Keluarga Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang telah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini dengan Raja Sabutai dahulu.
Kalau Raja Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia kang-ouw dari daerah utara, sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan dan menjadi langganan keluarga raja, yang kini menjadi tamu pula.
Selain para undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama isteri masing-masing. Di antara mereka tentu saja terdapat penasehat raja, yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan ketat. Dua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan sehingga siapa pun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk dan tidak nyaman hatinya.
Raja Agahai sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, akan tetapi isterinya atau selirnya, yang berbangsa Biauw itu, yang memang sangat cantik dan yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri Sang Raja.
Kecantikan selir ini memang menyolok sekali, bukan hanya karena wajahnya yang cantik jelita dan manis, akan tetapi bentuk tubuhnya sangat menggairahkan, masih ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang amat menarik dan merangsang.
Selir yang beruntung mendapat keturunan itu duduk di sebelah kanan Sang Raja. Karena melahirkan seorang putera, tentu saja kedudukannya sekaligus naik dan dia dipandang sebagai isteri yang paling berjasa.
Anak kecil berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih ditujukan kepada Raja Agahai dari pada kepada anak kecil berusia satu bulan itu.
Setelah semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang semenjak pagi sekali sudah sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, lantas menghadap Raja Agahai dan berkata. “Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta ini telah siap menanti.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dahulu sekarang. Aku ingin melihat dan bertemu dengannya.”
Menteri Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembanttinya, dan tak lama kemudian, Thian Sin diiringi beberapa orang petugas menuju ke panggung di mana keluarga raja itu duduk berkumpul.
“Ahhh, dia masih muda dan tampan sekali, Abigan!” kata raja itu ketika melihat seorang pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat, juga amat ramah, dengan senyum yang menarik.
“Banyak terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah bagi hamba!” Thian Sin berkata dengan suara yang diatur seperti bersajak, dan juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi!
Mendengar Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara merdu seperti bernyanyi pula, maka raja dan para selir menjadi amat tertarik. Raja Agahai tertawa gembira.
“Bagus! Bagus sekali, engkau juga pandai berbahasa daerah. Kabarnya engkau pandai bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami berikan kepada putera kami ini?”
Thian Sin sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu, bahkan pilihan nama untuk putera raja itu yang belum diumumkan, telah bocor dan dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis Khan!
Mendengar ini, Thian Sin lantas mengambil sikap sungguh-sungguh. “Nama untuk putera paduka ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana berani lancang menerkanya?” katanya kemudian dengan nada suara indah. Kemudian, pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja lantas melanjutkan. “Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat ada cahaya di sekitar tubuh putera paduka, ahh, benar… cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol yang gagah perkasa tiga abad yang lalu…”
Raja Agahai tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia turut menoleh ke arah pembaringan puteranya dan… dia terbelalak melihat betapa benar saja ada cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong menyilaukan mata!
Kemudian, mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin? Dan memang dia hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu!
“Bagus… bagus… memang engkau seorang yang amat pandai. Ehh, siapakah namamu, orang muda yang cerdas dan pandai?”
“Nama hamba adalah Hauw Lam, Sri Baginda.” jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama keturunan pada namanya itu. Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau menyangka bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti.
“Baik, kami girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu.”
Pada saat itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia menatap kepada pemuda tampan yang sedang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban dan cepat menghampiri.
Melihat datangnya Sang Koksu, Raja Agahai lalu tertawa. “Ahh, Koksu, kebetulan engkau datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan sulap serta permainan suling dan sajak.”
Hanya koksu inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa menjawab ucapan raja.
“Siapakah yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?” Dia balik bertanya akan tetapi masih terus mengamati Thian Sin.
“Menteri Abigan yang membawanya,” kata Raja.
“Hambalah yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri Baginda, Koksu,” kata menteri tua itu dengan hormat.
Koksu itu mengeluarkan suara dari hidung, seperti orang mendengus. “Hemm, kami tidak mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami sangat mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau telah mengerti bahwa segala yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh keluargamu jika sampai dia melakukan yang tidak baik!” Setelah berkata demikian, koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada raja dan meninggalkan panggung itu.
Diam-diam Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu segera disingkirkan. Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya, yaitu selir berbangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi menghadap kaisar, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas-jelas mengandung kekaguman dan kemesraan!
Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Ini pun merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas.
