Harta Karun Jenghis Khan Jilid 04

Antara Thian Sin dan Kim Hong kadang-kadang terdapat ketidak cocokan sebab memang keduanya memiliki kekerasan hati yang membuat mereka kadang-kadang tak mau saling mengalah sehingga terjadi bentrokan. Namun, pada hakekatnya, di dasar atau lubuk hati mereka, kedua orang ini saling mencinta dengan amat mendalam sehingga pertentangan-pertentangan yang ada selalu dapat dikalahkan oleh perasaan saling menyayang itu. Dan selain cinta kasih kedua pihak, juga di antara keduanya sudah terdapat suatu kepekaan bersama sehingga hanya dengan saling pandang saja mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing.

Setelah mencurahkan kasih sayang yang tiba-tiba timbul pada saat itu, keduanya menjadi lebih tenang. Kim Hong segera melepaskan diri dari pelukan kekasihnya lalu menengok, memandang ke arah salah seorang di antara Siang-to Ngo-houw yang tadi dirobohkannya dengan tusuk konde tadi.

"Akan kita apakan dia itu?"

"Dia penting sekali untuk membawa kita kepada pimpinannya, kepada yang mengutusnya atau kepada pemegang peta itu," kata Thian Sin dan keduanya lalu menghampiri orang itu.

Sambitan tusuk konde tadi menembus paha hingga orang itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memijit-mijit pahanya, menggigit bibir menahan rasa nyeri. Berulang kali dia menyumpah-nyumpahi keempat orang saudaranya yang meninggalkannya begitu saja.

"Bedebah! Pengkhianat mereka itu! Tidak mempunyai setia kawan sama sekali, keparat!" demikian dia menyumpah-nyumpah akan tetapi dia memandang dengan cemas pada saat melihat Thian Sin dan Kim Hong menghampirinya.

Baru sekarang dia tahu bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian hebat sekali. Baru gadis itu saja sudah mampu merobohkan mereka berlima, belum lagi pemuda itu! Mulailah dia menduga-duga siapa gerangan pasangan muda mudi yang demikian lihainya ini.

"Nah, engkau sudah membuktikan kelihaian kami?" Kim Hong mengejek. "Sekarang lebih baik engkau mengaku terus terang!"

"Aku telah kalah dan telah ditinggalkan teman-temanku, kalian mau bunuh, terserah. Aku harus mengaku apa lagi?" Orang itu mencoba untuk menutupi rasa takutnya dengan sikap gagah. Siang-to Ngo-houw terkenal sebagai orang-orang gagah, karena itu dia pun harus bersikap gagah.

"Sobat, kalian Siang-to Ngo-houw datang dan berusaha membunuh kami, juga berusaha merampas kunci emas yang ada padaku," kata Thian Sin. "Namun kami masih menaruh kasihan, tak mau membunuh kalian. Maka ceritakanlah, siapakah yang mengutus kalian? Siapa yang telah menguasai peta rahasia itu? Katakan dan kami akan membebaskanmu."

Wajah yang sudah pucat itu nampak semakin ketakutan. Orang itu menoleh ke kanan kiri, sikapnya ngeri dan ketakutan, lalu dia menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak! Tidak ada yang mengutus kami. Aku tidak tahu!"

Thian Sin dan Kim Hong sudah cukup berpengalaman untuk dapat mengerti bahwa orang ini amat takut pada yang mengutusnya. Lalu Thian Sin berkata kembali, "Sobat, engkau tentu tidak asing dengan Hwa-i Kai-pang, bukan?"

Orang itu nampak terkejut dan memandang kepada wajah Thian Sin dengan kedua mata terbelalak. "Bagaimana engkau tahu?" dia balas bertanya.

"Aku mengenal dasar-dasar gerakan Ngo-lian Pang-hoat dalam ilmu golok kalian. Tentu kalian masih mempunyai hubungan dengan Hwa-i Kai-pang, atau lebih tepat lagi dengan Lo-thian Sin-kai tokoh utama Hwa-i Kai-pang itu."

"Dia adalah mendiang suheng kami! Siapa... siapakah engkau?"

Thian Sin maklum bahwa orang yang amat takut kepada kepalanya ini perlu dibuat gentar agar suka mengaku. "Aku adalah kenalan lama Hwa-i Kai-pang, dulu aku dikenal sebagai Pendekar Sadis..."

"Ahhhh...!" Orang itu terbelalak dan berusaha menjauh seperti mendadak melihat seekor ular yang amat berbabaya. "Pendekar... Sadis...?"

Diam-diam Thian Sin merasa girang melihat ketakutan terbayang di wajah itu. "Benar, dan engkau mengerti bahwa sebaiknya mengaku dari pada harus merasakan tanganku!" Dia sengaja mengancam.

"Tapi... tapi... aku takut..."

"Dan tidak takut kepada Pendekar Sadis?" kembali Thian Sin menghardik.

"Ahh... ampunkan nyawaku... kami... kami disuruh..." Tiba-tiba terdengar suara berdesing-desing.

Dua orang pendekar itu langsung meloncat untuk menghindarkan diri dari sambaran anak panah kecil yang meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada mereka tadi. Namun, pada saat itu terdengar pekik mengerikan dan orang yang mereka tanyai tadi terjengkang, berkelojotan dengan anak panah menembus dadanya!

"Setan...!" Kim Hong yang memiliki gerakan cepat itu sudah melayang ke arah dari mana datangnya anak panah tadi, akan tetapi ia tidak dapat menemukan orang. Selain cuaca remang-remang yang menjadi penghalang, juga agaknya pelepas anak panah itu memiliki kecepatan yang hebat pula, maka secepat itu telah menghilang. Ketika Kim Hong kembali lagi, dia melihat Thian Sin melepaskan tubuh yang tadi diperiksanya itu. Tubuh itu terkulai lemas tanda tidak bernyawa lagi.

