Asmara Berdarah Jilid 07

"Mulut lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"

Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berubah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku...," dia meratap.

"Lojin, harap maafkan dia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia mampu menolongnya itu.

Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau tadi aku tidak mengampuninya, apakah sekarang dia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal sudah bersalah kepadaku?"

"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.

"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta.

Semua orang terkejut sekali lalu memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang sangat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!

"Sekali lagi!" iblis itu membentak dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.

"Sudah, mundurlah dan mari kita melanjutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Sekarang kita berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok akan menentang dan berusaha menumpas kita semua."

Hening sejenak sesudah Iblis Buta berhenti berbicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan manusia-manusia sombong itu!"

"Bunuh semua pendekar!"

"Serang mereka pada pertemuan itu!"

Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas hingga suara gaduh itu berhenti. “Memang kita harus mengadakan perlawanan, akan tetapi kita harus berhati-hati dalam menghadapi para pendekar karena di antara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin kita menggunakan kekerasan, karena itu harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan laporan kalian masing-masing tentang keadaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."

Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor, "Lojin, kini anak buah kami membayangi kaisar yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."

"Jangan ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya juga. Aku sendiri akan membunuh siapa pun yang berani mengganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu berseru.

Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti tentu tidak merasa heran, akan tetapi tidak demikian dengan para tokoh lainnya. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.

"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah sekarang kita semua harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengan pemerintah?"

"Dasar bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita akan dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para pejabat di mana pun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam juga sehingga kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita pun menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kita pun tak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"

Semua orang mengangguk. "Aihhh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang memiliki niat buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."

Iblis Buta mengerutkan alianya. "Bukankah kau katakan bahwa ada dua pengawal rahasia yang melindungi kaisar?"

"Akan tetapi, lojin. Kali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang dari Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berkepala botak.

Iblis Buta mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian berdua mengerahkan kawan-kawan ke muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan sekalian mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.

"Bagus, sesudah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula kakek buta.

Memang keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting bagi kakek ini. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama di antara mereka. Telah beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan para musuh rahasianya, yaitu pembesar-pembesar yang menentangnya dan menghendaki agar kaisar terbebas dari kekuasaannya.

Tugas itu dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin dengan mudah dan baik, biar pun dia hanya menyuruh anak-anak buahnya. Beberapa orang musuh itu kemudian lenyap secara aneh dan mayat-mayat mereka tak ditemukan. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari Liu-thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.

"Ada dua tugas yang agak berat tetapi penting sekali dilakukan," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Hal ini kuserahkan kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja kalau nenek itu berani!"

Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..!”

“Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"

"Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Kalau engkau gagal, aku pasti akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping menteri yang lemah itu terdapat seorang selirnya serta seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."

“He-he-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga semua hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.

"Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai lebih dulu, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Pembesar kedua yang harus dienyahkan adalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"

Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin laksaan orang pasukan!

"Akan tetapi... mana mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu tentara pasukan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa bantuan pasukan besar pula, lojin? Sedangkan mengerahkan pasukan besar berarti suatu pemberontakan dan perang..."

Pertanyaan ini keluar dari bibir seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya amat lebar dan gerak-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya membayang sifat yang kejam dan suka mempergunakan kekerasan.

Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.

"Kalian semua bodoh bila berpendirian demikian. Memang Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi ia pun seorang manusia biasa dan tidak mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali waktu tentu dia akan menyendiri, hanya dengan keluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, maka kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"

Suami isteri tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.

"Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Sesudah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu kemudian laporkan hasilnya kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang punya laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan, lalu dia menyambung, "Bukankah sebelum berkumpul di sini kalian sudah menyelidiki tentang pertemuan para pendekar? Siapa saja yang akan hadir dan apakah kalian sudah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?"

Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri.

"Blarrrrrrr...!" Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka.

Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang terkena kayu yang membara atau pun pecahan batu karang. Akan tetapi karena mereka semua adalah golongan orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang terkejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat bukan main, dapat mengetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.

"Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia jika kau malah menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nampak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.

"Ampun, lojin, maksudku hanya untuk mengusir nyamuk..."

"Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu sudah menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa mau membuat laporan?"

"Aku sudah bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku telah kehilangan banyak ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu akan tetapi selihai itu. Masing-masing dari mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pendekar."

Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Jika dua orang muda saja sanggup menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa pada pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, padahal mereka masih begitu muda!

"Aku sempat bertemu dengan suami-isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, akan tetapi aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seorang tokoh lain yang suaranya mirip bunyi tikus mencicit.

Ada pula yang melapor telah berhasil melukai seorang peserta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan sudah membunuh beberapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu sangat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.

"Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan orang-orang lemah!"

Si cebol botak yang tadi pernah bicara tiba-tiba maju ke depan sambil menyeret sebuah buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan oleh kawan-kawan itu masih tidak ada artinya jika dibandingkan dengan yang kuhasilkan!" katanya menyombong dan dengan sikap menjilat.

Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar dari pada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Jika orang mau memperhatikan daun telinganya di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, maka akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.

"Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.

"Lojin, di dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."

"Kenapa ditawan?"

"Ha-ha, dia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."

"Mana tawanan itu?"

Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Dara muda ini berpakaian pendekar. Dia segera menggulingkan tubuhnya dan biar pun kaki tangannya terbelenggu, namun dia berusaha untuk memberontak.

"Hemm, kiranya para iblis kaum sesat sedang berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya.

Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat seberkas sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halus sekali yang tadi menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak.

Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang baru saja dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap.

"Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan akan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang telah membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kau biarkan lolos?"

"Tapi dia terluka..."

"Apa kau kira tak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi.

Ternyata Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang sudah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka dia cepat meloncat ke belakang, lantas bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.

Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum-jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.

"Brukkkk!"

Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara berdetak perlahan saat ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali.

Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung serta telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka itu sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!

Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi jika kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, maka sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kita pun bisa terdapat kekejaman seperti itu.

Alangkah mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli ketika melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, malah sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tidak ada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu!

Tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merubahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas dari pada kekotoran itu.

Bahkan percakapan tetap saja mereka teruskan ketika si cebol botak sedang berkelojotan dalam sekarat, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.

“Kini kita harus segera melakukan persiapan. Kita akan mendekati Puncak Bukit Perahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak seberapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan agar mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang telah disiapkan untuk dapat dipergunakan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.

Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang telah siap dan ternyata jumlahnya tak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, sudah lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, tapi kitalah yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap dan bersembunyi di dalam hutan di sebelah selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"

Mendadak Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu.

Semua orang turut memandang namun tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dengar hanyalah gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Kemudian semua orang saling pandang dengan hati gelisah dan jantung berdebar kencang karena memang benar, lapat-lapat kini mereka pun mulai dapat mendengar suara yang-kim.

Yang-kim adalah alat musik sejenis siter yang menggunakan senar-senar kawat berbunyi nyaring melengking. Sekarang. di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim dimainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu!

Di bawah cahaya bulan purnama yang seperti perak, nampaklah sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang bisa naik perahu sambil enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liarnya dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.

Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Bentuk mukanya tak nampak jelas, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasanya sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.

Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu dan demikian nyaringnya memasuki telinga sehingga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk.

Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sinkang-nya sudah menjadi lemas. Mereka mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seakan-akan mampu menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila dan melakukan siulian (semedhi) untuk memperkuat sinkang-nya menahan daya serangan suara yang-kim itu.

Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang telah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sinkang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apa lagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia amat marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga dia pun tidak dapat mendekatinya.

Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba saja dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.

"Krakkkk...!"

Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih terus bermain yang-kim!

Memang Siangkoan-lojin ini hebat bukan main. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah ‘awas’ dibandingkan orang yang tidak buta.

Semua tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak serta wajah berseri-seri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menyangka bahwa perahu itu bersama dengan penghuninya tentu akan hancur lebur tertimpa batu yang sedemikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.

Akan tetapi kakek berjenggot panjang itu agaknya sama sekali tak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!

"Blarrrrrr...!"

Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air sehingga mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.

Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, lalu menarik napas panjang. "Hemmm, gara-gara si tolol ini!" katanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tidak bergerak lagi itu pun kena ditendangnya sehingga melayang menuruni tebing yang curam!

"Dia yang memancing kedatangan orang pandai memata-matai tempat ini. Kini kita harus segera bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan ada yang sembarangan bergerak. Bila mana aku telah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku. Mengerti?"

Bagaimana pun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu telah mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka pun maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu benar-benar lihai. Apa bila banyak yang seperti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh.

Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang telah terbiasa mengandalkan kekuatan sendiri. Apa lagi mereka mempunyai banyak anak buah dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka biar pun peristiwa tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.

Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu sudah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang tadi malam sudah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua sudah mengurung dan masih bersembunyi, namun siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.

Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik tinggi dan keadaan puncak itu pun sunyi-sunyi saja. Akhirnya mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah!

Karena melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi setelah mereka tiba di atas puncak, mereka segera termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pepohonan dan meremukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorang pun pendekar di situ!

Tahulah Iblis Buta Siangkoan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka sengaja menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Teringatlah dia akan kakek berjenggot paniang bermain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.

Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, sesudah kita gagal di sini karena rahasia sudah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal lagi dalam tugas lain yang malam tadi telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini, lantas berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan agar dapat bersatu-padu menghadapi para pendekar jika ada gangguan dari mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Bila mana terjadi peristiwa penting, cepat laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan jika bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"

Setelah menerima perintah ini, mereka pun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri.

Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Juga sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-san-kok itu pun berangkat bersama untuk menjalankan tugas yang paling berat, yaitu membunuh Jenderal Ciang. Tokoh-tokoh yang lain juga ikut bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali.

Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Sebelumnya mereka telah mendapat keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorang pun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggota gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.

Memang dugaan Iblis Buta itu tak keliru sama sekali. Para pendekar yang tadinya hendak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi sudah mendengar bahwa pertemuan itu dibatalkan. Semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama Iblis Buta, nama yang langsung menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.

"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberi tahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggotanya terdiri dari murid-murid Siauw-lim-pai. "Apa lagi jumlah mereka sangat banyak, sedangkan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Sebab itu pertemuan sekali ini terpaksa dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing tetap mengadakan usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."

Pek-ho-pai ialah sebuah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar, maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan.

Kini Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai. Karena dia seorang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Silat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka dia pun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan.

Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting. Karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua, usianya sudah mendekati sembilan puluh tahun, maka kepengurusan perkumpulan itu diserahkan kepada murid-murid kepala. Namun ketika Hwa Siong Hwesio mendengar tentang kekacauan yang terjadi di mana-mana, apa lagi mendengar bahwa Cap-sha-kui sudah gentayangan laksana iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.

Akan tetapi pada malam hari itu perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, yaitu seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim pada punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini pula yang memberi tahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu.

Mendengar berita yang mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai segera menyebar murid-murid mereka untuk menghadang lantas memberi tahu para pendekar yang hendak berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha inilah maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka hanya mendapatkan tempat kosong!

Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari puncak tebing. Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, dan di antara para pendekar dia disebut Shan-tung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shan-tung).

Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung). Dua orang suheng-nya telah meninggal dunia dan dia sendiri kini telah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri dia suka berkelana, dan telah bertahun-tahun tak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan sudah menanggalkan pedangnya dan menggantinya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.

Akan tetapi, pada waktu melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shan-tung Lo-kiam terpaksa keluar juga. Dan meski pun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia bisa mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Dia pun telah mendengar tentang undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.

Demikianlah, pertemuan para pendekar lalu dibatalkan demi keamanan. Akan tetapi para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui telah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, sekarang kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat…..!

********************

Seperti juga pendekar-pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika malam itu berada di lereng bawah puncak, berjumpa pula dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang tapi pendekar wanita ini tetap tenang saja. Dia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena dia tidak tahu siapakah orang itu dan entah kawan atau lawan, maka dia bersikap tenang saja tetapi diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.

"Nona, apakah nona juga seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang, lalu muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih.

Pertanyaan tadi diajukan dengan suara sopan, akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar. Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Dia harus berlaku hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.

"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" Sui Cin balas bertanya, pandang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.

Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk salah seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggota Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."

"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.

"Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dahulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."

Sui Cin tersenyum. Dia segera memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Dia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai.

"Aku pun boleh meragukan dirimu!" katanya, lantas tiba-tiba saja gadis ini telah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!

Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka dia pun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini.

Akan tetapi tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, dia hanya memancing saja. Jika dia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah dia akan dapat segera merobohkan lawannya. Sesudah dia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan lima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru dia percaya dan dia pun cepat melompat ke belakang.

"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat di sini. Mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."

Tentu saja omongan ini tidak dipedulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Dia pun tidak mengenal nama itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis ini pun perlu diberi tahu.

"Maaf, nona. Saya diberi tugas untuk memberi tahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui serta gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan menyerbu tempat ini."

Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apa lagi mendengar disebutnya nama Si Iblis Buta.

"Ahh, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?

"Saya tidak bisa menerangkan lebih banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu kepada para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan menghilang dalam gelap.

Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali lantas termenung. Dia tidak tahu duduk persoalannya dan dia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan.

Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja dia pun tidak boleh mencampuri. Apa lagi dia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa dia sudah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar