Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan?
Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik ‘sesuatu’ itu merupakan benda atau pun gagasan, sudah pasti disebabkan karena sang pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan itu, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu.
Kepuasan ialah keinginan yang terpenuhi, yang kemudian dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Tetapi, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sebentar saja, demikian pula kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain dan baru lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya.
Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua.
Dan kita pun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan tidak akan pernah dapat dinikmatinya, tetapi yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini lalu disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.
Padahal keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena kita tidak pernah mengamati yang ‘ini’ dan selalu mencari-cari serta memandang kepada yang ‘itu’, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi.
Kita sudah demikian mabuk oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, oleh cita-cita, sehingga kehidupan kita tak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada sehingga dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada.
Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain tampak lebih nikmat dari pada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di kebun sendiri.
Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membayangkan gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimana pun juga?
Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL jika kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?
Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik ‘sesuatu’ itu merupakan benda atau pun gagasan, sudah pasti disebabkan karena sang pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan itu, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu.
Kepuasan ialah keinginan yang terpenuhi, yang kemudian dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Tetapi, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sebentar saja, demikian pula kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain dan baru lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya.
Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua.
Dan kita pun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan tidak akan pernah dapat dinikmatinya, tetapi yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini lalu disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.
Padahal keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena kita tidak pernah mengamati yang ‘ini’ dan selalu mencari-cari serta memandang kepada yang ‘itu’, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi.
Kita sudah demikian mabuk oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, oleh cita-cita, sehingga kehidupan kita tak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada sehingga dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada.
Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain tampak lebih nikmat dari pada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di kebun sendiri.
Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membayangkan gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimana pun juga?
Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL jika kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?
Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Ia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang ketika itu Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya.
Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan bukan main, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar.
Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini pada saat berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa seram. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main.
Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggota Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri telah bubar dan musuh besarnya yang dulu ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ. Akan tetapi, mungkin juga di antara mereka ada yang mengetahui di mana adanya kakek itu sekarang, maka dia pun lalu membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan itu.
Daerah ini merupakan daerah yang amat berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh.
Karena dia sendiri adalah orang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan pada waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di atas pohon besar di tengah hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur.
Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk disertai teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat-cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara.
Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada batang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat ada lima orang sedang berteriak-teriak dan mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang sudah berhasil menjebak seekor binatang buas.
Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan secara diam-diam dia terkejut sekali. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya.
Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara beruang. Akan tetapi yang telah tertangkap itu tentunya seekor beruang yang besar sekali. Dia hanya mengintai dan kemudian melihat betapa kelima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi jelas nampak bahwa mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan.
Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah setelah dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar.
“Cepatlah, kami hampir kewalahan!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang.
Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tak nampak lagi berada di dalam lubang, dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang.
Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang yang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya!
Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah.
“Kita mulai sekarang!” kata salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu. “Kalian cepat berdiri di seberang lubang dan menggodanya, untuk memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya.”
“Tapi… berbahaya sekali untukmu, toako…”
“Tidak, aku dapat lari lantas naik ke pohon itu.” kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu.
Setelah menerima perintah, sembilan orang itu segera meninggalkan lubang, berlari-larian dengan cepat mengelilingi jebakan batu lantas berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Sekarang si pemimpin sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan.
“Toako, pergilah!”
“Larilah!” teriak mereka dengan khawatir.
Pemimpin rombongan pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah untuk mencegah binatang itu yang agaknya hendak merangkak keluar dari dalam lubang.
Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu telah tertangkap oleh binatang itu hingga terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya.
“Dukk…!”
Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan dia pun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Walau pun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan!
Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang amat marah hingga nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya yang bertaring mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar.
Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biar pun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam. Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu!
Thian Sin merasa terkejut dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia akan dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya!
Kini, ketika melihat gerakan orang hutan itu serta melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Dia pun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu.
Wajah semua pemburu sudah pucat melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir saja terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan yang berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali.
Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, dia pun melihat pemuda itu dan dia lalu memandang dengan mata terbelalak.
Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka mereka pun berteriak-teriak, “Orang muda, lekas lari ke sini…! Cepat…!”
Akan tetapi, betapa heran hati mereka karena melihat pemuda itu tersenyum saja sambil memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini hanya berdiri tenang saja.
Ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram lantas mengalihkan pandang matanya. Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlampau lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya.
Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat sehingga jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itu pun menahan napas dan memandang penuh kengerian sebab mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tidak seberapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu.
Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia langsung mengelak dengan loncatan ke kiri. Binatang itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini sanggup menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri, dan dengan gerakan refleks yang sangat cepat seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi.
Serangan ke dua ini lebih cepat dari pada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang bersifat alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan.
Biar pun Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu telah menyentuh pundaknya dan jika sampai jari-jari tangan yang kuat itu berhasil mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin segera mengerahkan tenaga sambil memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan sebuah hantaman keras ke arah perut binatang itu.
“Dukkk! Desss…!”
Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang sangat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu dengan perut yang seperti penuh dengan angin sehingga kuat bukan main.
Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Sekarang dia marah bukan main, lantas kedua lengan panjang itu menyerang bertubi-tubi dengan gerakan yang lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seakan-akan menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu.
Semua serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya mempunyai kecepatan dan kekuatan alamiah saja, akan tetapi tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan bila mana dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binatang itu.
Dua kali dia memukul dan menendang hingga membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu mempunyai kekebalan yang luar biasa, telah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas.
Sepuluh orang yang tadinya merasa ketakutan dan khawatir akan keselamatan Thian Sin, sekarang memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Dan mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi.
“Taihiap, harap jangan bunuh dia!”
“Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!”
“Kalau dia mati, kami tentu tak akan diampuni!”
Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin cepat menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini.
Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apa lagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, maka mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi dia pun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini.
Dia kemudian teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di pinggir perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun.
Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan serta tendangan itu marah sekali dan terus menerjang secara dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada waktu tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu.
Binatang itu terdorong ke depan, lantas tanpa dapat dihindarkan lagi dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap. Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang. Binatang itu lalu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang.
Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu. Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka kemudian menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman.
“Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Apa bila tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu.” Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang.
Thian Sin lalu menengok ke arah lubang itu. “Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?”
Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tak karuan bentuknya, sudah dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan telah terlepas dari pundaknya.
“Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang sudah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku sudah menyelamatkan kalian? Siapa yang mengancam kalian?”
Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab, bahkan Si Tinggi Besar itu lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, taihiap… kami… sudah salah bicara tadi… dan kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu.”
Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan dia pun melangkah ke arah lubang jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah.
“Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu.”
Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru, “A Pin… jangan…!”
Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin.
Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka dia pun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar sehingga jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah.
Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan melihat pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut. Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang ini juga mengandung racun yang sangat hebat. Hal ini dapat diketahuinya dari baunya.
Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang itu sudah terampas olehnya, lantas tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu disusul hiruk-pikuk di dalam lubang itu, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan.
Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka pun tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka itu sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja kemudian suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas mendapat seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya.
Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah. “Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?” tiba-tiba dia membentak.
Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup, “Tidak… bukan, taihiap Jeng-hwa-pang sudah tidak ada…” Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, “kami hanyalah pemburu-pemburu biasa…”
Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya. “Tak perlu lagi kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Apa kalian telah lupa kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang pada beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?”
Mereka makin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang mereka pun ingatlah kepada pemuda ini.
“Ampun, taihiap… ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenali taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang sudah tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu…”
“Sikap kalian aneh sekali, seperti ada yang kalian takutkan. Temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulemparkan satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukah yang lain itu.”
Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apa lagi jika mengingat bahwa pemuda ini adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut bukan main. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita.
Sisa para anggota Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, sesudah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka lalu membentuk perkampungan.
Akan tetapi mereka sudah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat. Mereka tak mau lagi mengganggu para pelancong dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain.
Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, selain mereka rata-rata memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan.
Selama bertahun-tahun mereka hidup aman dan tenteram, keluarga mereka berkembang biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan untuk berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat.
Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan setelah muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, yaitu seorang peranakan Han dan Rusia Kazak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan sungguh pun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih.
Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan mereka pun kemudian menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan dia pun menjagoi di perkampungan itu. Ternyata orang ini mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tinggi sehingga dia sanggup merobohkan semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To ini pun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah!
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka. Memang betul bahwa Su Lo To tak pernah menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekerja berat, tetapi sebagian dari hasil buruan diamblinya sendiri.
Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya!
Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang selalu memeras orang-orangnya dan menggunakan tangan besi. Semua orang takut padanya, karena Su Lo To ini amat kejam. Banyak orang yang sudah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya.
Laki-laki tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan telah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka meski pun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya.
Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang menantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini berasal dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan dia termasuk seorang wanita yang cantik dan manis.
Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan mala petaka bagi keluarganya, karena, seperti mudah diduga, Su Lo To sangat tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Lantas timbullah akalnya yang busuk!
Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar yang tidak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang amat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan sudah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan ini, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu.
Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, sesudah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup!
“Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku hendak menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka dia pun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!”
Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka bila mana Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menunggu dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak hingga orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap.
“Demikianiah, taihiap, selanjutnya taihiap telah melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri.”
Thian Sin mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu bisa berada di dalam perangkap itu?”
“Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang sekali bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar kembali. Dan binatang itu sangat hebat. Tusukan tombak tidak melukainya, dan bahkan dia berhasil menangkap sebatang tombak lalu menarik tombak itu dan membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,” Gak Song menarik napas panjang. “Dan… teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut terhadap ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini…”
Thian Sin mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?”
“Kami tadi tidak berani menggunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang dia sudah tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap.”
Pada saat itu pula terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka.
“Su Bwee…!” teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang langsung berlari maju menyambut wanita itu.
Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu amat manis, namun pakaiannya dan juga rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis.
“Apa yang terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut.
“Dia adalah mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku… entah apa yang telah terjadi, taihiap…” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju.
“Su Bwee, berhentilah menangis dan lekas ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song.
Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu kemudian mengangkat mukanya dari dada suaminya dan menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya.
“Ayah… bunuhlah saja saya…” tangisnya.
Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu ia pun membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan lekas ceritakan apa yang telah terjadi!”
Su Bwee menceritakan dengan suara tak jelas karena betapa pun dia menahannya, tetap saja dia berbicara sambil menangis sesenggukan.
“Setelah ayah bersama suami saya pergi… ketua kedatangan seorang tamu… dan untuk menjamu tamu itu… saya beserta beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan… kemudian… ketua memaksa saya… uh-hu-huuh… dia… dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan… dan… uh-huu-huuh…” Wanita itu tak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah terguling dan roboh pingsan.
Agaknya dia sudah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka dia kehabisan napas dan juga kesedihan yang sangat besar menghimpit perasaannya. Biar pun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang sudah terjadi, apa yang sudah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, terhadap Su Bwee ini.
Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Pria tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangannya dikepal dan dia pun lalu berteriak dengan geramnya.
“Su Lo To, manusia jahanam! Berani engkau menghinaku seperti ini?”
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kau lihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang sudah berani menentangku!” Lantas muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan.
Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To bersama seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan. Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali dia mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri.
Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu sudah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan bahkan kepalanya digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain?
Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan.
Sementara itu Gak Song yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi, begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya.
“Su Lo To manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song menggunakan tombaknya untuk menyerang.
Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To hanya tertawa saja. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut dan agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan pada saat tertawa, nampaklah giginya yang berwarna kuning menghitam.
Pada waktu mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba saja Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring, lantas sekali sambar dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan kuat sekali, lalu kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia pun sudah menendang.
Gak Song tidak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat itu pula, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, sudah menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak pada tangan pemuda itu patah. Dan sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya hingga pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya.
“Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha-ha, sudah bosan hidup, ya?”
Tiba-tiba terdengar gerengan yang sangat dahsyat. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan dia pun mengerti, lalu tertawa girang.
“Aha, si liar itu telah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah dia kuberi hadiah pertama agar mudah menjadi jinak!” Kemudian dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian berdua yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!”
Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song bersama puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap supaya dibunuh oleh orang hutan!
Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar kedua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya.
“Apakah engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus.
Su Lo To mengernyitkan sepasang alisnya lantas memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnya.
“Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau dapat berada di sini?”
“Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan kepadamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah.
Thian Sin tersenyum. “Aha, ternyata dua ekor srigala busuk sudah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang amat cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!”
Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana secara tiba-tiba saja dia dapat muncul di sini? Bukankah dia sudah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu.
Maka, biar pun dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Namun masih ada bekas kaki tangannya yang dapat menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukannya dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya.
Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan pun berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, yaitu orang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tidak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya!
Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suheng-nya yang sudah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka.
Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suheng-nya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai, kemudian dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam hal ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sute-nya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang.
Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su Lo To membentak.
Ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri sehingga tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu lalu menancap pada batang pohon sampai setengahnya!
“Hayo lekas kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu.
Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tak ada seorang pun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biar pun mereka sangat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorang pun yang mau mengeroyok Thian Sin.
Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga gembira melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu.
“Hemm, tidak ada seorang pun yang mau mentaati perintahku, ya? Baiklah, tunggu saja, sesudah dia kubereskan, maka kalian pun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah Gak Song.
Hatinya semakin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu sudah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, ketika melihat wanita itu lenyap dari kamarnya pada saat dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu.
Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dengan bebas dapat memiliki wanita itu. Tetapi tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya.
“Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sute-nya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit saja selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sute-nya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar.
“Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di hadapannya, dia kemudian melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu.
Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dengan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan menyangka bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengan mudah dan enaknya Thian Sin bahkan mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri.
Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti saat menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang.....!