Pendekar Sadis Jilid 18

Sementara itu, dengan terheran-heran Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga telah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut pedang masing-masing kemudian menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu.

“Bagus, kalian berdua ingin menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!” bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong.

Pemuda ini cepat mengelak dan segera balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak.

“Manusia-manusia berwatak iblis!” Thian Sin berteriak marah sekali kemudian membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang.

Pada mulanya, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, sangat terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu. Kemudian mereka merasa khawatir sekali saat melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu. Dan akhirnya mereka terheran-heran sesudah melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan ketika mereka sudah mengenali pukulan Thian-te Sin-ciang!

Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong serta Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri karena dia mulai mengenal Han Tiong. “Ehh, bukankah dia itu Han Tiong?” teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya.

“Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!” kata Cia Giok Keng girang.

Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka dia pun menjadi girang sekali melihat bahwa salah seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri.

Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, amat jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya.

Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya. Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu mempunyai ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Cia Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong.

Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena meski pun bertangan kosong, ternyata kedua orang pemuda itu mampu menghadapi dua orang lawannya yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masih mengerutkan alisnya dengan penuh khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiri pun pantang untuk melakukan pengeroyokan.

“Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!” teriaknya.

“Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!” jawab Han Tiong.

Dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terialu memandang rendah terhadap Han Tiong. Maka dia pun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat dari pada gerakan pedang lawan.

Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia pun menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini.

Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi telah menyambar dengan ganas tetapi ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang kemudian melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya.

“Plakkk!”

Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya.

“Sin-te, jangan membunuh orang!” Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sin pun cepat ditarik kembali.

Pada waktu Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat adanya kesempatan baik lantas menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar.

“Desss…!”

Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu pun terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan dia pun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi.

“Plakkk!”

Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali. Hanya karena dia teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itu pun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu.

Kakek itu segera bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, seperti juga kakek yang tadi terpukul pergelangan tangannya itu pun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin mampu bertempur kembali setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah.

Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia amat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sute-nya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati sekali.

“Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai,” katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya. “Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, kini siapakah yang akan menghadapi aku?” katanya sambil mencabut pedangnya.

Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia langsung meloncat ke depan lantas memegang lengan Han Tiong.

“Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!”

“Paman,” kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula.

Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang segera diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan, menyuruh mereka agar berdiri dan sekarang mereka semua menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung.

Kakek itu sudah menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata. “Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!”

Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, meski dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekali pun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka dia pun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya.

Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek yang buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah memainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat!

Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja yang mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang.

Oleh karena itu, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dengan menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan ringan sehingga sesuai sekali apa bila dipakai untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut, maka kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung sekali.

Memang Cia Kong Liang memiliki gerakan yang sangat tangkas dan kuat, dia pun tidak mau memberi hati kepada lawannya, maka begitu mereka bergebrak, dia sudah langsung mendesak sangat dahsyatnya, sedikit pun tidak memberi kelonggaran sehingga dari jurus pertama, kakek yang buntung telinganya itu sama sekali tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya menangkis, mengelak sambil main mundur terus.

Han Tiong dan Thian Sin memandang kagum. Mereka juga banyak mempelajari ilmu silat, akan tetapi mereka tidak mengenal Siang-bhok Kiam-sut, maka kini mereka memandang dengan kagum karena memang gerakan ilmu pedang ini selain sangat indah juga aneh. Dan memang hal ini disengaja oleh Kong Liang yang tahu dengan pasti bahwa Pendekar Lembah Naga, yaitu kakak tirinya, walau pun terkenal amat lihai, tidak pernah menerima pelajaran Siang-bhok Kiam-sut, dan oleh karena itu kedua pemuda itu pun sudah pasti tak akan mengenal Siang-bhok Kiam-sut! Kalau dia memainkan ilmu lain, besar kemungkinan dua orang pemuda itu akan mengenalnya dan hal itu tentu tidak menimbulkan kesan.

Memang, sungguh pun dia sendiri mencoba untuk menutupinya, namun pada diri pemuda Cin-ling-pai ini terdapat suatu watak yang ingin dipuji dan dikagumi. Mungkin hal ini timbul karena dia merasa dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang selain hanya mempunyai putera dia seorang, juga sudah berusia agak lanjut pada waktu memperoleh dia sebagai keturunan tunggal.

Dan memang ilmu pedang itu luar biasa sekali, apa lagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong Liang. Biar pun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun dia sama sekali tak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh Kong Liang.

Thian Sin dan Han Tiong merasa terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum yang sangat halus sebagai senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan, maka racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga terkejut dan khawatir.

Akan tetapi Cia Kong Liang benar-benar tak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya hingga lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, begitu cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang!

“Ihhh…!” Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis.

Terdengar bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya kemudian menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya!

Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras, “Kong Liang, jangan…!”

Akan tetapi pedang telah digerakkan, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan oleh tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengan kanannya terluka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun sehingga perlu harus cepat-cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat.

“Hemm, sungguh sayang para paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian berdua mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku,” kata dara manis itu.

Tidak nampak dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa pada waktu tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu ginkang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja.

Kini dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, kelihatan gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata,

“Biarlah aku menghadapi nona ini!”

“Sin-te, jangan lancang!” Han Tiong mencela adiknya.

“Kalian mundurlah,” kata Kong Liang yang masih terus memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju. “Nona ini agaknya mempunyai kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!”

Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya.

Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguh pun dia masih terus memandang wajah dara yang sangat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itu pun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar.

“Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tak ingin membunuh atau pun terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?” Dara itu bertanya. “Aku sudah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.”

Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar. Apa lagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali.

Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan! Ternyata dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai dari pada tiga orang kakek yang telah kalah tadi.

Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut sekali, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka dia pun menjawab cepat,

“Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua sudah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup karena berani menentang paman dan bibiku.”

Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di hadapannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antara mereka adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena telah terlanjur, maka dia tidak akan undur lagi.

“Siapa pun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!” tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata pedangnya itu pun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh.

“Bagus, bersiaplah engkau!” bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun!

Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali kemudian balas menyerang, dan sekali serang juga telah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semuanya telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya.

“Tranggg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak.

Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. “Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesaikan urusan pribadiku ini.”

Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang.

“Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kau bunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak pernah menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, sekarang aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja.”

Melihat kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apa lagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan sangat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apa lagi setelah tadi mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi di dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya lantas berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi.

“Sudahlah, mari kita pergi dari sini!”

“Tetapi… tetapi… dendam kita…,” kakek yang buntung telinga kirinya membantah.

“Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau mendengar bujukan kalian lagi!” kata So Cian Ling dan dia pun lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itu pun berlari pergi.

Baru sekarang, setelah semua pengacau itu pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, “Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi.”

“Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe,” kata Han Tiong dengan sikap merendah, kemudian memandang pada Kong Liang sambil berkata, “Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!”

Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong. “Siapakah temanmu ini, Han Tiong?”

“Ya, siapakah dia ini?” Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu.

Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata. “Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap.”

Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah berkata dengan hati terharu, “Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.”

“Ehh…?” Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya. “Cucuku…! Ahhh, cucuku, tidak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si…” Suaranya mengandung isak tangis. “Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku…?”

Ditanya tentang ibunya, tentu saja jantung Thian Sin terasa seperti ditusuk. Dia langsung menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. “Maafkan nek… mereka… ayah dan ibu kini telah tiada…”

Sepasang mata tua itu terbelalak dan muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat. “Apa…? Bagaimana…?”

Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat-cepat menghampiri kemudian memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu.

“Mari kita bicara di dalam…”

Keadaan menjadi menyedihkan pada waktu tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok. Sesudah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan lantas mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu melihat Thian Sin duduk di dekat situ, dia pun segera menangis dan teringat lagi.

“Ah, Ciauw Si… Ciauw Si anakku… mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku…”

Thian Sin menggigit bibirnya berusaha menahan supaya jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.

“Sudahlah, kematian akan datang kepada siapa pun juga, muda mau pun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya.”

Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang amat tertekan, “Cucuku, ceritakan bagaimana ibumu sampai tewas…”

Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita mengenai pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng mau pun pasukan dari Raja Agahai di utara yang membantu, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum mala petaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng, kemudian bersama Han Tiong belajar di bawah asuhan pamannya itu, sehingga akhirnya dia turut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga.

Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong lalu berkata, “Hemm, segala macam perbuatan manusia tak ada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tak akan lepas dari pada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas dari pada sebabnya dan kita tak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat dari pada perbuatan suaminya, maka hal itu pun tidak perlu disesalkan.”

“Akan tetapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!”

Yap Kun Liong memegang lengan isterinya. “Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang sudah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?”

“Ahh, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang memang sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang…”

“Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka sudah tiada, akan tetapi mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah,” kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.

“Cucuku…!” Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis.

Betapa pun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan di dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek serta nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali.

Giok Keng merasa gembira bukan main dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh. Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat dipergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya.

Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan ketiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia pun tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak memiliki anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi ke luar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng. Maka apa bila dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tidak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini?

Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol hingga jauh melampaui kedua orang pemuda lainnya. Sebaliknya dia pun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin.

Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasehat-nasehat dan menanamkan jiwa kependekaran pada pemuda ini, dan dia pun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia sudah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang sangat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!

Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian, karena telah tiba saatnya bagi Cia Kong Liang untuk mewakili kedua orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao di Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga lalu meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu…..!

********************

Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk turut ke kota Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.

“Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu di dalam pesta perayaan itu tentu akan hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw serta tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu sangat penting bagi kalian orang-orang muda,” demikian Yap Kun Liong berkata.

Han Tiong dan Thian Sin memang juga hendak meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka lalu melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan pada sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira.

Maklumlah, walau pun Kong Liang disebut paman oleh mereka, akan tetapi usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun.

“Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta supaya kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka bila kalian salah bertindak sedikit saja akan dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku.”

“Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan menonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?”

Thian Sin hanya mengangguk. Akan tetapi karena dia memang kadang-kadang merasa mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seakan-akan menganggap mereka berdua masih ‘hijau’ dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata.

“Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biar engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja.”

Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan…..

********************

Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur.

Sebenarnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang dahulu pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas sehingga namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, mau pun Korea. Dia adalah seorang ‘samurai’ Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang.

Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, yaitu salah seorang pengikut Daigo II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini lalu melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama dengan keluarganya.

Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi cita-cita bekas panglima itu tak pernah padam, yaitu agar sekali waktu keturunannya dapat kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur!

Di sepanjang pantai timur Tiongkok, Tung-hai-sian ini dikenal dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini pergi meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya.

Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada saat itu sedang diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi semua usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat.

Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan dia pun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut. Dan karena dia terlahir di pulau kosong, juga oleh kakeknya digembleng oleh segala macam ilmu, maka dia pun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang.

Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dirinya berhasil mengumpulkan banyak harta. Pada usia empat puluh tahun dia menghentikan pekerjaannya membajak kemudian bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam ‘datuk’ yang menerima ‘bagi hasil’ dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea.

Itulah sebabnya, dalam usia kurang lebih lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan.

Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya, dan untuk itu dia lalu mendirikan perkumpulan yang diberinya nama Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), yakni sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan, namun seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini sebab setiap penjahat yang tidak mau tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti.

Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh. Dia dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seakan-akan menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam ‘pajak’ kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu.

Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambar pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tidak ada seorang pun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga yang sangat mahal. Juga Tung-hai-sian menanamkan banyak modal pada perusahaan-perusahaan besar di kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah.

Tung-hai-sian Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang. Akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang wanita Korea dan diperisterinya saat dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknya pun terlahir di Korea.

Anak itu baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu sudah berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian yang menjadi pendiri serta ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah seorang ahli pedang.

Demikianlah sedikit riwayat dari Tung-hai-sian dan kini datuk ini mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu tentu saja mengandung maksud.

Pertama, dia ingin memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang sudah berusia tujuh belas tahun. Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat. Puterinya tidak akan menjadi isteri seorang bajingan!

Dia sendiri adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, sebab itu puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula! Inilah sebabnya mengapa dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka. Demikian pula sebabnya maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang sekarang diwakili oleh Cia Kong Liang yang mengajak dua orang keponakannya.

Rumah gedung milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan luas sekali, juga dengan sebuah taman yang sangat indah dan luas di sebelah kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada belasan orang banyaknya. Ada pun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga dan tidak begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian.

Pada hari yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di gedung keluarga itu amat meriah. Halaman depan yang sangat luas itu dijadikan ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna.

Tempat itu mampu menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang bahwa hampir semua perkumpulan-perkumpulan di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri.

Thian Sin dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka amat terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di sana. Pemuda itu tak lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain yang-kim yang pandai.

Agaknya pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai datuk utara. Tidaklah mengherankan jika dia disambut sebagai tamu agung, ditempatkan di ruang kehormatan, yaitu panggung yang sengaja dibuat untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati.

Siangkoan Wi Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia teringat betapa dulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid Pak-san-kui yang lihai.

Dan tiga orang pemuda itu pun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang tidak lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhu-nya, ditemani oleh seorang murid suhu-nya yang kelihatan gagah dan berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh kursi di panggung kehormatan.

Tiga orang pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak mendapat kursi di panggung kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguh pun sebenarnya hati merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya. Betapa pun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan Wi Hong dan So Cian Ling.

Semua tokoh kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran kenapa seorang di antara empat datuk, yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama Lam-sin juga amat terkenal sungguh pun jarang ada orang yang pernah bertemu dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat terkenal oleh para anggotanya, yaitu golongan pengemis!

Lam-sin ini di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki anggota-anggota yang semuanya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan anggota mereka tidaklah banyak, katanya hanya dua puluh orang lebih namun rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang, apa lagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan.

Lam-sin sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama Lam-sin semakin terangkat sebab setiap pengemis sakti itu amat menjunjung tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai kini nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum dikenal rupanya itu.....
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar