Semua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang menuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, mereka melihat seorang laki-laki yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran.
Banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di samping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan tetapi, banyak pula alis yang dikerutkan dengan heran dan menduga-duga.
Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka di tempat itu akan terjadilah pertandingan yang amat hebat dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya.
Seketika wajah Lie Ciauw Si menjadi pucat ketika dia melihat pamannya sudah maju ke tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu.
Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Sekarang saat yang dia nanti-nantikannya sudah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-orang pandai, juga hendak menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw, dia juga hendak memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai.
Apa bila dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si sudah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengaruhi mereka, maka dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang sangat terkenal itu pun tidak ada yang mampu menandinginya!
Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dahulu dua orang pembantunya itu ‘menguji’ sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang.
Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, seolah-olah mereka berdua saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu.
Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang kala diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, sementara kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.
Akan tetapi suasana yang mencekam itu kemudian dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sebenarnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.
"Enghiong dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan? Harap suka memperkenalkan diri."
Setelah mendengar teguran ini, Bun Houw baru membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata sudah berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka berdua dengan sikap kereng, kemudian terdengarlah suara yang lantang dan jelas.
"Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!" Baru saja dia berkata sampai di sini, lalu terdengar suara berbisik di antara para tamu, yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar ini sungguh pun semua telah mendengar nama besarnya, apa lagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal sesudah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai dituduh sebagai pemberontak, malah menjadi pelarian-pelarian pemerintah.
Setelah suara berbisik itu mereda, Bun Houw baru melanjutkan kata-katanya, "Kami dari Cin-ling-pai tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Karena itu, kedatanganku di sini pun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justru untuk menguji sampai di mana kehebatan orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"
Langsung terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari harta benda, kedudukan, atau nama besar.
Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, juga melihat sikap pendekar itu yang kereng, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu lantas mengerutkan alis dan mereka pun menjadi bingung. Tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang,
"Cia Bun Houw, ucapanmu tadi sungguh menyimpang dari pada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Sekarang dengan siapa engkau akan bertanding, sedangkan jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?"
Cia Bun Houw yang tadi pun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, "Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo dikenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa salah seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!"
Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena segera terdengar suara tawa menyambut ucapan yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi marah bukan main. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!
Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, "Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu itu terlampau besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, maka dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, dan..."
"Cukup!" Bun Houw membentak demikian nyaringnya hingga mengejutkan semua orang karena di dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang sangat hebat, terbawa khikang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. "Dalam urusan ini tiada hubungannya dengan keluarga! Aku datang bukan untuk membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semuanya ini!" Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw.
"Paman...!" Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah itu membuka mulut, akan tetapi suaranya tadi hanya merupakan bisikan sebab lengannya keburu disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja.
"Tenang, Si-moi dan mari kita lihat perkembangannya," bisiknya kembali.
Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali. "Cia Bun How, benarkah tadi engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!" kata Phang Tek yang marah bukan main, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak hati dan malu apa bila harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua.
"Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, meski masih lengkap tiga orang pun aku tidak akan gentar melawan kalian. Majulah!" Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, kini sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong laksana mata seekor naga, tanda bahwa ketika itu tenaga sinkang-nya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan.
Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata,
"Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini."
Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lantas berkata tenang, "Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap sudah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak memperlihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, kenapa kalian berdua masih ragu-ragu lagi?"
Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai demikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biar pun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula!
Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika dia mendengar ucapan suaminya itu. Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dapat melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu.
Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya dengan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak maju bersama mengeroyok suaminya.
Sementara itu, dua orang kakek itu menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang telah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang akan menjadi calon lawan majikan mereka.
"Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap." Sesudah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani menyebut lainnya. "Kami akan maju bersama menghadapimu."
"Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!" jawab Bun Houw tak sabar lagi.
Dua orang kakek itu cepat memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka.
Akhirnya kedua orang kakek itu mengambil sudut yang dianggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!
"Wuuut... wuuuttt... plak-plak plak-plak!"
Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu, dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia sudah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung!
Kembali Bun Houw berdiri tegak ada pun kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak sebab pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat.
Hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai pada puncaknya! Dan kini, meski pun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tak menggerakkan kepalanya sebab ketajaman pendengarannya bisa menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya.
Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka demikian dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek!
Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan dua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sebenarnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya, meski pun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan!
Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka dia pun tidak berani memandang rendah sehingga untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya.
Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang sangat kuat sehingga dengan ilmu ini dia seakan-akan dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apa lagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada pada puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih.
Maka, dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambahnya dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu.
Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun kedua orang pengeroyok itu sama sekali belum pernah mampu menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah.
Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik ketiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andai kata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka.
Lie Ciauw Si yang biar pun amat lihai tapi juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan kedua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan apa bila dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamannya yang sakti itu!
Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang.
Karena itu mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Mengapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau saja ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya untuk ‘menguji’ pendekar dari Cin-ling-pai itu!
Meski pun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung dari pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu.
Seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, maka dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itu, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.
Ke manakah perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu.
Sesudah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memaksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengawasan serta kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, maka tahulah Sin Liong bahwa kakak angkatnya itu kembali berbuat curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga orang-orang kang-ouw lantas membantunya melakukan pemberontakan terhadap kaisar! Dengan marah sekali Sin Liong lalu berlari masuk meninggalkan tempat itu.
Dengan cepat Sin Liong berlari menuju ke kamar Bi Cu untuk mengajak kekasihnya itu segera pergi dari tempat ini sekarang juga. Daun pintu kamar Bi Cu tertutup dan dengan hati harap-harap cemas Sin Liong lalu menghampiri daun pintu ini dan mendorongnya ke dalam. Kosong! Sunyi sekali di dalam rumah ini. Agaknya semua pelayan dan pengawal sudah berkumpul di depan, menonton keramaian di luar.
"Bi Cu...!" Dia berseru memanggil dan memandang ke sana-sini, lalu berjalan menuju ke dalam, membuka setiap daun pintu kamar dan ruangan mencari-cari.
Akhirnya dia tiba di lorong yang menuju ke ruangan belakang dan ketika dia memasuki lorong yang lebarnya hanya tiga meter akan tetapi amat panjang itu, tiba-tiba dia melihat gerakan orang dan tahu-tahu di kedua mulut lorong itu, di depan dan belakangnya, sudah berdiri puluhan orang pengawal dengan senjata tombak, pedang dan golok di tangan!
Dia telah dikurung di dalam lorong itu dan tidak ada jalan keluar lagi karena di depan dan belakangnya, di tiap mulut lorong, masing-masing telah berjaga belasan orang pengawal pilihan yang siap dengan senjata mereka. Dia seakan-akan seperti seekor harimau yang sudah terkurung dan terjebak.
Sin Liong memandang dengan mata bernyala dan muka merah.
"Kembalikan Bi Cu!" bentaknya. "Kembalikan Bi Cu atau... demi Tuhan, tidak akan ada seorang pun yang akan lolos dari tanganku!" Suaranya menggetar saking khawatirnya membayangkan Bi Cu berada di tangan mereka.
Dia pun maklum bahwa Pangeran Ceng Han Houw hendak mempergunakan Bi Cu untuk memaksanya. Akan tetapi sekali ini dia tidak mungkin mau dipermainkan, tidak mungkin dia harus mengalah dan memenuhi kehendak pangeran itu. Walau pun Bi Cu berada di tangan mereka, dia tidak akan mau tunduk dan menyerah lagi.
Hanya ada dua jalan. Mereka mengembalikan Bi Cu dalam keadaan utuh dan selamat, atau... kalau mereka mengganggu kekasihnya, maka dia akan mengamuk dan membunuh semua orang dalam Istana Lembah Naga itu!
Kedua matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti pada waktu dia memandang kepada para pengawal yang menghadang di mulut lorong itu. Dengan berani dia terus melangkah maju sambil sekali lagi membentak, "Kembalikan Bi Cu!"
Akan tetapi pengawal-pengawal yang berjaga di sana adalah pasukan pengawal pilihan yang tadinya menjadi pasukan pilihan dari Raja Sabutai. Mereka ini, sebagai pasukan pilihan, seakan-akan telah menjadi manusia-manusia robot yang tidak memiliki keinginan sendiri dan mereka bergerak oleh perintah atasan. Mereka tadi menerima perintah untuk mencegah pemuda ini pergi ke gudang di belakang, di mana Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio mengurung gadis tawanan itu, dan mereka, pasukan pengawal yang jumlahnya tiga puluh orang itu, akan mentaati perintah ini sampai titik darah terakhir mereka!
Maka, mendengar bentakan-bentakan Sin Liong, mereka seolah-olah tak mendengarnya dan kini para pengawal yang menghadang di depan sudah mengangkat senjata mereka dengan muka beringas, sedangkan pasukan yang berada di belakang Sin Liong sekarang sudah bergerak maju lagi memasuki lorong itu! Sin Liong benar-benar dihimpit dari depan dan belakang.
Melihat ini, Sin Liong menjadi semakin marah. Tahulah dia bahwa kali ini Pangeran Ceng Han Houw betul-betul memperlihatkan kedoknya dan hendak menentangnya mati-matian, maka dia pun lantas mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menerjang ke depan seperti seekor harimau menubruk, tanpa mempedulikan adanya tombak, golok dan pedang yang menyambut tubuhnya.
Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang dihimpunnya selama dia mempelajari ilmu dari Bu Beng Hud-couw. Ada angin dahsyat menyambar ke depan, menyambut belasan orang yang menghadangnya itu, disusul oleh kedua tangan Sin Liong sendiri yang mendorong ke depan.
"Bresssss...!"
Hebat bukan kepalang tenaga sinkang yang menyambar keluar dari gerakan Sin Liong ini. Tombak, golok, pedang beterbangan, terdengar pekik-pekik kesakitan dan belasan orang itu sudah terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri seperti setumpuk daun kering diamuk badai!
Sin Liong terus meloncat keluar dari lorong itu, tiba di ruangan belakang yang luas. Di sini dia berdiri tegak, memandang sekelilingnya, mencari-cari Bi Cu. Belasan orang pengawal yang terpelanting tadi, hanya ada sepuluh orang saja yang sanggup bangkit kembali dan yang lima orang tidak dapat bangun. Ditambah dengan lima belas orang lagi, yaitu para pengawal yang mengejar dari belakang tadi, mereka kini mengurung dan mulai menerjang serta mengeroyok Sin Liong dari berbagai jurusan. Hujan senjata menyerang tubuh Sin Liong!
Sin Liong mengamuk! Kedua tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sampai ke puncak, menyambar-nyambar sehingga setiap orang pengeroyok yang terkena sentuhan tangan ini, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu terpelanting. Setiap senjata yang bertemu dengan dua lengannya tentu patah-patah atau beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya.
Bagai sekelompok nyamuk menyerang api lilin, para pengawal itu setiap kali maju lantas terpelanting roboh dan sesudah mengamuk dengan hebatnya, laksana seekor naga yang mengejar mustika di antara awan-awan hitam, maka semua pengawal itu roboh dan tubuh mereka pun malang-melintang memenuhi ruangan itu, merintih-rintih dan mengaduh-aduh.
Darah berceceran di mana-mana dan senjata tajam berserakan. Sin Liong masih sempat melihat ada seorang pengawal yang luka terpincang-pincang lari ke belakang, ke sebuah gudang tua jauh di belakang istana itu. Maka dia pun cepat berkelebat dan menuju ke tempat itu.
"Brakkkk!"
Sekali terjang daun pintu kayu yang tebal dari gudang itu pun pecah berantakan dan Sin Liong meloncat masuk. Akan tetapi dia lalu terbelalak berdiri di ambang pintu yang sudah jebol itu, memandang ke dalam.
Gudang itu besar, dan agaknya merupakan gudang yang sudah tidak terpakai lagi karena selain kosong juga tidak terawat, kotor dan jauh berbeda dengan keadaan di dalam istana yang serba mewah dan indah. Memang gudang ini telah lama hanya dipergunakan untuk menyiksa para tawanan pada waktu Hek-hiat Mo-li tinggal di situ dan karenanya, setelah Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan istana itu, gudang ini tidak dipakai dan hanya ditutup. Dan sekarang, tempat itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio untuk menahan Bi Cu!
Agaknya pengawal yang terluka dan tadi lari masuk untuk melapor, mengalami nasib sial karena dia sudah meringkuk pada sudut itu tak bergerak-gerak, entah pingsan entah mati. Dan memang ketika dia selesai melapor bahwa semua pengawal tidak mampu menahan pemuda itu, Hek-hiat Mo-li telah ‘menghadiahi’ dengan sebuah tendangan yang membuat tulang iga orang itu remuk-remuk!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Sin Liong ketika dia melihat Bi Cu terbelenggu pada sebatang tiang kayu di dalam gudang itu, ada pun di sekeliling tiang itu terdapat tumpukan balok-balok kayu yang sudah disiram minyak dan kini Kim Hong Liu-nio sudah berdiri dekat sambil memegang sebatang obor yang bernyala, bersiap untuk membakar tumpukan kayu yang mengelilingi Bi Cu itu!
Dara itu juga memandang padanya dengan muka pucat dan mata terbelalak, akan tetapi suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, "Sin Liong...!"
Agaknya baru sekarang dia dapat berseru memanggil nama kekasihnya itu karena sejak tadi mulutnya diikat dengan sapu tangan yang kini bergantung pada lehernya, tentu telah dilepaskan oleh Kim Hong Liu-nio. Agaknya wanita ini sudah mempersiapkan diri dengan baik karena selain kedua tangannya sudah mengenakan sarung tangannya yang mampu menahan senjata tajam, juga di atas punggungnya yang menggendong kayu palang salib itu terlihat mengepul hio-hio yang terbakar, dan kini selain tangan kirinya memegang obor, juga tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan! Dan tidak jauh dari situ berdiri si nenek muka hitam yang menyeringai mengerikan, bersandar pada tongkat bututnya.
"Heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan nampak mulutnya yang tak bergigi lagi. "Kau bocah bandel, masih mau memamerkan sedikit kepandaian di sini?"
"Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong membentak. "Lepaskan Bi Cu!"
"Heh-heh, bocah lancang! Hanya ada dua pilihan untukmu. Engkau kembali ke depan dan membantu pangeran sampai dia berhasil dengan cita-citanya, atau engkau akan melihat pacarmu ini dimakan api sampai habis dan engkau sendiri mampus di bawah tongkatku!"
"Nenek iblis!" Sin Liong membentak dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek itu dengan dahsyatnya!
"Ihhhh...! Plakk!" Nenek itu meloncat untuk menghindar sambil menyabetkan tongkatnya yang dapat ditangkis oleh Sin Liong.
"Bakar dia!" teriaknya sambil melawan pemuda yang sudah marah sekali itu. Kim Hong Liu-nio cepat membakar tumpukan kayu di sekeliling Bi Cu dan api pun berkobarlah.
"Sin Liong...!" Bi Cu menjerit sesudah api mulai berkobar mengelilinginya, mendatangkan hawa panas yang luar biasa.
Pilar di mana dia terbelenggu tidak akan cepat terbakar, dan pembakaran itu memang diatur sedemikian rupa untuk menyiksanya sehingga sebelum api itu akhirnya menjalar ke pilar, terlebih dahulu dia akan mengalami siksaan luar biasa dikurung api berkobar yang besar dan amat panas.
Sin Liong mengamuk, dan kini Kim Hong Liu-nio juga sudah ikut maju dengan pedangnya, membantu gurunya mengeroyok Sin Liong. Pedangnya bergerak dengan amat cepatnya, lenyaplah bentuk pedang di tangan Kim Hong Liu-nio dan berubah menjadi segulung sinar berkilauan yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan berciutan, juga tongkat di tangan nenek muka hitam itu berbahaya bukan kepalang, karena gerakannya didorong oleh sinkang yang amat hebat.
Sekali ini Sin Liong benar-benar diuji kepandaiannya. Dua orang lawannya itu terdiri dari orang-orang yang pandai, terutama sekali nenek hitam itu. Dan celakanya dia bertanding dengan hati gelisah bukan main melihat api berkobar mengurung Bi Cu. Sebagian besar perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu, dan setiap ada kesempatan, dia meninggalkan dua orang lawannya untuk meloncat ke arah api dalam usahanya untuk menyelamatkan dara itu lebih dulu dari ancaman maut yang mengerikan.
Namun, kedua orang lawannya maklum akan niatnya ini dan terus menghadang, bahkan kelengahan Sin Liong akibat perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu sudah membuat dua kali punggung beserta pundaknya kena dihantam tongkat Hek-hiat Mo-li! Kalau saja dia tidak memiliki kekebalan dan cepat mempergunakan Thi-khi I-beng, tentu dia sudah roboh oleh dua kali hantaman itu.
Dia hanya merasa pening sedikit, akan tetapi dengan mengeluarkan jurus-jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, angin pukulan menyambar dahsyat hingga dua orang lawannya itu terkejut dan cepat mengelak sambil meloncat mundur. Pada lain saat, guru dan murid itu sudah menerjang lagi dan kembali Sin Liong terdesak hebat karena dia masih saja mencurahkan perhatiannya kepada Bi Cu yang terus-menerus memanggil namanya.
"Sin Liong... ahhh, Sin Liong, tolong...!"
Sin Liong tak dapat menahan kegelisahannya dan meloncat ke depan. Kelengahannya itu dipergunakan oleh Kim Hong Liu-nio untuk menusukkan pedangnya ke arah lambungnya dari kanan. Untung bagi pemuda ini bahwa dia masih mendengar desir sambaran pedang ini, maka dia mengelak, sungguh pun perhatiannya masih ke depan, ke arah api berkobar.
"Desss...!"
Pukulan tangan kiri dari Kim Hong Liu-nio dengan tepat mengenai punggungnya, sebuah pukulan yang amat kuatnya.
"Ihhhh...!" Kim Hong Liu-nio menjerit karena tangannya itu melekat pada punggung dan tersedotlah hawa murni dari tubuhnya.
Gurunya yang maklum akan keadaan muridnya, cepat-cepat menerjang ke depan, ujung tongkatnya berkelebat depan mata Sin Liong. Pemuda ini menarik tubuh ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li untuk menepuk punggungnya kemudian membetot kembali tangan muridnya!
Sesudah terlepas dari pengaruh Thi-khi I-beng itu, Kim Hong Liu-nio lalu mengamuk dan menujukan ujung pedangnya ke arah sasaran di bagian tubuh yang berbahaya sehingga kembali Sin Liong terpaksa harus melayani dua orang lawan tangguh itu, sementara itu hatinya merasa semakin gelisah.
"Brakkk...!"
Tiba-tiba jendela di belakang gudang itu pecah berantakan dan sesosok bayangan yang sangat gesit dan ringannya melayang masuk. Itu adalah bayangan seorang wanita cantik dan Sin Liong segera mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah bayangan Yap In Hong, atau ibu tirinya! Nyonya yang cantik jelita dan gagah perkasa itu muncul secara demikian mendadak sehingga bukan hanya mengejutkan Sin Liong, namun juga membuat Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li menjadi kaget bukan main.
Bagaimanakah Yap In Hong dapat tiba-tiba muncul di tempat itu? Perlu diketahul bahwa sesungguhnya rombongan keluarga Cin-ling-pai itu berada di Lembah Naga, menghadiri pertemuan besar itu adalah dalam rangka bantuan mereka kepada fihak pemerintah, yaitu bantuan kepada Pangeran Hung Chih yang sudah diberi tugas khusus oleh kaisar untuk menghadapi usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw dengan cara halus, kalau mungkin tanpa menimbulkan perpecahan atau perang saudara yang akan mendatangkan korban besar di antara rakyat.
Oleh karena terikat dengan tugas inilah maka betapa pun marahnya hati Cia Giok Keng melihat puterinya membantu pangeran pemberontak yang menjadi suaminya itu, namun Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw selalu menyabarkannya. Ketika Cia Bun Houw sudah maju untuk menentang secara terang-terangan kemudian dikeroyok oleh dua orang kakek Lam-hai Sam-lo dan terjadi pertandingan yang sangat hebat dan seru, diam-diam Yap In Hong yang mengikuti gerakan mereka maklum bahwa suaminya tidak akan kalah.
Oleh karena itu dia pun merasa lega, kemudian diam-diam dia berunding dengan kakak kandungnya, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng yang menyetujui agar dia menyelidik dari bagian belakang istana, sementara Yap Kun Liong dan isterinya siap untuk membantu Cia Bun Houw kalau terjadi sesuatu dan siap pula untuk memberi tanda yang telah ditunggu-tunggu oleh pasukan besar yang menanti di luar lembah!
Demikianlah kenapa Yap In Hong tahu-tahu berada di gudang itu. Ketika dia menyelinap ke belakang gudang dan mendengar suara orang berkelahi, dia lalu mengintai dan betapa kagetnya pada saat dia melihat Sin Liong sedang dikeroyok oleh Hek-hiat Mo-li dan murid perempuannya, lantas melihat pula Bi Cu terkurung api dan dara itu sudah mulai sesak napas dan tubuhnya basah semua oleh peluh. Bi Cu sudah tidak mampu berteriak lagi, hanya mengeluh dan merintih!
Melihat keadaan dara ini, Yap In Hong lalu meloncat dengan kecepatan seekor burung terbang, kakinya menendangi balok-balok terbakar ke kanan kiri hingga terbukalah jalan baginya untuk menerobos masuk. Cepat sekali dia telah menggunakan jari-jari tangannya yang kecil mungil namun mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu untuk mematahkan semua belenggu pada kaki tangan Bi Cu yang sudah lemas dan pingsan itu, lalu dia memondong tubuh dara itu dan sekali meloncat dia sudah keluar dari lingkungan api yang berkobar dan membawa Bi Cu ke sebuah sudut gudang yang luas itu.
Ketika melihat Bi Cu pingsan, dia lalu mendudukkan dara itu dan menyandarkannya pada dinding, kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah pertempuran. Sinar mata wanita ini berubah ketika dia melihat Sin Liong dikeroyok. Tadinya, seperti juga suaminya, dia merasa benci kepada anak ini yang dianggapnya seorang anak yang tidak mengenal budi. Akan tetapi kini melihat anak itu dikeroyok dua secara mati-matian, pandangannya menjadi berubah.
"Hek-hiat Mo-li, sebelum engkau mampus tentu engkau akan menyebar kejahatan saja di dunia ini! Akulah lawanmu, nenek iblis!" Dia hendak meloncat dan memasuki gelanggang pertempuran, akan tetapi Sin Liong cepat berkata,
"Yap-lihiap... aku berterima kasih sekali kepadamu, akan tetapi... harap lihiap jangan turut mencampuri, biarkan aku yang menghadapi mereka ini! Aku ingin membalaskan kematian kongkong Cia Keng Hong!" Suaranya mengandung isak karena saking terharunya melihat Bi Cu diselamatkan oleh ibu tirinya! Juga saking marahnya terhadap dua orang lawannya ini.
Yap In Hong tercengang, karena dia terkejut mendengar ucapan itu dan melihat jalannya pertempuran. Tadi bocah itu menyebut ‘kongkong’ terhadap ayah mertuanya, dan selain menyatakan ingin membalaskan kematian ketua Cin-ling-pai, juga kini gerakan bocah itu sungguh jauh berbeda! Kini, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang amat luar biasa, dan setiap kali dia menerjang, ada hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar darinya, membuat dua orang lawannya menjadi terhuyung-huyung!
Yap In Hong adalah seorang wanita sakti yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan gerakan seperti yang dilakukan Sin Liong pada saat itu, dan dia dapat melihat dan merasakan kehebatan hawa pukulan yang luar biasa itu. Maka dia pun lalu berdiri saja dan menonton, mendekati Bi Cu dan menjaga dara yang masih pingsan itu. Sementara itu, tumpukan kayu yang terbakar itu karena tadi ditendangi dan terlempar ke sana-sini, mulai membakar dinding rumah dan pilar!
Tidak mengherankan kalau Yap In Hong pendekar wanita sakti itu tertegun menyaksikan kehebatan gerakan Sin Liong. Kini, sesudah melihat Bi Cu selamat, Sin Liong menjadi begitu lega dan gembira sehingga dia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada perkelahian itu dan kini dia pun tidak mau memberi hati kepada dua orang lawannya. Dia mempergunakan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan tiba-tiba sekali, dia sudah menerjang dengan jurus dari ilmu silat mukjijat Hok-mo Cap-sha-ciang.
Terjangan pertama membuat dua orang wanita itu terhuyung hingga terdengar Kim Hong Liu-nio menjerit kecil akibat pedangnya membalik dan melukai pundaknya sendiri! Mereka berdua maklum kini bahwa Sin Liong benar-benar tangguh, dan munculnya Yap In Hong yang berhasil menyelamatkan Bi Cu benar-benar membuat kedua orang itu agak bingung dan gentar. Maka kini mereka hendak memusatkan tenaga untuk bertahan, maka mereka tidak berpencar, melainkan berdiri berdampingan menghadapi Sin Liong.
Pemuda ini mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, dibarengi dengan gerakan tubuhnya mencelat ke depan dan dia sudah mengirim serangan ke dua dari Hok-mo Cap-sha-ciang. Dua tangannya dengan jari-jari terpentang bergerak dari atas ke bawah, dan dua macam tenaga yang berlawanan, yang dari atas panas sekali sedangkan dari bawah dingin sekali menyambar seolah-olah hendak menghimpit dua orang lawan itu.
"Plak-plak...! Dessss...!"
Hek-hiat Mo-li yang terkejut bukan main menyaksikan serangan yang luar biasa hebat dan ganasnya itu sudah mengerahkan tenaganya dan dua kali dia menggunakan tongkat dan lengannya untuk menangkis dua tangan Sin Liong, maka akibatnya dia terpental sampai beberapa meter jauhnya dan punggungnya menabrak dinding gudang!
Ketika Sin Liong melakukan pukulan dahsyat itu dan Hek-hiat Mo-li melakukan tangkisan, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sudah menjatuhkan dirinya ke atas lantai, kemudian bagai seekor trenggiling dia menggelinding ke arah Sin Liong dan meloncat sambil menaburkan Hui-tok-san, yaitu bubuk kuning ke arah muka Sin Liong, diikuti oleh gulungan cahaya merah dari sabuknya yang melakukan totokan ke arah kedua mata pemuda itu dan paling akhir pedangnya meluncur dari tangan, menusuk ke arah lambung! Sungguh wanita ini hebat dan berbahaya sekali, menggunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan lawan yang bagaimana tangguh pun!
Akan tetapi pada saat itu, dalam kegembiraannya karena Bi Cu sudah bebas dari bahaya maut, Sin Liong berada dalam keadaan penuh gairah dan di puncak dari kewaspadaan, seluruh tubuhnya menggetar oleh sinkang-nya yang memang luar biasa kuatnya, sinkang yang diwariskan kepadanya oleh mendiang Kok Beng Lama, kemudian digembleng pula oleh mendiang Cia Keng Hong yang menurunkan Thi-khi I-beng dan semuanya itu masih ditambah lagi dengan latihan dari kitab-kitab kuno peninggalan Bu Beng Hud-couw hingga pada saat itu, kiranya sukar dicari bandingannya di dunia persilatan.
Maka, saat melihat gerakan serangan bertubi-tubi ini, Sin Liong tidak menjadi gugup sama sekali. Dia mampu mengikuti gerak-gerik lawan ini satu demi satu dan sambaran bubuk kuning ke arah mukanya itu dibuyarkannya dengan tiupan khikang yang kuat sehingga uap kuning itu membuyar bahkan menyambar kembali ke muka Kim Hong Liu-nio yang tentu saja tidak takut menghisapnya karena dia telah memakai obat penawar untuk racun Hui-tok-san itu.
Kemudian, totokan ujung sabuk merah ke arah dua matanya itu hanya dielakkan dengan miringkan kepala, kemudian tusukan pedang ke arah lambungnya itu cepat ditangkapnya dengan tangan lantas sekali dia mengerahkan tenaga mencengkeram, pedang ltu dapat dicengkeramnya sampai patah-patah!
Kim Hong Liu-nio terkejut bukan kepalang, hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri! Betapa mungkin pedangnya yang terbuat dari baja murni itu, yang takkan patah oleh senjata apa pun, kini menjadi patah-patah oleh cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu? Dalam gugupnya itu, dia cepat menggerakkan tangan kanannya itu memukul setelah membuang gagang pedang, memukul dengan kerasnya ke arah dada Sin Liong.
"Bukkk!"
Pukulan itu amat tepat mengenai sasaran sebab Sin Liong memang tidak mengelak, akan tetapi telapak tangan wanita itu melekat dan seketika tenaga sinkang dari telapak tangan itu membanjir tersedot oleh tubuh Sin Liong!
"Aihhh...!" Kim Hong Liu-nio sudah diberi tahu subo-nya bagaimana menghadapi Thi-khi I-beng, maka dia cepat-cepat menggunakan ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kanannya sendiri sehingga tangan itu lumpuh, kehilangan tenaga dan dengan sendirinya terlepas dari sedotan karena sudah tidak mengandung tenaga sinkang, dan wanita ini lalu melempar diri ke belakang, menggelinding dan pada saat dia menggelinding itu, nampak sinar api meluncur ke arah perut, leher dan mata Sin Liong! Itulah tiga batang hio menyala dan yang dilontarkan secara tepat oleh Kim Hong Liu-nio!
Melihat ini, Sin Liong menjadi marah sekali. Dia teringat akan kematian ibu kandungnya di tangan wanita ini, maka cepat kedua tangannya menangkap-nangkapi tiga batang hio itu dan secepat kilat dia melemparkan hio-hio itu ke arah pemiliknya. Betapa pun wanita itu berusaha mengelak, namun dia kalah cepat oleh luncuran hio yang dilontarkan dengan tenaga sinkang yang luar biasa itu.
Terdengar jerit menyayat hati saat dua di antara tiga batang hio itu mengenai sasarannya dengan tepat, yaitu, yang pertama menancap di antara kedua mata wanita itu sedangkan yang ke dua memasuki dada lewat ulu hatinya.
Wanita itu roboh terjengkang. Agaknya hio yang menembus batok kepalanya itu langsung mengenai pusat otak yang membuat dia tak mampu bergerak lagi dan tak lama kemudian tewaslah Kim Hong Liu-nio dalam keadaan yang hampir sama namun lebih mengerikan dari pada kematian mendiang Liong Si Kwi, ibu kandung Sin Liong.....