Pesta pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri.
Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan. Ada pun kegembiraan yang timbul lebih disebabkan oleh pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut, kemudian arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri.
Pesta di kota hanyalah merupakan perlombaan memamerkan kekayaan saja. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotong royongan, sehingga para tamu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang turut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum.
Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh sangat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng turut serta merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga Thio itu dikenal sebagai keluarga yang ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu.
Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar tentang kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, yaitu putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan.
Seperti sudah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan kedua pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore!
Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi semakin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja para leluhur. Biar pun wajah pengantin perempuan tidak bisa terlihat jelas karena terhalang oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, akan tetapi masih kelihatan jelas bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, juga sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus.
Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu sebab banyak teman-temannya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya.
Kedua mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, seperti bunga yang tengah mekar. Ada pun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat, juga pandai berdagang karena semenjak kecil telah membantu ayahnya. Keluarganya merupakan pedagang ikan yang membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, lalu mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian dijualnya ke kota Tai-goan dan sebagian lagi dibuat menjadi ikan asin.
Mula-mula pasangan mempelai melakukan upacara sembahyang, dan setelah itu mereka mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua. Kemudian, setelah keduanya lelah menjalankan semua upacara itu, barulah mereka diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang telah dipersiapkan, dan ketika itu para tamu mulai dengan perjamuan makan.
Hari telah mulai gelap, karena itu para pelayan mulai menyalakan lilin serta lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh elok seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari.
Suasana gembira ini menjadi agak bising karena kini para tamu saling bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai hingga ke urusan yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan salah seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar, melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar.
"Ada apa?" tanyanya pada pelayan itu dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu.
Akan tetapi tubuh pelayan itu nampak menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding, kemudian tiba-tiba mukanya pun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang digunakan untuk menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang!
Agaknya pelayan tadi menyalakan lilin di dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiri pun terkejut.
"Aihhh...!"
Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau di dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah itu!
"Siluman Goa Tengkorak...!" Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biar pun baru muncul beberapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya.
Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah gerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai.
"Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, teman-teman?" teriaknya.
Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas sambil berteriak, "Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"
Betapa pun juga, para tamu sudah merasa ketakutan sehingga perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, kemudian berbondong-bondong minta diri dan pulang meninggalkan rumah keluarga Thio.
Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang telah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai juga sudah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di malam pertama itu.
Seluruh keluarga Thio yang telah memasuki kamar masing-masing tak bisa memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, dua belas orang nelayan muda, kawan-kawan dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu.
Sesudah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan dia pun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso. Akan tetapi, di dalam kamar ini pun dia dan isterinya rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali.
Malam semakin larut dan amat sunyi. Hanya terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan, yang kemudian berubah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan, dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis bergentayangan di permukaan bumi!
Kedua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan kamar pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan tadi sejenak dia terpaksa meninggalkan isterinya untuk turut berjaga bersama kawan-kawannya. Pengantin pria baru memasuki kamarnya lagi sesudah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar.
"Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga-jaga di dalam kamar," katanya, sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu.
"Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya.
"Sudahlah, engkau nikmati saja malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."
"Hushh!" cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau pasti akan merasa aman di dalam pelukan istrimu, ha-ha-ha!" Dua belas orang itu tersenyum.
"Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa yang dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?" The Si Kun lantas membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya.
Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di pinggir pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biar pun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tidak dapat menahan hatinya maka duduklah dia disamping isterinya, tangannya merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya.
Tiba-tiba saja lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar sehingga mereka pun tertawa-tawa karena padamnya lilin di dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tidak lama kemudian terdengarlah jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ!
Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar lantas mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya beserta seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masing-masing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan.
The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya mengenakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya.
Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat itu telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Tedengar suara para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Goa Tengkorak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng!
Mengapa penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Goa Tengkorak? Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali akan melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, pada siang atau sore harinya penjahat itu selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Siluman Tengkorak.
Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan goa-goa. Tempat ini dikenal dengan sebutan Goa Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali goa-goa yang besar dan di antaranya memang ada goa-goa yang bentuknya mirip seperti tengkorak. Karena ini, maka penjahat yang sudah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Goa Tengkorak.
Pemerintah daerah dengan dibantu oleh para pendekar setempat sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Goa-goa itu telah diperiksa, akan tetapi tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya sangat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat sejak penjahat itu muncul hampir dua bulan yang lalu.
Biar pun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu sangat pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, akan tetapi orang-orang tahu bahwa penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yang sama, yang mereka juluki Siluman Goa Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu sebelum datang sudah memberi tanda gambar tengkorak darah, dan caranya bekerja juga sama, sangat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang.
Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Siang Ci, sungguh sangat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tak ada yang tidur. Namun penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya, lantas membunuh pengantin pria yang mungkin melawan kemudian menculik pengantin wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan saat kamar didobrak, penjahat itu telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya.
Daerah Goa Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, yakni di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Goa-goa ini selain sukar dikunjungi dan tak pernah didatangi manusia, juga amat angker dan menurut penduduk yang masih percaya dengan cerita-cerita tahyul, kabarnya tempat itu merupakan sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran. Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati.
Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itu pun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri.
Goa-goa itu memiliki banyak terowongan-terowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki goa yang ada terowongannya, maka amat sukarlah untuk bisa ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali.
Daerah Goa Siluman ini hanya indah dilihat dari kejauhan, dari kaki bukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho bila mana orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu serta berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, sehingga dari jauh seakan-akan terlihat seperti tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret pada dinding batu karang itu.
Akan tetapi keindahan ini mengandung sesuatu yang sangat menyeramkan, seakan-akan ada sesuatu yang mengancam mereka yang terlalu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat, karena itu mereka selalu menundukkan muka apa bila melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlampau lama ke arah Goa-goa Tengkorak itu. Nama Siluman Goa Tengkorak sudah menggegerkan kota Tai-goan dan daerah sekitarnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu.
Letak daerah Goa Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda mala petaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka.
Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, maka sukar disusul dan ketika dicari di daerah Goa Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan yang diculiknya, juga beberapa orang hartawan sudah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia.
Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Goa Tengkorak ini, terdapat seorang lelaki bernama Cia Kok Heng yang bekerja sebagai ahli bangunan pada bagian pertukangan kayu. Nama Cia Kok Heng ini sudah cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia merupakan salah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan.
Hong-kiam-pai ini merupakan suatu perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari perguruan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak menggunakan nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja mempunyai dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut.
Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai asli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dengan menjadi murid atau anggota, dan karena dia sendiri adalah seorang anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggota perkumpulan itu.
Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biar pun sekarang telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tak berkurang. Anak mereka, yang pertama lelaki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun. Hidup mereka tidak bisa dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli sudah cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu.
Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah salah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biar pun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, akan tetapi bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah.
Meski pun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka, namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desas-desus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya.
Percaya dan tidak percaya memiliki dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidak tahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Apa bila sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi.
Sebelum manusia bisa mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung pada siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Anehnya, bagaimana pun juga orang-orang yang percaya atau pun yang tidak percaya inilah, di dalam ketidak tahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya.
Sebelum manusia bisa mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung pada siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Anehnya, bagaimana pun juga orang-orang yang percaya atau pun yang tidak percaya inilah, di dalam ketidak tahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya.
Pada pagi hari itu, dengan hati sedikit kesal Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya di pusat kota di mana sedang dilakukan pembangunan oleh kepala daerah. Tadi malam pada saat berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya lantas mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikianlah kata isterinya.
Meski Kok Heng menganggap kekurang ajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan penyakit umum dan bukan sesuatu yang aneh, namun tetap saja hatinya diliputi oleh rasa cemburu dan penasaran. Namun, sebagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah agak muram.
Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, bermain-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi timbul keheranannya pada saat melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, dan terlihat keheranan memandang ke arah dinding sambil menunjuk-nunjuk.
Dia pun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar ini berubah merah lalu pucat, dan kembali merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Pada permukaan dinding putih itu tampak jelas gambar tengkorak yang dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah!
"Ayah, apakah itu?" tanya Cia Ling.
Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah sesudah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumahnya masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan barulah hatinya terasa lega sesudah dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur.
"Ehhh, ada apakah? Engkau kelihatan..." Isterinya bertanya khawatir ketika melihat wajah suaminya.
"Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata suaminya.
Walau pun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka.
"Siluman Goa Tengkorak...? Isterinya berbisik, bibirnya gemetar dan mukanya pucat.
"Jangan khawatir. Siapa pun adanya badut atau penjahat itu, sekarang dia akan ketemu batunya. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Telah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu," kata Kok Heng dengan penuh semangat.
Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, walau pun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng segera menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya.
Setelah itu keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah, Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lantas tidur di kamar mereka pada siang hari itu.
Kok Heng lalu bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam. Baru sekarang mereka mendapatkan kesempatan untuk membicarakan ancaman itu sesudah kedua orang anak mereka tertidur.
Kok Heng mengambil pedangnya, lantas mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.
"Akan tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat.
Kok Heng memegang lengan isterinya. "Tenanglah, wajahmu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu."
"Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..."
"Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya senang mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu kini berubah merah.
"Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..."
Kok Heng menatap wajah isterinya lantas tersenyum bangga. "Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."
"Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..."
"Aku tidak bergurau. Biar pun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan sangat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurang ajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba saja pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah.
"Si keparat itu... ahh, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"
"Pemuda she Phang itu... kemarin dia sudah menggodamu dan pada hari ini siluman itu memberi tandanya! Hemm... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?"
"Hubungan bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"
"Aku pun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku."
Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng, segera disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan sekarang nyonya rumah sudah dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimana pun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apakah yang perlu ditakuti lagi? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.
Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling rendah ilmunya. Orang ke dua ialah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu.
Orang ini bernama Kwee Siu, usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia adalah murid perguruan Siauw-lim-pai yang sangat lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia pun masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walau pun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Bu-tong-pai yang sangat lihai dengan senjata rantai bajanya. Ada pun orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja.
Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi. Hanya bedanya, kalau Ciok Lun biasa menggunakan senjata toya, maka adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.
Orang ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, tidak mempunyai partai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, usianya empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli melempar piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan sering kali membantu pemerintah dalam menghadapi penjahat lihai.
Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Tangannya yang mempunyai Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.
"Hemm, darah tulen...!" gumamnya.
"Mungkin ini bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang."
Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum tentu. Dahulu aku pernah mendengar mengenai seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali menggunakan darah dalam surat ancamannya dan ternyata darah itu darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."
Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang akan mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka mereka pun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan mengenai pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata,
"Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu.”
“Memang, dia adalah seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tak segan-segan untuk menggunakan kedudukan serta hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Namun dia belum pernah mempergunakan kekerasan, terlebih lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk.
"Aku pun tidak mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali sehingga mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan."
Tiba-tiba saja Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju lantas memukul meja.
"Brakkk!"
Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapa pun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!"
“Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut isteri Heng-te saja, aku akan mematahkan tangannya!" teriak Ciok Lun, orang tertua di antara mereka, lantas menarik napas panjang.
"Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Betapa pun juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban pada saat siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."
Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu sudah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri serta dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang senjata rantai bajanya dililitkan di pinggang.
Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Sedangkan kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiri pun tidak akan sanggup memasuki kamar itu tanpa diketahui, dan akan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.
Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah tertidur pulas, tidak seorang pun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanya Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, serta enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi.
Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, semua perumahan di situ memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga.
Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang sangat mencekam itu kadang kala dipecahkan oleh suara burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam yang terbang berlalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di dalam hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut.
Sudah beberapa kali ini para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada dalam kamar. Hati mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan agar siluman itu menjadi jeri dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan.
Akan tetapi ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya, seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar itu mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu sudah terkepung.
Terdengar suara batuk-batuk Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa seram dalam hati. Suara batuk-batuk ini segera dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga.
Tiba-tiba...
“Ngeonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga.
Jantung mereka yang sedang tegang itu terasa seperti copot, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini sangat mengejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu.
Dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada penjagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya berjarak beberapa tombak saja dari mereka! Tentu saja kedua orang saudara Ciok itu terkejut sehingga sejenak mereka memandang bengong.
Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lukisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes.
"Iblis keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, lantas menyerang orang itu dengan goloknya.
Gerakannya amat cepat dan kuat, dan meski pun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tak lebih dari satu kaki saja, tetapi Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan.
"Tringgg...!"
Dan mata golok yang tajam itu sudah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangannya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang menggenggam golok tergetar hebat, tanda alangkah kuatnya tangkisan itu. Orang itu pun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat.
"Siluman jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya.
Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ringan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan sebuah tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu. Akan tetapi, hebatnya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bahkan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat.
"Dukkk!"
Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tenaganya sehingga sekarang tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, lantas membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai kekebalan yang amat kuat.....!