dan pelipis menjadi penambah manis. Wajah yang berkulit halus dan berbentuk ayu itu tak dilapisi bedak. Akan tetapi kulit muka itu sudah halus putih dan kedua pipinya segar kemerahan.
Tiba-tiba patung cantik jelita itu bergerak, menggerakkan kepalanya hingga dua gumpalan rambut itu bergerak pula, yang satu pindah dari punggung ke dada. Terdengar tawa kecil dan sekilas terlihat deretan gigi rapi berkilauan tertimpa cahaya matahari, mata yang jelita itu agak menyipit ketika ia tertawa kecil.
Yang memancing dia tertawa kecil sehingga tersadar dari lamunannya adalah tingkah dua ekor burung gereja yang sedang berkasih-kasihan. Yang jantan selalu mengejar dan yang betina lari, jinak-jinak merpati seperti menggoda tapi akhirnya menyerah dan ketika yang jantan hinggap di atas punggungnya, yang betina terpeleset sehingga keduanya lalu jatuh tunggang-langgang ke bawah. Akan tetapi, sebagai burung yang memiliki sayap, dengan indahnya mereka bisa menghindarkan diri dari kejatuhan itu dan di lain saat mereka telah berkejaran lagi sambil berteriak-teriak bersendau-gurau dalam bahasa mereka.
Sui Cin sama sekali tidak tahu bahwa selagi dia terpesona oleh keindahan pemandangan di telaga itu, ada sepasang mata orang lain juga terpesona, bukan oleh keindahan telaga melainkan keindahan dirinya. Seorang lelaki yang sejak tadi menyembunyikan diri di balik semak-semak sambil mengamati setiap gerak-geriknya.
Setelah mendapat banyak keterangan penting ketika mengintai di sarang Hwa-i Kai-pang, Hui Song dan Sui Cin lalu mengadakan perundingan. Mereka bersepakat untuk mencegah usaha jahat kaum sesat yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang.
Dari percakapan rahasia antara para datuk sesat itu mereka juga tahu bahwa para kaum sesat itu diperalat oleh Liu-thai-kam. Dua orang pembesar yang hendak dibunuh adalah musuh-musuh Liu-thaikam sebab mereka merupakan pembesar-pembesar jujur yang bisa membahayakan kedudukannya.
Sekarang Hui Song dan Sui Cin juga tahu mengapa kaum sesat melindungi kaisar. Bukan karena kesetiaan Liu-thaikam terhadap kaisar, namun karena pembesar korup ini merasa aman tenteram selama kaisar muda yang mempercayanya itu berkuasa. Melindungi serta mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mempertahankan kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan antara para datuk sesat malam itu.
Hui Song kemudian membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya sebagai pemuda jembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Telaga Emas, ada pun Hui Song sendiri akan menghubungi Menteri Liang dan Jenderal Ciang. Mereka lalu berpisah.
Kini, setelah berpisah dari Hui Song, Sui Cin yang telah merasa bosan menyamar sebagai pemuda jembel lantas berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana seperti biasa dan pagi itu dia sudah menikmati keindahan alam di pinggir telaga. Kini dia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas. Memang setiap pagi sinar matahari merubah air telaga menjadi keemasan.
Dia tidak perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini dia merupakan seorang gadis perantau yang tengah berkelana dan melancong di telaga ini. Cukup wajar sehingga dia dapat pesiar sambil memasang mata. Dia pun tidak merasa takut andai kata Kiu-bwe Coa-li muncul dan nenek iblis ini menyerangnya,!
Akan tetapi ketika pagi itu dia datang ke tepi telaga, keadaan di situ sangat sepi dan yang muncul bukan Kiu-bwe Coa-li atau tokoh sesat lainnya, namun seorang pemuda tampan pesolek yang sudah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Dia sama sekali tidak sadar bahwa sejak tadi pemuda ini telah mengamati semua gerak-geriknya dari tempat tersembunyi.
Tiba-tiba saja Sim Thian Bu muncul sambil berseru gembira dengan ramah, "Nona Ceng! Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Tempo hari aku memang mengajakmu pesiar ke telaga ini akan tetapi di tengah perjalanan diam-diam engkau pergi. Tak kusangka kita justru saling jumpa di Telaga Emas ini. Bukankah ini jodoh namanya?"
Tentu saja Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan ia pun agak tertegun mengingat bahwa dia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit. Akan tetapi dia pun teringat akan sikap kurang ajar pemuda ini, bahkan sekarang pun pemuda ini berkali-kali berbicara tentang jodoh!
"Saudara Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian," katanya singkat.
Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu hanya tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat itu amat sepi pada saat itu permukaan telaga pun masih sunyi sekali, hanya ada sebuah perahu kecil yang terlihat jauh di tengah telaga dengan seorang saja di dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tak mempedulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.
"Nona Ceng, mengapa sikapmu begitu terhadapku? Bukankah kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat baik? Pertemuan yang tak disangka-sangka ini merupakan tanda bahwa kita memang berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang berdua, nona. Jangan kau tinggalkan aku lagi. Semenjak pertemuan pertama kita, aku… aku sudah tergila-gila padamu, nona..."
"Tutup mulutmu!" Sui Cin membentak marah.
"Ahhh...! Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada seorang gadis sepertimu? Engkaulah yang salah, siapa suruh engkau begini cantik manis menggairahkan?"
Wajah Sui Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hidupnya ada laki-laki berbicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya sulit bicara. Namun sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar pula. Bukankah Sim Thian Bu mengeluarkan isi hatinya secara jujur? Pendapat ini menyabarkan hatinya sehingga dia pun tersenyum.
"Saudara Sim, cepat pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin kuanggap sebagai musuh."
Thian Bu tersenyum lebar kemudian matanya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu memikat, dan akhirnya dia bertepuk tangan tertawa. "Ha-ha-ha! Aku mengerti sekarang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengetahui kepandaianku, bukan? Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan seorang pemuda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, di sini merupakan tempat yang baik sekali untuk menguji ilmu kepandaian, nona Ceng. Silakan!" Pemuda itu lantas memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat.
Sui Cin tersenyum mengejek. Bagaimana pun juga, terasa olehnya ketidak wajaran dalam sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, di dalam kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.
"Aku tak ingin mengujimu melainkan hendak menghajarmu!" hardiknya dan Sui Cin sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
"Heiiiitttttt... perlahan dulu...! Wah, jangan galak-galak, nona manis!" Thian Bu mengelak, bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin.
Tentu saja Sui Cin tidak sudi ditangkap, maka dia segera menarik kembali tangannya lalu menerjang dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.
"Aihhh, engkau bersungguh-sungguh, manis?" Thian Bu mengejek dan dia pun mengelak, menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.
Sim Thian Bu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali, maka dia tak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya. Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam dia terkejut karena ternyata Thian Bu sangat lihai!
Melihat ketangguhan lawan, Sui Cin cepat mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini sangat cepat dan ganas, maka jarang ada orang yang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk dan gugup.
"Ha-ha-ha, manis. Bagaimana pun engkau harus menyerahkan diri kepadaku!" Pemuda itu menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar sekali.
Kini barulah gadis itu sadar dengan orang macam apa dia berhadapan. Seorang pemuda cabul yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Dia sudah mendengar mengenai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) dan kini dia menduga bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul!
"Bangsat jai-hwa-cat!" Sui Cin memaki.
"Heh-heh, baru sekarang engkau tahu? Ha-ha-ha!" Thian Bu tidak marah dimaki begitu, malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya.
Kini Sui Cin benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar yang berkunjung ke pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata betul seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti dia juga merupakan kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.
"Jahanam busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!" bentaknya dan dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dia menerjang. Kemarahan membuat tenaga dara ini menjadi berlipat ganda.
Sim Thian Bu memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah terhadap orang lain. Maka dia kurang waspada sehingga terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis dengan seenaknya saja.
"Dessss...!" Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras!
Akan tetapi, tepat pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, ketika itu pula ada angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya sudah siap menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.
"Plakk!" Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan menotok punggung Sui Cin.
"Tukkk!" Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan ia pun roboh terkulai.
Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek yang duduk sendirian di perahu kecil itu bukanlah nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia pun langsung menghentikan permainan musiknya.....