Sikap koksu tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang lalu memberi isyarat kepada Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Dan setelah mereka mundur dari sana, melalui seorang pembicara, raja kemudian mengumumkan nama dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin!
Tentu saja pengumuman ini langsung disambut dengan tepuk tangan. Ada yang memuji pilihan yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti Goan yang telah tumbang itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani mencela.
Setelah pengumuman itu, pesta pun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apa lagi ditambah dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta.
Berbeda dengan dahulu ketika mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta di mana selalu diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari para penari-penari muda yang cantik dan genit. Suasana menjadi meriah sekali ketika di antara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada pula yang ikut menari bersama para penari genit itu. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Sesudah beberapa tarian dimainkan, akhirnya sebagai pengatur acara hiburan Menteri Abigan mengumumkan dengan suara lantang.
“Hadirin yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi (anda sekalian) dengan menampilkan seorang pemuda yang ahli bermain sulap, meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas dan menarik, Hauw Lam!”
Terdengar tepuk sorak pada saat Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa Biauw itu! Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi minum arak agak banyak. juga dia pun sebenarnya merasa canggung harus berhadapan dengan begitu banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia merasa seolah-olah kini dia sudah menjadi seorang badut!
“Cu-wi yang terhormat,” kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya bagaikan orang bernyanyi. “Hari ini merupakan hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Sebagai seorang pengembara, saya hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!”
Setelah mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali, tiba-tiba Thian Sin berseru. “Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!”
Dan tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi itu sudah terdapat seekor burung dara putih yang menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara sampai tinggi dan lenyap.
“Aku tidak melihat burung dara!” Tiba-tiba saja terdengar suara mengguntur dan Thian Sin langsung menengok. “Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat burung dara!”
Kiranya yang bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu. Tahulan Thian Sin bahwa orang ini adalah lawan yang cukup berbahaya, yang tak terpengaruh oleh daya sihirnya tadi. Akan tetapi, Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia menjura dengan hormat kepada orang tua itu dan tersenyum ramah.
“Ahhh, maafkan saya, Koksu. Paduka adalah Koksu Torgan yang bijaksana, mengatakan tidak tahu burung dara berada di mana!” Thian Sin segera menghadapi semua tamu lalu bertanya dengan suara ramah dan lagak yang lucu. “Mohon bertanya kepada cu-wi yang mulia, apakah tadi ada seekor burung dara?”
“Ada…! Ada…!” Terdengar jawaban di sana-sini yang disusul oleh yang lain, bahkan para selir raja sendiri pun berteriak mengatakan ada.
Thian Sin menghadapi Koksu Torgan sambil membentang lengan dan mengangkat bahu seolah-olah dia tidak berdaya melawan pendapat banyak orang. “Maaf, Koksu, kalau tadi Koksu belum melihat burung-burung dara, sekarang hamba persembahkan untuk Anda!”
Tiba-tiba Thian Sin membuat gerakan dengan tangannya lantas berteriak nyaring, “Inilah seekor burung bangau botak untuk Koksu!”
Dan sungguh mengherankan, di tangannya sudah terdapat seekor burung bangau besar yang kepalanya botak. Pemuda itu mengulurkan tangannya, menyerahkan burung jelek itu kepada Sang Koksu. Tentu saja sekali ini Thian Sin mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencoba ‘kekuatan’ koksu itu dan ternyata koksu itu dapat terpengaruh. Matanya terbelalak melihat burung bangau yang hendak mematuknya itu, maka dia cepat mundur tiga langkah.
“Ilmu setan…!” gumamnya dan dia pun terus menjauh.
“Sayang, bangau, rupamu begini buruk sehingga Sang Koksu tak menghendakimu! Nah, kini terbanglah melayang, kembali ke sarang!” Dan bangau itu pun terbang ke atas lalu lenyap!
Semua orang bersorak dan bertepuk tangan memuji, sedangkan koksu itu memandang dengan penuh kecurigaan. Menteri Abigan berdiri di dekatnya, dan koksu ini lalu berbisik kepadanya.
“Menteri Abigan, dari mana engkau menemukan bocah setan ini?”
“Bocah setan mana…? Ahhh, dia bukan bocah setan, melainkan seorang pemuda yang pandai dan menarik sekali, Koksu.”
“Bodoh! Dia itu amat berbahaya!” Koksu berkata lirih sehingga diam-diam Menteri Abigan merasa terkejut sekali. Koksu ini sungguh amat cerdik dan berbahaya sehingga dia amat mengkhawatirkan keselanatan cucu Puteri Khamila itu.
Akan tetapi yang dikhawatirkan itu nampak tenang-tenang dan gembira saja. Memang hati Thian Sin merasa tenang karena kini dia sudah menguji kekuatan batin Sang Koksu dan dia mengerti bahwa walau pun dia tidak akan mampu menguasai koksu itu sepenuhnya, namun koksu itu bukan seorang ahli sihir dan juga tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan batinnya.
Betapa pun juga, sesudah melihat Sang Koksu berbisik-bisik dengan Menteri Abigan dan kemudian koksu itu memanggil komandan jaga seakan-akan memberi perintah sesuatu, dan melihat betapa penjagaan semakin diperketat, tahulah dia bahwa koksu itu menaruh curiga kepadanya sehingga dia tidak boleh turun tangan pada saat itu, karena tentu akan menghadapi pengeroyokan ratusan orang pengawal.
Maka Thian Sin segera memainkan mangkok-mangkok dengan sepasang sumpit seperti yang pernah dia perlihatkan kepada Menteri Abigan serta rekan-rekannya, dan permainan ini pun mendapatkan sambutan tepuk tangan.
“Cu-wi, sekarang saya hendak memperlihatkan permainan yang menarik. Kalau tak salah, saya tadi melihat ada kacang goreng di antara hidangan itu, bukan? Nah, sekarang biarlah saya menjadi sasaran. Cu-wi semua yang duduk di sebelah depan boleh menyambitkan kacang itu kepada saya dan semua kacang itu akan saya sambut dengan kedua tangan!”
Terdengar seruan-seruan tidak percaya dari para tamu. Akan tetapi karena mereka amat tertarik, maka ada beberapa orang mulai menyambitkan beberapa buah kacang kepada pemuda itu. Dan benar saja. Pemuda itu menyambut kacang-kacang itu dengan kedua telapak tangan dikembangkan keluar. Anehnya, kacang-kacang itu beterbangan ke arah dua telapak tangan itu, ke bagian tubuh mana pun mereka menyambit.
Melihat ini, semua tamu menjadi tertarik dan beterbanganlah kacang-kacang yang banyak sekali seperti hujan ke arah tubuh Thian Sin. Dan sungguh mengherankan sekali, semua kacang itu beterbangan hanya menuju ke arah kedua telapak tangannya kemudian jatuh di depan kaki Thian Sin sehingga sebentar saja di sana telah bertumpuk banyak kacang goreng!
Hal ini sangat menggembirakan sehingga beberapa orang selir raja ikut pula menyambit! Terutama sekali selir bangsa Biauw itu yang menyambit dengan sikap yang amat menarik dan dengan senyum simpul penuh daya pikat!
“Plakkk!”
Tiba-tiba ada sambitan yang keras mengenai telapak tangan kiri Thian Sin dan pemuda itu melirik. Kiranya yang menyambitnya adalah koksu. Maka tahulah dia bahwa koksu ini memang memiliki kelebihan dari pada orang lain, akan tetapi dia tidak khawatir. Karena sambitan koksu itu pun tersedot oleh kekuatan yang dikerahkannya pada kedua telapak tangannya, maka dia pun dapat mengukur tenaga koksu itu.
Sebaliknya, diam-diam Sang Koksu terkejut bukan main. Dia adalah orang yang sangat berpengalaman, baik dalam hal sastera mau pun silat. Maka kini dia pun menduga bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Selain pandai sihir, pemuda ini pun pandai ilmu silat tinggi! Makin curiga hatinya.
Tidak mungkin kalau seorang pemuda dengan ilmu kepandaian seperti itu hanya menjual kepandaiannya dengan menjadi seorang tukang sulap penghibur tamu! Tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi dalam pertunjukannya ini! Dia tadi telah mengerahkan pasukan pengawal untuk memperketat penjagaan dan terutama sekali untuk menjaga keselamatan rajanya.
“Cukup…! Cukup…! Sayang sekali jika makanan dibuang-buang begitu saja!” kata Thian Sin sambil tertawa dan… kacang-kacang yang masih melayang membalik ke arah para penyambitnya. Akan tetapi tenaga membalik ini tidak terlampau kuat sehingga tak sampai melukai yang menyambit, melainkan justru membuat mereka tertawa-tawa sebab kacang-kacang itu ada yang mengenai kepala, muka dan tubuh mereka.
“Sekarang saya akan memainkan suling. Harap cu-wi jangan mentertawakan, permainan suling saya ini hanya permainan dusun, dan untuk selingan saya juga akan membacakan sajak!”
Semua orang menghentikan ketawa mereka hingga keadaan menjadi sunyi, seolah-olah semua orang terpesona oleh daya pikat yang keluar dari pemuda ini. Semua orang, juga termasuk keluarga sang raja, seakan-akan dengan sungguh-sungguh hendak mendengar permainan suling dan pembacaan sajak dari pemuda yang makin lama makin menarik hati mereka itu. Mereka tidak lagi melihat Thlan Sin sebagai orang Han, karena sungguh pun pemuda itu memakai pakaian Han, akan tetapi pemuda itu bicara bahasa daerah dengan lancar sekali dan sama sekali tidak kaku seperti orang-orang Han lainnya.
“Pertama-tama, perkenankan saya memainkan lagu ‘Sebatang kara’.” Maka mulailah dia meniup sulingnya.
Semenjak kecil Thian Sin memang senang bermain suling dan dia berbakat sekali. Bakat meniup suling ini menjadi semakin sempurna dengan tenaga khikang yang kini dimilikinya sehingga pada waktu meniup, bukan sekedar tupan angin belaka, melainkan tiupan yang mengandung tenaga khikang yang kuat. Dia meniup lagu yang sedih dengan sulingnya, maka terdengarlah suara suling yang melengking, mengalun tinggi rendah dan membuat jantung para pendengarnya bergetar.
Para pendengar itu seakan-akan dapat menangkap keluh-kesah, rintihan dan ratap tangis yang memilukan terkandung dalam lengkingan suara suling yang mengalun itu. Suasana menjadi sunyi, semua semua orang tenggelam ke dalam perasaan, hanyut dalam buaian suara suling, bahkan tak terasa lagi, beberapa orang selir raja menyentuh-nyentuh bawah mata mereka dengan sapu tangan.
Dengan nada yang semakin merendah seperti tangis yang kehabisan suara dan napas, akhirnya suling berhenti. Sebelum semua orang yang perasaannya terhanyut itu normal kembali, terdengarlah pemuda itu menyanyi, lagunya seperti yang dimainkan suling tadi, kata-katanya satu-satu dan jelas, dengan suara yang menggetar penuh perasaan pula.
Bagai awan tunggal di angkasa
terbawa angin semilir lembut
tanpa tujuan tiada pangkalan
sebatang kara tanpa harapan
ayah bunda tewas bersama
dikeroyok anjing serigala
dendam membara membakar dada
haruskah diam seribu kata
biar diri banjir air mata?
atau menjadi kilat bercahaya
menggelepar gegap-gempita
membersihkan noda dan dosa
hutang dibayar budi dibalas?
terbawa angin semilir lembut
tanpa tujuan tiada pangkalan
sebatang kara tanpa harapan
ayah bunda tewas bersama
dikeroyok anjing serigala
dendam membara membakar dada
haruskah diam seribu kata
biar diri banjir air mata?
atau menjadi kilat bercahaya
menggelepar gegap-gempita
membersihkan noda dan dosa
hutang dibayar budi dibalas?
Semua orang menjadi terharu mendengar nyanyian ini, apa lagi karena dinyanyikan penuh perasaan. Para selir raja memandang bengong dan tidak terasa lagi ada yang menangis, menyembunyikan mata dan hidung di balik sapu tangan-sapu tangan sutera harum.
Para tamu juga terpesona hingga sejenak terdiam. Mereka adalah orang-orang utara dan mereka tak merasa heran tentang orang-orang yang mati dikeroyok anjing serigala. Akan tetapi kepedihan dan kedukaan hati seorang anak yang agaknya ditinggal mati oleh ayah bundanya yang dikeroyok anjing serigala, baru sekarang ini terasa menusuk hati mereka.
Menteri Abigan memandang dengan wajah pucat. Cucu Puteri Khamila itu terlalu berani! Nyanyiannya tadi terlampau mendekati kenyataan, terlalu mengandung sindiran. Untung agaknya Raja Agahai tidak sadar dan dialah yang pertama-tama bertepuk tangan memuji yang segera dituruti oleh semua orang.
Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan memuji kepandaian pemuda itu. Akan tetapi ada satu orang yang tidak bertepuk tangan, dan orang ini adalah Koksu Torgan! Tentu saja Thian Sin juga tidak lengah dan diam-diam dia mengikuti gerak-gerik koksu ini.
Dia melihat betapa di tengah-tengah tepuk sorak itu, Torgan menghampiri Raja Agahai dan bicara dengan asyik kepada raja itu yang mendengarkannya dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik ke arah Thian Sin. Pemuda ini cepat mengerahkan kekuatan pendengarannya dan mendengar bisikan-bisikan koksu itu kepada rajanya.
“Harap Paduka berhati-hati. Pemuda itu pandai sihir, pandai silat dan sastera. Jelas dia bukanlah orang biasa dan kedatangannya yang menyamar sebagai tukang sulap ini tentu mengandung maksud yang tidak baik. Hamba akan mengawasi dia!” Demikian antara lain dia mendengar bisikan koksu itu kepada rajanya.
Akan tetapi Thian Sin mengambil sikap tidak peduli dan dia sudah siap meniup sulingnya lagi, akan tetapi sekarang dia meniup dan memainkan lagu-lagu yang gembira sehingga wajah para tamu kembali cerah, terbawa oleh suara suling itu. Sesudah menghentikan tiupan sulingnya, Thian Sin lantas menyanyikan lagu itu dengan kata-kata yang memang sudah dirangkai dan dihafalkan sebelumnya.
Kuhaturkan nyanyian ini
sebagai doa dan puji
kepada Pangeran Temuyin
semoga berbahagia abadi
bagaikan cahaya bulan
bertahta di angkasa
bebas dari rintangan
awan yang lewat di bawahnya
akan tetapi… ya Tuhan…
sebagai doa dan puji
kepada Pangeran Temuyin
semoga berbahagia abadi
bagaikan cahaya bulan
bertahta di angkasa
bebas dari rintangan
awan yang lewat di bawahnya
akan tetapi… ya Tuhan…
“Ada yang tidak beres…!” Tiba-tiba pemuda itu menghentikan sajaknya dan mengeluarkan seruan ini dengan mata terbelalak memandang ke arah tempat ayunan di mana pangeran yang masih bayi itu diletakkan. Kemudian, pemuda ini lari menghampiri tempat itu, dan karena perbuatannya ini begitu tiba-tiba, bahkan Koksu Torgan sendiri tidak menduganya dan tahu-tahu pemuda itu telah tiba di dekat ayunan itu, menjenguk ke dalam.
“Heiiii… mundur, jangan mendekati Pangeran!” Koksu Torgan berteriak sambil meloncat menghampiri dan para pengawal juga sudah memburu ke tempat itu.
Akan tetapi dengan gerakan begitu cepatnya sehingga tak nampak oleh siapa pun, Thian Sin sudah menjamah pundak bayi itu dan pemuda ini berseru, “Celaka… Pangeran telah diracuni orang…!”
Tentu saja ucapannya ini mendatangkan kejutan luar biasa. Raja Agahai sendiri meloncat menghampiri, demikian pula semua isterinya atau selirnya, dan tak ketinggalan selir suku bangsa Biauw yang cantik jelita itu.
Semua orang memandang kepada bayi itu dan terkejutlah mereka. Bayi itu pucat sekali dan matanya mendelik, napasnya senin-kemis terengah-engah! Ibunya menjerit-jerit dan suasana menjadi panik.
Dalam keadaan berjubel dan panik itu, tiba-tiba selir bangsa Biauw itu merasa pinggulnya dibelai dan dicubit tangan nakal. Ia terkejut sekali dan cepat menoleh dan ia melihat wajah tampan itu tersenyum. Ternyata kini Thian Sin sudah berada di belakangnya dan jelaslah bahwa pemuda ini yang tadi mencubit dan membelai bukit pinggulnya.
Wajah selir ini menjadi merah sekali dan dia menahan senyumnya, matanya yang jeli itu mengerling penuh teguran. Thian Sin tersenyum dan kembali jari-jari tangannya mengelus punggung dan pinggul. Selir itu agaknya takut ketahuan orang, segera menjauhi Thian Sin dan mendesak mendekati ayunan.
“Jangan kerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkan Pangeran…!” Mendadak Thian Sin berseru lalu dengan sikap halus dia menyuruh semua orang mundur.
Ketika Koksu Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan serta pundak koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, “Maaf, Koksu, harap suka mundur karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!”
“Minggir kau, setan!” kata Koksu Torgan marah kemudian mengibaskan tangan Thian Sin dan mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Koksu Torgan bersama Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat pembantunya ini memeriksa dengan teliti, lalu bertanya, “Bagaimana keadaannya?”
“Ahhh, sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar? Hamba sendiri tidak tahu kenapa beliau tiba-tiba bisa begini…,” kata Koksu itu bingung melihat keadaan Sang Pangeran. “Sebaiknya dipanggilkan tabib…”
“Tabib tua akan dapat menolongnya!” Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di situ berkata.
“Tidak, sebaiknya tabib muda saja,” kata Koksu.
Di istana terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersemedhi.
“Tapi tabib tua adalah ahli tentang racun!” kata Menteri Abigan.
“Siapa bilang Sang Pangeran keracunan?” bentak Koksu Torgan.
Akan tetapi Sang Raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka cepat-cepat dia berteriak, “Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!”
Pengawal berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu, sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta sudah memeriksa bayi itu. Tentu saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, yakni seorang tokoh tua yang juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main.
“Bagaimana dengan anakku?” Mendadak Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada suara membentak.
“Ampun, Sri Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya…”
“Omong kosong!” Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. “Ini tabib muda sudah hamba panggil, sekarang biarlah dia yang memeriksa!”
Dalam keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib muda pun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung.
Tabib ini memang seorang yang pandai, walau pun tidak sepandai tabib tua yang sangat berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada dirinya sendiri. “Ada hawa aneh menguasai tubuhnya… tetapi beliau ini sebenarnya tidak sakit… hamba harus memeriksa lebih teliti lagi…”
“Hemmm, pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa melawan setan yang mengerikan? Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?”
Ucapan ini terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walau pun tidak terdengar orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan… hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya manggigil.
“Ehh, kau kenapa?” Koksu Torgan membentak.
Tabib muda yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang tadi diucapkan oleh Thian Sin dengan pengiriman suara melalui khikang itu, kini menggigil dan berkata gagap, “Hamba… hamba tidak sanggup… melawan…”
Tentu saja sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang hingga tangis ibu pangeran itu semakin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia lalu berkata,
“Sri Baginda, apa bila paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba yang menyembuhkan beliau.”
Raja Agahai baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang serta penuh harapan dia segera menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, “Hauw Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu.”
“Tapi… tapi hamba takut kepada Koksu…”
“Takut apa?” bentak Koksu Torgan marah. “Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran, hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!”
Namun Thian Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, “Hamba mohon supaya semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri bersama Sang Pangeran. Kalau dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau.”
Mendengar ini, tentu saja Raja Agahai segera memerintahkan dengan suara lantang agar semua orang mundur, bahkan dia sendiri pun lalu mundur kembali ke tempat duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan tegang.
Koksu Torgan sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap gerak-geriknya. Secara diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersikap waspada dan panggung itu pun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu.
Setelah semua orang mundur, barulah Thian Sin menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan begini adalah karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi. Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya, maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apa lagi menyembuhkannya.
Dan meski pun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, akan tetapi cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya.
Thian Sin memondong bayi itu keluar dari ayunan, dan membawanya ke tengah-tengah panggung. Hal ini memang disengajanya agar semua orang dapat melihatnya dan agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi semakin curiga maka diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran.
Pada saat memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin telah memulihkan totokannya, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam dia pun menekan urat gagunya sehingga walau pun anak itu sudah normal kembali, namun masih belum dapat menangis.
Sekarang Thian Sin meletakkan anak yang terbungkus selimut itu di atas lantai panggung! Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena mengandung khikang.
“Sang Pangeran sedang dipengaruhi roh jahat…! Dan aku akan menandingi setan jahat itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!”
Suasana menjadi tegang kembali walau pun tadinya semua orang sudah merasa lega dan gembira melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik lagi. Kini semua orang bagai tersihir memandang setiap gerak-gerik Thian Sin. Mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh jahat!
Sesudah mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan suling dan meniup suling itu dengan suara yang melengking-lengking mengerikan. Semua orang terbelalak, dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa pemuda itu bersandiwara, sungguh pun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya terpengaruh dan dia tetap saja memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan.
Sesudah merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya semakin menurun dan akhirnya berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring.
“Iblis jahat, siapa takut padamu?!”
Maka terjadilah ‘perkelahian’ yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak sehingga tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar sedang ‘berkelahi’ melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Kadang-kadang terdengar suara seperti ledakan dan nampaklah asap mengepul ketika lengan pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang kala pemuda itu terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kadang-kadang pemuda itu juga seperti mendesak lawan.
Thian Sin bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sinkang untuk menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan uap seperti asap! Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah.
“Iblis jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!” katanya, seolah-olah bicara dengan lawannya yang melarikan diri.
Dia pun lantas membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu saja bayi itu menangis sebab Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan sekalian mencubit pahanya!
Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambutnya dengan mata basah, bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu! Semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja,
“Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang sudah menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?”
“Katakan siapa!” Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju.
“Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang turut mendengarkan rahasia ini,” bisik Thian Sin.
Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu.
Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik, “Harap Paduka bersikap tenang dan jangan dulu menunjukkan kemarahan sebelum orangnya dapat tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh di dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab ini adalah orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan.”
“Ahhh…!” Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. “Mana mungkin…?”
Thian Sin tersenyum. “Tentu saja Paduka tidak boleh percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena nanti Paduka bisa membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan salah seorang isteri Paduka sendiri…”
“Hehhh…! Be… benarkah…? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, maka sekarang juga tentu engkau sudah kubunuh!” Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
“Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu…”
Raja Agahai semakin marah. “Berani engkau menuduh demikian terhadap selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?”
“Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan sesuatu benda kepada Koksu…”
“Benda apa? Benda apa, keparat?!” Raja Agahai sudah marah sekali.
“Hamba tidak tahu secara pasti, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah…”
Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta mempunyai benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya yang sebelah dalam, untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya!
Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar.
“Be… benarkah…?”
“Sri baginda, mengapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya.” Kemudian disambungnya berbisik, “Sri baginda harap tenang dan sabar. Apa bila hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu.”
Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, “Koksu…!”
Sejak tadi Koksu Torgan mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya pada waktu raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya!
Koksu Torgan terbelalak, seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, “Geledah dia!”
Apa bila dalam keadaan biasa, dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, Akan tetapi kini, dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya.
Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Dan di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya.
Sementara itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi dia siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu hendak melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han itu.
Dia merasa tenang sekali karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu dan tak merasa bersalah sedikit pun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika di antara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya, terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah berbentuk burung hong merah!
Melihat ini, maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu!
Hampir saja raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor. Karena itu, dengan muka merah dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras, “Tangkap jahanam ini!”
Koksu Torgan terkejut bukan main. “Tapi… Sri Baginda…!”
Thian Sin telah melangkah maju, tersenyum dan berkata, “Koksu Torgan, apakah engkau hendak melawan perintah raja?”
Torgan memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang-keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di hadapan rajanya. Dia lalu mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia sudah menubruk maju lantas menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup dahsyat!
Akan tetapi, Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua lengan yang diisi penuh dengan tenaga sinkang itu.
“Dessss…!”
Diam-diam Thian Sin kagum dengan kekuatan lawan yang mampu membuat dia merasa terdorong ke belakang sehingga kedudukan kakinya tergeser. Akan tetapi, Torgan sendiri terpental lalu terhuyung ke belakang.
Empat orang pengawal raja langsung menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai dengan perintah raja tadi. Akan tetapi bekas koksu itu meronta lalu kaki tangannya bergerak dan… empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin berkata,
“Harap kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!”
Sementara itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata membelalak raja membentak, “Torgan! Beranikah engkau hendak menentang perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?”
Torgan memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan berarti membunuh diri, apa lagi pemuda yang berada di depannya itu sungguh-sungguh memiliki kepandaian hebat. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Hamba tidak melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah…”
“Hemm, hal itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!” kata raja kepada para pengawal.
Dan sekali ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal. Semua orang terkejut bukan kepalang, tidak tahu apa yang telah terjadi maka koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu! Sementara itu, Menteri Abigan yang diam-diam merasa girang sekali akan hasil usaha cucu Puteri Khamila ini, cepat-cepat berlutut di hadapan raja.
“Sri Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?”
Raja Agahai yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum terbebas dari rasa heran yang amat sangat.
Pada saat Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin mendekati raja dan berbisik, “Sebaiknya jika Paduka mengajak semua keluarga ke dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak menimbulkan keributan.”
Raja Agahai mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu memerintahkan supaya semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir lainnya, dia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu. Maka, bersama keluarga raja, selir yang cantik ini pun lalu ikut masuk kembali ke dalam istana.
Raja Agahai mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana. Menteri Abigan dan rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan…..
********************