"Ha-ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semuanya sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat membunuh musuh paling banyak!" Setelah berkata demikian, segera nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu sudah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai!
Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi sekarang yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja kedua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biar pun mereka kaget sekali, namun mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.
Maklum bahwa kakek dan nenek itu mempunyai kepandaian yang amat tinggi, maka tiga orang murid pertama itu cepat mencabut pedang mereka dan seorang di antara mereka memberi komando, "Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!"
Suheng ini masih memperingatkan para sute-nya agar jangan sembarangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!
Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Kakek dan nenek itu mengamuk dengan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya sampai mengenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika. Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dielakkan saja, itu pun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit.
Para murid itu menggunakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul menggunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengeroyok dengan tangan kosong. Dan akibatnya sungguh mengerikan.
Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam waktu singkat saja, di antara dua puluh lima orang murid itu, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepuluh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, mayat mereka berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tahan senjata...!"
Bentakan ini demikian penuh wibawa dan mengandung getaran khikang yang amat kuat sehingga kakek dan nenek itu terkejut. Mereka meloncat ke belakang, lalu melintangkan tongkat di depan dada sambil menatap ke depan.
Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berdiri di situ dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri sekali ketika melihat belasan orang muridnya sudah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, ada pun yang sepuluh orang lagi kelihatan pucat dan gentar.
Dia segera memandang ke arah kakek dan nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka pun menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.
"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.
Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia lantas mengangguk. "Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe? Andai kata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang? Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?" Pertanyaannya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.
"Ha-ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu dan benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.
Han Tiong mengerutkan kedua alisnya. "Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."
"Bagus! Cia Han Tiong, jangan salahkan murid-muridmu dan kami juga tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan Pek-liong-pai. Engkau salahkan saja nenek moyangmu dan terutama ayahmu yang dulu telah membunuh nenek guru kami, yaitu bibi dari guru kami. Nama nenek guru kami itu adalah Hek-hiat Mo-li, pendatang dari Sailan. Kami sebagai keturunan perguruannya melanjutkan usaha guru kami untuk mencari Pendekar Lembah Naga dan membalas dendam."
"Akan tetapi, ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lampau! Kenapa ji-wi lalu membunuhi murid-murid kami yang tidak berdosa...?"
"Hemmm, puluhan tahun kami melatih diri, hidup sengsara agar dapat berbakti, kemudian melakukan perjalanan yang sangat jauh dari selatan, apakah semua itu harus sia-sia saja karena kematian ayahmu? Ayahmu boleh saja mati, akan tetapi masih ada puteranya dan cucu-cucu muridnya!"
Cia Han Tiong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya diliputi penyesalan besar. Mendiang ayahnya tidak pernah bercerita tentang musuh-musuhnya di waktu dahulu, akan tetapi dia merasa yakin bahwa memang benar ayahnya tentu dahulu pernah menewaskan nenek guru dari dua orang ini. Dan dia pun yakin pula bahwa nenek guru mereka yang memakai julukan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam) tentulah bukan orang baik-baik dan tidak mengherankan kalau ayahnya membunuhnya dalam perkelahian.
Makin terasa olehnya alangkah buruknya hidup dalam kekerasan. Sampai turun-temurun, dendam masih mengikatnya! Dia menarik napas panjang. Ikatan karma ini harus diakhiri. Manusia selalu dikejar ikatan karma karena ulah sendiri. Kini saatnya untuk menentukan apakah karma itu akan terus mengejar dirinya serta anak cucunya, sepenuhnya berada di telapak tangannya. Akan tetapi, apakah dia harus menyerahkan saja nyawanya?
Kakek dan nenek ini memiliki sinar mata penuh kebencian, tentu mereka tidak akan puas apa bila hanya dia yang menyerahkan diri. Mereka tentu akan membunuh pula isterinya, semua muridnya, bahkan mereka tentu akan mencari putera tunggalnya untuk dibunuh! Tidak, dia harus mempertahankan keluarganya. Dia harus membela diri serta melindungi keluarga dan para muridnya.
"Orang yang sedang dibebani dendam terkutuk! Siapakah namamu?" Akhirnya Han Tiong bertanya, suaranya penuh wibawa.
Kakek itu tertawa. "Nama kami tidak ada gunanya kau ketahui. Akan tetapi agar engkau ingat bahwa kami datang untuk membalaskan dendam nenek kami Hek-hiat Mo-li, biarlah engkau dan dunia kang-ouw mengenal kami sebagai Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Ha-ha-ha, akan tetapi apa gunanya? Sebentar lagi kalian semua akan menyusul mereka yang sudah mampus lebih dahulu!"
Cia Han Tiong melangkah maju. "Hek-hiat Lo-mo, marilah kita bereskan perhitungan lama secara jantan. Mari engkau dan aku menentukan dengan taruhan nyawa kita dan urusan dendam ini kita habiskan di sini, tidak perlu menyangkut orang lain."
"Enak saja engkau hendak menyelamatkan keluarga serta murid-muridmu. Tidak, kalian semua harus mampus di tangan kami, barulah kami merasa puas dan terlepas dari beban batin selama puluhan tahun!" Nenek yang diberi nama Hek-hiat Lo-bo itu berkata dengan suara melengking-lengking.
Ciu Lian Hong yang sejak tadi diam saja, kini melangkah maju mendekati suaminya dan berkata, "Mari kita hadapi mereka!" dengan sikap gagah nyonya ini pun mempersiapkan diri.
Akan tetapi suaminya menggeleng kepala dan menyuruhnya mundur dengan sikap halus. "Jangan engkau mencampuri, biarkan aku saja yang membereskan urusan ini," katanya.
"Ha-ha-ha, ketua Pek-liong-pang. Tidak perlu sungkan dan malu. Kami datang berdua dan kami telah mempersiapkan segalanya, termasuk pengeroyokan murid-muridmu. Nah, kau kerahkanlah semua tenagamu di sini, kami tidak akan takut, tidak akan mencelamu kalau kau melakukan pengeroyokan!" kata Hek-hiat Lo-mo.
Akan tetapi Cia Han Tiong adalah seorang pendekar lengkap, seorang yang menjunjung tinggi kehormatan. "Kami bukan pengecut yang suka main keroyokan dan mengandalkan banyak orang. Kalian hanya datang berdua, jika setuju, biarlah kulayani kalian satu demi satu."
"Kami datang berdua dan kami maju bersama. Kau boleh mengerahkan semua keluarga dan muridmu!" Hek-hiat Lo-bo membentak.
Nenek ini telah menerjang dahsyat menggunakan tongkatnya yang meluncur ke arah dada ketua Pek-liong-pang itu. Suaminya, Hek-hiat Lo-mo, juga menyerang dengan tongkatnya.
Menghadapi serangan beruntun yang dilakukan dua orang itu secara dahsyat dan susul menyusul, Han Tiong mengebutkan kedua lengan bajunya untuk menangkis ujung tongkat sambil meloncat ke belakang.
"Plak-plak...! Brettt…!"
Ujung lengan bajunya dapat menyampok terpental kedua senjata lawan, akan tetapi ujung lengan baju kiri yang menangkis senjata di tangan Hek-hiat Lo-mo itu terobek.
Kedua pihak terkejut. Kakek dan nenek itu dapat merasakan betapa kuat tangkisan ujung lengan baju tadi. Mereka bergerak dengan hati-hati dan kini mengambil posisi di kanan kiri lawan, lantas tongkat mereka membuat gerakan-gerakan aneh dan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam saja.
Melihat gerakan mereka yang amat teratur, Han Tiong bisa menduga bahwa kedua orang ini memang sudah mempelajari cara bersilat berdua yang merupakan semacam ilmu silat berpasangan. Ilmu ini amat kuat karena keduanya dapat bekerja sama secara teratur dan rapi, dapat saling bantu dan saling melindungi secara otomatis. Mengertilah dia mengapa mereka tidak mau maju satu demi satu, melainkan ingin maju bersama.
"Singgg...!"
Cia Han Tiong memang pantang membunuh, akan tetapi menghadapi lawan-lawan yang sangat tangguh itu, dia pun mencabut pedangnya untuk dapat membela diri dengan baik. Sebetulnya pendekar ini tidak pernah menggunakan pedang dan pedang yang dibawanya itu lebih merupakan hiasan saja. Akan tetapi, sekali ini dia membutuhkannya.
"Hiaaaat...!" Hek-hiat Lo-mo sudah menusukkan tongkatnya dari kanan.
"Ihhh...!" Hek-hiat Lo-bo juga menyerang dari kiri dengan totokan ke arah leher.
"Wuuutt...! Singgg...! Trang-tranggg...!"
Pedang berkelebat membentuk sinar terang dan menangkis kedua tongkat. Akan tetapi, begitu kedua tongkat terpental, kakek dan nenek itu langsung menggerakkan tangan kiri dan ternyata serangan tangan kiri mereka yang menyambar itu tidak kalah ampuhnya jika dibandingkan tongkat mereka!
Han Tiong cepat menggeser kaki dua kali, mengelak sambil menggunakan ujung lengan baju kiri untuk menangkis. Kini tahulah dia bahwa yang paling berbahaya adalah tangan kiri kedua lawan itu. Inti penyerangan mereka terletak pada kedua tangan kiri sedangkan tongkat-tongkat itu lebih bertugas sebagai pengacau kedudukan lawan dan mengalihkan perhatian agar tangan kiri mereka lebih banyak memperoleh kesempatan untuk ‘mencuri’ kelengahan lawan.
Maka dia pun segera mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat di tangan kirinya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Kini terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru.
Akan tetapi ternyata dua orang kakek dan nenek itu memiliki gerakan silat yang luar biasa dan asing bagi Han Tiong. Yang amat berbahaya dan tak terduga-duga datangnya adalah serangan kaki mereka. Kaki mereka itu bisa menyelingi serangan tongkat dan tangan kiri dengan tendangan-tendangan aneh yang dilakukan dalam berbagai posisi, baik tendangan langsung, miring ke belakang, bahkan tendangan dengan lutut.
Cara menendang gaya Sailan ini masih belum dikenal oleh Han Tiong. Berbeda dengan gaya tendangan dari daerah selatan yang mempergunakan seluruh panjang kaki dengan pengerahan kekuatan dan dilakukan dengan cepat dari jarak agak jauh, tendangan kakek dan nenek ini dapat dilakukan dari jarak dekat, dengan menggunakan lutut dan tiba-tiba datangnya. Bagaimana pun juga kematangan Han Tiong dalam ilmu silatnya membuat dia selalu dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat pula sehingga sering membuat kedua lawannya terkejut dan kesatuan gerakan mereka membuyar.
Ciu Lian Hong merasa penasaran ketika tadi suaminya menyuruh ia mundur. Apa lagi kini melihat suaminya dikeroyok dua dan kelihatan terdesak, dia merasa semakin penasaran. Karena merasa khawatir akan keselamatan suaminya, akhirnya Ciu Lian Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Kakek nenek iblis curang!" bentaknya, lantas nyonya itu pun meloncat ke depan, sambil menyerang Hek-hiat Lo-bo dengan tamparan tangan kanannya.
"Plakkk...!"
Tubuh nyonya itu nyaris saja terpelanting saat tamparannya ditangkis oleh Hek-hiat Lo-bo dengan amat kuatnya.
"Heh-heh-heh, bagus! Engkau datang menyerahkan nyawamu!" nenek itu terkekeh-kekeh lalu menyerang Ciu Lian Hong dengan tongkatnya. Nyonya ini mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya.
"Trangggg...!" Sinar pedang berkelebat dan ternyata Han Tiong sudah menangkis tongkat yang mengancam keselamatan isterinya itu.
"Hong-moi, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri..."
"Tidak! Aku harus membantumu!" teriak Lian Hong.
Han Tiong khawatir akan keselamatan isterinya, maklum bahwa tidak mungkin Lian Hong bisa dicegah. Dia menyerahkan pedang di tangannya kepada isterinya lalu berbisik cepat, "Pergunakan pedang ini dan mainkan Thai-kek Sin-kun hanya untuk membela diri saja!"
Dua orang musuh mereka itu tertawa, lalu menyerang kembali, si kakek menyerang Han Tiong yang bertangan kosong sedangkan nenek itu memutar tongkatnya lalu menyerang Lian Hong.
