Pendekar Sadis Jilid 45

Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas.

Dengan diam-diam dia membanding-bandingkan, hingga akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat dari pada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apa lagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya di dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!

“Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong…”

“Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!”

“Aku she Toan…”

“Ehh…?” Thian Sin segera teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.

Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu masih terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.”

Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia belum pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaan dirinya tentu gawat!

“Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya akibat fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.”

“Aku tidak peduli dengan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!”

“Ahhh…!”

“Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat serta setia terhadap kaisar. Tidak, ayahku mempunyai jiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan serta menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata dari pada dengan kaisar.”

“Ahh, kalau begitu… engkau masih keluarga kaisar…”

“Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita berdua adalah keluarga-keluarga jauh yang telah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, aku pun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku lantas melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak sehingga dia mencapai tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayahku berjumpa dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang sangat terkenal. Mereka saling jatuh cinta, kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk bisa menikah secara terang-terangan.”

“Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan.

Kim Hong mengangguk. “Aku pun berpendapat demikian.”

Dara itu kemudian melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik sesudah mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri dari seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!

Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan, yang bernama Ouwyang Ci, lantas bersama-sama melarikan diri ke daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.

Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci kemudian tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), satu pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tetap tinggal kosong. Namun kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah.

Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali saja Toan Su Ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahirlah seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong.

Dan mereka terus bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmu mereka. Bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka berhasil menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo Sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis).

Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapa pun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai dari pada ayahnya.

Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi anak itu tak menjadi canggung, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka dia pun mempelajari berbagai ilmu yang lain di samping ilmu silat.

Dari ayahnya, gadis ini mempelajari ilmu kesusasteraan, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya. Sedangkan dari ibunya dia mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.

Mala petaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan dia mendengar bahwa kaisar sudah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari ke mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya lantas dengan terengah-engah saking tegang dan gembira hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini, dia menceritakan kepada suaminya.

“Suamiku! Engkau sudah bebas! Engkau sudah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ahh, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang sekali.

Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya.

“Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin.

“Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau seorang pangeran, bukan? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran…”

“Tidak…!” Tiba-tiba saja Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat jelata! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggota keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!”

“Tidak mungkin!” Ouwyang Ci cepat membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup bagai pertapa di tempat terasing! Kini aku sudah tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar dari perkawinan yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu.”

“Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.”

“Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!”

Percekcokan semakin menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tetap tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap sehingga akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran ini pun berkelahi!

Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya sanggup menangis. Segala jeritannya untuk melerai hanya sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka pun lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seakan-akan menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan!

Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semuanya. Semua jurus ilmu silat mereka sudah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama.

Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang amat sempurna sehingga dia bisa melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri.

Terutama sekali ketika ayah ibunya sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun, dia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan lantas otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!

Akhirnya terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah bagai kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Sepasang matanya terbelalak dan ketika dia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, dia menjerit lalu menubruk suaminya yang telah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu sudah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!

Apa bila kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi cobalah kita membuka mata lalu memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan mengenai ‘cinta’ yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua.

Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu juga terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, tetapi sedikit saja selisihnya.

Betapa banyaknya suami isteri yang pada hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu mencurahkan rasa kasih sayang masing-masing, lalu dengan ringan kata-kata ‘aku cinta padamu’ meluncur keluar dari mulut mereka, tapi pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata, juga dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan kebencian, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing!

Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata ini, bahkan kadang-kadang beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru tadi malam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!

Begitukah cinta kasih? Ataukah yang terjadi tadi malam itu hanyalah gelora nafsu birahi belaka? Dan sesudah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbullah kemarahan dan kebencian sebagai gantinya? Kemudian sesudah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Atau hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain?

Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan malah berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara dua sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintamu sebagai sahabat sebab engkau baik kepadaku? Dan dengan begitu, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku?

Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang pada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, bagaikan jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Jika sudah tidak memperoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih?

Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tak akan menyinarkan sinar selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rasa takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itu pun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci.

Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal dengan perbuatannya sendiri itu kemudian memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Dia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat sehingga suaminya tak pernah sadar lagi dan tewas dua hari kemudian!

Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi serta menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang sangat keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya.

Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Dia menjadi sakit-sakitan dan dia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong sudah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan sekarang dia lebih lihai dari ibunya!

Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa mala petaka itu terjadi karena dia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Dia menghendaki supaya puterinya menjadi isteri seorang pria yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya.

Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena akhirnya dia sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta sehingga kalau dia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.

“Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaan hatinya, dan aku pun hidup sebatang kara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku supaya aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu pernah memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan mampu mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek agar mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah.”

Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa sangat kagum. “Lantas muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.”

“Tidak begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku latu turun tangan membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tak pernah mau mengakui namaku. Makin banyaklah golongan sesat yang menentangku dan aku membasmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, sesudah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin.”

“Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?”

“Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapi tak lama kemudian Lam-thian Kai-ong meninggal akibat luka-lukanya pada saat melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Sementara itu aku lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang? Aku telah bebas… ahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kau sudah lihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas…”

“Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin…,” kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.

“Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya.”

“Dengan sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.

Demikianlah, dua orang muda itu kemudian tenggelam di dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini.

Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Si calon suami harus lebih tua beberapa tahun dari pada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu.

Namun dua orang muda ini tidak terikat oleh apa pun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itu pun hampir tak mempedulikan soal cinta dan tidak cinta. Mereka sama-sama suka untuk saling berdekatan, saling bercumbu, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan di dalam hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apa pun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan.

Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa akan segala-galanya, bagai sepasang pengantin yang berbulan madu.

Sebulan kemudian, mereka berdua mandi di sumber air tidak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di sana tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Melihat Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong lalu berenang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.

“Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin. Dia memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.

Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. “Tentu saja! Kenapa tidak? Bukankah kita amat berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?”

Thian Sin merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu lama kelamaan tentu akan menimbulkan kebosanan, bukan?”

Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya, kemudian dia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.

“Eh-eh…!” Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja.

“Byuuuuurrr…!” Thian Sin berenang menghampiri lagi.

“Kim Hong, mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu.

“Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang maka dia pun cepat menyelam dan menjauh.

“Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan kepadamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki dara itu, menariknya hingga Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.

“Kenapa kau tadi bilang bosan?”

“Dengarlah dulu, sekarang aku tidak bosan, akan tetapi aku tahu betul bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku mau pun kepadamu. Hidup terasa hambar bila setiap hari hanya bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?” Dia berhenti sebentar sambil menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang, itu baru namanya hidup. Selama ini aku terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau ingin meniru mendiang ayah bundamu yang dulu menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita dapat melihat dunia ramai!”

Kim Hong termenung, lantas mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlalu terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru pada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja.”

“Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku hendak mencari dan menantang, juga hendak mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!”

“Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan memiliki banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!”

“Justru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, ingin menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?”

Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya pada waktu dia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!” katanya.

“Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?”

“Terdengamya menarik juga. Tapi, kenapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?”

“Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hatiku saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Sesudah aku mengobrak-abrik mereka, itu berarti aku sudah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka berarti aku telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Apa bila engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku pasti akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sebenarnya aku pernah mengukur kepandaian mereka, bahkan sempat menang pada waktu bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.” Kemudian dia menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu.

Kim Hong termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan aku pun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku.”

“Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?”

Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan goa mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?”

Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang.

“Kim Hong, terus terang saja, dulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau bagaimana?”

Kim Hong menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!”

“Ihh, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah kau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya sebagai selingan hidup, untuk mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi bila mana kita sudah bosan merantau.”

“Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.”

“Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciumi dara itu. Sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.

“Ehh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!”

“Lapar? Wah, setelah kau ingatkan, aku pun merasa lapar sekali!”

“Tunggu apa lagi? Bubur telah menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!”

Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, lantas keluar dari sumber air itu dan berlari-larian bagaikan anak-anak berlomba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.

Melihat keadaan muda-mudi ini, maka timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaan itu adalah: Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu?

Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal di dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai lantas dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, meski pun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu.

Mereka hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak pada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah.

Dan suami isteri, atau dua orang yang keadaannya telah seperti mereka itu, seperti satu badan sehingga tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti jika kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.

Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat…..

********************

Thian Sin bersama Kim Hong lalu melakukan perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dahulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya saja, tak tergesa-gesa, karena selama empat lima tahun ini Kim Hong hanya tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka sekarang memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, dia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya.

Oleh sebab itu mereka pun melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau bagaikan sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis. Mereka menginap di kuil-kuil kuno, namun kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri.

Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, mereka sering kali cekcok, biar pun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena inilah maka sering kali mereka cekcok, walau pun sebentar kemudian mereka sudah saling cium lagi dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang!

Selama dalam perjalanan itu Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang seluruh kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebenarnya bahkan lebih lihai dari pada suheng-nya itu. Dan memesan kepada Kim Hong supaya berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.

“Kiranya tingkat ilmu kepandaian silatmu tidak perlu kalah kalau berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tak kalah lihai. Akan tetapi dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Dulu aku pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.”

“Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?”

Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.

“Ehh, kenapa engkau memandangku seperti ini…?” Tiba-tiba saja Kim Hong yang melihat perbedaan pandangan mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena dia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.

“Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Sekarang bila engkau hendak melawan pun percuma karena kedua tanganmu tidak dapat kau gerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!”

Di dalam suara Thian Sin itu pun terkandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan dia lalu mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi… benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapa pun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.

Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku akan menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapa pun engkau hendak mengelak atau menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!”

Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!

Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Kini engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!”

Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya, akan tetapi dia benar-benar menjadi gentar.

“Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, karena itu engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu.”

“Thian Sin, kau harus ajarkan aku ilmu ini agar aku dapat melawannya!”

“Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya bisa dipelajari apa bila engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita selalu saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, selama di dalam perjalanan ini akan kuajarkan padamu bagaimana caranya agar engkau bisa menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Sebenarnya tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal perhatianmu tidak sampai ditarik olehnya, maka dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khikang yang amat kuat, maka latihan seperti itu sangat mudah baginya dan sebentar saja dia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga perhatiannya tidak akan mudah diseret oleh lawan.

Ketika mereka memasuki kota Si-ning, keduanya segera mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu.

Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu lalu dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Sambil berperahu mereka membuat sajak-sajak, makan daging panggang serta kacang, minum arak wangi, kemudian setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning.

Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga.

Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberi tahu oleh anak buahnya tentang kehadiran Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali.

Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, terus mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu sudah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.

Cepat See-thian-ong mengumpulkan semua murid serta pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoi-nya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin, kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini sudah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu sudah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoi-nya ini.

Selain dua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biar pun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling mau pun Ciang Gu Sik, akan tetapi bila mana kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang sangat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka.

Sekarang lima orang ini yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk ‘membereskan’ urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu. Selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang di samping berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu.

“Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Tapi jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia sengaja datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan ia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui.” Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya.

“Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!” kata So Cian Ling kepada gurunya.

“Hemm, ilmu kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apa lagi setelah sepasang tanganmu cacad,” jawab gurunya. “Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang telah kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta.”

Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah supaya mereka semua siap siaga, pertemuan itu kemudian dibubarkan.

Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini lalu membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya.

Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja.

“Bagus!” kata See-thian-ong. “Usulmu tadi memang bagus sekali.” See-thian-ong tertawa. “Memang dugaanmu sangat tepat. Betapa pun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapa pun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kau suruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kau suruh pula melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Di dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, pada saat mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!”

“Lalu bagaimana rencana suhu?” Ciang Gu Sik bertanya, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ.

“Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlampau enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku yang akan menentukan selanjutnya.”

Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia lalu duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam.

“Engkau kenapa?”

Cian Ling menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa.”

“Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?”

Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar. “Laki-laki jahanam itu!”

“Engkau cemburu?”

“Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Ia membuat aku kehilangan kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!” kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya.

Akan tetapi suaminya yang sudah sangat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan di dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pelukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya, isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Hal ini saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Inilah yang membuat Gu Sik makin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu agaknya tidak kalah oleh kebencian suhu-nya terhadap pemuda itu!

“Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi.”

“Tugas apakah, suheng?”

Memang aneh sekali dua orang ini. Meski pun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka sudah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut suheng dan sumoi!

Hubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan ini pun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan suheng-nya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik sangat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suheng-nya, hanya perasaan berhutang budi belaka, dan untuk itu dia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya.

“Begini, sumoi, seperti kau ketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin sudah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu supaya engkau pergi menemui Thian Sin kemudian menggunakan hubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke kota Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, maka sebaiknya kau usahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian.”

Cian Ling mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kulakukan itu.”

“Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu.”

Kembali Cian Ling mengangguk sambil alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak untuk mencari akal bagaimana caranya dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya, lantas terbayanglah kembali kenang-kenangan lama pada saat pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan…..!

********************

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar