Pendekar Lembah Naga Jilid 67

"Ahh, daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!" Dia pun kemudian sibuk sekali meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu. Setiap macam rumput dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan sesuatu larilah dia kepada Sin Liong sambil membawa beberapa batang rumput yang baru saja dicobanya.

"Coba ini, Sin Liong, agaknya manis rasanya!" teriaknya girang, dan Sin Liong lalu makan rumput itu dan mengisap-isap.

Memang agak manis, akan tetapi airnya sedikit sekali, jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan daun pohon besar itu. Dan Bi Cu juga tahu hal ini, maka dia pun mencari lagi dengan kecewa. Semua tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya semua! Akhirnya dia kembali ke dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua alisnya yang hitam kecil berbentuk indah itu berkerut.

Sin Liong merasa kasihan sekali. "Bi Cu... tak ada jalan lain, kita harus makan daun-daun muda ini. Biar pun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk membasahi kerongkongan."

"Iya...," jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun muda itu satu demi satu dan rasanya makin lama makin tak enak saja baginya. Makin perlahan saja dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian mulutnya berhenti bergerak dan air matanya pun berderai, akan tetapi dia belum terisak, hanya berkata lirih, "Sin Liong... haruskan kita berdua mati di sini, mati kehausan...?"

Sin Liong mendekatinya kemudian menyentuh pundaknya. "Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun ini akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu..."

"Dan kalau kita sudah tidak kuat bertahan lagi? Bahkan sekarang pun aku sudah hampir tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main..."

"Ke sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas..."

Dengan lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan berteduh di dekat dinding batu sehingga mereka sedikit terlindung dari panas matahari. Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia berusaha menahan kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk berdekatan di bawah dinding batu itu.

"Bagaimana lenganmu?" Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian.

"Tidak nyeri... akan tetapi belum dapat digunakan. Tadi kucoba untuk mengangkat batu, belum sanggup..."

"Kaukah yang menjajarkan batu-batu di sana itu?" jari Bi Cu menuding. "Sudah kuduga demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu menjagaku!"

Ada rasa girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi sekaligus juga membuatnya malu-malu, maka dia lalu berkata, "Kita di sini hanya berdua saja, kalau kita tidak saling menjaga, habis bagaimana?"

Setiap hari Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati lengan kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka berdua benar-benar tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon itu dan sungguh pun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar dari kelaparan.

Akan tetapi mereka dicekik kehausan, semakin lama semakin menghebat sehingga tubuh mereka menjadi lemah bukan main, pandang mata berkunang dan kepala mereka pening. Kadang-kadang, pada waktu siang hari, bila mana matahari sedang panas-panasnya, Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak mampu menangis lagi karena air matanya pun sudah kering, mukanya pucat dan cekung.

"Ahhh... kuda dan sapi pun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun-daun saja... harus minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus..." Hari itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya.

"Bi Cu, kuatkanlah hatimu...!" kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa hebat oleh kehausan. Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih merasa panas dan tubuhnya terasa lemas sekali.

"Sin Liong... aku sudah tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati di sini bersamamu, Sin Liong..."

"Bi Cu...!" Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu, mendekap kepala dara itu ke dadanya.

Sejenak mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa betapa nikmatnya bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang menyelinap ke seluruh tubuh dan kepalanya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh Sin Liong dari sinar matahari. Dia merasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan betapa dada pemuda itu menahan tangis sehingga kadang-kadang terisak.

Bi Cu mengangkat mukanya memandang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya kuat-kuat, akan tetapi terlihat ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata pemuda itu. Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua tetes air di telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan mengisap dua tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke tenggorokannya yang kering.

"Sin Liong, jangan menangis...," lalu dia hendak menghibur pemuda itu dan mengalihkan pikirannya. "Eh, bagaimana dengan lengan kirimu...?" Biar pun dia bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak, sedangkan tubuhnya lemah sekali.

"Lengan...? Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari jalan...!" Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya, dan menahannya.

"Tidak perlu sekarang... ini sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas lagi, Sin Liong. Aku... aku mengantuk sekali... biarkan aku tidur..." Rangkulannya terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia rebah terlentang, berbantal paha Sin Liong.

Melihat keadaan Bi Cu, Sin Liong diam tidak bergerak, membiarkan dara itu tidur di atas pangkuannya dan dia pun lantas memejamkan mata sambil bersandar pada dinding batu. Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti telah mati!

Sin Liong masih dalam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan sadar sepenuhnya bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya mengendur dan lemas. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini amatlah berbahaya. Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk tidak bangun kembali!

Maka dia cepat-cepat menggunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membuka mata dan terkejutlah dia. Mengapa pandang matanya menjadi gelap? Butakah dia, atau terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang matanya menjadi gelap?

Dia mengangkat mukanya lantas memandang ke atas. Langit pun gelap! Tidak ada lagi sinar matahari, padahal tadi amat panasnya. Apa yang terjadi? Dia mencari-cari dengan matanya dan melihat awan mendung bergumpal-gumpal datang dari arah timur terbawa oleh angin keras. Bagaimana mungkin siang yang tadinya terang benderang itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti itu?

"Bi Cu...! Bi Cu, bangun...!"

Hati Sin Liong penuh kekhawatiran. Badan Bi Cu yang lunglai hanya bergoyang-goyang, akan tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia? Atau... atau matikah...?

"Bi Cu! Ohh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!" Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu sudah mati.

Akhirnya bibir yang kering itu bergerak. "Hah...? Ada apa...? Kau... mengganggu... orang tidur..."

Bukan main leganya rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, maka dia pun berseru seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil menguncang pundak Bi Cu yang masih memejamkan matanya.

"Bi Cu, lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!"

"Hehhh...?" Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga baru dapat bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong. "Mana...? Ada apa...?"

"Lihat di atas itu...!"

Pada saat itu pula terdengar suara menggelegar disertai kilat. Bi Cu terkejut, memandang ke atas dan dia pun melihat mendung bergumpal-gumpal serta kilat menyambar-nyambar disertai guntur meledak-ledak.

"Ada apa di sana itu?" Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca menjadi gelap.

"Ada apa? Artinya akan hujan. Air!" Sin Liong berteriak.

"Air? Mana...?" Pertanyaan Bi Cu ini segera dijawab dari udara karena tepat pada saat itu pula turunlah air hujan yang deras sekali.

"Air...!" Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk oleh Sin Liong.

"Air! Hujan turun!" Sin Liong juga bersorak.

Mereka berdua berangkulan, menangis, menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar, membiarkan air memasuki mulut mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka tersedak-sedak. Sin Liong dan Bi Cu tertawa-tawa dengan air mata bercucuran, sambil mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang tidak ada artinya.

"Bi Cu...!"

"Sin Liong...!"

Mereka seperti mendapat tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup, setelah perut mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman yang sebenarnya tidak disengaja, terjadi karena kegembiraan mereka yang luar biasa, mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling kecup, seperti tidak dapat dilepaskan lagi.

Mereka baru saling melepaskan ciuman sesudah napas mereka berdua terengah-engah, kemudian keduanya mundur selangkah, saling pandang dengan mata terbelalak di antara cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam cuaca yang remang-remang, dan keduanya seperti orang terkejut dan memang terkejut karena baru saja sadar betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-tiba mereka merasa betapa muka mereka menjadi panas karena malu.

"Bi Cu..."

"Sin Liong..."

Mereka lalu saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka menangis mereka sendiri tidak mengerti. Ada rasa girang, ini sudah jelas karena jatuhnya air hujan itu se¬akan-akan mengembalikan nyawa mereka yang sudah hampir melayang, ada rasa bahagia yang lain yang tidak mampu mereka gambarkan, ada rasa haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka menyadari bahwa mereka masih berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup dalam tempat yang tidak ada jalan keluarnya ini.

Tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia menarik tubuh Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung dia bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu akan tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan diseret masuk ke dalam jurang.

Sin Liong memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara itu merangkak hati-hati meninggalkan dataran sempit itu, kembali ke pohon, berpegang pada batang pohon itu, bersandar di situ sambil memandang ke tempat mereka selama tiga hari berlindung itu, tempat yang kini menjadi sasaran batu-batu berikut lumpur yang menimpanya dengan suara gedebukan, diseret air yang tercurah dari atas dan menyapu segala yang berada di atas tempat itu. Batu-batu, lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya turun ke dalam jurang.

Bi Cu bergidik dan mengeluh, kemudian dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong.

Akhirnya hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran sempit itu, walau pun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang sudah mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding batu tebing di atas dataran yang sempit itu.

"Bi Cu, lihat...!" Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding batu tebing itu.

Bi Cu mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada dinding batu itu. Banyak batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang tanggal ini membentuk bekas-bekas lubang sehingga terdapat celah-celahnya, tidak lagi rata seperti sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar karena tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air.

"Hujan membuat tebing itu longsor," bisik Bi Cu.

"Itulah! Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!" kata Sin Liong.

Sesudah air dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng tangan Bi Cu dan dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu menjadi bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batunya lenyap, semua tinggal dataran batu seperti baru dicuci bersih.

Sin Liong memeriksa dinding tebing. Dinding itu tidak licin lagi, tetapi kasar karena semua permukaannya disapu air dan memang benar, kelihatan celah-celah dan tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke atas. Memang sangat tinggi hingga bagian atas sekali tidak kelihatan jelas, akan tetapi yang sudah pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu.

"Biar kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba untuk naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada di dalam tubuh kita, kita harus berusaha dan tidak boleh putus asa."

Bi Cu mengangguk-angguk. "Memang kita harus dapat keluar dari sini...," katanya seolah termenung, "entah kapan lagi ada hujan turun..."

Malam itu mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan lengan kirinya sudah pulih kembali, lalu mendekap tubuh Bi Cu sambil mengerahkan sinkang-nya sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu. Dara itu pun dapat tidur dalam dekapan Sin Liong.

Dan mereka berdua tidak ingat lagi akan sopan santun, karena mereka melakukan hal itu, yaitu tidur berdekapan, sama sekali bebas dari pada nafsu birahi. Yang ada hanya saling kasihan, saling menaruh kasih sayang dan iba, ingin saling melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam keadaan selamat, tak ada keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada hanya cinta kasih!

Walau pun tidak diucapkan dengan kata-kata, walau pun dalam batin mereka sendiri tidak pernah ada pertanyaan tentang hal itu, tidak ada dugaan tentang itu, tidak ada sedikit pun bayangan nafsu mengotorinya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya nampak bersih, baru dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu mengeluarkan bau tanah yang sedap.

"Bi Cu, kita mulai mendaki, mencari jalan keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu kau ikatkan ujung tali ini pada pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh tali ini. Satu hidup semua hidup, satu gagal semua gagal..."

"Satu mati semua mati!" sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga segera mengikatkan ujung yang lain di pinggangnya.

"Nah, kita mulai," katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing itu.

"Nanti dulu, Sin Liong," kata Bi Cu.

Dan dara ini lalu menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya. Wajah mereka saling berdekatan dan mereka saling pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat kurus, cekung dan rambut mereka amat kusut. Wajah-wajah yang tidak dapat dibilang tampan atau cantik dalam keadaan seperti itu.

"Ada apakah, Bi Cu?"

"Sin Liong, malam tadi..."

"Ya...?"

"Kita... telah... berciuman..."

Sin Liong merasa betapa wajahnya panas, "Aku... aku tidak sengaja... maafkan..."

Bi Cu tersenyum. "Aku pun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi, akan tetapi kali ini kita sengaja..." Dia memandang dengan mata berkedap-kedip malu.

Sin Liong lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka, lantas mereka pun berciuman. Ciuman yang sangat canggung karena keduanya belum pernah melakukan hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa yang harus dilakukan maka dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan mesra dan lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu birahi, akan tetapi penuh getaran cinta kasih yang mendalam.

Kembali mereka baru melepaskan ciuman karena perlu bernapas. Kini pandangan mata mereka mengandung kemesraan aneh dan mendadak mereka berdua merasa berani dan kuat menempuh apa saja asalkan berdua.

"Mari kita berangkat!" kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran serta kegembiraan, seakan-akan mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah, bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan nyawa!

"Mari! Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap jejakku. Mengertikah, Bi Cu?"

"Aku mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya pada saat aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah?"

"Benar sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah sedangkan aku dari atas. Sebaiknya pada saat aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau yang naik."

"Baik, aku mengerti. Marilah!"

Sin Liong mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam celah di sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik, "Bi Cu, aku cinta padamu!"

Bi Cu yang berdongak itu pun berbisik mesra, "Sin Liong, aku pun cinta padamu!"

Kata-kata yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan main, baik bagi Sin Liong mau pun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di atas Bi Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah itu, baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti.

Demikianlah, mereka melakukan pendakian yang luar biasa sukarnya. Kadang-kadang Bi Cu yang sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus memejamkan mata melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar, bergantung pada batu dengan kedua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba gilirannya melalui tempat sukar itu, Sin Liong selalu membantunya dengan menarik tali yang mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik lebih dulu.

Beberapa kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali menengok ke belakang. Hal ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat ke belakang atau ke bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena dia berada di atas Bi Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat bawah, betapa pun mengerikan, karena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari tempat ini!

Memang aneh bukan main! Hujan kemarin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi mereka! Biar pun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus ke atas seperti sudah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu. Beberapa kali mereka seperti menghadapi jalan buntu.

Di sebelah atas Sin Liong hanya ada batu rata menonjol sehingga tidak ada tempat untuk berpegang tangan sama sekali. Untuk mendaki batu bundar ini jelas tidak mungkin. Maka sampai lama Sin Liong berhenti dan berpikir-pikir. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuh.

Bi Cu yang berdiri di bawah kakinya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu, lalu bertanya khawatir, "Ada apakah, Sin Liong? Mengapa berhenti?" Sebenarnya dia sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu!

"Naik terus tidak mungkin," akhirnya Sin Liong menjawab. "Satu-satunya jalan hanya ke kanan itu kemudian kita harus melanjutkan pendakian dari situ!" Dia menunjuk ke kanan di mana terdapat sebuah batu besar menonjol.

Memang agaknya air kemarin mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki dari atas batu menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu menonjol itulah yang sukar, apa lagi batu itu menjulur ke depan sehingga seolah setengah tergantung di udara! Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan itu ada tiga meter dan yang memisahkan mereka adalah celah seperti goa yang tidak mungkin dapat dilalui. Meloncat? Mungkin saja dengan mudah mampu dilakukan oleh Sin Liong di tempat biasa, bukan di tempat seperti ini!

"Sin Liong, engkau jangan meloncat ke sana!" Bi Cu berseru ketika dia membayangkan kemungkinan yang mengerikan ini.

Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu, kau lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu."

"Tidak, aku tidak mau berpisah darimu lagi!" jawab Bi Cu cepat-cepat.

"Jangan salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin mempergunakan tali itu untuk mencapai batu di sebelah kanan itu, sesudah aku tiba di situ, baru aku dapat menarikmu ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan pendakian kita ke atas."

Bi Cu mengerutkan sepasang alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol.

Ayunannya tepat sekali, ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya, jeratnya mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian dia mencoba kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga ratus kati kuatnya dan ternyata tali mau pun batu dapat bertahan.

Sin Liong memandang ke bawah dan Bi Cu juga semenjak tadi mengikuti gerak-geriknya. Gadis itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tanpa dapat ditahannya lagi, biar pun hatinya sedang tidak senang, dia berseru,

"Sin Liong, hati-hatilah...!"

Sin Liong tersenyum. "Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku." Setelah berkata demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke kanan, perlahan saja agar supaya tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun dan bergantungan kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi juga dipegangnya dengan kedua tangan itu.

Dari bawah batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong untuk memanjat naik melalui tali dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat tubuhnya naik ke atas batu. Ia berhasil! Dan dengan mudah!

Cepat-cepat Sin Liong melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang mengikat di batu, lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan demikian dia merasa lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi Cu sambil berkata,

"Tangkaplah!"

Bi Cu menangkap ujung tali dan mengikatnya pada pinggangnya. Melihal dara itu nampak ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata,

"Bi Cu, jangan takut. Mudah saja, dan kau lihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku, berarti kalau engkau jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah bersama-sama lagi bukan?"

Ucapan itu menolong banyak, karena Bi Cu langsung mendaki naik ke tempat Sin Liong berayun tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan, memejamkan matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan memegangi tali di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya terayun-ayun di udara!

"Nah, memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu," terdengar suara Sin Liong tepat di atasnya.

Tanpa membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan akhirnya dia ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh menggigil!

Sin Liong membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi Cu menjadi tenang kembali, tiada hentinya berbisik untuk membesarkan hati, "Kita berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di atas!"

Sesudah Bi Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka mendaki seperti tadi, dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian yang sama sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan kedua telapak tangan lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas, di dataran yang aman, di ‘dunia’ yang lama. Keduanya langsung menggulingkan diri di atas tanah di pinggir jurang, terengah-engah dengan mulut terbuka tertawa, akan tetapi dengan mata basah air mata.

"Kita selamat!" Sin Liong berkata.

"Terima kasih kepada hujan!" Bi Cu berseru kemudian dara itu berlutut dan menyembah-nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya hujan kemarin!

"Kepada hujan? Kepada Thian (Tuhan) maksudmu...?"

"Tidak, kepada hujan!" Bi Cu membantah. "Bukankah hujan yang menyelamatkan kita? Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak ada hujan yang membuka jalan, mana mungkin kita naik ke sini?

"Tapi Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga sekarang kita tertolong." 

"Aku tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak tahu siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu memungkinkan kita masih dapat hidup se¬karang ini, maka aku berterima kasih kepada hujan kemarin!"

Sin Liong tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang mengatur air hujan? Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa Naga Pengatur Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat itu yang mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para malaikat untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini. Jadi siapa yang berjasa menyelamatkan mereka?

Tidak ada artinya untuk bercekcok tentang teori itu karena bagaimana pun juga, tidak ada seorang pun manusia yang mengetahui dengan sebenarnya tentang siapa yang mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi Cu, air hujan kemarin itulah yang menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat dibantah lagi, karena merupakan kenyataan sesungguhnya. Apa yang terjadi di balik kenyataan itu merupakan hal rahasia, dan memperbantahkan sesuatu yang rahasia, yang tidak diketahui, hanya merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan pertentangan saja. Dan dia jelas tidak ingin bertentangan dengan Bi Cu.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Bi Cu mengeluh lalu terguling roboh! Sin Liong terkejut sekali, menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas sekali, akan tetapi ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu terserang demam! Inilah akibat perut kosong, tekanan batin yang sangat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, kemudian kehujanan serta kedinginan tadi malam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang sangat luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi.

"Bi Cu...! Bi Cu...!" Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan, memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tidak jauh dari tepi jurang itu. Dia harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin Liong tak lagi merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang…..

********************

Dengan dada lapang kita tinggalkan dulu Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil lolos dari bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng Han Houw di istananya di kota raja. Walau pun pangeran ini melihat kegiatan-kegiatan dilakukan oleh istana, malah dia mendengar pula bahwa istana telah mengumumkan pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak ada tindakan atau perintah sesuatu dari istana yang ditujukan kepada dirinya. Oleh karena itu dia merasa agak lega, sungguh pun sejak peristiwa kehilangan surat Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara mau pun dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati.

Ada dua kemungkinan, pikirnya. Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu. Atau, kaisar sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga tidak mau menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar memerintahkan tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dia sudah tahu siapa yang ditunjuk oleh kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih!

Malam itu sangat sunyi di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik ini telah lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan dia pun sudah menyuruh Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tak ingin menimbulkan kecurigaan fihak istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Akan tetapi para pengawalnya yang menjadi orang-orang kepercayaannya, telah dipesan agar berjaga dengan hati-hati sekali dan jangan sampai kebobolan seperti ketika Sun Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti para pengawalnya dengan orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup boleh diandalkan.

Dan pada malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di pintu gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga.

Ketika menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal oleh para pengawal sebagai cincin sang pangeran, cincin tanda bahwa wanita ini adalah orang kepercayaan sang pangeran! Tentu saja para pengawal langsung bersikap hormat, lalu mempersilakan wanita itu menunggu di dalam ruangan tamu sedangkan kepala pengawal tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana.

Pada waktu Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk hatinya. Pertama tentu saja perasaan gembira karena dia sudah dapat menduga siapa adanya wanita itu. Di dunia ini hanya ada seorang wanita yang pernah diberinya cincin kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si! Dan kedua dia merasa curiga dan juga tegang.

Dara perkasa itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan sungguh pun saling mencinta dengan dia, akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa dia dimusuhi pula oleh keluarga Cin-ling-pai, apakah dara itu akan tetap mencintanya dan apakah tidak akan ikut memusuhinya pula? Diam-diam dia segera mengatur sikap dan secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik yang sudah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu. Setelah merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke ruangan tamu untuk menyambut.

Ketika dia membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie Ciauw Si. Nampak semakin cantik dan semakin gagah saja. Sebaliknya, Ciauw Si juga memandang kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian yang sangat gemerlapan dan indah!

"Nona Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!"

Akhirnya Han Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan dara itu. Ciauw Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa amat rindu kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan pertemuan ini.

"Pangeran, engkau baik-baik selama ini, bukan?"

"Tentu saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!" Dan pangeran itu merangkul, terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan dirinya dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan.

"Cukup pangeran...," katanya sambil melangkah mundur.

"Tapi, Si-moi..."

"Pangeran, aku pun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi suami isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri..."

Pangeran itu maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si ini, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Lagi pula, dia memang benar-benar mencinta dara ini dan tidak ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya akibat dorongan nafsu birahi semata. Terhadap Ciauw Si dia memiliki perasaan lain. Bukan semata-mata nafsu birahi, melainkan dia memang kagum dan suka sekali kepada wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan selir, agaknya inilah pilihannya.

"Si-moi, marilah masuk. Ahhh, engkau datang malam-malam begini? Tentu belum makan malam." Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya.

"Saya tidak akan lama, pangeran, hanya akan membicarakan sesuatu yang penting, yaitu hendak mohon bantuanmu..."

"Aih, Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling berpisah. Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi? Itu namanya menyiksa perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi."

Ciauw Si memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu demikian ramah dan dia pun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini. Lagi pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan kamar sendiri? Tidur di rumah penginapan pun sama saja, tidur bersanding kamar dengan orang lain, bahkan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah.

Bagi seorang gadis kang-ouw, tidur di mana pun tidak ada halangannya. Apa lagi tidur di dalam sebuah kamar tersendiri di dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi keindahan istana itu yang dilengkapi dengan perabot-perabot indah dan mewah, lukisan-lukisan yang amat indah.

"Silakan, inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan?"

"Tidak, tidak... aku tak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air hangat saja... dan..."

Seorang pelayan wanita yang muda dan cantik lalu menghampiri, "Perintahkan segalanya kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona."

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti, Si-moi." Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri.

Diam-diam Ciauw Si girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian tinggi, juga amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan.

Ciauw Si mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya di dalam buntalan. Tak lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemput dirinya untuk diajak makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Tetapi pangeran itu memandangnya penuh kagum.

"Engkau nampak semakin cantik dan gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!" Memang dia seorang pria yang pandai merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa girang sekali. Wanita mana yang tidak akan merasa girang kalau dipuji? Apa lagi yang memuji adalah pria yang dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak pernah berpisah dari tubuhnya, terselip di punggungnya.

Pada waktu mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana terdapat pot-pot bunga, di situ telah menanti enam orang wanita muda yang berpakaian mewah dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut pangeran dan Ciauw Si. Hidangan sudah diatur di atas meja, masih mengepulkan uap karena masakan itu masih panas.

Para wanita itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan pangeran dan Ciauw Si duduk. Sementara itu, dari luar ruangan itu terdengar suara nyanyian diiringi musik yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik pula. Seluruh ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari pakaian para wanita itu.

Ciauw Si tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan dua alis berkerut, lalu dia pun bertanya kepada Han Houw, "Pangeran, siapakah mereka ini? Pelayan-pelayan?" tanyanya meragu karena tak mungkin pelayan berpakaian begini indah, terlebih lagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukanlah seperti pelayan yang menghormat, melainkan sikap yang merayu!

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Mereka ini? Ahh, mereka ini adalah selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan itu..."

"Pangeran, suruh mereka pergi!" Tiba-tiba saja Ciauw Si berkata dengan suara dingin dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut, juga Han Houw terkejut dan bingung.

"Ehhh... ini..." Dia tergagap.

"Cukup, suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!"

Melihat sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw cepat-cepat melambaikan tangan menyuruh para selir itu untuk meninggalkan ruangan makan. Para selir itu cemberut dan mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah.

"Yang main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin bicara denganmu, pangeran!" kata Ciauw Si tegas.

"Baiklah... baiklah...!" Pangeran Ceng Han Houw kemudian memberi isyarat kepada para pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk pergi meninggalkan ruang itu. Sebentar saja mereka sudah pergi semua sehingga mereka kini hanya berdua saja, Ciauw Si masih berdiri, belum mau duduk.

"Nah, mereka telah pergi semua, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum bicara, Si-moi."

Ciauw Si pun duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan pandang matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan tajam dan pertanyaannya mengejutkan pangeran itu, "Pangeran, aku minta ketegasan. Apakah engkau sungguh-sungguh cinta kepadaku?"

Pangeran Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula.

"Tentu saja, Si-moi. Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku."

"Pangeran, aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku juga tahu bahwa memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak selir, baik sebelum mau pun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang wanita yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku hanya mau satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita bertambah akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah selir-selirmu!"

"Tapi... tapi... apa artinya semua ini...?" Pangeran berkata tergagap sebab kata-kata yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya.

"Artinya sudah jelas, pangeran. Kalau engkau sungguh mencintaku, itu berarti bahwa aku akan menjadi isterimu, dan apa bila aku menjadi isterimu, aku tidak ingin melihat engkau memiliki selir seorang pun. Inilah syaratku, tinggal terserah padamu sekarang, pangeran."

Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw sudah berhasil menenangkan dirinya kembali. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Baiklah, Si-moi. Tentu saja permintaanmu itu amat pantas dan aku setuju sekali. Sekarang juga aku akan perintahkan agar mereka itu dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing!"

Ciauw Si sendiri terkejut mendengar keputusan mendadak itu, akan tetapi sebelum dia sempat berkata-kata, pangeran itu sudah memberi tanda tepukan tangan dan muncullah seorang pengawal dari pintu belakang. Walau pun seorang pengawal tadi sudah disuruh pergi meninggalkan ruangan itu, namun mereka itu siap siaga di luar ruangan, menjaga kalau-kalau sang pangeran memanggil mereka.

"Laporkan kepada kepala pengawal bahwa malam ini juga semua selirku harus disuruh pergi dari istana, dan boleh antarkan mereka pulang ke rumah orang tua masing-masing. Hadiah dan kerugian untuk mereka semua akan kukirim kemudian. Laksanakan perintah ini sekarang juga. Mengerti?"

Pengawal itu membelalakkan mata seolah-olah tak mendengar dengan baik atau merasa ragu akan perintah yang dianggapnya aneh itu. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kekeliruan salah dengar yang kelak mengakibatkan dirinya celaka, maka dia berdiri tegak dan mengulang,

"Paduka memerintahkan agar semua selir paduka malam ini juga dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing, dan bahwa hadiah untuk mereka masing-masing akan paduka kirimkan kemudian?" 

"Benar. Lekas laksanakan sekarang juga!"

"Baik, pangeran!" Pengawal itu segera pergi meninggalkan ruangan itu sesudah memberi hormat.

Ceng Han Houw menoleh dengan senyum kepada kekasihnya, lantas memegang tangan kekasihnya dan digandengnya ke meja makan lalu dengan halus nona itu dipersilakannya duduk.

"Sudah puaskah engkau sekarang?"

Ciauw Si tersenyum manis dan wajahnya berseri. "Sungguh tak kuduga bahwa pangeran akan memenuhi permintaanku seketika. Aku girang dan berterima kasih sekali, pangeran. Kini aku tidak ragu-ragu lagi akan cinta kasihmu kepadaku."

Mereka lalu makan minum sambil kadang-kadang saling berpandangan mesra. Ceng Han Houw berani mengambil keputusan demikian cepat mengenai selir-selirnya bukan karena dia tidak sayang terhadap selir-selirnya itu, sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang amat cerdik.

Dia tahu bahwa keadaannya pada waktu itu sedang terancam, rahasianya mungkin sudah diketahui oleh kaisar. Dalam keadaan terjepit ini dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, kalau sewaktu-waktu dia akan turun tangan atau harus membela diri. Dan Ciauw Si dalam hal ini jauh lebih berharga dari pada para selirnya itu.

Apa lagi kalau diingat bahwa di belakang Ciauw Si ini berdiri keluarga Cin-ling-pai yang memiliki banyak orang sakti. Jika dia dapat memperisteri Ciauw Si dan menarik keluarga Cin-ling-pai menjadi para pembantunya, atau paling tidak menjadi sahabat-sahabat atau keluarga, tentu kedudukannya akan menjadi lebih kuat.

Dibandingkan dengan kemungkinan yang amat baik ini, apa artinya beberapa orang selir itu? Tentu saja lebih baik dia merelakan selir-selirnya untuk kemungkinan yang jauh lebih menguntungkan itu.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar