Asmara Berdarah Jilid 04

Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu sehingga Sui Cin bisa melihat wajah pemuda itu dengan lebih jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, namun sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.

Pemuda itu gagah perkasa, berpakaian rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biar pun raut mukanya tak bisa dinamakan tampan, akan tetapi dia pun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.

"Mari kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.

"Ke mana harus pergi?" Sui Cin pura-pura bertanya, karena sebenarnya dia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok.

Pemuda itu nampak semakin tidak sabar. "Kau ikut saja denganku!"

Dan pada waktu itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayunkan kakinya sehingga empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar merupakan gerakan kaki seorang ahli.

Akan tetapi pada saat itu si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tidak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.

"Haiii...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!" Sui Cin berteriak-teriak.

Ia sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Dia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam sebuah perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, dia pun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari sambil berloncatan di atas genteng, dan bahwa tidak akan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.

"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"

Pemuda itu mengomel, "Aku ingin menolongmu, kenapa engkau malah bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"

Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu baru melepaskan kempitannya. Begitu menginjak tanah, Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.

"Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku pun tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati dan pemberani. Akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."

"Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.

"Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, juga tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seakan-akan aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu." Biar pun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.

Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Dia bertolak pinggang dan memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kau tolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau tolong hanya aku seorang? Mengapa yang lain-lainnya kau diamkan saja?" Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.

Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga, "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka."

"Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tak akan peduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!"

Pemuda itu menjadi marah. Dia mengepal tinjunya, akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya. Kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan berkata, "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!"

Pemuda itu meloncat, segera lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itu pun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadl merah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlihatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apa lagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai harus menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin.

Dia percaya dengan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biar pun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya.

Dara itu demikian berani! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walau pun terancam mala petaka hebat, walau pun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!

Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu.

Ia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar. Akan tetapi, biar pun dia mewakili ayahnya, dia kini hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.

Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dengan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun.

Sebagai seorang pendekar sakti, tentu saja Cia Han Tiong mewariskan semua ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah berusia dua puluh dua tahun sekarang ini, Cia Sun sudah menguasai seluruh ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang.

Cia Sun berwatak pendiam dan serius, mirip seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan walau pun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya.

Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis terdapat hubungan yang sangat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biar pun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.

Tentu saja Cia Sun sama sekali tak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dikiranya yatim piatu dan miskin itu, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, namun dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya.

Menurut keterangan ayahnya, pamannya yang berjuluk Pendekar Sadis itu sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, juga mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biar pun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat terhadap pamannya itu.

Pada saat isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang sangat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi sesudah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja.

Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Ia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid.

Kini, sesudah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggota sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang telah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah pergi meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara.

Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang selalu mentaati pesan ayahnya tak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penasaran dan tertarik sekali.

Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sulit baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan.

Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa dan mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia pun merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu. karena dia mengnggap sudah selayaknya jika komandan itu melakukan penyelidikan karena dia pun sudah mendengar betapa banyak prajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut.

Akan tetapi, ketika melihat bahwa jembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega. Dia lantas turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan darah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan dalam sel.

Malam harinya dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa selain tabah, ternyata gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, ehh, malah marah-marah!

Akan tetapi sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apa lagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohnya, terbayang terus di depan matanya.

"Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah.

Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah.

Mengapa tiba-tiba saja dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan? Mukanya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apakah artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang sering kali dibacanya dari buku-buku namun yang belum pernah dirasakannya itu?

Sesudah dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri, seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan, tidak membeda-bedakan antara kaya miskin.

Akan tetapi dia juga bisa melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi hingga membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu kehormatan dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!

Salah satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walau pun sifatnya lebih dalam dari pada kesenangan badan.

Pengejaran akan kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan mau pun batin. Kita mengejarnya, jika sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Pada waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita.

Betapa pun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan mau pun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini sangat menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik.

Alangkah bahagianya batin yang tak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan susah, bagai sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berubah biar pun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan masih dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimana pun juga.

********************

Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri).

Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat semua kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka sekali meninggalkan istana secara diam-diam lalu melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan bersenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga kesempatan ini tentu saja digunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.

Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari sebuah keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim sangat pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia sudah memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri agar dapat mempertahankan kedudukannya.

Pelan-pelan dia mendapat kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang pada saat itu telah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lantas diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.

Laki-laki yang dikebiri itu tidak dapat berhubungan dengan wanita lagi, akan tetapi karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tidak dapat tersalurkan itu pada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan akan kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda.

Rupanya inilah yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu sangat licin serta pandai menguasai kaisar sehingga mereka mendapatkan kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.

Pada waktu itu Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun dia menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya.

Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana serta bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang walau pun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda ini malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.

Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar ini sangat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walau pun dia bukanlah seorang kaisar yang lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini lalu menular kepada para pejabat sehingga secara keseluruhan, pemerintah kelihatan kurang peduli dan lemah.

Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka, kemudian merajalela karena alat-alat negara tak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Maka gangguan-gangguan keamanan mulai berjangkit di mana-mana.

Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang kini bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar.

Mereka sama sekali tak merasa takut terhadap pemerintah yang lemah. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, akan tetapi berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.

Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk ikut menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil dari ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang.

Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak lagi mencampuri urusan dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu kemudian mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.

"Kita masih belum tahu persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan, lalu para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semuanya ini ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Sebab itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."

Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa dara jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis.

Sesudah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tidak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan wajah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu menggunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.

Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang semenjak kecil berolah raga. Wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas kemudian diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera.

Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biar pun dia tidak memiliki wajah yang tampan, tetapi penuh kejantanan. Larinya cepat bukan kepalang. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tidak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan dia pun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.

Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Selama seharian itu orang-orang yang ditemuinya di jalan hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.

Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap karena kini matahari sudah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi sesudah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang amat besar sehingga nampak menyeramkan dan liar.

Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu. Agaknya para pejalan itu lebih senang mengambil jalan memutar dari pada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu.

Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.

Akan tetapi, pada waktu dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, mendadak dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang sangat lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang lalu berjungkir balik.

Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit pada cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan bisa menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orang pun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.

Ular besar itu mengayunkan kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Jika dipukulkan seperti itu maka tangan pendekar muda ini hebatnya melebihi palu godam baja.

"Krekkk!"

Ular itu terkulai, lantas perlahan-lahan libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tak dapat digerakkan lagi karena tengkuknya sudah patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali.

Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya sudah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.

"Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr...! Hi-hik-hik!"

Cia Sun mengerutkan alisnya dan cepat menengok, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada di situ, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan.

Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap yang mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan.

Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular-ular ini dan sudah mengerahkan peliharaannya yang berupa ternak mengerikan ini untuk mengepung dirinya.

Cia Sun mengingat-ingat. Para suheng-nya, yaitu murid-murid Pek-liong-pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, dahulu pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting baik dari golongan putih mau pun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan).

Dia telah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menurut apa yang didengarnya, di antara Tiga Belas Iblis itu yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia cepat bersikap tenang dan waspada. Dia tidak mengkhawatirkan ular-ular itu, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.

"Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang.

"Heh-heh-heh, engkau masih muda telah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hik-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh-heh!”

“Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak.

Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu. Akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang yang mengerikan itu kini mulai menyerangnya dari segala penjuru!

Cia Sun lalu menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendekatinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin.

Mellhat kehebatan pemuda ini, nenek itu lantas meringkik, setengah menangis setengah terkekeh dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdapat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!

"Hemmm!" Pemuda itu mendengus.

Ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sambaran sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah patukan ular-ular yang mengurungnya.

Kembali terdengar ledakan pada waktu dia merobohkan ular-ular terbang, lantas sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lengan pun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah pada bagian lengan dan hal itu pun cukup berbahaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat untuk menyambut ujung cambuk lawan itu.

"Tukkk...!"

Bagai seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik lantas melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya dia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu.

Dia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat milik pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), sejenis ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal, juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi I-beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan.

Nenek itu bertindak mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan dia pun bersikap lebih hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan apa bila harus menghadapi demikian banyaknya ular, apa lagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening.

Sementara itu, sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu, nenek pawang ular tadi terkekeh ketika melihat pemuda itu mulai kewalahan dan dia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu.

"Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"

Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun yang sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu. Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah.

Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang sudah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya dia merasa geli melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya telah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat.

Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon. Terdengar suara ranting patah dan ketika dia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.

"Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan dari pada ular-ularmu!" Sui Cin berseru dan dia pun segera menerjang ke depan, menggerakkan senjatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu.

Sebagai puteri suami isteri pendekar sakti yang sejak kecil telah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, senjata tak begitu dibutuhkan lagi bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang sangat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakannya sebagai senjata kalau perlu.

Kalau kini dia menggunakan ranting itu sebagai senjata adalah karena dia melihat betapa nenek itu memegang cambuk berekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amat berbahaya kalau dilawan dengan tangan kosong saja dan senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.

"Syuuuuttttt...! Wirrrrrrr...!" Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat.

Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang rendah kepada gadis ini kalau saja tadi dia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya dan menyebut namanya. Seorang gadis yang dapat mengenalnya begitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang waktunya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapatlah diduga bahwa seperti si pemuda lihai itu, gadis ini pun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar ia pun menggerakkan cambuknya sambil mengerahkan tenaganya.

"Tarrr...! Pyuuurrr...!"

Nenek itu kaget bukan main. Bukan hanya dia dapat merasakan adanya tenaga kuat yang tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, akan tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja dia menjadi kerepotan mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah sebab mendengar gadis itu mentertawakannya.

"Hi-hik, julukanmu dirubah saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!"

Sui Cin maklum bahwa nenek itu lihai sekali. Walau pun mentertawakan dan mengejek, namun dia sama sekali tak berani main-main. Sambil tertawa dia pun telah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan dua tangannya karena dia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan.

Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut ketika mengenali ilmu silat yang sangat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi datuk selatan kaum sesat yang berjulukan Lam-sin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!

Terjadilah perkelahian yang seru antara Sui Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan sesudah nenek itu kini mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi gadis ini menggerakkan rantingnya untuk melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh.

Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya, juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, tentu dia tidak akan mau percaya.

Ketika ditangkap sebagai seorang gadis jembel yang menyamar pemuda, gadis itu adalah seorang gadis yang lemah biar pun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahan pun tidak mau membebaskan dirinya. Jika bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka.

Akan tetapi bagaimana kini dia tiba-tiba muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penuh tambalan dan potongannya lucu, membayangkan kemiskinan, akan tetapi memiliki kepandaian yang tinggi sehingga mampu menandingi seorang datuk sesat lihai semacam Kiu-bwee Coa-li?

Tiba-tiba saja wajahnya berubah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pura-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini ternyata seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan tetapi, suara itu sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar