Dan mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga, selagi keduanya duduk di serambi samping rumah penginapan, menghadapi taman bunga yang diatur cukup nyeni, bercakap-cakap menikmati malam cerah penuh bintang dan merasakan nyamannya angin malam bersilir sepi, tiba-tiba nampak cahaya berkelebat karena adanya benda meluncur tertimpa sinar lampu. Akan tetapi, dua orang muda perkasa itu dapat mengikuti luncuran benda ini dengan pandang mata mereka dan maklum bahwa benda itu masih jauh dari tubuh mereka.
"Ceppp…!"
Sebatang pisau runcing menancap di daun jendela di belakang mereka, hanya beberapa belas sentimeter lewat di atas kepala mereka. Bila bukan seorang ahli yang telah memiliki kematangan dalam ilmu silat sehingga ilmu itu seakan-akan sudah mendarah daging di tubuh mereka, tentu keduanya tadi sudah kaget dan mengelak.
Kim Hong hendak meloncat ke arah datangnya pisau, akan tetapi sentuhan halus tangan Thian Sin menahannya sehingga dia hanya melirik ke arah jendela, melihat bahwa pisau itu membawa sesampul surat yang kini tertancap di daun jendela. Maka mengertilah dia akan maksud kekasihnya.
Pihak lawan sudah mulai mengadakan hubungan dan karena lawan mengirim surat, maka tidak baik kalau mempergunakan kekerasan. Lagi pula, yang melemparkan pisau secara ahli itu pun tentu hanya merupakan anak buah belaka dan tidak ada artinya kalau hanya berurusan dengan anak buah.
Isi surat itu singkat saja, ditulis oleh orang yang agaknya lebih biasa memegang pedang dan golok dari pada pena. Akan tetapi sudah cukup jelas bagi Thian Sin dan Kim Hong yang membaca bersama.
Kalian mengetahui rahasia Ciang Gun dan kami mengetahui rahasia Ciang Kim Su. Kita dapat saling menukar pengetahuan itu besok pagi di hutan cemara sebelah utara telaga.
Surat itu tidak ditanda tangani, tetapi isinya sudah sangat jelas. Pihak penjahat, agaknya teman-teman dari dua orang penjahat yang menyerang mendiang Ciang Gun, menawarkan semacam kerja sama atau saling menukar rahasia. Tentu maksud mereka adalah untuk mengetahui sebagian dari rahasia yang ditemukan keluarga petani Ciang.
"Hemm, umpan mulai didekati ikan," kata Thian Sin sambil merobek-robek surat itu.
"Baik kalau yang mendekati itu ikan kakap, bagaimana kalau hanya teri?" kata Kim Hong.
"Kakap atau teri, setidaknya lebih mendekatkan kita pada rahasia Ciang Kim Su. Melalui mereka kita dapat mengetahui tentang putera petani itu dan ke mana harus mencarinya, atau apa yang telah terjadi dengan dirinya. Nah, kita boleh bersabar sampai besok pagi."
Pada keesokan harinya, setelah semalaman tidak terjadi sesuatu yang mengganggu tidur mereka, pergilah Thian Sin dan Kim Hong menuju ke luar kota An-keng, ke hutan cemara yang berada di sebelah utara telaga. Sunyi sekali tempat di hutan itu, bukan hanya karena hari masih terlalu pagi, melainkan karena memang tempat ini jarang didatangi pelancong.
Tempat ini agak liar, ada pun pemandangannya juga tidak indah, di antara pohon-pohon cemara terdapat banyak semak-semak belukar yang berduri dan jalannya pun tidak rata. Karena sunyinya, jarang ada yang tertarik untuk mendatangi tempat ini, apa lagi tempat-tempat yang sunyi biasanya merupakan daerah rawan.
Dengan sikap tenang, seperti sepasang suami isteri muda pelancong saja, Thian Sin dan Kim Hong memasuki hutan ini. Biar pun berupa sebuah hutan, akan tetapi karena pohon-pohonnya adalah pohon cemara, maka tidaklah begitu rimbun dan gelap.
Cahaya matahari pagi mulai menerobos di antara celah-celah batang dan daun pohon, menciptakan berkas-berkas cahaya yang putih kekuningan dan sangat indahnya. Burung-burung pagi berkicau di antara pohon-pohon cemara, menambah indahnya suasana dan kegembiraan yang mendalam terasa sekali dalam hati muda mudi itu.
Mereka adalah dua orang pendekar yang telah terlalu sering menghadapi bahaya-bahaya besar, maka urusan yang sedang mereka hadapi sekarang ini merupakan persoalan kecil saja yang sama sekali tidak mengganggu ketenangan batin mereka, malah ketika mereka berdua menikmati suasana hening pada pagi hari itu, urusan kunci emas sudah mereka lupakan!
Akan tetapi, panca indera mereka yang terlatih dan sangat tajam langsung membuyarkan keheningan itu. Mereka pun maklum bahwa terdapat banyak sekali orang, ada dua puluh orang lebih yang diam-diam berada di sekitar tempat itu dan diam-diam telah mengurung mereka dari jarak jauh. Akan tetapi dua muda-mudi itu hanya saling pandang saja sambil tersenyum-senyum, seperti dua orang dewasa yang melihat tingkah anak-anak kecil yang nakal.
Kemudian, muncullah dua orang laki-laki dari balik semak-semak. Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang pendek, gendut berkepala botak bermata lebar. Di punggungnya tergantung sebatang ruyung yang besar dan berat dan kakek yang usianya sudah lima puluh lebih ini nampak kuat sekali. Orang ke dua adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya mirip tikus, membayangkan kelicikan dan kecerdikan, dan tubuhnya kurus kering.
Melihat dua orang ini menghadang di depan dan bersikap seolah-olah mereka itu hanya berdua saja, Thian Sin dan Kim Hong kembali saling pandang sambil mengulum senyum. Mereka segera maju menghampiri dan Thian Sin lalu bertanya dengan suara ramah.
"Maaf, kami mencari orang yang mengenal Ciang Kim Su. Dapatkah ji-wi menunjukkan?"
Si pendek gendut tertawa bergelak, suara ketawa yang kasar dan walau pun dia sudah mendengar bahwa sepasang orang muda ini telah mengalahkan dua orang pembantunya yang paling lihai, yaitu Si Codet dan temannya, akan tetapi melihat keadaan pemuda dan gadis itu, si gendut ini memandang rendah. Betapa pun juga, karena dia membutuhkan kunci emas yang diduganya tentu berada pada muda mudi ini, dia memaksa diri bersikap ramah. Setelah tertawa, dia berkata,
"Kamilah orangnya yang mengenal Ciang Kim Su. Kalian berdua mengenal Ciang Gun. Nah, mari kita saling menukar pengetahuan kita."
Thian Sin mengangguk-angguk, nampak amat girang seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh, mudah untuk ditipu orang. "Bagus sekali. Nah, harap engkau suka memberi tahu kepada kami tentang Ciang Kim Su, dan kami akan memberi tahu tentang rahasia Ciang Gun."
"Tentang kunci emas?" tanya si gendut sambil memandang tajam.
Dia masih meragukan dan tidak mau lancang turun tangan sebelum dia tahu pasti apakah muda mudi ini sudah menguasai kunci emas. Kalau ternyata belum, dia tidak akan turun tangan, karena kini setelah kakek Ciang Gun meninggal dunia, kiranya orang-orang yang tahu akan kunci emas itu hanyalah muda-mudi ini.
"Benar, tentang kunci emas. Nah, ceritakan dulu tentang pemuda putera petani itu."
"Dan engkau akan menunjukkan kepada kami di mana adanya kunci emas?"
"Benar sekali." jawab Thian Sin.
Tentu saja kakek gendut yang merupakan kepala gerombolan penjahat itu menjadi girang sekali. Kegirangan ini coba untuk ditutupinya, akan tetapi masih nampak jelas oleh Thian Sin dan Kim Hong.
"Baik, dengarlah ceritaku. Setahun yang lalu, pemuda petani tolol Ciang Kim Su itu telah tiba di kota raja. Dia juga berhasil menemui pamannya, yaitu Su Tong Hak yang menjadi pedagang rempah-rempah di kota raja. Mereka berdua membagi peta rahasia harta karun yang dibawa pemuda dari dusun itu menjadi dua dan masing-masing menyimpan sebuah potongan peta. Akan tetapi, secara tiba-tiba pemuda itu menghilang dan karena mereka berdua itu ceroboh, rahasia mereka lantas ketahuan oleh Mo-ko." Si gendut itu berhenti dan menarik napas panjang.
"Mo-ko? Siapakah itu?"
"Ahh, engkau tidak mengenal Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang menjadi raja dunia hitam di kota raja?" si gendut itu bertanya dengan heran. Hampir semua orang kang-ouw tentu mengenal Mo-ko, kenapa muda mudi ini tidak mengenalnya?
"Kami tak mengenalnya, akan tetapi... kau lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana engkau sendiri sampai mengetahui rahasia itu?" kata Thian Sin.
Si gendut pendek itu tertawa, "Pat-pi Mo-ko boleh jadi lihai dan menjadi raja dunia hitam di kota raja, akan tetapi aku Liong-tut-pian Ban Lok, tidak ada keduanya di kota raja dalam urusan membongkar rahasia orang! Sebelum diketahui oleh Mo-ko, aku telah mengetahui lebih dahulu rahasia besar yang dibawa dari dusun oleh pemuda she Ciang itu, bahkan aku tahu bahwa selain peta rahasia itu, terdapat pula kunci emasnya yang dipegang oleh ayah pemuda itu. Tanpa adanya kunci emas ini, peta itu pun tidak akan ada gunanya."
"Jadi peta itu dibagi menjadi dua, masing-masing bagiannya disimpan oleh Su Tong Hak dan Ciang Kim Su yang lenyap secara tiba-tiba?" tanya pula Thian Sin.
Si gendut mengangguk. "Benar dan apa yang kuceritakan ini adalah yang sesungguhnya. Nah, aku sudah menceritakan tentang peta dan Ciang Kim Su, sekarang giliranmu untuk menukarnya dengan penjelasanmu tentang kunci emas..."
Thian Sin menepuk kantung di bajunya. "Kunci emas itu sudah berada di sini, oleh kakek Ciang Gun diberikan kepadaku sebelum dia tewas akibat luka-luka pada tubuhnya yang dilakukan oleh anak buahmu."
Mendengar ini, segera terpancar sinar aneh dari sepasang mata kakek gendut itu saat dia memandang ke arah baju Thian Sin. Akan tetapi, si gendut yang mengaku bernama Ban Lok dan berjuluk Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga) itu agaknya masih saja menahan keinginan hatinya untuk dapat segera merampas kunci yang diinginkannya itu.
"Kalau aku tidak melihat sendiri, bagaimana aku dapat percaya omonganmu? Siapa tahu engkau membohong atau kunci itu hanya kunci palsu belaka?"
"Kalau orang tidak percaya kepada kita, perlu apa kita melayaninya?" Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan sikap mendongkol. "Mari kita pergi saja untuk mencari kerja sama dengan orang lain yang akan lebih dapat menghargai dan percaya kepada kita!"
Melihat Thian Sin dan Kim Hong hendak pergi, Ban Lok cepat berkata, "Eiitttt, nanti dulu. Aku sudah memberi keterangan tentang rahasia pemuda she Ciang itu, dan kalian belum memberi penukarnya. Bukan aku tidak percaya, hanya aku harus berhati-hati karena aku belum mengenal kalian. Nah, biarkan aku melihat kunci itu."
Thian Sin memperlihatkan sikap ragu-ragu dan khawatir, mirip sikap orang yang merasa enggan berpisah dari sebuah benda yang amat berharga, lalu mengeluarkan kunci emas dari saku bajunya sebelah dalam. Sesudah mengirim pandang mata curiga, dia kemudian mengacungkan kunci emas itu ke atas dan berkata,
"Nih, lihatlah. Kunci emas yang tulen!"
Sinar matahari pagi menimpa kunci emas itu dan nampaklah sinar mencorong membuat Ban Lok menelan ludahnya dan matanya bersinar-sinar. Memang itu adalah sebuah kunci emas tulen! Dia mengulur tangan hendak meraih, akan tetapi Thian Sin cepat menariknya kembali.
"Lihat saja pun cukuplah...!" katanya.
Si gendut itu mendelik. "Kau tidak percaya padaku? Bagaimana hatiku dapat yakin kalau hanya melihat? Tentu aku harus memegangnya dan memeriksanya dulu secara teliti." Dia menghardik disertai sikap mengancam.
"Berikanlah, dari pada ribut-ribut!" terdengar Kim Hong berkata, sikapnya agak takut-takut membuat kepala penjahat itu tersenyum mengejek.
Thian Sin menyerahkan kunci emas itu dan Ban Lok yang gendut cepat menyambarnya lantas memeriksanya dengan jantung berdebar penuh rasa tegang dan gembira. Sebuah kunci yang benar-benar terbuat dari pada emas dan bentuknya aneh dan kuno. Emas itu saja sudah menjanjikan harta karun yang tentu luar biasa besarnya. Tiba-tiba saja, sambil menyimpan kunci emas itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, Ban Lok meloncat ke belakang dan berteriak kepada anak buahnya yang masih bersembunyi di belakangnya.
"Serbu dan bunuh mereka!"
Thian Sin dan Kim Hong sama sekali tidak merasa kaget ketika melihat betapa dari balik semak-semak dan pohon-pohon besar itu muncul berlompatan banyak sekali orang-orang kasar. Jumlah mereka kurang lebih ada tiga puluh orang dan mereka semua membawa senjata tajam dan kini mereka telah bergerak mengurung. Akan tetapi, Thian Sin bersikap kaget dan penasaran.
"Ehh, apa artinya ini? Kembalikan kunci emas itu kepadaku!"
Kepala penjahat yang gendut itu pun membuang sikap palsunya dan dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Kalian sudah mendengar rahasia peta yang kuceritakan tadi, berarti kalian tidak boleh hidup lebih lama lagi. Sudah berbulan-bulan aku mencari kunci ini dan setelah sekarang kudapatkan, mana mungkin kulepas lagi?"
"Curang! Engkau sudah berjanji saling menukar keterangan!" Kim Hong berteriak.
Kembali kepala penjahat itu tertawa bergelak. "Engkau seorang wanita yang cantik sekali, untung bertemu denganku sehingga engkau akan mati tanpa ternoda. Coba kalau engkau berjumpa dengan Pat-pi Mo-ko, jangan harap dapat mati seenak itu, tentu engkau akan dipermainkannya hingga rusak binasa. Ha-ha-ha-ha! Hayo serbu...!" Dia memberi aba-aba lagi. Puluhan orang itu lantas memperketat kurungan dan mereka mulai mendekat dengan senjata ditodongkan.
Tentu saja ancaman maut yang bagi orang lain pasti akan menimbulkan kengerian hebat itu, malah nampak menggelikan bagi pasangan pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi itu. Thian Sin membuang sikapnya yang berpura-pura takut tadi, kemudian dia pun tersenyum.
"Baiklah, kalian mencari penyakit sendiri!"
Thian Sin dan Kim Hong masih berdiri dengan sikap seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti biasanya para ahli silat kalau menghadapi ancaman lawan, menghadapi ancaman begitu banyak orang. Mereka hanya saling pandang dan keduanya langsung mengerti apa yang harus mereka lakukan, yaitu menghajar para pengepung itu habis-habisan tanpa melakukan pembunuhan.
Beberapa tahun yang lalu, Ceng Thian Sin terkenal dengan julukan Pendekar Sadis. Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa dia mempunya hati yang sangat kejam terhadap para penjahat. Dia sangat membenci para penjahat sehingga setiap kali bentrok dengan tokoh-tokoh penjahat, dia bukan hanya menurunkan tangan sakti membunuhnya, namun menyiksanya terlebih dulu dengan cara-cara yang amat sadis.
Dia mendapatkan kenikmatan dengan menyiksa orang-orang yang dianggapnya jahat itu sebagai peluapan rasa dendamnya yang sangat besar terhadap para penjahat. Semenjak kccil, dia telah mengalami banyak kesengsaraan hidup sebagai akibat dari perbuatan para penjahat sehingga dia menaruh dendam yang amat hebat.
Ada pun Toan Kim Hong, wanita muda yang cantik jelita itu, tadinya pernah menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), yang merupakan salah seorang di antara empat datuk kaum sesat. Dia pun amat ganas dan kejam, membunuh lawan dengan tangan dingin.
Akan tetapi sejak keduanya saling bertemu, saling jatuh cinta, kemudian bersama-sama menghadapi para tokoh golongan hitam yang sakti, sampai akhirnya mereka berhadapan dengan para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang mereka cinta, puja dan takuti, keduanya telah berubah.
Mereka berdua kini tinggal di Pulau Teratai Merah dan tidak lagi menuruti hati yang ingin membasmi para penjahat. Bahkan keduanya juga telah berjanji bahwa mereka akan selalu menghadapi penjahat-penjahat dengan keadilan, bukan lagi dengan kekejaman.
Karena inilah maka sekarang, walau pun mereka diancam oleh para penjahat dan bahkan dicurangi, mereka yang saling pandang itu langsung maklum akan isi hati masing-masing, yaitu bahwa mereka masih ingat untuk tidak membunuh orang walau pun mereka harus menghajar kumpulan penjahat yang kejam itu.
Karena jumlah mereka yang terlalu banyak sehingga tidak mungkin ketiga puluh orang itu maju serentak melakukan serangan, maka kini begitu gerombolan itu bergerak, hanya ada delapan orang yang dapat maju menggerakkan senjata mereka menyerang Thian Sin dan Kim Hong yang kelihatan masih tetap bersikap enak-enakan sehingga bagi para penjahat itu dianggap sebagai makanan lunak.
Akan tetapi, begitu mereka delapan orang itu maju, tiba-tiba saja nampak dua bayangan berkelebatan dan delapan orang itu merasa seperti disambar halilintar! Delapan orang itu sendiri tidak tahu apa yang sudah terjadi dan selamanya mereka itu tidak akan sanggup menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Tadinya mereka dengan ganas menyerbu dan menyerang pemuda dan gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang muda itu lenyap dan sebagai gantinya, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu dunia tiba-tiba menjadi gelap bagi mereka!
Pada waktu mereka siuman kembali, mereka sudah mendapatkan tubuh mereka malang melintang, senjata mereka entah terbang ke mana dan tubuh mereka luka-luka, ada yang benjol-benjol kepalanya, ada yang patah tulang lengannya, ada pula yang memar-memar badannya, ada yang pingsan, ada pula yang hanya nanar saja. Pendeknya, secara aneh dan dalam waktu segebrakan saja, delapan orang itu telah terlempar ke sana sini lantas terbanting tanpa dapat bangun kembali! Bahkan di antara mereka ada yang tidak sempat lagi berteriak karena sudah keburu tidak sadar.
Melihat ini, kawanan penjahat itu menjadi terkejut dan marah. Mereka berebut maju dan mengeroyok dengan buas. Akan tetapi, mereka itu seperti sekumpulan nyamuk menyerbu api lilin saja, sebab siapa yang maju lebih dahulu tentu terkapar atau terlempar, terbanting keras, berteriak kesakitan kemudian berobohanlah para pengeroyok itu malang melintang. Senjata mereka terlempar ke empat penjuru, bahkan ada yang patah-patah pada waktu bertemu dengan lengan dua orang pendekar muda itu.
Menyaksikan kehebatan dua orang muda itu, tentu saja si gendut Ban Lok merasa amat terkejut dan gentar. Boleh jadi dia memperoleh nama besar dari kepandaiannya atau juga dari kekejamannya, dan julukannya adalah Liong-kut-pian karena senjata ruyungnya itu memang hebat. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia hanyalah seorang yang kejam dan orang kejam itu biasanya berwatak pengecut dan penakut.
Hanya penakut sajalah yang mampu bersikap kejam, karena seorang penakut itu selalu khawatir akan keselamatan dirinya maka dia condong untuk meniadakan ancaman bagi dirinya. Sungguh pun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa di sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang hebat.
Begitu pula halnya dengan Liong-kut-pian Ban Lok ini. Ketika melihat bahwa keadaannya tidak aman baginya, hatinya merasa gentar dan lupalah dia akan kedudukannya sebagai seorang kepala atau pemimpin. Kiranya keganasan dan kekejamannya itu hanya menjadi selimut dari kepengecutannya, dan semua keberaniannya hanya timbul akibat dia merasa ada banyak anak buah di belakangnya.
Biasanya memang demikian. Segerombolan orang akan menjadi nekat dan berani, akan tetapi kalau seseorang terpisah dari kelompoknya, maka keberaniannyapun akan lenyap.
Ban Lok yang sudah merasa berhasil mengantongi kunci emas, sesudah melihat betapa mudahnya sepasang pendekar muda itu merobohkan para anak buahnya, lalu mengambil langkah seribu, melarikan diri dari situ untuk menyelamatkan diri dan kunci emas.
Melihat ini, Kim Hong berkata kepada kekasihnya. "Thian Sin, kau hajar semua anjing ini dan aku akan mencegah anjing besar melarikan diri!"
Tanpa menunggu jawaban karena dia sudah tahu bahwa kekasihnya pasti menyetujuinya, sekali menggerakkan tubuh, Kim Hong sudah meloncat dan melayang dengan kecepatan seekor burung walet terbang, mengejar Ban Lok.
"Ehh...?" Kepala penjahat yang gendut ini terbelalak saat melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang gadis cantik jelita, berdiri dengan santainya, bertolak pinggang sambil tersenyum bagai seorang guru menghadapi seorang murid taman kanak-kanak yang bandel! Lebih terkejut lagi hati kepala garong ini sesudah mengenal bahwa gadis ini bukan lain adalah gadis yang dikeroyok tadi.
Dia menoleh dan melihat betapa sisa anak buahnya masih terus mengeroyok si pemuda. Maklumlah dia bahwa dia harus berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kunci emas itu. Maka tangan kanannya meraba ke belakang dan ruyung itu telah berada di tangannya.
Ruyung yang mengangkat namanya tinggi-tinggi itu dilintangkan di depan dada. Ruyung itu terbuat dari pada baja dan kelihatan sangat berat. Agaknya bentuk ruyung yang diukir mirip seperti seekor ular itulah yang membuat ruyung itu lantas dinamakan Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga), jadi bukanlah tulang naga atau ular sungguh-sungguh.
"Minggir kalau tidak ingin hancur kepalamu itu!" bentaknya sambil mengamang-amangkan ruyung yang berat itu.
Kim Hong tersenyum mengejek, senyum yang manis sekali akan tetapi kalau orang sudah lama mengenal wanita jelita ini, tentu akan bergidik karena senyum mengejek itu adalah senyuman khas yang menyembunyikan ancaman hebat!
"Hati-hatilah bermain-main dengan ruyung berat itu. Jangan-jangan kepalamu sendiri yang akan terpukul dan pecah. Lebih baik kembalikan kunci emas tadi dan engkau boleh pergi sebagai anak yang baik." Ucapannya sungguh seperti ucapan seorang guru menasehati seorang anak kecil yang nakal.
Tentu saja Liong-kut-pian Ban Lok menjadi marah bukan main. Dia adalah seorang kepala penjahat yang sudah biasa merampok dan menodong selama puluhan tahun. Kini usianya sudah lima puluh tahun lebih dan dia diperlakukan sebagai anak kecil oleh seorang gadis yang masih begitu muda.
"Bocah lancang yang bosan hidup!" Bentaknya dan ruyungnya sudah menyambar dengan dahsyat.
Melihat gerakan ini, Kim Hong pun maklum bahwa si gundul ini memang memiliki tenaga yang besar. Akan tetapi hanya tenaga besar itu sajalah modalnya, di samping kenekatan karena gerakannya tidak menunjukkan ilmu silat yang tinggi. Maka dengan mudahnya dia mengelak hanya dengan menarik kepala ke belakang saja. Ruyung itu lewat saja di atas kepalanya, membawa suara berdesir dan menimbulkan angin yang kuat sehingga rambut di kepala Kim Hong berkibar dibuatnya.
Ban Lok menjadi semakin penasaran. Dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring dan mempergunakan jurus Hun-in Toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung). Jurus ini dilakukan dengan gerakan ruyung dari atas menyambar dengan gerakan agak menyerong ke arah leher lawan. Ketika lawan mengelak, ruyung itu lantas membalik dan menyambar pula ke arah dada, dilanjutkan sambaran ke arah perut. Serangan beruntun ini merupakan perkembangan jurus Hun-in Toan-san.
Akan tetapi, dengan mudah dan indah, bagai gerakan seorang anak manis bermain loncat tali, dengan lincah dan cekatan Kim Hong dapat menghindarkan diri dari sambaran ruyung yang bertubi-tubi itu. Ban Lok melanjutkan jurus Hun-in Toan-san yang gagal itu dengan jurus Sin-liong Tiauw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor), tubuhnya segera memutar dan membalik, ruyungnya mendahului gerakannya sehingga ruyung itu seperti ekor naga yang membalik dan menyambar amat ganasnya.
Melihat jurus yang selain cepat kuat juga mematikan ini, Kim Hong mengerutkan alisnya. Kepala penjahat ini terlalu kejam, pikirnya lantas dia membayangkan, entah sudah berapa ratus nyawa orang yang tak berdosa melayang oleh ruyung ini.
Melihat sambaran ruyung yang diayun dari belakang dengan gerakan tubuh memutar itu ke arah pinggangnya, Kim Hong lalu mengangkat kaki kirinya dan menotol dengan ujung kakinya ke arah ujung ruyung! Sungguh merupakan perbuatan yang amat berani karena meleset sedikit saja, tentu tulang kakinya akan dihajar ruyung sampai remuk-remuk!
Akan tetapi, ternyata ujung sepatunya dapat mendorong dengan tepat sehingga luncuran gerakan ruyung itu menyeleweng dan membuat pemegangnya kehilangan keseimbangan dirinya. Ban Lok terkejut dan marah. Tubuhnya terbawa oleh luncuran ruyung sehingga dia terhuyung.
Akan tetapi, kepala penjahat ini sengaja membuang diri ke bawah dan menggelundung. Tubuhnya yang gendut itu menggelinding laksana bola dan ternyata kepala penjahat ini sudah melanjutkan dengai jurus yang dinamakan Thi-gu Keng-te (Kerbau Besi Membajak Tanah). Tubuhnya yang menggelinding ini menyerbu ke arah lawan dan tiba-tiba saja dia meloncat dan menyeruduk dengan ruyungnya ke arat perut Kim Hong.
Gerakan ini dahsyat dan berbahaya bukan main. Akan tetapi sekarang Kim Hong sudah mengambil keputusan untuk merobohkan Ban Lok. Dia berdiri tegak dan seolah-olah tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi diam-diam dia menanamkan tenaga sinkang pada kedua kakinya. Kemudian tangan kirinya membuat gerakan dari samping, menangkis ruyung dan melanjutkan dengan dorongan tangan kanan ke arah ruyung.
Sebetulnya gadis sakti itu tidak menangkis, melainkan memapaki ruyung dengan telapak tangannya, seperti menempel atau menangkap, lalu melanjutkannya dengan mengalihkan tenaga luncuran ruyung itu membuat gerakan menyerong dan membalik. Tenaga luncuran oleh tangan Ban Lok itu masih kuat, kini ditambah tenaga dorongan tangan kanan Kim Hong, melayang ke arah kepala Ban Lok sendiri.
"Prakkk...!"
Ban Lok mengeluarkan suara mengorok dari lehernya, kemudian tubuhnya terpelanting ke kanan, roboh dengan kepala penuh berlumuran darah, kepala yang telah retak-retak oleh hantaman ruyungnya sendiri! Kim Hong berdiri sambil bertolak pinggang, memandang ke arah korbannya, lalu menarik napas panjang.
"Hemm, kau membunuhnya juga?" terdengar suara orang bertanya.
Kim Hong menoleh dan melihat bahwa kekasihnya juga telah selesai merobohkan semua orang yang mengeroyoknya tanpa membunuh seorang pun di antara mereka. Tiga puluh lebih anak buah penjahat yang sekarang menggeletak malang melintang itu hanya dapat memandang kepada sepasang pendekar itu dengan mata terbelalak penuh ketakjuban. Tidak mereka sangka sama sekali bahwa mereka semua roboh seperti itu, bahkan kepala mereka telah tewas! Sekarang baru terbuka mata mereka bahwa mereka telah kecelik, menabrak batu karang.
"Aku tidak membunuhnya, melainkan dia yang hendak membunuhku namun salah pukul sehingga ruyungnya memukul kepalanya sendiri!" jawab Kim Hong setengah berkelakar. Thian Sin mengerti akan isi hati kekasihnya. Dia menarik napas panjang.
"Dia adalah manusia licik dan jahat. Entah sudah berapa banyak orang dibunuhnya dan membiarkan orang macam dia tinggal hidup, berarti memperbanyak jumlah calon korban saja. Engkau benar Kim Hong, sudah sepatutnya kalau dia dibunuh dan anak buahnya diberi hajaran seperti ini."
Thian Sin cepat menghampiri tubuh si gendut yang telah menjadi mayat itu, membalikkan tubuh menelungkup itu dengan kakinya, lalu mencari dan mengambil kembali kunci emas dari saku baju kepala penjahat itu. Dia sengaja mengangkat kunci emas itu tinggi-tinggi supaya nampak oleh para anak buah penjahat yang rebah malang melintang karena dia ingin mempergunakan kunci itu untuk memancing semua pihak yang tersangkut di dalam perkara harta karun yang peta dan kuncinya ditemukan oleh keluarga petani Ciang yang sial itu…..
********************
Kota raja Peking nampak tenang-tenang saja, penduduknya nampak hidup makmur dan perdagangan berjalan dengan lancar dan ramai. Akan tetapi, sebenarnya keadaan di kota raja ini tidak dapat dipakai sebagai ukuran keadaan negara pada waktu itu. Walau pun di bawah pimpinan Kaisar Hung Chih, yakni kaisar yang menggantikan Kaisar Ceng Hwa, kerajaan masih cukup kuat dan tidak lagi terjadi pemberontakan-pemberontakan, namun kejahatan-kejahatan merajalela dan agaknya pemerintah tidak cukup tangguh untuk dapat mengatasi kekacauan-kekacauan kecil yang cukup membuat rakyat menderita ini.
Tentu saja semua kekacauan itu terjadi di luar kota raja, karena kota raja sendiri di mana kaisar dan para pembesar tinggi berada, selalu dijaga dengan kuat dan dibersihkan dari pengacauan. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa tidak ada kejahatan terjadi di kota raja. Banyak masih. Bahkan penjahat-penjahat berkaliber besar juga berpusat di kota raja. Hanya saja, para tokoh penjahat itu tidak berani melakukan kejahatan di kota raja secara menyolok dan mereka itu lebih banyak beroperasi di luar kota raja.
Kota raja yang ramai ini menyimpan banyak rahasia-rahasia besar. Pernah menyaksikan jatuh bangunnya para kaisar, dan juga dinasti yang berganti-ganti saling memperebutkan kekuasaan. Menjadi saksi bisu pula dari banyak peristiwa kejahatan yang menjadi rahasia selamanya bagi penduduknya.
Dan di kota raja ini pula tersimpan rahasia hilangnya pemuda dusun Ciang Kim Su yang datang ke kota raja sambil membawa peta rahasia yang ditemukannya bersama ayahnya di ladang mereka. Apakah yang sudah terjadi setahun yang lalu ketika pemuda itu datang berkunjung ke kota raja? Benarkah seperti yang diceritakan oleh Liong-kut-pian Ban Lok kepada Pendekar Sadis dan Lam-sin itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengaduk di dalam otak Thian Sin dan Kim Hong ketika pada suatu pagi mereka memasuki kota raja yang ramai. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Pendekar Sadis, Thian Sin pernah menggegerkan kota raja. Akan tetapi ketika itu, hanya namanya saja dikenal orang sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi jarang ada orang yang pernah melihatnya. Maka sekarang dengan tenang dia memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang sebagai Pendekar Sadis.
Betapa pun juga, pada saat dia bersama Kim Hong melewati pintu gerbang istana yang megah, dari jauh jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan mendiang ayahnya, yaitu Ceng Han Houw, yang masih keturunan kaisar yang menempati istana itu. Bahkan darah yang mengalir di tubuhnya sendiri pun masih darah keluarga istana ini!
Agaknya Kim Hong dapat pula membaca isi hati kekasihnya sesudah melihat sinar mata kekasihnya memandang dengan termenung ke arah istana ketika mereka lewat perlahan.
"Ingin menjenguk keluarga di dalam?"
Thian Sin terkejut, menengok, saling pandang, lalu tersenyum pahit dan balas bertanya. "Kau kira aku haus akan kedudukan dan kehormatan kosong itu?"
Kim Hong sadar bahwa pertanyaannya tadi telah menyinggung hati kekasihnya, maka dia pun cepat berkata menutupi rasa sesalnya. "Maksudku, kalau engkau ingin melihat-lihat ke dalam istana, apa salahnya kalau malam nanti kita masuk? Sudah sampai di kota raja, rugi kalau tidak melihat-lihat dalam istana. Kau kan tidak takut?"
"Hush, siapa takut? Hanya kau lupa bahwa yang membawa kita ke kota raja bukan untuk pelesir. Sebelum urusan ini selesai, kita main-main di istana dan ketahuan, bukankah itu akan menggagalkan usaha kita?"
Kim Hong mengangguk-angguk, menyadari kesalahannya. "Mari kita cari orang bernama Su Tong Hak itu."
"Mudah-mudahan dia masih hidup," kata Thian Sin. "Dialah satu-satunya orang yang bisa kita harapkan untuk menemukan peta."
"Kau pikir dia..."
"Belum tentu. Akan tetapi kita sama tahu bahwa urusan ini telah tercium oleh gerombolan penjahat. Siapa tahu dia pun sudah dibereskan dan petanya dirampas."
"Kalau memang demikian, masih ada jalan. Kita datangi Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng!" kata Kim Hong penasaran.
"Sstttt, jangan keras-keras. Nama itu amat terkenal di sini. Sebaiknya kita mencari kamar rumah penginapan lebih dulu untuk menaruh pakaian dan menjadi tempat peristirahatan kita."
Keduanya lalu memilih dan mendapatkan sebuah kamar yang cukup bersih dan besar di rumah penginapan Hi-lok Li-koan. Setelah menaruh buntalan pakaian di kamar itu, mereka lalu keluar dari rumah penginapan dan mencari Su Tong Hak yang telah mereka ketahui nama dan alamatnya dari seorang anak buah mendiang Ban Lok.
Orang yang mereka cari itu, Su Tong Hak, yaitu adik ipar dari mendiang petani Ciang Gun, ternyata sudah berhasil dalam usahanya dan kini menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup kaya di kota raja. Tokonya cukup besar dan ketika pegawai toko melihat tamu suami isteri yang tampan dan cantik jelita, juga yang berpakaian rapi dan mewah, dengan mudahnya tamu yang dianggap penting dan hendak berdagang ini dipersilakan masuk ke dalam ruangan tamu kemudian diterima sendiri oleh majikan toko.
Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi tegap dan walau pun pada wajahnya masih terbayang bekas kekerasan yang berupa garis-garis mendalam seorang petani yang biasa hidup sukar, namun pakaian serta sikapnya menyelimuti bekas ini dan dia lebih patut menjadi tuan Su Tong Hak saudagar yang cukup berhasil di kota raja. Di wajahnya masih nampak keterbukaan seorang petani, akan tetapi cahaya matanya sudah penuh kecerdikan seperti sinar mata para pedagang yang pandai bersandiwara.
Setelah saling memberi hormat, pedagang itu berkata, "Saya Su Tong Hak, dan siapakah ji-wi serta datang dari mana? Kabar baik apakah yang ji-wi bawa untuk kami?" Sikapnya ramah seperti biasa seorang pedagang.
"Paman Su Tong Hak, kami datang untuk mencari seorang bernama Ciang Kim Su dari dusun Ciu-bun-tang yang setahun yang lalu datang ke sini mencari paman. Di manakah adanya Ciang Kim Su sekarang?" Pertanyaan ini diajukan oleh Thian Sin dengan tiba-tiba dan dia bersama Kim Hong lantas menatap wajah tuan rumah dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Akan tetapi pedagang itu ternyata adalah seorang yang mampu menguasai perasaannya. Kekagetan hatinya mendengar kata-kata tamunya itu hanya nampak pada sinar matanya yang agak terbelalak, akan tetapi sikapnya tetap tenang, bahkan kini dia pun memandang tamunya dengan alis berkerut dan pandang mata curiga.
"Hemm, siapakah ji-wi sebetulnya? Ciang Kim Su adalah keponakanku, anak dari kakak perempuanku. Memang dia pernah datang ke sini, akan tetapi... sebelum aku ceritakan tentang dia, harap ji-wi suka memberi tahu apa keperluan ji-wi mencari keponakanku itu?"
"Kami berdua adalah utusan dari Ciang Gun, ayah Ciang Kim Su, untuk mencari dia di sini."
Pedagang itu masih mengerutkan alisnya. "Nama ji-wi?"
"Aku Ceng Thian Sin dan dia adalah Toan Kim Hong."
"Hemm, aku tidak pernah mendengar nama itu dan tidak pernah mengenal ji-wi. Mustahil bila kakak iparku Ciang Gun menyuruh ji-wi, karena ji-wi jelas bukanlah orang-orang dusun sedangkan kakakku..."
"Masih tidak percayakah paman jika melihat ini?" Thian Sin sengaja mengeluarkan kunci emasnya, tentu saja yang palsu.
"Apa... apa itu...?" Su Tong Hak bertanya, akan tetapi jelas bahwa dia terkejut sekali dan pura-pura tidak tahu karena matanya terbelalak dan wajahnya berubah ketika dia melihat kunci emas itu.
"Tentu paman pernah mendengar tentang ini. Kunci emas yang ada hubungannya dengan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu. Nah, percayakah paman sekarang bahwa kami diutus oleh paman Ciang Gun? Ceritakanlah di mana adanya Ciang Kim Su."
"Baik, baik... akan tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak itu. Baiklah kuceritakan dari awal, setahun yang lalu..."
Sesudah melihat kunci emas, lenyap keangkuhan pedagang ini dan agaknya ingin sekali bekerja sama, maka dia pun langsung menceritakan penuturannya yang lain lagi dengan penuturan yang pernah didengar oleh kedua orang pendekar itu dari mendiang Ban Lok. Cerita dari pedagang she Su ini lebih lengkap.
Menurut cerita itu, setahun lebih yang lalu Ciang Kim Su memang datang ke kota raja dan berhasil bertemu dengan pamannya, adik ibunya, yang sudah menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup berhasil. Setelah Kim Su menceritakan kepada pamannya tentang dia dan ayahnya menemukan peta rahasia dan hendak mencari orang pandai yang dapat menerangkan isi peta itu, Su Tong Hak menjadi tertarik sekali.
"Untuk dapat menterjemahkan tulisan kuno itu, kita harus mendapat bantuan dari seorang sasterawan yang pandai," kata Su Tong Hak. "Kebetulan sekali aku tahu akan seorang sasterawan tua yang kabarnya ahli dalam huruf-huruf kuno. Mari kita mengunjungi Louw Siucai."
Louw Siucai adalah seorang siucai (gelar lulusan ujian negeri) yang miskin dan usianya telah enam puluh tahun. Dia hidup menyendiri di tepi kota raja yang sunyi, tanpa keluarga karena isterinya telah meninggal dunia tanpa anak. Hidupnya amat sederhana dan setiap hari dia hanya termenung, membaca kitab, menulis sajak dan mabuk-mabukan.
Ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang berkunjung dan memperlihatkan peta itu sambil memohon pertolongan si sasterawan untuk menterjemahkan, Louw siucai meneliti peta itu dengan penuh perhatian. Wajahnya yang kurus itu berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Ya Tuhan...!" Dia berseru. "Kalian sudah menemukan sebuah benda yang harganya tak ternilai! Peta ini sudah ada seribu tahun usianya dan di sini terdapat tulisan tangan Sang Raja Besar Jenghis Khan!"
Bagi sasterawan tua itu, yang dianggap tidak ternilai harganya adalah kekunoan peta dan terutama sekali tulisan tangan Raja Besar Mongol yang pertama itu, pendiri dari dinasti Goan-tiauw.
Akan tetapi Su Tong Hak tidak tertarik akan kekunoan benda itu. "Apa isinya? Bagaimana bunyinya dan apa artinya peta ini?"
Mendengar pertanyaan yang membayangkan kehausan akan keuntungan besar ini, maka si sasterawan tua mengerutkan alisnya, memandang tajam dan menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan sebuah pertanyaan pula,
"Dari manakah ji-wi bisa memperoleh benda yang amat langka ini?"
"Louw siucai, kedatangan kami ini adalah untuk minta bantuanmu membaca isi peta, dan untuk itu kami sanggup membayarmu. Tak perlu kau hiraukan dari mana kami mendapat peta ini, yang penting bacalah dan apa isinya?" Suara saudagar itu terdengar tidak sabar dan marah.
Kembali sasterawan itu menarik napas panjang, kemudian baru menjawab dengan suara perlahan, didengarkan dengan penuh perhatian oleh paman dan keponakan itu. "Tulisan tangan Raja Jenghis Khan ini dapat dengan mudah kubaca. Bunyinya begini: Harta karun ini milik Jenghis Khan yang maha besar, yang mengutus Yelu Kim untuk menyelidikinya. Nah, hanya tulisan inilah yang dapat kubaca. Untuk dapat membaca huruf-huruf di peta itu sendiri, membutuhkan waktu sedikitnya sehari semalam."
Su Tong Hak sudah kegirangan luar biasa mendengar kata ‘harta karun’ tadi, maka dia meragu untuk meninggalkan peta itu. Akan tetapi keponakannya yang berasal dari dusun sehingga kepercayaannya kepada sesama manusia jauh lebih tebal dari pada orang kota yang sudah terlalu sering mengenal kepalsuan manusia, berkata,
"Kalau memang membutuhkan waktu, biarlah kita tinggalkan peta itu di sini untuk sehari semalam. Besok kita datang lagi untuk mengambilnya."
"Tapi...," pamannya mencela.
"Biarlah, paman. Apa artinya peta ini kalau kita tidak tahu bagaimana bunyinya?"
Akhirnya Su Tong Hak mengalah dan sambil menatap tajam kepada sasterawan itu dia berkata, "Louw siucai, ingat! Peta ini milik kami dan amat berharga. Kami menitipkannya kepadamu untuk sehari semalam, agar dapat kau terjemahkan. Akan kubayar berapa saja uang lelahmu. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dilihat atau terdengar oleh orang lain. Apa lagi kalau sampai hilang, nyawamu gantinya!"
Sasterawan tua itu mengangguk-angguk sambil memandang kepada Ciang Kim Su, lalu berkata lirih seperti kepada diri sendiri, "Orang muda dari dusun membawa benda seperti ini, betapa bahayanya..."
Diam-diam sasterawan itu agaknya maklum bahwa peta itu adalah milik si pemuda, jelas nampak dari sikap paman dan keponakan tadi. Maka ditinggalkanlah peta itu oleh mereka kepada si sasterawan yang akan mempelajarinya selama sehari semalam…..
********************