Nyonya ini maklum akan kelihaian lawan. Maka dia pun cepat menggerakkan pedangnya dan bersilat dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun, sesuai dengan pesan suaminya. Ilmu ini dapat dimainkan dengan pedang dan ilmu silat ini memang mengandung daya tahan yang amat hebat. Ketika Lian Hong memutar pedangnya dan mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tongkat lawannya tidak mampu menembus benteng pertahanan yang kokoh kuat itu.
Betapa pun juga, tenaga lawan lebih besar dan ilmu kepandaian nenek itu memang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka biar pun Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun amat kokoh kuat, tetap saja Lian Hong terdesak dan tangannya yang memegang pedang terasa panas dan nyeri setiap kali pedangnya bertemu tongkat.
Semenjak tadi Lian Hong hanya membela diri saja, sesuai dengan petunjuk suaminya, tak pernah membalas karena dia terus mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk bertahan. Akan tetapi lama kelamaan nyonya ini merasa sangat penasaran. Dia didesak dan dihimpit dan meski pun ilmu silat itu ternyata mampu melindunginya sehingga selama hampir lima puluh jurus dia belum pernah terpukul, akan tetapi jika hanya bertahan terus, akhirnya pasti dia akan kalah juga. Rasa penasaran membuat Lian Hong kini menyelingi pertahanannya dengan serangan balasan. Dan inilah kesalahannya!
Tadi Han Tiong sempat melihat betapa tingkat kepandaian isterinya masih kalah jauh jika dibandingkan lawan, karena itu dia sengaja memberikan pedangnya dengan pesan agar isterinya memainkan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, walau pun isterinya tidak akan menang, setidaknya isterinya akan mampu melindungi diri sendiri sampai dia berhasil mengalahkan Hek-hiat Lo-mo kemudian membantu Lian Hong. Akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.
Kini, tanpa memegang pedang, sebenarnya Han Tiong dapat mengeluarkan ilmu-ilmunya yang sakti. Sayang, hatinya yang bersih sama sekali tak menghendaki membunuh lawan. Dia merasa bahwa pihaknya yang berhutang. Maka dia hanya membela diri dan balasan serangannya mempergunakan batas-batas supaya jangan sampai dia membunuh lawan. Hal ini mengurangi daya serangannya dan sedemikian jauhnya dia masih belum mampu mengalahkan lawan. Pada saat itu pula, Lian Hong yang sudah amat penasaran itu mulai membalas dengan serangan hebat kepada Hek-hiat Lo-bo!
"Haiiitttttt...!" Lian Hong menusukkan pedangnya dengan cepat dan kuat ke arah perut nenek itu.
"Iiihhh...!" Nenek itu meloncat dan terhuyung ke belakang.
Nenek yang sudah berpengalaman ini memang licik sekali. Tadi dia sudah hampir putus asa menghadapi daya tahan yang kokoh kuat dari ilmu silat lawannya. Dia merasa amat penasaran dan kehabisan akal. Dia tahu bahwa dia menang segala-galanya dari lawan, akan tetapi semua ilmu sudah dia keluarkan namun belum juga dia mampu membobolkan sinar pedang yang membentuk benteng pertahanan lawan itu.
Ketika melihat lawan tiba-tiba mulai menyerang, dia menjadi gembira sekali. Begitu lawan menyerang, dia melihat ada lubang terbuka dalam benteng pertahanan itu! Akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa, bahkan memancing lawan agar menyerang terus sehingga akan terbuka lubang serta kesempatan yang lebih besar. Maka dia pura-pura terkejut, berseru sambil terhuyung ke belakang seakan-akan dia terdesak hebat oleh serangan lawan tadi. Dan Lian Hong terkena jebakan ini!
Melihat betapa nenek itu terhuyung oleh serangannya, Lian Hong menjadi gembira sekali, mengira bahwa serangannya ini berhasil. Dia lalu mendesak dan mengirimkan serangan susulan dengan pedangnya, menubruk ke depan sambil menyabetkan pedangnya ke arah leher nenek itu dari samping.
"Hong-moi, mundur...!" Tiba-tiba terdengar Han Tiong berseru keras sekali.
Dia hendak meloncat ke depan untuk mencegah isterinya, namun Hek-hiat Lo-mo sudah menghadang dengan totokan tongkatnya. Dan juga seruannya tadi telah terlambat karena isterinya yang sudah merasa girang melihat kemenangannya di depan mata itu tidak mau menahan serangannya.
"Wuuuttt...! Srettt...!"
Pedang itu menyambar leher Hek-hiat Lo-bo yang mengelak dan ketika ia menggerakkan kepala, ikatan rambutnya yang penuh uban itu terlepas lalu gumpalan rambutnya bergerak seperti hidup, tahu-tahu sudah membelit dan menangkap pedang lawan.
Lian Hong mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, akan tetapi sukar sekali dan selagi dia bersitegang, mendadak tongkat di tangan nenek itu meluncur di bawah lengan Lian Hong kemudian menotok dada, tepat di dekat ketiak.
"Tukkk...!" Nyonya itu mengeluh lirih, terkulai dan roboh tak dapat berkutik lagi.
Han Tiong mengeluarkan gerengan yang menggetarkan seluruh tempat itu, lalu menerjang kakek yang menghalang dengan tongkatnya. Karena marah dan khawatir melihat isterinya roboh, sekarang dia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Keng-lun Tai-pun. Dia melakukan sebuah jurus aneh, tubuhnya melayang ke depan sambil kedua lengannya dikembangkan dan dari kedua tangannya keluar hawa panas menyambar-nyambar.
"Tukk! Desss...!"
Tubuh Hek-hiat Lo-mo terjengkang, ada pun tubuh Han Tiong terguncang terkena totokan tongkat. Akan tetapi dia menerjang terus dan meloncat ke arah isterinya yang kini rebah miring. Melihat suaminya terjengkang, Hek-hiat Lo-bo mengeluarkan suara pekik nyaring melengking dan menyambut Han Tiong dengan tusukan tongkat dibarengi oleh hantaman telapak tangan kiri. Hebat bukan main serangan nenek yang tingkat kepandaiannya tidak di bawah suaminya ini.
"Tukk! Plak! Desss...!"
Tubuh Hek-hiat Lo-bo langsung terpelanting dan terguling-guling ke dekat tubuh suaminya. Keduanya dengan susah payah bangkit duduk, muka mereka pucat sekali, napas mereka memburu dan dari mulut serta hidung mereka keluar darah.
Maklum bahwa mereka telah terluka parah dalam pertemuan tenaga sakti melawan ketua Pek-liong-pang tadi, keduanya lantas duduk bersila menghimpun hawa murni dan menanti datangnya pukulan maut dari lawan. Mereka berdua tahu bahwa dalam keadaan seperti itu tidak mungkin melarikan diri, apa lagi melawan!
Han Tiong sendiri pun terluka, akan tetapi masih untung baginya bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh tadi telah melindungi tubuhnya sehingga biar pun dalam tubuhnya terguncang hebat dan dari mulutnya mengalir darah segar pula, tapi totokan-totokan dan hantaman tangan kiri lawan yang amat ampuh tadi tak sampai mengakibatkan luka parah.
Dia tidak mempedulikan lagi kedua orang lawannya, melainkan menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh isterinya. Dia mengangkat dan memangku tubuh yang lunglai itu dan biar pun tubuh itu masih hangat, dia tahu bahwa isterinya telah tewas!
"Hong-moi... aihh, Hong-moi... engkau telah menjadi korban kekerasan keluargaku...," dia meratap dan mengeluh, penuh rasa duka dan terharu.
Kalau tadi para murid Pek-liong-pai tidak berani turun tangan menghadapi musuh tanpa perintah suhu mereka, kini melihat subo mereka tewas dan dua orang musuh itu agaknya telah terluka parah sehingga tinggal menyusulkan sebuah pukulan maut saja, mereka lalu bergerak menyerang kakek dan nenek itu untuk membalaskan kematian subo dan lima belas orang saudara seperguruan mereka.
Sebagai dua orang yang pandai, tentu saja kakek dan nenek itu tahu akan bahaya yang mengancam diri mereka. Mereka sudah terluka parah dan mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan berarti membunuh diri sendiri. Akan tetapi sebelum mati lebih baik mereka merobohkan lagi beberapa orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum tinggi. Mereka lalu bangkit berdiri, terengah-engah menyeringai, bertopang pada tongkat mereka.
"Hah, majulah kalian, heh-heh...!" Hek-hiat Lo-mo menantang.
Isterinya juga siap di sebelahnya, tetapi tidak berani dan tidak kuat lagi membuka suara. Para murid Pek-liong-pang terkejut dan menjadi agak gentar, menunda serangan mereka dan kini maju mengepung, siap dengan senjata mereka.
"Tahan...!" tiba-tiba untuk kedua kalinya Han Tiong membentak. Semua muridnya terkejut, menahan senjata dan menoleh ke arah pendekar itu.
Dengan lembut Han Tiong menurunkan tubuh isterinya, merebahkan mayat yang masih hangat itu di atas tanah, lalu dia bangkit berdiri, mengusap darah dari tepi bibirnya, lalu melangkah maju menghampiri kakek dan nenek itu. Sejak tadi matanya menatap wajah mereka dengan tajam.
Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo memandang dengan muka pucat, maklum bahwa jiwa mereka berada di tangan pendekar ini karena tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terluka parah untuk melawan pendekar ini.
Mendadak Hek-hiat Lo-mo terkekeh. Dia tertawa untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya. "Heh-heh-heh, orang she Cia! Kami sudah kalah olehmu. Mau bunuh lekaslah lakukan itu. Kami tidak merasa rugi karena nyawa kami ditukar nyawa isterimu dan lima belas orang muridmu!"
Sinar berapi-api penuh kemarahan memancar dari sepasang mata pendekar ini, ada pun kedua tangannya mengepal tinju. Terdengar bunyi berkerotokan ketika dia mengerahkan tenaga sehingga dua orang tua itu merasa semakin seram.
Mereka tahu betapa dahsyatnya tenaga yang tersembunyi di dalam sepasang tangan itu sehingga sekali saja tangan itu bergerak, mereka takkan mampu mempertahankan nyawa mereka lagi. Juga para murid Pek-liong-pang memandang terbelalak, ingin sekali melihat guru mereka menurunkan tangan maut membunuh dua orang musuh besar itu.
Akan tetapi pukulan yang dinanti-nantikan itu tidak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isterinya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya menggetar penuh duka.
"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, sesudah kalian membunuh isteriku serta lima belas orang muridku, keuntungan apa yang kalian peroleh dari kematian mereka? Dan apakah dengan kematian mereka itu lantas nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"
Mendengar pertanyaan yang aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab, "Tentu saja nenek guru kami tidak mungkin hidup kembali, dan keuntungan yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagian!"
"Benarkah itu? Benarkah kalian merasa puas? Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"
"Sudahlah, kami sudah kalah dan gagal, engkau boleh saja membunuh kami, kami tidak merasa takut!"
Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya. "Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyambung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan kubikin putus rantai karma yang membelengguku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai di sini saja."
Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.
"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?" tanya nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan karena dia terlepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.
Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, kalian boleh pergi..."
Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh isteri serta lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup belum pernah mereka mendengar hal seganjil ini, apa lagi mengalaminya. Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarang pun mereka mulai merasa menyesal sekali.
Peristiwa pembunuhan ini selama hidup akan terus-menerus menghantui mereka dengan penyesalan. Jika pendekar ini merasa dendam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di dalam hati mereka. Akan tetapi sekarang sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal sekali sudah melakukan pembunuhan pada hari ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.
Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah. "Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali...," kata kakek itu.
"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong.
Dia lalu menghampiri mayat isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang. Para muridnya juga mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.
Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang sangat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang mata sayu, kemudian dengan tertatih-tatih mereka pun pergi meninggalkan Lembah Naga.
Sesudah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana menjadi sangat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka, dan kemudian setiap kali ada murid Pek-liong-pang yang datang, maka meledaklah ratap tangis di antara mereka.
Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul pada malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati itu akan dikebumikan. Dan dalam kesempatan ini, para murid kepala lalu menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.
"Suhu, teecu sekalian masih tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang telah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka. Para murid lainnya mengangguk setuju, lantas semua mata ditujukan kepada pendekar itu.
Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah sudah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.
"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam sebuah perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"
"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."
"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."
"Akan tetapi, suhu, mereka datang menyebar maut dan membunuh! Setelah suhu berhasil mengalahkan mereka, mengapa suhu melarang teecu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membebaskan mereka. Hal ini sungguh dapat membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.
Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya membuka mata untuk melihat betapa kenyataan hidup itu kadang-kadang pahit adanya.
"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, lantas kalian menganggap mereka itu jahat. Akan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita jika kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apa pun juga alasannya, apa lagi membunuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andai kata kita membunuh mereka berdua, apakah enam belas jenazah ini akan dapat hidup kembali? Tidak! Maka tidak ada gunanya sama sekali jika kita membunuh mereka, bahkan kita menanam bibit permusuhan baru lagi. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan mereka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."
Keadaan menjadi hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para murid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.
"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah tiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang sudah kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon lantas berbuah dan buahnya harus kita petik sendiri pula? Karena itu kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman kita sendiri. Jadi kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima mala petaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku sudah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."
"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.
"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu akan mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus kalian ketahui bahwa sebab-sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karma pun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang sangat kuat. Apa bila setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, maka perbuatan itu habis sampai di sana saja, bukan merupakan akibat mau pun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."
Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum hingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tak lagi bicara, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.
Tiba-tiba terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin keras bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin-lilin besar di atas meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam dan menimbulkan banyak bayangan hitam menari-nari di atas dinding putih. Juga asap dupa beterbangan ke arah kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka.
Sebelum mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari dua arah menjadi berputar seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor harimau dari dua jurusan.
Han Tiong tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan segera menggeser duduknya ke belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke arah meja sembahyang. Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka di saat seperti itu.
Dia tidak mengharapkan tamu pihak luar. Para muridnya telah dipesan agar mengundang murid-murid Pek-liong-pang saja dan jika mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar. Dia tak ingin mala petaka yang menimpa dirinya itu diketahui oleh dunia kang-ouw. Dan rahasia ini sangat mungkin dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul orang-orang pandai?
Tidak ada seorang pun murid Pek-liong-pang yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa hal itu tentu dilakukan oleh makhluk-makhluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri sehingga bulu tengkuk mereka meremang.
Tiba-tiba saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget, kemudian memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan meja sembahyang.
Usia kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya dipenuhi cambang bauk yang terpelihara rapi sehingga dia tetap terlihat bersih, dan pakaiannya seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru mengkilap.
"Ha-ha-ha-ha...! Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku turut berduka cita atas mala petaka yang menimpa keluarga Cia!" Sesudah berkata demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.
Han Tiong sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia selalu minum obat dan merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dia pun bisa menduga bahwa kekek ini muncul bukan sebagai sahabat.
Ketika kakek itu menjura ke arahnya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sinkang lantas balas menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, alangkah kagetnya pada saat dia merasakan kehebatan tenaga sakti yang menyambar ke arahnya. Dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan dorongan kuat yang membuat dadanya terasa sesak terhimpit!
Selagi Han Tiong hendak menghentikan adu tenaga ini dengan jalan menghindar dengan loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah belakangnya. Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka.
Kakek ini pun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usianya. Tubuhnya tinggi kurus, tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung sebuah ciu-ouw (guci arak).
"He-he-he...! Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah? Tahunya hanya mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa dan budiman, mana dapat dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?" Sambil berkata demikian, kakek tinggi kurus yang bajunya penuh tambalan ini pun menjura dari belakang Han Tiong lantas pendekar ini merasa betapa ada tenaga mukjijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga dorongan kakek tinggi besar itu.
Sementara itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan terjadinya adu tenaga sakti itu, menyangka bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang datang dan hendak bersembahyang, lalu menyalakan beberapa batang hio dan dengan sikap hormat segera menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek tadi, masing-masing tiga batang.
Agaknya murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah sahabat-sahabat suhunya, kerena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari bahwa di antara dua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti yang sangat seru.....!