"Orangnya telah pergi, terlampau gelap untuk dapat mengejarnya. Kau kira siapakah yang melakukannya? Teman-temannya tadi?"

Thian Sin menggelengkan kepala. "Tentu orang lain. Anak panah itu menembus jantung, bahkan mematahkan tulang iga. Jelas bahwa tenaga orang yang melepaskannya sangat kuat, lebih kuat dari pada tenaga bekas-bekas lawanmu tadi. Dan ini membuktikan bahwa orang yang mengutus Siang-to Ngo-houw tadi, atau orang yang menguasai peta rahasia itu, bukanlah orang sembarangan. Kita berhadapan dengan penjahat besar yang memiliki banyak pembantu lihai, maka kita harus berhati-hati."

Kim Hong menarik napas panjang, menyesal. "Akan tetapi ke mana kita harus mencari dia? Satu-satunya orang yang dapat menghubungkan kita kepadanya telah dibunuh."

"Tak ada jalan lain kecuali menunggu. Dia telah mengirim Siang-to Ngo-houw dan gagal, kurasa seorang penjahat besar seperti dia tentu tak mudah putus asa dan akan mengutus pembantu lain yang lebih cakap dan lebih kuat. Kita menunggu saja. Umpan kunci emas masih ada pada kita dan tentu kakap-kakap besar akan berdatangan. Kita hanya tinggal waspada saja melihat ikan macam apa yang akan menyambar umpan."

Thian Sin dan Kim Hong meninggalkan mayat itu, segera kembali ke rumah penginapan mereka. Karena tahu akan lihai dan berbahayanya musuh, ada sedikit ketegangan dalam hati mereka. Akan tetapi ketegangan ini membuat mereka menjadi makin akrab, merasa semakin dekat dan harus saling melindungi.

Semuanya ini membuat mereka akhirnya menumpahkan perasaan masing-masing dalam keadaan amat mesra, sehingga malam itu mereka sama sekali sudah melupakan seluruh ketegangan dan ancaman bahaya, hanyut dalam kemesraan…..

********************

Selama dua hari berikutnya tidak terjadi sesuatu dan hal ini membuat Thian Sin dan Kim Hong merasa kecewa dan tidak sabar. Ikan yang dinanti-nanti tak kunjung muncul! Thian Sin tidak percaya bahwa kepala penjahat itu menjadi jeri. Perbuatannya membunuh salah seorang di antara Siang-to Ngo-houw itu saja sudah membuktikan bahwa kepala penjahat itu tidak menjadi jera dan jeri. Pasti akan muncul, pikirnya penuh keyakinan.

Malam itu mereka berdua pergi ke rumah makan terbesar di kota raja. Rumah makan ini terkenal sekali dengan masakan ikan-ikan laut. Rumah makan besar itu sudah setengah penuh pada saat Thian Sin dan Kim Hong memasukinya, disambut oleh seorang pelayan dengan ramahnya dan pelayan itu segera menyodorkan daftar masakan.

Thian Sin dan Kim Hong tersenyum-senyum gembira membaca daftar masakan itu. Daftar yang sungguh luar biasa dan sangat berbeda dengan yang terdapat di restoran-restoran lainnya. Selain terbuat dari kain yang indah, juga tulisannya amat indah, daftar itu memuat nama-nama masakan yang aneh-aneh.

"Jantung ular laut?" Kim Hong membaca sambil terbelalak. "Benarkah itu?"

"Ahh, paling-paling itu hanya daging belut laut. Coba lihat ini. Masak Burung Hong Merah! Bukan main! Aku berani bertaruh bahwa ini tentu hanya masak ayam saus tomat, tentu saja kemerahan."

"Wah, ini ada Ca Kaki Biruang, ada Otak Ki-lin goreng, Sup Naga Hitam, dan Panggang Daging Srigala!" teriak Kim Hong.

"Ha-ha, biruangnya tentu hanya babi, ki-lin itu tak salah lagi tentu babi hutan, naga hitam itu boleh jadi hanya daging ular hitam saja, dan srigala itu, apa lagi kalau bukan anjing?"

Mereka tertawa-tawa dan ketika pelayan datang, mereka bertanya dan memang sebagian besar dugaan Thian Sin tadi benar adanya.

"Di samping sebagai penambah selera, juga untuk menguji kecerdasan tamu yang suka menduga-duga." kata si pelayan sambil tersenyum ramah.

Maka sibuklah Kim Hong memillh masakan yang namanya seram-seram dan aneh-aneh itu. Ada yang disebut ‘siluman laut bongkok’ yang ternyata hanyalah udang besar saja! Rajawali leher panjang ternyata hanya bebek! Betapa pun juga, sesudah semua hidangan dikeluarkan, sepasang muda mudi ini harus mengakui bahwa masakan di rumah makan itu memang istimewa lezatnya.

Ketika mereka berkelakar tentang nama-nama hebat dari masakan-masakan itu, seorang pemuda yang telah lebih dahulu duduk tidak jauh dari meja mereka, memandang kepada mereka dengan wajah ramah. Thian Sin melihat ini dan diam-diam dia memuji wajah yang tampan dan sepasang mata yang kelihatan cerdas itu.

Akan tetapi, ketika pernah satu kali Kim Hong bertemu pandang mata dengan pemuda itu, dia tersenyum dan kedua pipinya menjadi agak merah. Sebagai wanita, ia segera merasa betapa sinar mata yang ditujukan padanya itu penuh dengan kekaguman dan kegairahan yang tidak disembunyikan.

Kalau saja si pemandang tidak berkenan di hatinya, tentu Kim Hong sudah marah. Akan tetapi ada sesuatu di wajah pemuda itu yang menarik hatinya, wajah tampan dan halus, sinar mata tajam dan dagu yang membayangkan kegagahan. Seorang pemuda yang tentu bukan orang sembarangan, pikirnya.

Pula, melihat betapa pemuda itu diam-diam memperhatikan mereka dan tersenyum serta bersikap ramah bersahabat terhadap mereka, diam-diam di dalam hati Thian Sin dan Kim Hong sudah timbul kecurigaan. Mereka saling pandang dan tahu akan isi hati masing-masing yang menaruh curiga terhadap pemuda tampan itu. Siapa tahu, dialah ikan kakap yang mereka nanti-nanti selama dua hari ini!

Secara sambil lalu, mereka mulai memperhatikan pemuda itu. Dan seperti juga mereka, pemuda itu memesan beberapa macam masakan dan kelihatannya cukup royal, sungguh pun tidak sangat gembul karena masakan-masakan itu hanya dicicipi sedikit-sedikit saja.

Akan tetapi pemuda itu sungguh kuat sekali minum arak. Sudah ada sepuluh cawan yang diminumnya, tetapi mukanya masih nampak berseri, sama sekali tidak menjadi pucat atau merah seperti biasanya kalau orang mulai terpengaruh arak.

Usia pemuda itu kurang lebih dua puluh tiga tahun, pakaiannya seperti pelajar, sederhana biar pun terbuat dari sutera yang cukup halus. Ketika itu, guci kecil araknya telah kosong dan dia pun menggapai kepada seorang pelayan yang lewat didekatnya. Setelah pelayan mendekat, dengan suara yang cukup lantang sehingga bisa terdengar oleh Thian Sin dan Kim Hong, pemuda itu bertanya, sambil memandang catatan pada daftar makanan,

"Bung, selain Arak Bunga Surga seperti yang kau suguhkan tadi, apakah ada juga Arak Dewa Panjang Usia yang disimpan dalam kamar pusaka dengan kunci emas?" Suaranya berlagu, terdengar lucu bagai orang membaca sajak sehingga beberapa orang menengok dan tersenyum. Pelayan itu sendiri tertawa.

"Ha-ha-ha, kongcu pandai sekali membuat nama yang bagus. Biar saya usulkan kepada majikan supaya menambahkan nama itu. Arak Dewa Panjang Usia! Bagus sekali!" kata si pelayan. "Akan tetapi sayang, arak yang ada di sini, yang terbaik hanyalah Arak Bunga Sorga tadi."

"Baiklah, tambah satu guci lagi." kata si pemuda yang wajahnya bulat itu. Alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan senyumnya berseri. "Awas, jangan keliru mengambilkan Arak Bunga Neraka, ya?"

Beberapa orang tertawa keras atas kelakar pemuda ini. Thian Sin dan Kim Hong saling pandang. Bagi mereka, yang paling penting adalah disebutnya ‘kunci emas’ tadi oleh si pemuda. Tidak salah lagi, tentu pemuda ini mempunyai hubungan dengan urusan yang sedang mereka selidiki.

Seorang utusan lainkah? Apa bila memang demikian, sungguh luar biasa sekali kepala penjahat itu. Bermacam-macam saja pembantunya. Ataukah pemuda ini tak sengaja dan hanya kebetulan saja menyebut kunci emas tadi? Kelihatannya begitu tenang saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak menghubungi mereka.

Pemuda itu minum lagi sambil menyumpit hidangan di depannya, kemudian dengan lagak orang mabok, menggoyang-goyangkan kepala sedikit padahal matanya masih bening, dia pun bernyanyi.

Mengganyang kaki biruang
melahap sup naga
mengunyah daging srigala
minum arak bunga sorga!
betapa enak tak terkira
akan tetapi biruang naga dan srigala
mengepung diri kita!
betapa mengerikan jadinya! Hiiiiiihh!

Kembali terdengar orang tertawa di sana sini mendengar sajak yang lucu ini. Kim Hong juga memandang dan memang pemuda tampan itu nampak lucu pada saat menggoyang-goyangkan kepala sambil membaca sajak itu. Apa lagi kata terakhir yang membayangkan ketakutan itu, diucapkan dengan mata terbelalak dan muka membayangkan kengerian.

Thian Sin berbisik, "Dia inikah...?"

Kim Hong menggeleng. "Entah, tapi dia lucu."

Pada saat itu nampak seorang gadis muda memasuki rumah makan, langsung disambut dengan penuh kehormatan oleh kepala pelayan sendiri. "Selamat sore, nona. Silakan duduk. Apakah nona sudah pesan seperti biasa? Untuk beberapa orangkah?"

Gadis itu tersenyum dan jantung Thian Sin berdebar. Gadis yang manis dan mempunyai daya pesona yang kuat! Terutama sekali lesung pipit pada pipi kiri dan tahi lalat kecil di bawah mata kanan itu. Sungguh menyegarkan mata!

Usia gadis itu kurang lebih dua puluh satu tahun dan melihat dandanannya, tentu seorang nona yang kaya raya. Pinggangnya tak seramping pinggang Kim Hong, akan tetapi dada dan pinggul yang membusung itu mendatangkan gairah.

"Kali ini aku sendirian saja, Kwa-lopek. Sediakan masakan kesukaanku, cepatan sedikit karena aku tidak akan lama di sini." jawab gadis itu dan dari percakapan antara gadis itu dan si kepala pelayan, mudah diduga bahwa tentu gadis ini amat dikenal dan merupakan seorang langganan yang amat baik dari restoran besar ini. Thian Sin juga melihat betapa beberapa orang yang berada di situ, mengangguk dengan hormat kepada si nona manis.

"Lopek, aku ingin duduk di meja ini, tidak begitu panas di sini, memperoleh angin dari luar. Malam ini panas sekali!" katanya sambil mengipasi leher dengan kipasnya. Wangi harum menyambar ke arah meja Thian Sin dari gerakan kipas itu.

Meja yang dipilih adalah meja yang berdekatan dengan meja Thian Sin, di antara meja pendekar itu dan meja pemuda yang bersajak tadi. Akan tetapi meja itu dipakai oleh dua orang laki-laki bersama isteri mereka. Sesudah mendengar bahwa nona itu memilih meja mereka, empat orang itu cepat-cepat bangkit berdiri dan berkata kepada kepala pelayan,

"Biarlah hidangan kami dipindahkan ke meja lain agar meja ini dapat dipakai oleh nona..."

Gadis manis itu hanya memandang pada mereka dengan sedikit menganggukkan kepala sebagai pernyataan terima kasih. Mendongkol juga rasa hati Kim Hong melihat ini.

"Ini namanya tak mengenal budi!" katanya agak keras sehingga tentu saja terdengar oleh nona itu, akan tetapi karena dia bicara bukan sebagai penyerang langsung, nona itu pun hanya melirik saja.

Setelah dua pasangan itu pindah dan meja dibersihkan, nona itu kemudian duduk sambil mengipasi lehernya. Dia mengambil sebuah tas kecil yang lalu dibukanya, dan dibereskan rambutnya sambil memandang sebuah cermin kecil yang berada di dalam tas.

Akan tetapi, Thian Sin yang berada di belakang gadis itu tetapi agak ke samping, sempat melihat cermin itu dan melihat sepasang mata jeli yang memandang langsung kepadanya, kemudian sebuah di antara dua mata jeli itu berkedip kepadanya! Kedipan yang memang disengaja, kedipan yang ada maksudnya! Dan sekarang nampak sepasang bibir merah di cermin itu tersenyum kepadanya, memperlihatkan deretan gigi putih mengintai dari balik daging merah mulut itu! Sebuah tantangan yang manis!

Akan tetapi, kalau Thian Sin tertarik memandang kepada gadis manis itu melalui cermin di dalam tas yang sengaja diarahkan kepadanya, sebaliknya dengan diam-diam Kim Hong memperhatikan pemuda yang bersajak tadi. Pemuda itu pun jelas kelihatan tertarik sekali kepada gadis ini, dan wajah yang tadinya mengandung seri jenaka itu kini berubah serius, akan tetapi tetap saja kekaguman terbuka terpancar dari matanya pada saat memandang gadis itu, seperti ketika memandang kepadanya.

Diam-diam ada rasa tidak enak di hati Kim Hong, seolah-olah dia merasa bahwa dia telah memperoleh seorang saingan yang cukup berat! Maka dia mengerling ke arah gadis itu dan matanya yang tajam sempat melihat wanita itu mempermainkan cermin kecil di dalam tasnya. Akan tetapi, biar pun ia tahu bahwa melalui cemin itu si gadis manis tentu sedang menyelidiki sesuatu, Kim Hong tidak tahu bahwa wajah Thian Sin-lah yang terpantul di dalam cermin yang dipermainkan oleh jari-jari tangan gadis itu.

Sebagai seorang langganan yang baik, tentu saja pesanan nona itu mendapat pelayanan yang cepat sekali. Sebentar saja, semua hidangan yang dipesannya sudah datang, diatur di atas meja depan nona itu, mengepulkan uap panas. Karena ia hanya seorang diri saja, maka yang dipesannya hanya empat macam masakan sehingga meja itu terlampau besar baginya, sebab sebagian besar meja itu masih kosong.

Nona itu pun mulai makan dengan sikap tenang, sedikit pun tidak merasa canggung biar pun dia tahu bahwa banyak pasang mata lelaki memandang kepadanya, sebagian besar secara melirik sembunyi-sembunyi, kecuali mata beberapa orang laki-laki, termasuk mata pemuda sastrawan tadi yang duduk berhadapan dengannya, serta mata Thian Sin yang duduk di arah belakangnya.

Thian Sin melihat pula betapa pemuda sastrawan itu menatap wajah orang yang sedang makan dengan asyik sekali. Hemm, agaknya dia akan membuat sajak dari gerakan mulut gadis yang tengah makan itu, pikirnya mendongkol karena tempat duduk pemuda itu lebih ‘strategis’ apa bila dibandingkan dengan tempat duduknya yang hanya memungkinkan dia memandang wajah itu dari samping agak belakang saja.

"Huh, jalangmu kumat pula!" Mendadak terdengar bisikan Kim Hong dan sebuah cubitan pada pahanya hampir membuat Thian Sin menjerit.

"Hushhh..." Bisiknya membalas. "Siapa tahu dia adalah kakap pula..."

"Memang kakap untuk kejalanganmu!" hati Kim Hong masih panas akibat melihat pemuda sastrawan itu agaknya mengalihkan perhatian, tertarik kepada si gadis yang baru datang saja sudah membuat hatinya panas, merasa tersaing. Apa lagi dia melihat Thian Sin juga longak longok!

Dia mengenal watak Thian Sin yang romantis, yang senang akan kecantikan wanita dan hatinya mudah jatuh pada wajah cantik, akan tetapi dia pun tahu bahwa di lubuk hatinya, Thian Sin hanya mencinta dia seorang. Dan ia pun tahu bahwa ia tak dapat menyalahkan Thian Sin, karena dia sendiri selalu tertarik dan kagum apa bila melihat pria tampan dan gagah, walau pun cintanya hanya untuk Thian Sin seorang.

Tiba-tiba semua orang menengok ketika melihat masuknya seorang laki-laki tinggi besar yang berjalan agak sempoyongan. Jelas bahwa lelaki tinggi besar ini sudah agak mabok, maka sungguh mengherankan sekali, kenapa orang yang sudah agak mabok, yang berarti sudah terlalu banyak minum arak, sekarang memasuki restoran? Seorang pelayan segera menyambutnya.

"Tuan hendak makan? Silakan, di sudut belakang masih ada meja kosong." Walau pun di ruangan depan juga masih tersisa beberapa buah meja yang kosong, akan tetapi pelayan yang cerdik ini sengaja memilihkan di sudut belakang agar orang tinggi besar yang sudah agak mabok dan kelihatannya kasar ini tidak mengganggu tamu-tamu lainnya.

Si tinggi besar yang usianya hampir empat puluh tahun itu melotot. Mukanya kasar dan kumis serta jenggotnya tidak terpelihara, pakaiannya juga kumal akan tetapi keseluruhan tubuhnya membayangkan kekuatan dan kekasaran. "Apa katamu? Di belakang? Tidak. Aku ingin duduk di meja ini!" Sambil berkata demikian, dia menunjuk ke arah meja yang sudah ditempati nona manis yang sedang makan itu.

Pelayan itu terkejut. "Harap tuan tidak membikin ribut, meja ini sudah ditempati oleh nona ini, apakah tuan tidak melihatnya?"

"Peduli apa? Yang dipakai hanya separuh meja juga tak ada, masih banyak bagian yang kosong! Dia hanya sendirian, ada pun meja ini untuk delapan orang! Masa mau diborong sendiri? Pula, tidak baik membiarkan wanita muda dan cantik seperti dia ini duduk makan sendirian saja! Boleh kan aku duduk di sini menemanimu, manis?"

Gadis itu berhenti makan, memandang dengan alis berkerut. "Hemmm, siapakah engkau? Tidak kenalkah engkau siapa aku maka berani kurang ajar?" gadis itu bertanya.

Si tinggi besar tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, karena belum kenal maka sekarang kita berkenalan! Aku Can Hoa, orang-orang menyebutku Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut), di kota Yen-tai namaku terkenal sekali. Nona siapakah?" Dan si tinggi besar ini mau duduk begitu saja di atas bangku dekat nona itu.

"Pergilah dan jangan ganggu aku!" Nona itu berseru dan tangannya menampar ke arah muka orang itu.

"Plakkk!"

Si tinggi besar itu menangkis dan akibatnya, nona cantik itu hampir saja terjatuh dari atas bangkunya! Kiranya si tinggi besar itu menggunakan tenaga keras.

"Ha-ha-ha-ha, nona manis, jangan terlalu galak Hai-pa-cu tidak biasa menghadapi wanita galak karena biasanya semua wanita jinak kepadaku, ha-ha-ha-ha!" Hai-pa-cu Can Hoa itu tertawa bergelak.

Nona itu terkejut akan tetapi tidak kelihatan takut, bahkan ia menjadi marah dan meloncat turun dari atas bangkunya, alisnya terangkat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.

"Bangsat kurang ajar! Berani engkau mengganggu orang di tempat ini?" teriaknya dan ia pun sudah siap untuk menyerang si tinggi besar itu.

Dari gerak-geriknya, Thian Sin dan Kim Hong maklum bahwa gadis itu pun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah kalau hanya oleh penjahat kasar itu saja. Kalau tadi nona itu hampir terjatuh dari atas bangkunya ketika si penjahat menangkis, adalah karena nona itu tidak menyangka bahwa si penjahat akan menangkis dengan pengerahan tenaga besar.

Akan tetapi sebelum gadis itu bergerak, mendadak terdengar suara nyaring, "Maaf, nona. Saya kira sungguh tidak layak mempergunakan sebatang tongkat gading untuk memukul seekor anjing kudisan. Hanya akan mengotori tongkat indah itu saja."

Gadis itu memutar tubuh menengok ke kanan dan ternyata yang berbicara itu adalah si sastrawan muda yang sejak tadi makan seorang diri. Kini pemuda itu sudah bangkit dan meninggalkan mejanya, melangkah menghampiri nona muda yang cantik manis itu, lantas menjura dengan sikap sopan sekali.

Gadis itu memandang heran karena dia tidak pernah mengenal pemuda itu. Pula, dia pun tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. "Apa maksudmu?" tanyanya ragu.

Pemuda itu tersenyum sehingga nampak betapa tampannya wajah itu, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Maksudku, nona. tidak sepatutnya jika menggunakan tangan nona untuk menghajar anjing ini. Biarkan aku yang mewakilimu untuk menghajar dia agar dia tahu sopan santun sedikit!"

Tanpa menanti jawaban nona itu, si sastrawan muda segera membalik dan menghadapi penjahat tinggi besar yang kini kelihatan agak ragu-ragu melihat ada orang berani campur tangan.

"Hai, kamu Hai-ci-cu (Tikus Laut), apakah kamu tidak pernah sekolah?"

Pertanyaan itu terdengar begitu wajar dan akrab sehingga si tinggi besar terbawa hanyut dan otomatis dia pun menggelengkan kepala. "Tidak..." Akan tetapi dia pun segera sadar dan mukanya menjadi merah, lalu mengepal tinju.

"Bocah lancang! Mau apa engkau mencampuri urusanku?" Ia pun melangkah maju sambil mengamangkan tinjunya yang besarnya hampir sama dengan besar kepala pemuda itu. "Apa kau ingin kepalamu pecah?"

Pemuda itu dengan lagak lucu meraba-raba kepalanya. "Kepala pecah? Wah, jangan ahh, kepala cuma satu dipecah, lalu ke mana aku harus mencari gantinya?"

"Pemuda gila, pergilah, jangan sampai aku marah!" Hai-pa-cu Can Hoa membentak lagi sambil mengamangkan tinjunya ke depan hidung pemuda itu. Si pemuda mengernyitkan hidungnya, lalu menggunakan dua jari tangannya untuk menutup lubang hidungnya sambil mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Huh, tanganmu bau! Tentu engkau tidak pernah mencuci tangan dan tak pernah mandi!" katanya.

Karena hidungnya sedang dijepit jari, maka suaranya menjadi lucu dan bindeng, membuat beberapa orang yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka. Biar pun semua tamu maklum bahwa si tinggi besar itu adalah seorang penjahat, akan tetapi karena tidak ada yang mengenalnya, maka kesannya tak begitu menakutkan. Apa lagi mereka semua rata-rata mengenal siapa adanya gadis manis yang diganggu itu maka tentu saja mereka semua berpihak kepada si nona dan semua orang menganggap bahwa si tinggi besar itu sungguh mencari penyakit. Munculnya pemuda sastrawan yang juga tidak dikenal orang itu mendatangkan kegembiraan dan keinginan tahu.

Si Macan Tutul Laut menjadi marah bukan main. Tadi dia sudah dimaki Tikus Laut, dan sekarang dikatakan tangannya bau dan dia tidak pernah mandi. Mukanya yang berkulit kasar hitam itu menjadi semakin hitam.

"Bangsat bermulut lancang! Engkau benar-benar sudah bosan hidup!" Setelah berteriak demikian, si tinggi besar ini sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu bergerak ke depan mengirim serangan.

Memang serangannya itu cukup dahsyat, yang kanan menghantam ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah dada. Semua serangan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga yang besar sehingga membawa angin pukulan yang cukup kuat.

Akan tetapi, pemuda yang nampaknya lemah dan lucu itu sama sekali tidak merasa takut atau gentar, juga tidak nampak gugup sedikit pun juga. Menghadapi serangan seperti itu, dengan tenang saja dia melangkah mundur sambil menarik kepalanya ke belakang dan kedua tangan lawan yang menyerangnya itu hanya mampu mendekati saja akan tetapi sama sekali tidak sampai mengenai tubuhnya! Dan dia pun masih sempat menengok ke arah nona manis itu sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, seakan-akan memberi isyarat, bahkan dia pun sempat berkata,

"Mari kita semua lihat, siapa yang bosan hidup. Anjing kudisan semacam dia ini berani mengganggu seorang siocia terhormat di tempat umum, sungguh dialah sebenarnya yang bosan hidup!"

Dia masih juga berkata-kata ketika serangan ke dua datang dengan hebatnya. Sekali ini, karena si tinggi besar sudah dapat menduga bahwa pemuda yang kelihatannya lemah itu sebenarnya bukan lawan yang boleh dipandang ringan, telah mengirim serangan dengan lebih dahsyat lagi, terdorong oleh rasa marahnya. Dan nona itu pun memandang dengan bingung.

Thian Sin dan Kim Hong yang sejak tadi duduk tenang sambil memperhatikan, melihat betapa nona itu nampak bingung melihat ada orang membantunya. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandang mata mereka yang tajam dan mereka merasa alangkah anehnya sikap nona itu. Seolah-olah nona manis itu tidak menghendaki bantuan pemuda tampan itu.

Sementara itu, serangan yang ke dua itu pun dielakkan dengan amat mudahnya oleh si pemuda yang masih tersenyum-senyum. "Hati-hati, jangan kau membuat rusak perabot rumah makan ini, karena engkau harus menggantinya nanti!" Pemuda itu masih sempat memperingatkan kepada penyerangnya yang menjadi semakin marah.

Sesudah empat lima kali menyerang namun gagal dan selalu mengenai tempat kosong, akhirnya si tinggi besar itu mencabut senjatanya dari pinggangnya, yaitu sepotong rantai baja yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang atau sabuk. Rantai ini besar dan berat, terbuat dari pada baja, seperti rantai yang biasa dipergunakan oleh tukang perahu.

Sepasang matanya yang besar melotot dan kemerahan, mulutnya cemberut, sedangkan hidungnya kembang kempis pada waktu si tinggi besar itu melangkah maju menghampiri pemuda yang mengganggunya.

"Wah, apakah engkau tukang perahu? Ataukah biasa menjagal kerbau dan rantai itu biasa kau pakai untuk mengikat kerbau yang hendak kau sembelih? Hati-hati, rantai itu berat, jangan main-main, bisa-bisa menimpa kepalamu sendiri hingga benjol!" Pemuda itu terus memperolok dan semua orang yang kini sudah mulai percaya bahwa pemuda itu adalah seorang yang mempunyai kepandaian lihai tertawa, bahkan ada pula yang berteriak agar si pemuda menghajar orang kasar yang telah menghina gadis itu.

Si gadis itu sendiri tidak lagi duduk menghadapi mejanya, melainkan mundur-mundur dan mendekati meja Thian Sin dan Kim Hong. Ketika Thian Sin memandang dan gadis itu pun kebetulan memandang kepadanya, sepasang mata Thian Sin bertemu dengan sepasang mata yang bening dan jeli, yang mengeluarkan sinar lain dari pada tadi.

Apa bila tadi sepasang mata di dalam cermin itu seperti menantang dan merangsang, kini sepasang mata itu seperti mengirim suatu permohonan, yaitu agar Thian Sin membantu dirinya. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin! Akan tetapi karena penjahat kasar itu sudah dihadapi oleh si pemuda sastrawan dan dia mulai percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengatasinya, maka Thian Sin tidak bergerak dari tempat duduknya.

Kim Hong juga diam-diam merasa kagum terhadap pemuda sastrawan itu. Tak diduganya bahwa pemuda sastrawan yang tadi bersajak dengan lucu, selain memiliki watak gagah berani membela wanita yang diganggu orang, juga ternyata mempunyai kepandaian yang mengagumkan.

Cara pemuda itu mengelak, tanpa gerakan silat, seperti gerakan biasa saja, akan tetapi sedikit pun serangan-serangan si tinggi besar tak pernah mampu menyentuhnya, menjadi bukti bahwa pemuda itu memang mempunyai ilmu silat yang sudah mendarah daging dan tinggi sehingga setiap gerakannya otomatis mengandung gerakan silat. Juga pemuda itu mempunyai keberanian yang besar, terbukti saat melihat lawannya mengeluarkan senjata rantai baja yang berbahaya itu, dia masih dapat menghadapinya dengan olok-olok, sedikit pun tidak merasa gentar.

Padahal, Thian Sin dan Kim Hong dapat melihat bahwa penjahat itu bukan hanya kasar dan bertenaga besar, melainkan juga memiliki kepandaian yang tidak rendah dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Melihat gerakan orang kasar itu, Thian Sin dan Kim Hong dapat mengukur bahwa kepandaian si kasar ini sedikitnya tidak kalah oleh tingkat kepandaian seorang di antara Siang-to Ngo-houw! Jadi dia bukan penjahat sembarangan saja, melainkan seorang penjahat yang sudah boleh dianggap sebagai tokoh dalam dunia kaum sesat.

Dugaan Pendekar Sadis dan kekasihnya ini memang tidak keliru. Memang Hai-pa-cu Can Hoa sudah terkenal sekali di kota Yen-tai dan sekitarnya. Tentu saja dia tidak dikenal di kota raja dan dia belum cukup besar untuk berani beraksi di kota raja, di mana banyak terdapat penjahat besar dan orang-orang pandai.

Maka, sungguh merupakan suatu keanehan kalau sekarang penjahat ini berani beraksi di kota raja, apa lagi mengganggu seorang nona cantik yang sudah dikenal banyak orang di tempat umum. Seolah-olah penjahat dari Yen-tai itu memang sengaja mencari perkara!

"Wirrr... siuuuuttt...!"

Rantai baja yang panjangnya ada satu setengah meter itu menyambar ganas dari atas ke bawah, ke arah kepala si pemuda sastrawan.

"Uhhhh... luput!" Pada detik-detik terakhir pemuda itu meloncat ke kiri sehingga rantai itu menyambar tempat kosong.

Sebelum rantai itu menyentuh lantai, tangan yang kuat itu menyendalnya hingga rantai itu segera membalik dan kini dari bawah menyambar ke samping, ke arah kedua kaki lawan. Gerakan ini saja menunjukkan bahwa Hai-pa-cu memang sudah mahir sekali memainkan rantainya, dan juga tenaganya besar bukan main sehingga rantai itu seolah-olah hidup di tangannya.

"Eeiiittttt... tidak kena lagi!" Si pemuda mengejek sambil meloncat ke atas, membiarkan rantai itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Akan tetapi baru saja kakinya turun, rantai itu sudah menyambar lagi, kini dari atas ke bawah lagi, dengan gerakan menyerong ke kiri.

"Heiiittt…, luput lagi, sayang!" Lagi-lagi si pemuda mengelak dengan gerakan cepat bukan main, gerakannya seperti kacau balau, laksana monyet menari saja.

Akan tetapi di dalam pandangan Thian Sin dan Kim Hong, mereka melihat kematangan gerak yang amat mengagumkan sehingga mereka menduga bahwa pemuda itu agaknya adalah seorang ahli silat tinggi, tentu seorang pendekar yang menyamar. Maka tentu saja keduanya merasa tertarik sekali.

"Wuuuttt...! Prakkk...!"

Sambaran rantai yang luput mengenai tubuh si sastrawan muda untuk ke sekian kalinya, kini menimpa meja. Pecahlah meja itu dan mangkok piring pun pecah berhamburan.

"Wah-wah-wah, apa kukata? Engkau memecahkan meja dan mangkok yang tadi kupakai. Engkau harus menggantinya! Sialan, jangan-jangan aku yang disuruh mengganti. Engkau pantas dihajar!"

Hai-pa-cu menjadi semakin marah dan sekarang dia sudah menubruk kembali, rantainya menyambar dengan membuat gulungan sinar melengkung lebar dari samping. Si pemuda menyambutnya dengan tangan.

"Plakkk!" Dan ujung rantai itu membelit lengan si pemuda.

Wajah si tinggi besar itu menyeringai kegirangan dan mengira bahwa sekarang dia dapat membalas. Ditariknya rantai itu dengan pengerahan tenaga agar pemuda itu terbawa dan terpelanting. Namun, ternyata tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah seorang anak kecil menarik batu karang saja!

Dan pemuda itu pun tersenyum-senyum, lalu tiba-tiba saja kakinya bergerak menendang, mula-mula kaki kiri lantas disusul kaki kanan. Tendangan pertama mengenai pergelangan tangan si tinggi besar yang memegang gagang rantai. Tidak keras, namun karena ujung sepatunya dengan tepat mengenai jalan darah, Hai-pa-cu langsung mengeluarkan seruan kaget, lengannya seperti lumpuh sehingga tangannya tidak mampu lagi mempertahankan rantainya yang terampas.

Sebelum dia tahu apa yang sudah terjadi, tendangan ke dua datang. Kiranya pemuda itu menggunakan tendangan Soan-hong-twi, yaitu semacam tendangan berantai yang dapat dilakukan terus-menerus secara bergantian oleh kedua kaki.

"Desss...!"

Tendangan itu sangat keras dan tepat bersarang di dada Hai-pa-cu. Agaknya sekali ini si pemuda telah mengerahkan tenaga sinkang-nya karena tubuh lawan yang tinggi besar itu terlempar keras ke arah... meja Thian Sin dan Kim Hong!

Kalau tubuh tinggi besar yang terlempar itu terbanting dengan kerasnya ke atas meja, tentu meja itu akan remuk dan akan menimpa masakan-masakan di dalam mangkok yang tentu akan membuat kuah masakan memercik ke muka dan pakaian Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi, maka keduanya sudah bangkit berdiri dan mengulur lengan. Dengan berbareng tangan mereka menerima tubuh itu dan mendorongnya kembali ke arah si pemuda sastrawan!

Melihat ini, pemuda sasterawan itu berseru kagum. "Bagus sekali!"

Memang gerakan Thian Sin dan Kim Hong itu amat hebat dan hal ini hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dapat mendorong kembali tubuh yang sedang melayang deras itu membutuhkan tenaga sinkang yang lembut dan kuat. Bukan melawan tenaga luncuran tubuh yang melayang itu, akan tetapi memutarnya sedemikian rupa sehingga tenaga luncuran itu tidak patah justru ditambah oleh tenaga mereka berdua sehingga si tinggi besar itu kini melayang ke arah si sastrawan muda dengan lebih cepat dari pada tadi!

Hal ini memang disengaja oleh Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tahu bahwa pemuda itu sudah mengenal mereka, atau setidaknya sudah maklum akan kepandaian mereka, maka tadi si pemuda sengaja melontarkan Hai-pa-cu ke arah mereka. Tentu dengan niat untuk menguji, maka kini mereka pun ingin menguji pemuda sastrawan yang aneh itu.

Akan tetapi, agaknya pemuda sastrawan itu tidak berani menyambut lontaran yang kuat itu dengan tenaga sinkang, melainkan dia miringkan tubuhnya dan mencengkeram leher baju si tinggi besar itu, kemudian dengan bentakan nyaring dia langsung melemparkan tubuh itu ke arah pintu rumah makan sambil berseru,

"Pergilah!"

Tubuh Hai-pa-cu terbanting keluar rumah makan diiringi sorakan dan ejekan banyak orang. Si tinggi besar yang tadi bersikap sombong dan mengaku sebagai jagoan dari Yen-tai itu tidak berani banyak lagak lagi. Tanpa menoleh dia pun merangkak bangkit dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu.

Pemuda sastrawan itu kini menghampiri si gadis manis yang masih berdiri di dekat meja Thian Sin, menjura dengan senyum ramah. "Jangan khawatir, nona. Anjing itu telah kuusir dan persilakan nona melanjutkan menikmati hidangan nona."

Gadis itu yang tadinya sedang memandang kepada Thian Sin, kini menoleh dan terpaksa menghadapi pemuda itu, mengangguk dan tanpa berkata apa pun lantas kembali duduk menghadapi mejanya.

Tentu saja pemuda sastrawan itu melongo menghadapi sikap yang dingin ini. Bukankah dia telah menolongnya dan mengusir laki-laki yang kasar tadi? Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan terima kasih, bahkan ramah sedikit pun tidak! Dan pada saat itu, kepala pelayan sudah datang dan menghampirinya, menjura sambil berkata dengan suara lirih dan hati-hati.

"Maaf, kongcu. Meja dan perabot makan itu..."

Pemuda itu agaknya masih merasa mendongkol oleh sikap si gadis yang tidak mengenal budi, maka kini dia menoleh memandang meja yang pecah-pecah serta perabot makan yang hancur, lalu mengangkat pundaknya. "Kau tadi melihat sendiri, yang membikin rusak adalah anjing besar itu. Apakah aku yang harus menggantinya?"

"Tapi... maaf, orang tadi sudah pergi dan dia berkelahi di sini dengan kongcu...," Biar pun merasa segan, namun kepala pelayan itu terpaksa menuntut karena dia pun takut untuk mempertanggung jawabkan kerusakan dan kerugian itu kepada majikannya.

Dan apa yang dilakukannya itu, yaitu menuntut kepada si pemuda sastrawan, juga bukan merupakan hal yang tidak benar karena bukankah perkelahian itu terjadi antara si tinggi besar dan si pemuda sastrawan? Dan karena si tinggi besar sudah pergi, siapa lagi kalau bukan pemuda itu yang harus menggantinya? Apa lagi pemuda itu tidak kelihatan sebagai seorang miskin.

"Sudahlab, lopek. Masukkan semua kerugian itu ke dalam perhitunganku. Aku yang akan membayar ganti ruginya." Tiba-tiba gadis itu berkata, tanpa mengangkat muka dan terus melanjutkan makan seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

Pemuda sastrawan itu tersenyum dan mendekati meja nona itu. "Ahh, sebenarnya tidak perlu begitu, nona. Biarlah aku saja yang mengganti semua kerugian."

"Biarlah, karena aku yang menjadi gara-gara semua itu, sungguh pun aku sama sekali tidak pernah minta atau mengharapkan bantuan darimu." Jawaban ini sungguh dingin dan anehnya, kembali nona itu melirik ke arah Thian Sin sehingga Kim Hong yang sejak tadi melihat ini, mengerutkan alisnya.

Pasti ada apa-apanya sikap gadis ini terhadap Thian Sin, pikirnya. Bagi Kim Hong, tidak heranlah melihat gadis-gadis tertarik kepada kekasihnya yang memang amat tampan dan ganteng, namun mengapa gadis ini begitu memperhatikan Thian Sin, padahal, bukankah yang telah membantunya adalah pemuda sastrawan itu dan pemuda itu pun sama sekali tidak dapat dibilang buruk, bahkan tampan dan menarik sekali! Hemm... pasti ada kutang di balik baju.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar