Diam-diam dia sudah merasa heran sekali kenapa lawannya tetap memeluk peti hitam itu, padahal dalam pertemuan tenaga tadi saja siluman itu tentu sudah maklum bahwa tenaga siluman itu kalah kuat. Kalau bukan peti yang isinya amat berharga tentu siluman itu akan melepaskan peti itu supaya bisa menyerang dengan leluasa dan mempergunakan seluruh kepandaiannya.
"Wuttttt...! Plakk...!"
Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu dielakkan oleh Thian Sin, akan tetapi dibiarkan mengenai pundaknya dan dia telah menyambutnya dengan pengerahan tenaga Thi-khi I-beng!
"Aihhh...!" Sian-su memekik terkejut bukan main ketika cengkeramannya yang mengenai pundak itu mengakibatkan tenaganya langsung membanjir keluar, tersedot oleh kekuatan yang amat dahsyat dan pada saat itu, petinya telah terampas oleh Thian Sin.
"Thi-khi I-beng...!" serunya dan tiba-tiba tenaga cengkeramannya itu menghilang dan pada saat itu, dua jari tangan kirinya mencuat ke depan, ke arah kedua mata Thian Sin.
Memang hebat juga ketua Jit-sian-kauw ini. Agaknya dia sudah mengenal Thi-khi I-beng dengan baik dan tahu bagaimana caranya untuk menghadapinya. Dia telah menghentikan aliran tenaga sinkang-nya sehingga tidak sampai tersedot lagi dan jari tangan kirinya yang menusuk ke arah sepasang mata lawan itu tentu saja tidak dapat dihadapi dengan Thi-khi I-beng, karena sinkang yang bagaimana hebat pun tak mungkin dapat disalurkan melalui biji mata!
Thian Sin maklum akan berbahayanya serangan lawan itu, maka dia pun sudah meloncat ke belakang sambil membawa peti hitam. Tetapi gerakannya itu memberikan kesempatan kepada lawannya untuk meloncat ke kiri dan tiba-tiba saja siluman itu lenyap di belakang sebuah tiang besar.
"Siluman keparat, hendak lari ke mana engkau?" Thian Sin membentak sambil mengejar, namun di balik tiang ini tidak ada apa-apanya dan siluman itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Thian Sin menjadi penasaran bukan main. Ia merasa yakin sekali bahwa siluman itu tidak meninggalkan tempat itu melalui lain jalan. Tadi hanya terlihat meloncat ke belakang tiang ini dan lenyap. Maka dia pun segera menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah tiang sambil mengerahkan tenaga.
"Brakkkkk...!"
Tiang yang amat tebal itu, yang tebalnya dua kali ukuran manusia, pecah berantakan dan kiranya di sebelah dalam tiang itu berlubang dan tiang itu adalah tiang palsu, bukan balok kayu melainkan papan yang dibentuk seperti tiang dan di dalamnya berlubang. Sesudah pecah berantakan, nampak lubang itu turun ke bawah.
Thian Sin maklum bahwa itulah jalan rahasia yang baru dilalui oleh lawannya, maka tanpa ragu-ragu lagi sambil masih mengempit peti hitam itu, dia pun meloncat ke dalam lubang yang ternyata tidak seberapa dalam itu. Dia sampai di sebuah ruangan bawah dan terus meloncat ke arah pintu yang membawanya ke sebuah ruangan lain yang penuh dengan cermin.
Cemin-cermin kecil yang bersambung-sambung itu mencerminkan dirinya menjadi banyak sekali. Setiap kali dia bergerak, Thian Sin melihat semua bayangannya itu turut bergerak sehingga dia merasa seakan sedang dikepung oleh banyak sekali orang, ada tiga puluh banyaknya dan semua merupakan bayangannya sendiri. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat, tentu saja gerakan-gerakan itu membuatnya terkejut dan waspada.
Setelah yakin bahwa semua bayangan itu adalah bayangannya sendiri, barulah dia berani melanjutkan langkahnya, meneliti serta memeriksa cermin-cermin yang berupa pintu-pintu tanpa kunci itu. Tentu saja gerakannya ketika memeriksa cermin-cermin itu diikuti terus oleh semua bayangannya.
Tiba-tiba Thian Sin meloncat ke kiri dan tujuh buah pisau terbang menyambar lewat, tapi salah satu sempat menyerempet bahunya, merobek baju dan melukai kulitnya. Dia cepat menengok dan mencari-cari dengan matanya, akan tetapi yang ikut bergerak-gerak hanya bayangan-bayangannya saja. Tak ada bayangan orang lain. Dia segera berhenti bergerak dan matanya saja yang melirik ke sana ke mari, ke dalam cermin-cermin itu. Namun yang nampak hanya dirinya sendiri.
Tadi dia merasa sukar untuk menangkap gerakan orang yang menyambitkan hui-to (pisau terbang) karena pandang matanya terpengaruh oleh semua gerakan bayangannya sendiri sehingga kalau ada bayangan orang lain, tentu gerakan orang itu dapat menyelinap dan tersembunyi oleh gerakan semua bayangannya sendiri itu. Thian Sin menjadi penasaran dan marah. Peti hitam itu ditaruhnya ke depan, menghantam ke arah pintu bercermin di depannya sambil mengerahkan tenaga.
"Brakkkk...!"
Cermin itu hancur berkeping-keping dan di balik cermin terdapat dinding bata yang kuat. Akan tetapi pada saat dia memukul tadi, dia sempat melihat sinar berkelebatan dari arah kanannya dan cepat dia menggulingkan tubuhnya. Kembali tujuh batang hui-to lewat dan karena dia tahu bahwa yang menyerangnya secara menggelap itu dari kanan datangnya, dia pun lalu menubruk ke kanan, ke arah cermin.
"Brakkk...!" Cermin-cermin ini pun hancur akan tetapi di belakangnya tidak terdapat siapa pun kecuali dinding batu.
Kini Thian Sin mengerti. Apa bila dia diam saja sehingga semua bayangannya turut diam, maka lawan tidak bergerak. Akan tetapi jika tubuhnya bergerak dan semua bayangannya tentu saja juga bergerak, kesempatan ini dipergunakan oleh lawannya untuk turun tangan karena gerakannya tentu akan kabur dengan gerakan semua bayangan itu. Maka kini dia pura-pura bergerak lagi namun diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya.
Benar saja, sekarang dari arah kirinya dia melihat bayangan lain, bukan bayangan dirinya sendiri. Begitu melihat bayangan yang lain dari pada bayangannya sendiri, Thian Sin lalu memekik dan tubuhnya mencelat ke kiri, kedua kakinya menendang dengan dahsyatnya ke arah cermin di mana tadi dia melihat gerakan yang bukan bayangannya.
"Bresssss...!" Terdengar suara orang mengaduh dan daun pintu di balik cermin itu pecah berantakan.
Thian Sin melihat berkelebatnya orang yang meloncat ke depan dan melarikan diri. Cepat dia menyambar peti hitam dan melakukan pengejaran, akan tetapi Sian-su, orang itu yang biar pun sudah terkena tendangannya akan tetapi ternyata masih terlalu kuat untuk roboh itu, telah lenyap lagi melalui jalan rahasia yang tidak diketahuinya. Karena merasa tidak mampu mengejar lawan yang menggunakan jalan rahasia itu, dan juga mengkhawatirkan keadaan orang-orang Bu-tong-pai yang menghadapi keroyokan banyak orang, dengan hati kecewa Thian Sin lalu berjalan kembali ke tempat semula.
"Thian Sin...!"
Ternyata Kim Hong yang memanggilnya dan gadis ini pun membawa sebuah peti hitam yang serupa benar dengan peti yang dibawanya.
"Apa yang kau bawa itu?" Thian Sin bertanya.
"Kurampas dari Siok Cin Cu, tosu keparat pembantu ketua siluman itu. Dia telah kubunuh dan peti ini berisi harta yang agaknya hendak dilarikannya. Dan peti di tanganmu itu?"
"Kurampas dari Sian-su, sayang dia dapat melarikan diri melalui jalan rahasia yang tidak kukenal. Entah apa isinya..." Thian Sin menurunkan peti itu kemudian membuka tutupnya dan mereka memandang silau.
"Hemmm, isinya sama dengan isi peti ini," kata Kim Hong. "Agaknya siluman itu bersama pembantunya telah bersiap-siap hendak melarikan diri sambil membawa harta benda hasil kejahatan mereka, masing-masing membawa satu peti penuh perhiasan."
"Sudahlah, mari kita bantu orang-orang Bu-tong-pai menghadapi para anak buah siluman itu..."
"Kau bantulah mereka. Aku sendiri akan membebaskan para gadis yang ditawan sebelum terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka," jawab Kim Hong.
"Baik, dan sebaiknya engkau bawa kedua peti ini bersamamu. Engkau tentu masih ingat bagaimana untuk membebaskan orang dari pengaruh sihir dan bius?"
Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Menotok dua belas Keng-siang-meh dan mengurut tujuh Ki-keng-meh, lalu mengguyur mereka dengan air dingin."
Thian Sin mengangguk dan mengelus dagu kekasihnya. "Bagus, engkau memang hebat. Nah, aku pergi dulu…" Dia pun lalu lari meninggalkan tempat itu untuk keluar membantu lima orang tokoh Bu-tong-pai yang tengah dikeroyok oleh banyak anak buah Siluman Goa Tengkorak dan para tamunya itu.
Kim Hong juga meninggalkan tempat itu, membawa kedua buah peti hitam yang diikatnya menjadi satu menggunakan tirai sutera yang terdapat di ruangan itu lantas pergilah dia ke ruangan dalam untuk mencari gadis-gadis yang dia duga tentu dikumpulkan dalam suatu tempat.
Dugaan gadis ini memang tepat. Dia menemukan hampir empat puluh orang wanita yang rata-rata masih muda dan cantik-cantik, dengan wajah yang pucat dan pandangan mata kosong, duduk berkumpul di sebuah ruangan besar. Ada empat orang bertopeng menjaga di depan ruangan, membawa golok dan memandang beringas ketika dia datang membawa dua buah peti hitam itu.
Empat orang penjaga ini segera mengenalnya sebagai gadis tawanan yang memberontak dan melarikan diri, maka tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menerjang maju. Melihat berkelebatnya empat batang golok itu, Kim Hong menggerakkan tangan yang memegang sutera pengikat dua peti hitam. Cahaya hitam yang lebar melayang, menyambut keempat batang golok itu dan gerakan ini diikuti oleh kedua kaki Kim Hong yang menendang empat kali beruntun.
Akibatnya, empat batang golok yang bertemu dengan peti-peti hitam itu terlempar, disusul tubuh empat orang itu yang terlempar pula, membentur dinding dan terbanting roboh, tak mampu bangun kembali karena ketika menendang tadi, Kim Hong mengerahkan tenaga pada kedua kakinya dan sekali tendang saja remuklah isi perut empat orang itu.
Kim Hong mendorong daun pintu ruangan itu hingga terbuka dan puluhan orang gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata ketakutan. Beberapa orang di antara mereka bahkan maju dengan sikap menantang.
"Siapa kamu? Tidak boleh ada orang yang masuk ke sini kecuali ada ijin dari Sian-su!" kata salah seorang di antara mereka.
Kim Hong mengangkat muka memandang. Dia tahu bahwa gadis yang usianya baru tujuh belas tahun lebih ini, yang berwajah amat cantik, adalah kekasih Sian-su atau setidaknya merupakan gadis yang paling disuka oleh ketua siluman itu. Akan tetapi, di balik sikapnya yang genit dan binal, juga pandang mata gadis itu kosong dan sayu tanda bahwa gadis ini penuh oleh hawa jahat atau sihir yang mempengaruhi, dan wajahnya yang pucat itu pun menandakan bahwa dia telah banyak terkena obat bius. Semua gerakannya itu tak wajar dan gadis ini pun telah kehilangan kepribadiannya.
"Siapakah engkau?" Kim Hong bertanya dengan suara mengandung wibawa.
Akan tetapi gadis itu tidak terlihat takut, malah melangkah maju sambil mengangkat dagu dengan sikap tinggi hati. "Aku bernama Thio Siang Ci dan aku adalah murid terkasih dari Sian-su. Pergilah sebelum aku memanggil pengawal dan menangkapmu!"
Kim Hong tersenyum dan menurunkan dua buah peti yang dibawanya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya bergerak ke depan. Akan tetapi dia kecelik kalau menyangka bahwa gadis itu sebagai murid dan kekasih Sian-su tentu lihai ilmu silatnya. Kiranya gadis itu sama sekali tidak pandai ilmu silat, dan sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak ketika dia menotoknya menjadi lumpuh seketika.
Terdengar jeritan-jeritan kaget dan marah dari para wanita itu. Akan tetapi Kim Hong tidak peduli dan cepat menggerakkan jari-jari tangannya menotok jalan darah di tempat-tempat tertentu pada tubuh Thio Siang Ci itu, lalu mengurut jalan darah Ki-keng-meh.
Gadis itu nampak tertidur pulas dan Kim Hong lalu melompat dan mengambil sepanci air yang berada di sudut ruangan, lalu menyiramkan air itu pada kepala Thio Siang Ci. Gadis itu adalah pengantin yang telah diculik oleh Silumah Goa Tengkorak, yaitu puteri dari Thio Ki, kembang dusun Ban-ceng.
Pada malam dia menjadi pengantin bersama The Si Kun, muncul siluman itu membunuh suaminya kemudian menculiknya. Siluman itu, atau Sian-su, tertarik akan kecantikannya sehingga semenjak malam itu, di bawah pengaruh sihir dan bius, Thio Siang Ci menjadi kekasihnya.
Begitu kepala dan mukanya terguyur air dingin, Thio Siang Ci gelagapan, terbangun dan seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia bangkit dan memandang ke sekitarnya. Pandang matanya yang sudah tidak kosong lagi itu terbelalak, mukanya pucat ketakutan melihat ke arah banyak gadis yang kini sudah serentak bangkit dengan marah itu.
"Di mana aku...? Apa... apa yang terjadi...?" Dan agaknya dia teringat, sebab tiba-tiba dia mendekap mukanya dengan kedua tangan, kemudian menangis mengguguk, memanggil-manggil ayahnya.
Sementara itu, gadis-gadis yang hampir empat puluh orang banyaknya itu sudah bangkit berdiri. Sebagian dari mereka yang berwatak pemberani, karena terdorong oleh kesetiaan mereka yang tidak wajar terhadap Sian-su, langsung maju hendak menyerang Kim Hong dengan cakaran dan gebukan.
Kim Hong maklum bahwa mereka itu adalah wanita-wanita tidak berdosa yang kehilangan kepribadiannya, maka dia pun cepat bergerak berkelebatan di antara mereka dan robohlah mereka itu satu demi satu karena sudah tertotok oleh pendekar wanita sakti ini. Yang lain-lain, yang ketakutan, kini berlutut dan tidak berani melawan.
Kim Hong lalu bekerja dengan sibuk dan cepat, menotoki wanita-wanita itu dan mengurut jalan darah mereka. Kemudian dia mengguyur kepala mereka dengan air yang diambilnya dari kamar mandi sehingga ruangan itu menjadi becek dan basah.
Akan tetapi kini keadaan dan suasana menjadi berubah sama sekali. Wanita-wanita yang telah sadar akan dirinya itu lalu menangis sehingga suasana menjadi riuh rendah dengan tangis mereka, seolah-olah di tempat itu terdapat perkabungan.
Kim Hong adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kekerasan hati seperti pria dan tak mengenal kecengengan lagi. Maka, melihat wanita-wanita menangis dengan cengeng ini, hatinya terasa mengkal dan dia pun sudah bangkit bediri lantas berkata dengan suara nyaring,
"Kalian semua diamlah, jangan menangis! Apa lagi yang perlu kalian tangisi? Kalian telah terseret ke tempat neraka ini, baik melalui bujukan beracun mau pun diculik, dan kalian hidup di dalam cengkeraman pengaruh ilmu sihir dan obat bius. Akan tetapi hari ini, aku Toan Kim Hong bersama sahabatku Ceng Thian Sin datang untuk membasmi gerombolan siluman ini dan membebaskan kalian. Lekaslah berkemas dan bawa barang-barang kalian masing-masing, kita akan keluar dari neraka ini dan kalian akan kembali kepada keluarga kalian masing-masing!"
Mendengar ucapan ini, bermacam-macam sambutan para wanita itu. Ada yang menangis mengguguk, ada yang tersenyum-senyum gembira, dan ada pula yang ketakutan karena meragukan apakah keluarga mereka akan sudi menerima mereka kembali. Dan sebagian besar adalah mereka yang menangis ketakukan dengan penuh keraguan dan kegelisahan ini.
Agaknya Kim Hong maklum pula akan hal ini, maka dia pun segera berkata lagi. "Jangan khawatir, kami akan menjelaskan kepada keluarga kalian! Dan andai kata keluarga kalian begitu kejam untuk tidak menerima kalian kembali, kalian tetap akan mampu hidup sendiri karena kami akan membagi-bagikan semua harta peninggalan Siluman Goa Tengkorak ini di antara kalian sehingga kehidupan kalian akan terjamin!"
Ucapan ini tentu saja merupakan hiburan bagi mereka. Kemudian, dengan dipimpin oleh Thio Siang Ci, mereka semua menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Kim Hong sambil menghaturkan terima kasih sehingga bersimpang-siurlah ucapan terima kasih mereka.
"Sudah... sudahlah, aku tidak mempunyai cukup waktu untuk segala macam upacara ini!" Kim Hong menggerak-gerakkan tangan dengan sikap hilang sabar. "Di luar masih terjadi pertempuran dan aku harus membantu untuk membasmi para siluman itu. Marilah, cepat, kita harus keluar dari sini!"
Sekarang para wanita itu sibuk berkemas, lantas mereka pun berbondong-bondong keluar meninggalkan ruangan itu, mengikuti Kim Hong yang mengajak mereka keluar ke tempat di mana terjadi pertempuran. Bahkan dengan bantuan wanita-wanita ini, Kim Hong dapat menghindari jebakan-jebakan rahasia.
Meski pun tadinya para wanita ini hidup dalam keadaan tersihir dan terbius, mereka tidak kehilangan ingatan mereka dan mereka tadinya hanya hidup seperti di dalam alam mimpi, telah kehilangan kepribadian akibat mereka itu diberi minuman-minuman yang di samping melumpuhkan kemauan sendiri, juga merangsang nafsu-nafsu mereka sehingga mereka hidup seakan-akan menjadi hamba nafsu yang harus melayani kebutuhan Sian-su, para anak buahnya dan para tamu, dan semua itu dilakukan dengan rela sebagai bakti mereka terhadap para dewa, terutama Dewa Kematian yang mereka puja.
Sementara itu, di luar daerah Goa Tengkorak terjadi pula kesibukan lain. Serombongan orang yang memegang pedang, dengan muka marah sekali berbondong-bondong menuju ke balik tebing Goa Tengkorak. Jumlah mereka ada tiga puluh orang, semuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah dan dipimpin oleh dua orang tosu. Mereka ini adalah orang-orang Hong-kiam-pang yang dipimpin sendiri oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, ketua dan pembantu utamanya.
Seperti kita ketahui, para murid Hong-kiam-pang dan pemimpinnya ini marah sekali ketika mendapat kenyataan bahwa Siluman Goa Tengkorak yang sudah membunuh tujuh orang anggota atau murid mereka itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Dan kemarahan mereka semakin memuncak pada saat Pendekar Sadis ditolong oleh seorang bertopeng tengkorak lainnya dan bersama siluman itu melarikan diri. Tentu saja mereka melakukan pengejaran dengan berpencar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Pendekar Sadis dan temannya di luar daerah Goa Tengkorak.
Karena dua orang pemimpin mereka mampu berlari lebih cepat dan dalam pengejaran itu meninggalkan mereka, maka mereka kehilangan dua orang pimpinan itu sehingga mereka termangu-mangu menanti di depan deretan Goa Tengkorak, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka tidak dapat menemukan jalan masuk dari goa-goa itu.
Sesudah matahari naik tinggi dan mereka menanti dengan kesabaran yang hampir habis, tiba-tiba muncullah Bu Beng Tojin memanggul tubuh Im Yang Tosu yang terluka! Tentu saja para murid Hong-kiam-pang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat bahwa luka yang diderita oleh Im Yang Tosu itu tidaklah hebat, hanya luka kulit daging saja karena pundak kanannya tertusuk sebuah pisau. Bu Beng Tojin tadi memanggulnya karena ketua Hong-kiam-pang ini jatuh pingsan!
"Pinto mencari-cari hingga ke belakang tebing, akan tetapi pinto kehilangan jejak siluman-siluman itu," kata Bu Beng Tojin menceritakan kepada murid-murid Hong-kiam-pang.
"Agaknya suheng juga mencari sampai di sana dan entah apa yang terjadi, tahu-tahu aku mendapatkan suheng sudah menggeletak pingsan dengan sebuah pisau yang tertancap di pundaknya. Maka pinto lalu cepat-cepat membawanya ke sini untuk merawatnya." Bu Beng Tojin sendiri yang merawat luka Im Yang Tosu dan akhirnya ketua Hong-kiam-pang ini siuman.
Dia mengeluh dan bangkit duduk, lalu teringat akan apa yang terjadi dan menarik napas panjang. "Ahh… Pendekar Sadis yang menyamar sebagai siluman itu sungguh berbahaya sekali...," katanya.
"Apa yang telah terjadi, suheng? Aku menemukan suheng dalam keadaan pingsan di situ, lalu suheng kubawa ke sini untuk dirawat."
Im Yang Tosu memandang kepada pembantunya itu. "Untung sute datang, dan agaknya musuh langsung lari sehingga tidak sempat membunuhku ketika melihat sute datang. Aku mengejar sampai ke balik tebing dan melihat bayangan memasuki semak-semak belukar kemudian lenyap. Aku telah memeriksa dan mencari akan tetapi tak berhasil menemukan sesuatu. Pada saat aku mulai menjadi bosan mencari dan hendak pergi, aku mendengar suara dari balik batu karang. Cepat aku mendekati dan ternyata ada rumpun alang-alang yang terkuak dan di balik rumpun alang-alang ini terdapat sebuah lubang. Pada saat itu ada bayangan berkelebat di sebelah dalam lubang yang gelap dan tiba-tiba saja ada pisau menyambar. Aku kurang cepat mengelak sehingga pisau itu mengenai pundakku. Karena lukanya hanya luka daging, tidak mungkin aku roboh karena itu, akan tetapi tiba-tiba aku mencium bau keras dan aku pun tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya iblis itu menggunakan racun atau obat bius...!"
Bu Beng Tojin bangkit berdiri sambil mengepal tinju mendengar penuturan suheng-nya ini. Mukanya merah padam, dan dia kelihatan marah sekali. "Sungguh keterlaluan Pendekar Sadis itu! Kita harus membuat perhitungan, sekarang juga! Aku pun sudah melihat lubang itu, suheng, dan agaknya lubang itulah jalan yang menuju ke dalam sarang mereka! Mari kita serbu sekarang juga!"
"Tapi, susiok, bukankah suhu sudah terluka sehingga perlu beristirahat?" bantah seorang murid.
"Aku tidak apa-apa, luka ini tidak ada artinya. Mari kita serbu dan basmi iblis kejam itu!" Im Yang Tosu juga berkata marah, bangkit semagatnya oleh sikap pembantunya.
Demikianlah, mereka berdua segera memimpin tiga puluh orang murid Hong-kiam-pang itu, berbondong-bondong pergi menuju ke balik tebing Goa Tengkorak. Karena dua orang pimpinan Hong-kiam-pang itu sekarang sudah menemukan jalan tembusan rahasia, yang berupa terowongan yang membawa mereka ke sarang Jit-sian-kauw, maka mereka dapat memasuki terowongan itu dengan sikap hati-hati sekali.
"Bagaimana pun juga, kita harus berhati-hati," kata Bu Beng Tojin sesudah mereka mulai memasuki terowongan dan dia berjalan paling depan. "Orang yang sudah mampu melukai suheng, biar pun secara menggelap, tentulah amat berbahaya."
Pada sepanjang jalan terowongan, mereka menemukan jebakan-jebakan yang sudah tak bekerja akibat rusak sehingga beberapa kali Bu Beng Tojin mengeluarkan seruan marah, "Keparat, sungguh jebakan yang kejam sekali!" terdengar dia berkata.
Mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tibalah mereka di pusat sarang gerombolan itu dan begitu mereka berloncatan keluar dari mulut terowongan, mereka lalu tercengang memandang ruangan itu. Pendekar Sadis berdiri di tengah-tengah ruangan bersama lima orang gagah dari Bu-tong-pai, dan di sekeliling ruangan yang luas itu nampak berserakan tubuh orang-orang yang memakai jubah dan topeng tengkorak! Ada pula yang berpakaian biasa, yaitu para tamu yang sedang membantu gerombolan itu menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang dibantu oleh Thian Sin!
Ketika Thian Sin meninggalkan Kim Hong dan berlari keluar, dia melihat betapa lima orang Bu-tong-pai itu masih mengamuk. Akan tetapi mereka terkurung rapat dan mulai terdesak. Untunglah di situ ada Liang Hi Tojin, yaitu tokoh ke dua dari Bu-tong-pai yang permainan pedangnya hebat bukan main sehingga untuk sementara, berkat kelihaian Liang Hi Tojin, kepungan itu masih dapat dibendung dan belum ada orang Bu-tong-pai yang terluka biar pun mereka telah lelah sekali dan sibuk mempertahankan diri.
Pada saat Thian Sin hendak maju, tiba-tiba ada orang yang merangkul kakinya. Thian Sin cepat menatap ke bawah. Orang itu adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian mewah. Agaknya dia tidak turut bertempur, akan tetapi sudah keserempet senjata tajam karena pahanya terluka dan dia kelihatan ketakutan setengah mati.
"Maafkan aku... ampunkan aku... ah, taihiap, ampunkan aku dan kelak aku akan memberi taihiap uang sebanyak yang kau minta. Emas, perak, apa saja... asalkan taihiap bersedia membawa aku keluar dari tempat ini..." Dan orang itu lalu menangis ketakutan.
Thian Sin mengenal orang ini sebagai seorang di antara para tamu, yaitu pemuda mewah yang dia lihat menerima janda Cia Kok Heng pada saat janda muda itu diangkat menjadi anggota baru, kemudian janda itu oleh Sian-su diberikan kepada pemuda mewah ini yang menggaulinya secara tidak tahu malu. Kini dia dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa di antara pemuda kaya ini dengan Sian-su dan bukan tidak mungkin janda itu diculik oleh gerombolan Siluman Goa Tongkorak atas pesanan pemuda ini.
"Ampun sih mudah! Akan tetapi akuilah apakah benar engkau yang memesan janda Kok Heng itu untuk kau perkosa?" Pemuda itu memang pemuda bangsawan dan hartawan she Phang dari Tai-goan.
Pada saat itu dia berada dalam ketakutan yang luar biasa, maka mendengar ucapan itu, tanpa pikir panjang lagi dia pun langsung mengaku saja. Pokoknya, apa pun yang pernah dilakukannya akan diakui tanpa malu-malu lagi asalkan dia dibebaskan dan tidak dibunuh.
Hatinya telah ketakutan sekali melihat betapa orang-orang Bu-tong-pai itu mengamuk dan membunuhi banyak orang berkedok tengkorak dan begitu Thian Sin muncul, dia pun telah mengenalnya sebagai pemuda yang diperkenalkan sebagai Pendekar Sadis, maka walau pun dengan merangkak-rangkak, dia menghampiri dan minta ampun.
"Benar, taihiap... tapi ampunkan saya..."
"Desss...!"
Tendangan yang dilakukan oleh Thian Sin tepat mengenai dagu pemuda she Phang itu. Tulang rahangnya patah-patah dan pemuda itu menangis melolong-lolong. Thian Sin telah menghampiri dengan langkah lebar dan sekali dia menurunkan kaki kanannya, dia sudah menginjak pecah kepala orang she Phang itu seperti orang menginjak kepala ular saja.
Kemudian Thian Sin terjun ke dalam arena perkelahian dan begitu dia terjun, tentu saja keadaan menjadi berubah sama sekali. Setiap gerakan kaki tangannya pasti disusul oleh teriakan mengerikan karena ada seorang pengeroyok yang terjengkang dan tewas. Dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan enam orang pengeroyok. Hal ini tentu saja membuat para anak buah gerombolan itu menjadi sangat gentar, akan tetapi sebaliknya membuat lima orang Bu-tong-pai tambah bersemangat.
Demikianlah, saat rombongan orang-orang Hong-kiam-pang sampai di tempat itu, mereka hanya melihat Pendekar Sadis beserta lima orang Bu-tong-pai, ada pun semua anggota gerombolan Siluman Goa Tengkorak berikut para tamu yang ikut membantu mereka telah rebah malang melintang, ada yang tewas dan ada pula yang luka-luka.
"Pendekar Sadis, iblis jahat, kau harus menebus kematian murid-murid kami!" Im Yang Tosu yang memandang marah kepada pendekar itu langsung meloncat ke depan.
Akan tetapi Thian Sin meloncat ke belakang dan berkata dengan suara nyaring. "Im Yang Tosu, sabarlah dan dengarlah dulu penjelasanku!"
Akan tetapi tiba-tiba Bu Beng Tojin telah menggerakkan pedangnya dan menyerang Thian Sin dengan dahsyat sambil berteriak, "Tak usah banyak cerewet lagi, dosa-dosamu sudah bertumpuk!"
Serangan tosu itu dahsyat bukan kepalang, akan tetapi Thian Sin dapat mengelak dengan sigapnya tanpa membalas, melainkan berseru, "Tahanlah, totiang...!"
"Ceng Thian Sin, dosamu sudah bertumpuk, kini mau bicara apa lagi? Pinto sendiri yang menangkapmu sebagai Siluman Goa Tengkorak, dan dalam tawanan kami engkau sudah ditolong oleh seorang anggota gorombolon Siluman Goa Tengkorak! Kini engkau masih mau pura-pura lagi ?" Berkata demikian, Bu Beng Tojin dengan kemarahan meluap-luap telah menerjang lagi dengan pedangnya, mengirim serangan maut yang amat berbahaya.
Agaknya kakek pendeta ini benar-benar sakit hati karena kematian tujuh orang muridnya, maka kini dia menyerang bagaikan orang yang mata gelap. Kembali Thian Sin mengelak cepat sehingga pedang itu bercuit lewat di atas kepalanya.
"Tahan dan biarkan aku bicara dulu, totiang!" Thian Sin berseru.
"Sute, biarlah kita dengar apa yang hendak dikatakan Pendekar Sadis alias Siluman Goa Tengkorak ini!" kata Im Yang Tosu.
"Perlu apa mendengarkan ucapannya yang palsu, suheng? Bukankah baru saja dia telah melukai dan nyaris membunuh suheng?" bentak Bu Beng Tojin yang tak dapat menahan kemarahannya, sepasang matanya berapi-api dan mukanya merah sekali.
"Susiok, suhu minta kita mendengarkan dia bicara dulu. Untuk menyerangnya nanti juga masih belum terlambat," kata seorang murid Im Yang Tosu dan saudara-saudaranya telah mengurung Pendekar Sadis dengan pedang terhunus.
"Tidak perlu bicara lagi dengan iblis kejam ini!" bentak Bu Beng Tojin yang telah kembali menerjang dan menyerang Thian Sin.
Pendekar ini mendongkol bukan main, akan tetapi karena dia teringat bahwa kemarahan tokoh ke dua dari Hong-kiam-pang ini adalah karena sakit hati mengingat muridnya tewas di tangan Siluman Goa Tengkorak, maka dia pun berusaha menahan kedongkolan hatinya dan mengelak ke kiri dengan cepat. Akan tetapi, tiba-tiba ada angin bercuitan dan sinar terang menyambar dari kiri.
"Siancai, dosamu memang terlalu banyak, Pendekar Sadis!" itulah suara Im Yang Tosu yang sudah menyerangnya, terbangun semangatnya oleh kemarahan sute-nya.
Murid Hong-kiam-pang juga mulai bergerak menyerang Thian Sin. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali dan cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik menghindarkan sambaran pedang Im Yang Tosu yang amat lihai.
"Trang-trang-trang...!"
Ketika Bu Beng Tojin menyerang kembali, tiba-tiba pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Liang Hi Tojin, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar dan dengan hati terkejut Bu Beng Tojin segera melompat ke belakang, memeriksa pedangnya yang ternyata tidak rusak, kemudian dia menudingkan pedangnya kepada Liang Hi Tojin.
"Bagus! Apakah pendeta Bu-tong-pai sekarang berpihak kepada gerombolan penjahat?!" bentaknya.
"Siancai! Bu Beng toyu dari Hong-kiam-pang, hendaknya bersikap tenang dan sabar dulu. Setiap persoalan dapat dibicarakan dan siapa yang bersalah wajib dihukum. Akan tetapi pinto sendiri sangat ingin tahu kenapa justru Ceng-taihiap yang dituduh sebagai Siluman Goa Tengkorak, padahal dia yang telah membasmi gerombolan ini?"
"Toyu harap jangan mudah tertipu oleh kelicikannya!" Bu Beng Tojin berseru marah sekali. "Sejak dahulu siapa yang tidak mendengar nama Pendekar Sadis yang amat kejam? Dan sekarang, pinto sendiri yang menangkap basah, ketika dia berpakaian dan bortopeng sebagai Siluman Goa Tengkorak. Agaknya dengan licik dia telah bersandiwara, menipu toyu dan kawan-kawan dari Bu-tong-pai, berpura-pura memusuhi Siluman Goa Tengkorak. Lebih baik toyu bantu kami untuk menangkapnya!" Berkata demikian, Bu Beng Tojin sudah hendak menyerang lagi.
Suasana menjadi tegang karena para murid Hong-kiam-pang kembali terpengaruh oleh ucapan susiok mereka, bahkan Im Yang Tosu juga memandang kepada Liang Hi Tojin dengan mata bersinar marah.
"Betapa pun juga, kami dari Hong-kiam-pang semua menyaksikan bahwa memang benar Pendekar Sadis pernah kami tangkap sebagai Siluman Goa Tengkorak lantas dibebaskan oleh seorang anggota gerombolan penjahat ini!" katanya.
Pada saat itu pula, tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah Kim Hong yang membawa dua buah peti hitam diikuti oleh empat puluh orang gadis-gadis muda cantik yang masih kelihatan berduka itu. Gadis ini cepat meloncat ke depan ketika melihat Thian Sin dikurung oleh orang-orang Hong-kiam-pang karena dia sempat mendengar ucapan Im Yang Tosu tadi.
"Tahan...!" serunya dengan nyaring sehingga semua orang menengok dan memandang kepadanya. "Memang akulah orangnya yang telah menolongnya dari tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah dan yang ceroboh sekali dalam tindakan mereka! Kami memang sudah menyamar sebagai anggota gerombolan Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi hal itu kami lakukan untuk dapat membasmi gerombolan ini seperti yang telah kami lakukan hari ini!"
"Bohong!" Tiba-tiba Bu Beng Tojin berseru marah. "Gadis ini adalah teman baik Pendekar Sadis, tentu saja dia hendak membelanya! Kalau toh mereka berdua memang menentang gerombolan ini, agaknya hanya ingin merampas harta kekayaannya saja. Buktinya, benda apakah yang dibawa oleh nona ini?" Bu Beng Tojin menunjuk dengan pedangnya ke arah dua peti hitam yang dibawa oleh Kim Hong itu.
Gadis itu tersenyum. "Totiang, agaknya engkau terlampau curiga dan memandang bahwa orang-orang lain kecuali para pendeta adalah orang-orang jahat belaka. Tanyakan saja pada gadis-gadis ini, siapa yang membebaskan mereka dari cengkeraman Siluman Goa Tengkorak kalau bukan kami? Dan mengenai dua peti ini, memang isinya adalah harta benda yang amat banyak!" Berkata demikian, Kim Hong sengaja membuka dua peti hitam itu dan semua orang terbelalak memandang kepada dua peti yang isinya penuh dengan benda-benda yang berkilauan, emas perak serta batu-batu permata yang harganya sukar dinilai.
Melihat ini, Liang Hi Tojin mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pendekar Sadis. "Taihiap, pinto sendiri tidak mengerti, apa artinya peti berisi harta itu?"
Sebelum Thian Sin menjawab, dan memang pendekar ini masih bingung dan belum siap menjawab pertanyaan ini, Kim Hong telah berkata nyaring.
"Totiang, harta kami ada puluhan kali lebih banyak dari pada isi kedua peti ini. Apa artinya harta ini bagi kami berdua? Kami memang sengaja merampasnya dari tangan Siluman Goa Tengkorak serta pembantunya yang agaknya hendak melarikan dua buah peti harta ini keluar sarang. Dan kami sudah mengambil keputusan mengenai harta ini. Gadis-gadis ini sudah banyak menderita, mereka diculik dan dibujuk oleh gerombolan jahat. Sekarang mereka akan kami pulangkan ke keluarga masing-masing dan semua harta ini akan kami bagi-bagi untuk mereka, juga untuk keluarga Tujuh Pendekar Tai-goan yang telah tewas. Bagaimana pendapatmu, Liang Hi Tojin?"
"Siancai... sungguh merupakan pikiran yang bagus sekali!" Liang Hi Tojin memuji. "Ceng-taihiap, harap maafkan keraguan pinto tadi." Tokoh Bu-tong-pai ini menjura kepada Thian Sin yang hanya tersenyum sambil memandang ke arah kekasihnya dengan rasa kagum dan terima kasih.
"Dan bagaimana dengan pendapat para pimpinan dari Hong-kiam-pang?" Kini Thian Sin bertanya kepada Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin.
"Kalau memang benar seperti apa yang pinto dengar tadi, memang tepat sekali jika harta itu dibagi-bagi kepada bekas para korban," jawab Im Yang Tosu.
"Dan bagaimana pendapatmu, Bu Beng Totiang?" Thian Sin bertanya kepada Bu Beng Tojin yang masih kelihatan marah dan penasaran itu.
Pendeta ini mengerutkan kedua alisnya. "Kami adalah orang-orang yang mengutamakan kebenaran dan selalu akan menentang kejahatan. Kalau memang benar Pendekar Sadis bukan Siluman Goa Tengkorak, tentu saja kami pun setuju. Akan tetapi kami masih tidak mengerti bagaimana sebagai orang yang menentang Siluman Goa Tengkorak, Pendekar Sadis memakai pakaian anggota gerombolan itu dan menyerang kami, bahkan tadi sudah melukai suheng!" Sepasang mata pendeta ini memandang dengan penuh tantangan dan rasa penasaran. Thian Sin tersenyum.
"Itu tidak aneh, totiang. Ketika itu aku dalam keadaan tertawan dan terbius oleh Siluman Goa Tengkorak dan agaknya aku sengaja diberi pakaian dan topeng anggota gerombolan mereka. Kemudian mereka sengaja menyerahkan aku pada pihak Hong-kiam-pang yang mendendam kepada Siluman Goa Tengkorak atas kematian tujuh orang muridnya."
"Tapi kenapa engkau menyerang pinto?" Bu Beng Tojin bertanya, mendesak penasaran. "Pinto sendiri yang menawanmu, disaksikan oleh semua anak murid Hong-kiam-pang!"
"Huh, kalau saja dia dalam keadaan sadar mana mungkin engkau mampu menawannya?" Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan suara galak dan dingin.
Akan tetapi Thian Sin mengangkat tangan memberi isyarat agar kekasihnya itu menahan kemarahannya. "Bu Beng totiang, telah kukatakan bahwa aku dalam keadaan tidak sadar dan terbius. Kalau aku kelihatan menyerangmu, hal itu tentu hanya akal dari Siluman Goa Tengkorak saja untuk mengelabui mata orang-orang Hong-kiam-pang. Ingat, siluman itu adalah seorang yang mahir mempergunakan ilmu sihir! Dan tentang orang yang melukai Im Yang totiang, aku sama sekali tidak melakukannya karena aku dan Kim Hong sedang sibuk menyerbu ke dalam sarang gerombolan ini. Agaknya tentulah siluman itu pula yang melakukannya, mungkin ketika hendak melarikan diri, ketahuan oleh Im Yang totiang dan menyerangnya."
Im Yang Tosu mengangguk-angguk. "Sute, agaknya keterangan dari Ceng-taihiap itu betul semua. Sayang bahwa siluman itu tidak dapat berhadapan dengan pinto sendiri."
Dia lantas menoleh ke kanan kiri, melihat semua orang bertopeng tengkorak itu malang melintang. "Apakah taihiap sudah berhasil merobohkan siluman itu yang menjadi kepala gerombolan?"
"Sayang, dia berhasil meloloskan diri, totiang. Akan tetapi aku bertekad untuk mencarinya terus dan baru berhenti kalau sudah dapat membekuknya."
Dengan disaksikan oleh Liang Hi Tojin, Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin, Kim Hong dan Thian Sin membagi-bagikan harta benda itu kepada para gadis bekas korban gerombolan. Juga bagian untuk Cia Liong dan Cia Ling, lalu diserahkan kepada Im Yang Tosu untuk mengurus dan menyerahkannya.
Semua gadis itu lalu diantarkan oleh para anggota Hong-kiam-pang untuk dikembalikan ke tempat tinggal masing-masing. Sebelum mereka meninggalkan tempat itu, mereka semua berlutut dan menangis, menghaturkan terima kasih kepada Thian Sin dan Kim Hong.
"Im Yang totiang," kata Thian Sin. "Mengingat bahwa mendiang saudara Cia Kong Heng adalah seorang murid Kun-lun-pai sebelum menjadi anggota Hong-kiam-pang, maka aku harap totiang sudi menaruh kasihan terhadap putera serta puterinya dan dapat menyuruh orang mengantarkan mereka ke Kun-lun-pai supaya menjadi murid di sana. Harta bagian mereka dapat dipergunakan untuk perawatan mereka, juga untuk bekal mereka sesudah dewasa karena mereka sudah kehilangan ayah bunda."
Im Yang Tosu mengangguk-angguk, kemudian mereka semua pergi meninggalkan tempat itu. Thian Sin membakar sarang itu dan menghancurkan semua benda, termasuk tempat pemujaan yang juga menjadi tempat maksiat atau pesta-pesta cabul itu…..
********************